Gue menutup pintu kamar hotel itu dengan perasaan seperti mengambang. Gue tidak merasakan kaki gue menjejak di lantai sama sekali. Tentu saja, aslinya nggak gitu. Aslinya tetap menjejak. Gue kan bukan hantu dan nggak punya kekuatan levitasi sama sekali. Tapi indera perasa yang ada di telapak kaki gue seperti mati sesaat. Tadi lantai itu dingin. Dingin sekali. Tapi sekarang rasanya seperti kosong. Badan gue mendadak terasa sangat lelah. Obrolan yang lebih dari dua jam itu ternyata jauh lebih melelahkan daripada setengah jam yoga. Energi gue seperti terkuras habis, seperti yang gue prediksi, dan kelelahan seperti menguasai diri. Gue seolah nggak bisa lagi berpikir meski sebenarnya masih banyak hal yang harus gue pikirkan. Masih banyak hal dari obrolan gue malam itu yang perlu gue olah dan pilah. Tapi malam ini gue capek. Besok gue harus kembali ke Jakarta dan gue nggak mau membawa pulang perasaan aneh seperti ini.
Tarik napas. Embuskan. Tarik lagi. Embuskan.
Gue mengulangi mantra ini sejak siang karena beberapa hal. Sebenarnya kondisi hati gue hari ini nggak terlalu yang gimana-gimana banget. Sedikit excited sih, karena gue mau ketemu sama beberapa orang. Satu adalah orang yang gue kenal online dan berharap bisa ada sesuatu di antara kami walaupun kalau boleh jujur percakapan kita di chat semuanya flat dan one liner tapi gue memutuskan untuk tidak nge-judge sampai kita benar-benar ketemu dan ngobrol. Yang satu lagi... wah ini panjang ceritanya. Tapi long story short, pertemuan dengan orang yang kedua ini sudah melewati waktu berpikir yang sangat panjang. Banyak orang menyarankan gue untuk tidak melakukannya, tapi gue memilih untuk mendengarkan diri gue saja tidak mendengarkan orang lain. Maaf ya teman-teman baikku. Aku beneran penasaran sama akhir ceritanya, makanya aku bandel. Wkwkwkwkwkwkw...
Gue sedang dalam perjalanan pulang dari rumah sakit menuju kosan di suatu hari Rabu, dengan kondisi mata dan kepala yang berat banget karena ngantuk dan perut yang mules entah karena belum sarapan atau belum ngopi. Seharusnya semalam gue tidur lebih cepat karena paginya ada jadwal kunjungan ke dokter. Tapi gue benar-benar lupa karena malamnya gue nonton Avatar (re-release) di IMAX dan memesan tiket jam 8 lebih 40 malam waktu Jakarta. Film selesai sekitar tengah malam dan gue sampai kosan setengah satu pagi apa deh. Tapi gue nggak langsung tidur malah main Genshin Impact sampai jam setengah dua. Di situlah gue baru sadar kalau paginya gue harus ke rumah sakit. Kalau kata Piko ini fucked up banget sih. Gue nggak mungkin membatalkan kunjungan ini karena obat gue juga udah abis, jadi gue buru-buru tidur dan berharap bisa bangun sepagi mungkin.
Kalau gue bukan pasien BPJS mungkin gue nggak perlu repot-repot melakukan ini. Gue bisa ke rumah sakit kapan aja sesuai perasaan hati. Tapi karena iuran BPJS nggak semahal asuransi swasta jadi gue memilih menggunakan fasilitas ini buat berobat. Jadi pagi itu, as expected, gue berangkat terlambat ke rumah sakit. Rencananya gue mau berangkat jam 7 kurang biar sampai di sana pas jam 7 jadi gue bisa masuk ke ruang konsultasi lebih cepat. Tapi gue telat satu jam dan itu bikin gue dapat giliran konsultasi jam 10 pagi. Dua jam nunggu dan kondisi gue udah nggak jelas banget. Ngantuk, laper, capek, pengin berbaring, tapi juga pengin dapet obat lebih cepat. Gue nggak mau repot-repot nunggu obatnya karena bisa diambil sore, jadi gue langsung pulang ke kosan sehabis konsultasi.
Seperti biasa gue selalu memutar musik kalau lagi di atas motor. Meski terdengar tidak aman, tapi ini mengurangi keinginan gue buat marah-marah dengan suara motor di sekitar, apalagi kalau ada orang pake knalpot yang gede banget lubangnya itu dan suka nyemprot angin ke muka gue kalau tiba-tiba dia ada di depan motor gue. Gue sumpahin orang-orang ini kentutnya bau banget sampai orang-orang di sekitarnya nggak nyaman dan pergi dari hidupnya. Maaf jahat tapi gue tulus kok ini mendoakannya. Biasanya gue nggak memutar lagu dalam kondisi shuffled. Agak ngeselin, gue punya kecenderungan menjadi sangat perfeksionis untuk hal-hal yang tidak perlu seperti misalnya kalau lagu di playlist gue nggak keputer sesuai urutan. Misalnya gue lagi dengerin album Purpose-nya Taeyeon yang selalu gue mulai dengan Here I Am dan berakhir di Gravity lalu kembali lagi ke Here I Am. Dari track 1 sampai track terakhir, meski gue tidak hapal kalau disuruh ngurutin daftar track-nya, tapi gue sudah hapal dan ingat abis lagu A pasti lagu B. Kalau tiba-tiba ke-shuffle ke lagu F, gue pasti gemeter tuh di atas motor dan bisa melipir dulu ke pinggir buat set itu tombol shuffle biar dimatiin.
Gue sefrik itu sih asli.
Gue merasa sangat aneh beberapa minggu terakhir ini. Gue kehilangan semangat untuk melakukan banyak hal, gue kehilangan mood untuk melakukan segala hal. Rasanya seperti kembali ke masa-masa terpuruk gue beberapa bulan lalu ketika semua perasaan menyerbu di saat yang sama dan gue nggak punya pertahanan yang cukup kuat untuk menghalau mereka satu per satu. Rasanya seperti ada yang aneh. Semua tembok baja yang belakangan berdiri kuat di setiap sudut hati dan sudut kepala gue, yang akan menghadang semua pikiran-pikiran dan perasaan negatif, seperti pelan-pelan ambruk tanpa sebab yang jelas. Satu hal yang paling gue nggak sukai dari hidup adalah ketika gue berada dalam posisi gue nggak tahu sedang merasakan apa. Apakah ini sedih? Apakah ini kecewa? Apakah ini marah? Perasaan apa sih yang sedang gue rasakan ini? Apakah ini campuran dari dua perasaan pertama? Ketiganya? Atau malah bukan tiga-tiganya? Akan lebih mudah untuk mencari solusi dari sebuah permasalahan kalau kita tahu masalahnya apa. Akan lebih mudah untuk mencari pengalihan perhatian dari sebuah perasaan kalau kita tahu apa yang kita rasakan. Tapi kondisi gue di beberapa minggu terakhir ini bener-bener campur aduk, atau dalam bahasa gue: begajulan.
I feel exhausted. Even when I’m not busy at all.
Pernah ada teman gue yang datang dari Lombok dan menginap di salah satu hotel di pinggiran Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, dan dia mengaku diganggu sama makhluk halus. Lampu kamarnya tiba-tiba mati-nyala-mati-nyala, bahkan ketika teman sekamarnya lagi mandi, lampu kamar mandi mendadak mati. Ketika dia cerita ke gue, gue cuma bisa ketawa karena memang ceritanya (atau mungkin cara dia menceritakannya yang membuat itu jadi) lucu (walaupun menurut dia itu teror menyeramkan), di situ gue baru menyadari satu hal: selama hampir 10 tahun gue di Jakarta, gue nggak pernah lagi merasakan takut pada makhluk-makhluk halus atau yang biasa kalian sebut hantu (pakai suara Prilly Latuconsina di trailer Danur 1). Akhirnya gue bilang ke temen gue,
Sekitar tahun 2014 atau 2015, ketika gue belum jadi pengendara motor di Jakarta, gue pernah pinjam motor teman gue untuk pergi ke daerah Blok M. Niatnya sore itu di sela-sela jam kerja yang nggak terlalu padat gue mau ke money changer. Kalau nggak salah inget waktu itu gue baru pulang dari liputan di Korea atau New York gitu deh dan ada sisa uang yang perlu gue tuker balik ke Rupiah. Karena gue sedang malas naik Metro Mini ke kawasan Blok M (ya, dulu masih ada Metro Mini) karena jurusan Blok M – Pasar Minggu – Blok M itu Metro Mini-nya luar biasa melelahkan kala itu (kalau nggak salah jalan layang buat TransJakarta dari Tendean ke... mana tuh, Tangsel? Belum jadi dan macetnya di situ minta ampun deh kalo di jam-jam sibuk) gue pun memutuskan untuk pinjem motor aja. Gue awam sama jalanan Jakarta di jalur pemotor kala itu karena memang selama ini selalu menggunakan angkutan umum. Tapi kurang lebih gue tahu jalannya karena sering naik angkutan umum.
Ketika gue pinjem motor itu gue nggak nanya motornya apa (atau sebenarnya gue nanya tapi gue nggak pernah ngeh brand dan bentukan tipe motor tertentu, yang gue tahu cuma Mio, atau Honda Beat, dan semacam itu. Brand di luar itu gue cuma bisa hah heh hoh doang), temen gue ngasih STNK dan gue pikir itu sudah cukup buat memberitahu gue motornya yang mana. Gue toh bisa lihat nomor kendaraannya di STNK dan mencari motor itu di parkiran. Permasalahannya adalah gue nggak pernah parkir motor di situ dan nggak tahu flow parkiran kantor kayak gimana. Maksud gue... kalo parkiran Mal kan udah jelas ya jalan masuknya di mana keluarnya di mana. Kalau di kantor gue waktu itu agak... berantakan.
Sesampainya gue di parkiran, gue agak bingung dan muter-muter selama lima sampai sepuluh menit nyari motor itu. Tapi gue nggak mau menyerah dan gue terus berusaha buat ngecek motor itu di posisi yang temen gue kasih tahu. Tetep aja motor itu nggak ketemu juga. Sampai akhirnya satpam yang nungguin parkiran nyamperin gue, dengan wajah dan nada bicara yang agak kesal.
Jauh sebelum pandemi, ketika gue masih tinggal di kosan yang udah gue tempati selama sekitar empat atau lima tahun di pinggiran Jakarta Selatan (yang sebenarnya nggak ideal-ideal banget buat ditempati tapi cukup membuat gue nyaman karena harganya murah banget), gue nggak pernah melewatkan waktu untuk cari tempat duduk sambil nulis. Gue mungkin udah beberapa kali nyebut soal bagaimana gue sangat suka nongkrong di McDonald’s Kemang dari malam sampai jelang subuh cuma buat nge-blog di sana. Walaupun gue nggak terlalu suka keramaian ketika sedang nulis karena terkadang tempat yang terlalu ramai bisa sangat membuyarkan imajinasi dan pikiran, tapi keramaian di tempat itu terbilang... inspiratif. Biasanya gue akan memutar musik di laptop atau handphone dan mendengarkan lewat headphone sambil nulis supaya gue nggak mendengar berisiknya orang-orang yang ada di sekitar, lalu bisa fokus ke hal yang ingin gue tulis. Tapi kadang-kadang gue pakai headphone tanpa memutar musik sama sekali jadi gue bisa tetap mendengarkan obrolan orang yang ada di meja sebelah gue sambil terus menulis. Kadang-kadang hal ini juga cukup banyak memberikan gue inspirasi. Mungkin nggak langsung bisa gue tulis hari itu, tapi bisa jadi di kemudian hari. Seperti hari ini misalnya.
Gue sedang menunggu Lola, Ayu dan suaminya, Awent, di suatu sore jelang buka puasa di sebuah hotel di Mataram. Kami hari ini berencana buat buka puasa bareng setelah beberapa tahun nggak ketemu dan melakukan ini. Sebenarnya ada dua orang lagi di geng ini tapi mereka berhalangan hadir jadilah kami hanya bertiga plus Awent sebagai penggembira. Mengatur sebuah acara buka puasa memang bukan perkara mudah, gue tahu. Tapi gue kira itu hanya terjadi buat orang-orang yang mengurus buka puasa buat 40 orang atau satu angkatan SMA atau kuliah. Tapi ternyata ngurus geng yang isinya lima orang ini aja ribet banget. Dan gue kira, dramanya sudah selesai sehabis dua orang tidak bisa datang dan hanya tiga orang yang konfirmasi. Ternyata sesampainya di lokasi, masih ada drama lain: meja kami nggak ada.
Gue tiba-tiba ingat satu doa yang gue panjatkan di sebuah masa, setiap selesai salat, ketika gue merasa gue butuh seseorang untuk dipegang tangannya, untuk ditelepon sebelum tidur, ketika gue merasa gue menyukai seseorang dan ingin dia jadi bagian dari hari-hari gue, paling tidak sampai kami merasa kami masih saling membutuhkan.
Gue sedang duduk di salah satu kafe di pinggiran Mataram, tempat yang sebelumnya diperkenalkan oleh Lola. Gue memutuskan buat mampir ke sini di Sabtu sore jelang maghrib karena gue sedang tidak baik-baik saja.
Gue sedang berada dalam fase-fase bingung dan kosong dan nggak tahu sedang ingin apa. Gue duduk di kursi dekat jendela, kursi untuk empat orang tapi gue tempati sendirian, mendengarkan lagu Orla Gartland yang judulnya Why Am I Like This? yang anehnya mood-nya sangat pas dengan gue hari ini. Gue sebenarnya sedang kenapa sih?
"I got my mistakes on loop inside my head..."
“Malam ini ke mana? Keluar yuk, bosen nih.”
Gue kirim pesan itu ke Lola, teman karib gue sejak SMA. Gue lagi di Lombok by the way, lagi libur Lebaran setelah dua tahun terakhir gue Lebaran di kosan sendirian aja karena pandemi. Sekarang setelah tiga kali vaksin gue rasanya lebih berani pulang-pergi ke kampung halaman. Di 2022 ini aja gue udah tiga kali pulang saking beraninya.
Hari itu Sabtu. Gue sejak beberapa hari terakhir cuma tidur-tiduran saja di rumah karena menikmati waktu kosong tanpa bekerja dan nulis artikel. Ada beberapa artikel yang harus gue kerjakan Sabtu ini tapi gue akan free di malam harinya. Jadi gue pikir sepertinya akan menarik kalau gue ngajak Lola buat pergi-pergi. Dia bukan orang yang ribet buat diajak pergi-pergi dan selalu mau.
Geng SMA gue ada lima orang termasuk gue. Empat yang lainnya perempuan dan tiga di antara mereka sudah nikah. Lola masih sendiri dan gue selalu sendiri karena memang gue tidak ada keinginan sama sekali buat berumah tangga. Jadilah gue sama Lola sering banget main bareng kalau gue lagi pulang kampung. Sudah cukup lama juga kita nggak ketemu karena pandemi. Jadi mumpung gue lagi di rumah, gue jadi agak clingy sama dia dan ngajak-ngajak dia terus seolah-olah dia nggak punya kerjaan lain. WKWKWKWKWKKW. Gue nggak bisa ngajak temen-temen segeng gue yang lain karena sudah berkeluarga. Tahu diri aja gue nggak mungkin ngajak ibu-ibu nongkrong di kafe sementara anaknya dibiarin sama suami kan. Di titik ini gue sedang merasa bahwa gue tidak bisa seperti mereka yang mengemban tanggung jawab sebesar itu. Jadi gue lebih menikmati waktu sendiri gue saja bersama orang-orang yang sendirian juga seperti Lola.
Tapi malam itu rupanya Lola nggak sedang sendirian.
Sial.
Satu hal yang gue sadari belakangan ini seiring dengan pertambahan usia adalah kenyataan bahwa gue mulai merasakan perasaan-perasaan yang nggak pernah gue rasakan sebelumnya. Bayangin lo dalam kondisi bucin di usia 15 tahun, dan ketika lo masuk usia 30 kebucinan lo bukannya semakin berkurang tapi jadi dua kali lipat. Bahkan mungkin lebih, tergantung situasi dan kondisi lo saat itu. Kabar baiknya adalah ketika lo bucin di usia 30, lo akan lebih mengerti bagaimana menghadapinya. Lo bisa mengatasi perasaan meledak-ledak lo, lo bisa lebih mengontrol emosi, bisa berusaha meredam, bisa mengerti bahwa semua perasaan ini nggak akan ada gunanya kalau tidak diutarakan, dan ketika lo sudah siap mengutarakannya lo sudah harus siap juga menerima hal terburuk yang mungkin akan terjadi di hidup lo saat itu. Tapi itu bukan yang terakhir karena siklusnya akan berulang, lagi, dan lagi.
Simpel. Renyah. Ringan.
Tiga kata ini yang pertama kali kepikiran ketika gue selesai nonton 8 episode Semantic Error. Sebuah serial pendek-pendek yang nggak perlu mikir panjang untuk memulainya (karena semua orang kayaknya ngomongin ini dan gue sebagai masyarakat yang gampang terbawa arus pergaulan juga harus mencoba menyaksikannya agar jadi relevan), juga nggak perlu menunda-nunda buat menyelesaikannya. Durasi yang singkat per episode membuat Semantic Error terasa sangat enak buat ditelan mentah-mentah tanpa harus berspekulasi banyak hal tentang karakternya atau cari tahu lebih banyak kenapa si ‘ini’ begini dan kenapa si ‘itu’ begitu. Kapan terakhir lo nonton drama Korea tanpa benar-benar berpikir? Terima kasih Twenty-Five Twenty-One yang sudah mengeruk isi kepala gue selama beberapa pekan lalu mengacaukan semuanya dengan ending yang paling tidak menyenangkan sepanjang sejarah Hallyu di Indonesia.
Author's Pick
Bucin Usia 30
Satu hal yang gue sadari belakangan ini seiring dengan pertambahan usia adalah kenyataan bahwa gue mulai merasakan perasaan-perasaan yang ng...
More from My Life Stories
Podcast ngedrakor!
Podcast KEKOREAAN
#ISTANEXO
My Readers Love These
@ronzzyyy | EXO-L banner background courtesy of NASA. Diberdayakan oleh Blogger.