Reaction


Beberapa waktu yang lalu gue pernah menulis tentang bagaimana gue anxious mendengarkan pengakuan dua orang berbeda tentang dua hal serius yang ingin mereka bicarakan dengan gue. Yang satu mengaku kalau dia mengidap penyakit serius, yang satu mengaku kalau dia pacaran dengan salah satu teman gue. Gue nggak pernah memikirkan ini sebelumnya tapi gue iri banget sama orang-orang yang bisa mengumpulkan keberanian buat ngomong secara terbuka tentang sesuatu yang mereka anggap penting, ke seseorang yang (mungkin) mereka anggap penting.

Pikiran gue soal dua momen itu kemudian membawa gue ke pertanyaan yang gue ajukan ke diri gue sendiri: apakah reaksi gue saat itu sudah tepat?

Gue tahu sih seharusnya memang masa lalu tuh nggak usah dibahas lagi. Yang lewat ya sudah lewat aja. Tapi tiba-tiba aja gue kepikiran sama hal yang satu ini: reaksi.

Ketika kita diajak seseorang untuk bertemu lalu kemudian dia bicara soal sesuatu yang dia anggap penting, dia pasti ingin tahu reaksi kita mengenai hal tersebut. Reaksi yang kita keluarkan pada saat itu bisa membawa pengaruh besar buat bagaimana dia menjalani hidup selanjutnya. Agak kepedean sih gue ngomong kayak gini, tapi setelah gue perhatikan memang kayak gitu.

Lalu kembali ke pertanyaan yang tadi, apakah reaksi gue saat itu sudah tepat?

Setelah gue pikir-pikir, memberikan reaksi yang tepat itu nggak mudah. Apalagi dalam konteks kita diminta untuk segera mengeluarkan reaksi terhadap apa yang kita dengar atau apa yang kita lihat. Terkadang kita sudah punya konsep ideal seperti apa kita akan bereaksi terhadap suatu hal tapi ketika itu benar-benar dihadapkan di depan kita, konsep ideal itu hanyalah teori. Pada kenyataannya, kita susah untuk melakukannya.

Ada seorang kenalan yang tiba-tiba menangis di depan gue dan bilang kalau selama ini dia sangat aktif secara seksual dan gonta-ganti pasangan seks selama setahun terakhir. Gue sudah tahu obrolan itu akan berujung ke mana dan ujung dari obrolan itu sudah ada di kepala gue bahkan jauh sebelum gue duduk di depan orang yang nangis-nangis itu. Ketika mendengar pengakuannya, reaksi gue pada akhirnya hanya flat. Semacam “Oh...”, udah nggak lebih. Di satu sisi gue bingung harus gimana karena gue nggak pernah mendengar pengakuan seperti ini sebelumnya. Gue bahkan nggak pernah terlibat dalam sebuah hubungan yang sangat intim dengan siapapun yang berujung ke arah seksual. Jadi jujur aja hari itu gue bingung. Gue nggak ngomong apapun.

Apakah reaksi gue sudah benar?

Di kepala gue saat itu sebenarnya gue sangat ingin mencaci maki orang itu. Pengin bilang kalau dia bodoh karena sudah menyia-nyiakan hidupnya seperti itu. Itu adalah kesempatan bagus untuk ngomong di depan muka dia kalau dia adalah orang paling bego yang pernah gue kenal di muka bumi ini. Selamat! Hawa nafsu membawa lo ke titik ini, nyet. Nikmati aja!

But I’m glad I keep that in my head.

Gue masih dengan ekspresi datar yang kebingungan.

Selain pikiran yang tadi, mulai terdengar suara-suara lain di sisi lain kepala gue. Kenapa ini bisa jadi kayak gini ya? Kenapa anak ini bisa jadi kayak gini, deh? Dulu kayaknya dia nggak gini-gini amat? Dulu kayaknya dia baik-baik aja?

Kemudian di sisi yang lainnya lagi, ada suara-suara yang lain lagi yang nggak mau kalah yang bilang begini: ternyata memang pergaulan itu sangat mempengaruhi bagaimana seseorang membawa dirinya. Ternyata rasa penasaran itu memang nggak selalu harus dituruti. Ternyata rasa penasaran yang dituruti dengan tidak hati-hati itu bisa berujung petaka.

Kemudian di sisi yang lainnya lagi, ada suara lain lagi yang bilang: tapi tahu dari mana lo kalau ini petaka buat dia? Hidup dia kan masih belum berakhir! Mungkin ini cara Tuhan memperingatkan dia dan memberi pelajaran hidup buat dia. Ya mungkin ini adalah karma yang harus dia terima dan harus dia jalani. Kita kan nggak tahu bagaimana nanti dia berkembang karena ini kan? Kita nggak boleh cepat mengambil kesimpulan bahwa hidup dia sudah jadi malapetaka karena ini dong!

Lalu sisi kepala yang tadi bicara lagi: telat nggak sih lo bawa-bawa Tuhan? Kemana Tuhan ketika dia melakukan hal itu dengan some random people? Kenapa nggak diingat? Kenapa baru sekarang?

Gue sekarang jadi tahu kenapa hari itu gue hanya bisa memberikan reaksi flat face: terlalu banyak dialog dalam kepala gue yang nggak bisa gue utarakan. Terlalu banyak suara-suara yang harus gue dengarkan dan nggak bisa gue pilih salah satu untuk langsung gue bicarakan. Di situlah gue sadar bahwa memberikan reaksi itu sama sekali nggak mudah.

Tapi... menunjukkan wajah datar itu juga sebuah reaksi, kan? Meski ya memang kesannya abu-abu sekali. Atau sebenarnya, wajah datar itu adalah sebuah reaksi yang menggambarkan kekecewaan gue pada orang itu dan pada kenyataan yang baru saja gue dengar?

Mungkin...

Dibandingkan dengan gue, ada beberapa orang yang gue kenal sangat gampang mengeluarkan reaksi terhadap sesuatu. Cukup mudah juga untuk menilai ketulusan seseorang dari reaksi pertama mereka terhadap apa yang mereka dengar dan lihat. Terkadang gue iri dengan mereka.


Cover photos by Lukas Rychvalsky

Share:

0 komentar