Percaya atau enggak, gue bukan termasuk orang yang mudah bergaul dan cenderung anti-sosial. Apalagi memulai pembicaraan dengan orang baru. Gue kadang-kadang pasif banget untuk yang satu itu, tapi bisa jadi juga sangat aktif, kalau misalnya orang yang diajak berinteraksi menunjukkan tanda-tanda keterbukaan dan nggak memunculkan jarak. Yes, I'm that kind of person who talks too much. Sorry. Genetic. Walaupun kata orang sih yang sering kali memunculkan jarak di obrolan pertama itu gue. Padahal sebenarnya kalau menurut gue mungkin jarak itu terlihat karena gue pada dasarnya orang yang pemalu. Tapi setelah lo kenal, gue akan jadi orang yang paling malu-maluin.
Di beberapa situasi, gue tipikal orang yang nggak akan ikut nimbrung ke obrolan secara langsung kalau misalnya gue nggak ngerti sama apa yang diobrolin. Gue bukan tipe yang mau sok-sok ngerti demi bisa nyambung sama orang-orang yang sedang kumpul-kumpul di kantor misalnya. Gue lebih ke tipikal pendengar kalau di bagian itu. Pernah waktu gue liputan ke Singapura beberapa bulan kemaren, salah satu wartawan senior ngajak gue ngomong soal politik Indonesia dan gue cuma bisa,
"Oh. Gitu ya? Masa sih? Oalah..." doang.
I'm not really interest with any kind of politics topic bahkan masalah negara sendiri. Dan yang lebih parahnya gue gak bisa fake kalo gue gasuka AHAHAHAHAHA. Tapi gue tahu ini salah sih. Soalnya pas di Amerika juga gue diajak ngobrol sama Gayle dari Singapura dan ngebahas soal kebakaran hutan beberapa waktu lalu sementara gue cuma, "Can we talk about Super Junior instead?" eh malu.
|
Jembatan Pasupati photo by @ronzstagram |
Waktu ke Seoul tahun lalu, gue janjian ketemu sama temen di Hangugo Dongari dulu pas di UI. Namanya Anis. Kalau kalian udah pernah nonton film pendek 'Lunch Box' yang ada Ji Soo-nya itu, nah si Anis ini yang pake jilbab, temennya Lia. Kita janjian ketemu di Samseong Station karena berniat untuk ke COEX SMTOWN Artium bareng. Nggak bareng sih sebenarnya, nganterin gue. Karena dia pastinya udah bosen ke sana kan doski Seoul Saram. Sementara gue masih yang ingin ngalay karena belom pernah ke SMTOWN Artium sama sekali. Setelah bosen muter-muter di sana, kita pun makan di Lotteria dan di situlah gue ngobrol banyak soal mau di bawah ke mana blog dan segala macem perkara akun-akun pribadi ini.
"Kenapa nggak bikin YouTube aja sih kak?" tanya Anis yang hari itu makan burger ikan karena kata dia makanan itu doang yang bisa dia makan kalo ke Lotteria. Yang lain daging-dagingan agak tidak terjamin masalah halalnya.
"Sebenarnya udah pengen sih YouTube. Tapi belom pede aja liat muka sendiri dan diliat sama orang lain. Pengen ngegedein brand KaosKakiBau-nya juga ke banyak platform nggak cuma blog doang. Insha Allah 2016 sih harus udah ada perkembangan," jawab gue.
Walaupun 2016 sudah berjalan setengahnya, dan gue belom sama sekali berani untuk memulai vlog. Walaupun sudah terbiasa dengan kegiatan siaran radio sejak 2008, tapi ngomong di depan kamera sama di belakang mikrofon itu pengalamannya beda banget. Gue kadang nggak bisa mengontrol ekspresi ketika di kamera dan jadinya pasti menye-menye banget. Kalo di belakang mikrofon kan nggak ada yang liat. Tapi YouTube adalah salah satu plan jangka panjang sih. Mungkin kalo gue udah nggak di Jakarta atau kalau gue udah nggak kerja di tempat gue yang sekarang.
Walaupun bisa aja sih sebenarnya disambi, tapi.... ah... Ron ini anaknya pemalas.
Gue nggak tahu harus bilang apa ketika ternyata, imajinasi gue tentang MV 'Lucky One' sama seriusnya dengan hasil akhir video terbaru EXO itu. Bener-bener sama sekali nggak menyangka kalau akhirnya, EXO dibuatin lagi satu video klip yang agak bikin mikir. OH THANK GOD!!! MV-nya nggak sekedar gitu-gitu aja. THANK GOD!!! Setidaknya ada video yang punya kasta setara dengan 'Love Me Right'. THANK GOD!!! SM mau berbaik hati membuatkan EXO video yang lebih layak. Ya abis, masa million seller idol MV-nya kandang ayam doang kan ya ngehek.
Dan harus gue bilang kalau MV 'Lucky One' ini cukup mengacak-acak emosi.
Tentu gue akan mengawali tulisan kali ini dengan curhat. You know me so well lah kalau kata boyband Indonesia anget-anget tahi ayam yang sekarang udah nggak tahu nasibnya kek mana.
Di hari perilisan 'EX'ACT' gue berasa lagi capek banget. Gila sih, menyelesaikan review teaser foto dan teaser video selama dua hari ternyata bikin tepar juga. Badan sih enggak, tapi otak iya keder. Ditambah lagi urusan kerjaan. Belum lagi harus menyesuaikan waktu untuk tidur, bangun dan masak buat sahur. Wah, kacau sih, sepanjang hari itu gue uring-uringan banget karena kurang tidur.
Biasanya kalau nggak puasa, kopi adalah sahabat terbaik kalo udah kayak gini. Selain KPop, kopi adalah obat terbaik buat bikin kalem hati dan pikiran sejenak. Belakangan gue nyium aroma kopi aja udah bisa bikin rileks. Tapi karena lagi puasa, yah, nggak bisa deh tuh yang namanya ngendus-ngendus kopi ataupun minum kopi ketika kepala lagi puyeng. Yah, emang cobaannya kali ya. Makanya di hari itu, sehabis kerjaan kelar, gue langsung balik kosan dan milih buat tidur. Karena kepala rasanya kayak lagi disentil-sentil Hagrid.
Ngerti gak sih, rasanya kayak gimana?
Gue punya love-hate relationship sama Rumah Sakit. Tempat ini mungkin jadi lokasi yang paling gue nggak sukai di dunia setelah Kuburan Bikun UI. Pengalaman pertama gue ke rumah sakit adalah ketika gue SD. Salah satu temen gue (well nggak temen baik banget sih, for a fact he is someone who bully me that time hahahahaha cuma karena dulu pas SD kita diajarin tenggang rasa jadi ya udah begitu kejadiannya) masuk rumah sakit. Gue dan beberapa temen excited banget untuk pergi ke rumah sakit buat jenguk dia. Loh kenapa kita jadi excited padahal mau nengokin orang sakit? Iya. Karena itu artinya kita bisa main-main di lift yang ada di rumah sakit.
Iya. Lift. Fasilitas di sebuah gedung yang digunakan untuk pindah dari satu lantai ke lantai yang lain dengan cepat tanpa harus mendaki anak-anak tangga.
Mungkin perlu kalian tahu, Mataram, ibukota Nusa Tenggara Barat, yang lokasinya di Pulau Lombok, adalah tempat gue dibesarkan. Dibandingkan dengan kota-kota lain di sebelah barat Indonesia, kota ini dulu bisa dibilang sangat terpencil dan seorang terasing. Yang paling sederhana aja misalnya kami baru punya bioskop sekelas XXI itu belum genap dua tahun. Dulu ada bioskop pas jaman-jaman gue masih belum TK. Tapi kemudian mati dan setelah XXI memonopoli semuanya selama hampir 20 tahun kali kita nggak punya bioskop. Hidup di kota ini bisa dibilang segala tren itu datangnya terlambat. Kayak misalnya kita baru suka sama film-film India setelah orang-orang mungkin sudah pindah ke film-film Korea. Terakhir gue pulang Mei kemaren, orang-orang di kampung gue bahkan nggak tahu kalau kita bisa update berita soal selebriti di situs berita online tempat gue kerja sekarang. Dan gue hidup di tengah-tengah masyarakat di kampung itu selama 17 tahun sebelum gue pindah ke Depok untuk kuliah di UI.
Sedikit background betapa cupunya kehidupan anak kampung ini dulu itu mungkin bisa menjelaskan kenapa akhirnya lift jadi salah satu hal yang bikin amazed gue dan temen-temen gue pas SD. Jelas, kita semua nggak ada yang pernah sama sekali mencoba untuk menyentuh tombol yang ada di dinding yang kalau ditekan bisa bikin dua "daun pintu" terbuka itu. Dan kita nggak sabar buat dateng ke rumah sakit untuk jenguk temen kita ini dan mencoba menggunakan lift itu untuk pertama kalinya.
"Nggak boleh naik itu! Nanti kamu nggak bisa keluar!" begitu kata nyokap gue suatu hari ketika gue yang penasaran dengan lift dan ngajak dia buat nyobain naik lift cuma supaya tahu rasanya doang, di suatu hari ketika gue sedang kontrol kuping karena punya penyakit kebanyakan congek. Dan karena perkataan nyokap itulah akhirnya gue nggak pernah naik lift sama sekali. Karena takut nggak bisa keluar. Walaupun rasa penasarannya masih tetap ada. Belakangan gue tahu kenapa alasannya nyokap nggak pernah mau ngajak gue naik lift: soalnya beliau suka puyeng sama sensasi di dalam sana. HAHAHAHAHAHAHAHA bahkan naik eskalator di mall aja dia nggak mau. Lebih milih naik tangga.
Mom..... HIHIHIHIHIHIHIHIHIHIHI