Hati, kepala dan pikiran gue masih dipenuhi dengan perasaan-perasaan tidak percaya ketika gue menjejakkan kaki di Times Square malam itu. Minggu, 27 September 2015. Gue nggak akan lupa sama tanggal itu. Tidak mau mengulangi sebodohan ketika jalan dari hotel ke lokasi makan malam sebelumnya yang hanya pake batik dan tanpa jaket sementara udara lagi dingin-dinginnya, gue malam itu sudah melapisi tubuh kurus ini dengan baju merah Oversode yang gue pake dari Jakarta (JOROK!) dan pake jaket merah bertuliskan huruf R di sebelah kirinya. Jaket ini gue dapatkan dari bos gue yang waktu itu lagi mempromosikan artis baru, namanya Rega. Sementara mbak Laila pake baju tertutup ala mbak-mbak berjilbab Malaysia dan bawa jaket panjang.
Kayaknya kebanyakan orang yang ada di Times Square itu turis. Keliatan soalnya, siapa yang heboh foto-foto dan terlihat alay, dan siapa yang berjalan kasual dan hanya melintas, lalu memilih untuk masuk ke restauran-restauran yang banyak di sekitar Broadway. Gue adalah salah satu yang alay dan tidak bisa menyembunyikan excitement gue berdiri di depan patung George M. Cohan 'Give My Regards to Broadway' dan berada di tengah-tengah Times Square untuk pertama kalinya.
Adegan di 'Glee' ketika mereka pertama kali di 'New York' dan nyanyi-nyanyi di undakan tangga yang ada di Times Square di season 2 itu langsung keputer di kepala gue. Persis seperti ketika Rachel Berry berdiri di tengah-tengah situ, gue juga melakukannya lalu berbisik: "BROADWAY!"
*
Waktu kecil, kita pasti punya cita-cita. Gue inget dulu gue sangat mengidolakan om gue yang sekarang sudah bergelar profesor dan dia pernah kuliah di luar negeri dan pindah-pindah dari satu negara ke negara lain. Bisa dibilang dia adalah role model gue dulu dan dia juga yang membuat gue bercita-cita jadi seorang ahli pertanian. Sebelum akhirnya gue ganti role model ke Harry Potter dan bercita-cita jadi penyihir.
Berat banget buat gue menerima kenyataan bahwa ternyata Hogwarts itu enggak nyata. Patah hatinya sama kayak misalnya pas salah satu orang yang lo anggap temen tapi ternyata lo dikira enggak nyata karena cuma bisa diajak chatting doang. Karena itulah akhirnya gue mengganti cita-cita gue ke sesuatu yang lebih real: jadi pedagang es krim dan burger.
Sayangnya hidup itu enggak selalu tentang apa yang kita mau, tapi seringkali apa yang kita butuhkan. Ketika gue sudah niatkan untuk mengabdi di kampung halaman, merelakan gelar sarjana gue buat jualan burger dan es krim, takdir justru menahan gue di perantauan. Dan di sinilah gue sekarang berada, enam tahun merantau, menikmati naik dan turunnya gejolak kehidupan sebagai Jakartarian. Tapi kalo enggak merantau mungkin gue enggak bisa nulis posting-an yang sedang kalian baca ini.
*
*
Sebagai penduduk asli Lombok, gue tumbuh dan besar dengan berbagai cerita-cerita dan kepercayaan lokal yang sebenarnya enggak masuk akal, tapi terjadi. Mau dibilang enggak sengaja atau kebetulan sebenarnya bisa aja, tapi sekali lagi enggak ada yang enggak sengaja atau kebetulan di dunia ini. Semua pasti terjadi karena maksud tertentu kan.
Apa lo masih percaya kalau EXO dan Super Junior kebetulan aja dari SM dan nasib member Tiongkok mereka kebetulan aja sama dengan Hangeng?
Di antara kepercayaan-kepercayaan yang tidak masuk akal seperti misalnya di baju anak baru lahir harus diberi "jimat" berupa bawang merah yang ditusuk ke peniti untuk menghalau makhluk halus yang suka goda-godain anak bayi, ada sebuah kepercayaan yang juga berhubungan dengan anak bayi, tapi ini lebih ke ari-ari mereka.
Konon katanya, apa yang akan terjadi pada si anak di masa depan mereka berhubungan erat dengan apa yang orangtua si anak lakukan dengan ari-ari tersebut.
Kalau ari-ari si anak ditanam di rumah, maka anak itu bisa jadi akan tetap tinggal di rumah itu sampai dia dewasa dan berkeluarga. Kalau ari-ari si anak dimakan oleh binatang malam seperti sebut saja anjing (dan memang di daerah tempat tinggal gue kalau malem sering ada anjing berkeliaran cari makan) maka bisa jadi dia akan jadi orang yang sensitif terhadap hal-hal gaib dan supranatural (and in someways kasar dan galak). Kalau ari-ari anak itu dihanyutkan ke laut, maka bisa jadi nanti si anak bakalan berkelana dan merantau.
Percaya tidak percaya, hal itu terjadi pada gue dan dua kakak gue.
Kakak gue yang pertama (perempuan) adalah contoh dari anak yang ari-arinya ditanam di rumah. Sekarang dia sudah berkeluarga dengan dua anak dan tinggal di rumah gue di Lombok. Kakak gue yang kedua (laki-laki) adalah contoh dari anak yang ari-arinya dimakan anjing dan dia memang sangat sensitif dengan dunia-dunia gaib (dia bisa liat setan, komunikasi dengan hantu dan segala drama dunia gaib dia pernah alami pas masa remaja). Dan ya, dia adalah orang paling galak dan cepet marah yang pernah hidup di dunia ini. Kalo ditanya gue lebih takut siapa Voldemort atau dia, gue pilih dia. Dan yang ketiga adalah gue, si anak yang ari-arinya dihanyutkan di laut.
Dan lihat ke mana si ari-ari membawa gue sekarang. Eh, akhir bulan lalu.
*
Enggak pernah kebayang sebelumnya untuk bisa melakukan perjalanan jauh ke New York dalam rangka kerjaan. Selama dua tahun lebih kerja di tempat yang sekarang, dikirim ke Singapura saja sudah Alhamdulillah. Men, siapa sih yang enggak mau ke luar negeri gratisan?!
Memang sih buat kerja, bukan liburan. Tapi kesempatan emas nggak datang dua kali! Setelah pekerjaan selesai kan berarti bisa sekalian liburan. Hidup seadil itu kok. Tuhan se-Bijaksana itu kok.
Kesempatan untuk terbang ke luar negeri gratisan itu tentu aja enggak datang tiap hari. Pernah kepikiran untuk jalan-jalan ke luar negeri dengan ongkos sendiri, tetapi ujung-ujungnya selalu jadi beban. Gue bukan tipikal orang yang rela buat ngabisin uang untuk liburan sebenarnya. Bahkan untuk beli baju aja gue masih mikir-mikir. Di Indonesia, liburan gue yang paling jauh ya Lombok. Pulang kampung. Kalo enggak ya paling gue kabur ke Bandung.
Hehehe. I'm in love with the city. Bandung I mean... too many memories. #baper
Gue juga tipikal orang yang enggak terlalu doyan menghabiskan uang untuk beli makanan. Kadang-kadang memang iya, gue akan beli makanan yang lucu-lucu dengan harga fantastis demi untuk mengikuti pergaulan. Kata orang sih biar hits. Ada banyak tempat makan baru di Jakarta yang menyajikan menu-menu kreatif. Menggiurkan buat di-Instagram. Padahal rasanya sebenarnya B aja.
Biasa aja maksudnya.
Karena itulah gue nggak berhenti mengucap syukur ketika gue akhirnya dikasih kesempatan untuk ke New York ini. Gue jadi bisa mencicipi berbagai jenis makanan yang enggak pernah gue makan sebelumnya. Soalnya, gue terbang dengan Business Class.
BUSINESS CLASS!
Buat anak kampung seperti gue, ini adalah pencapaian luar biasa. Waktu gue dikasih tiket sama penyelenggara acara (namanya Mbak Galih dan mbak Debora) via email, gue sempat bengong lama banget. Lama banget sampai-sampai matahari yang baru terbit tiba-tiba saja sudah terbenam (okelebay) karena gue sama sekali nggak paham sama tulisan yang ada di tiket itu kecuali tulisan Business Class-nya. Buset.... ke New York aja udah kayak mimpi jadi nyata, mana lagi naik pesawat kelas bisnis, gimana nggak mimpi jadi nyata dua kali.
Tapi sebenarnya mimpi naik business class gak pernah muncul di kepala sih.
"Perjalanan ke sana capek banget Ron! 20 jam lebih di pesawat itu yang bikin males," kata temen gue yang sebelumnya pernah liputan juga ke Amerika. "Ngatasin jetlag-nya ketika lo baru mendarat terus langsung kerja itu juga agak-agak bikin bete," lanjut dia.
First of all, gue nggak pernah ngerasain jetlag karena perjalanan dengan pesawat paling lama yang pernah gue lakukan adalah 2 jam setengah dari Jakarta ke Lombok (dan sebaliknya). Perbedaan waktu juga cuma satu jam jadi pasti enggak juga berasa jetlag. Ini kemudian membuat gue penasaran seperti apa jetlag itu. Gue berharap merasakannya ketika sampai New York nanti.
Tapi kemudian teman gue itu melanjutkan, kalau terbang 20 jam dia kemaren naik kelas ekonomi. Ketika dia denger gue naik kelas bisnis, dia jadi yang kayak, "Oh yaudah berarti enak lah santai banget bisa tidur." gitu. Sama sekali enggak kebayang. Soalnya gue cuma modal naik Lion Air ekonomi yang tempat duduknya nggak kalah sempit dari tempat duduk di metro mini 75 jurusan Pasar Minggu - Blok M. Wah ada banyak pengalaman baru di perjalanan ini berarti ya? Batin gue.
Belum lagi bos gue yang kemudian memberikan insight lain yang sangat membantu. SANGAT SANGAT MEMBANTU.
"Kalau lo di business class, lo bisa nunggu di Lounge. Di sana lo bisa makan sepuasnya."
Kalimat "lo bisa makan sepuasnya" itu sudah sangat membahagiakan. Sangat-sangat membahagiakan. Dude, makan gratisan kayak di kondangan itu adalah mimpi setiap anak kos! Ekspektasi gue akan perjalanan ini akhirnya setinggi-tingginya. Kemudian gue memutar lagu Peterpan - Khayalan Tingkat Tinggi.
*
Buat orang yang hidup di kota kecil selama 17 tahun dan kemudian pindah ke kota besar, gue bisa dibilang kampungan dengan berbagai kemewahan dunia yang dimiliki oleh kota besar. Gue masih inget banget ekspresi kagum ketika pertama kali sampai Depok (kota besar juga bukan, Depok?) tahun 2009 dulu pas pertama kali kuliah di UI dan melewati jalan Margonda dan Margo City.
"Wih... Ini mall besar banget ya!"
Padahal itu baru Margo City. Gue nggak tahu aja kalau ternyata masih ada yang namanya Grand Indonesia, dan di tahun 2012 ke atas di bangun Kota Kasablanka, Gandaria City dan Lotte Shopping Avenue. Di Mataram, Lombok, selama gue hidup di sana dari lahir sampai SMA, cuma ada satu mall yang beroperasi. Dan Mall ini nggak jauh beda sama ITC dan mirip-mirip Depok Town Square.
Enggak ada keren-kerennya.
Setelah empat tahun tinggal di Depok dan sekarang resmi dua setengah tahun menjadi "Jakartarian", gue tidak pernah merasa berubah menjadi sosok yang kekinian dan anak kota. Penampilan gue aja sebenarnya nggak mendukung untuk disebut anak kota. Dan kalau lo melihat jauh ke lubuk hati gue yang paling dalam (halah) gue masih anak kampung yang tetap amazed ngeliat kota besar. Ajak aja gue ke Bandung maka gue akan berurai air mata padahal cuma ke Masjid Agung semata.
(Minta banget diajak?)
Itulah kenapa ketika gue tiba-tiba dapat tugas kerja tiga hari dua malam di New York, gue masih deg-degan. Ini bukan Jakarta, bukan juga Bandung. Tapi ini New York!
Mungkin enggak banyak yang tahu kalau gue kerja di salah satu media online di Jakarta (ya, nggak penting juga sih sebenarnya orang-orang tahu gue kerja di mana) tapi di postingan ini, sepertinya informasi mengenai ini penting hihihi karena ya tanpa kerjaan ini gue nggak akan bisa melakukan perjalanan gue dari Jakarta ke New York.
Jadi, begini ceritanya...