Serenity


Gue sedang dalam perjalanan pulang dari rumah sakit menuju kosan di suatu hari Rabu, dengan kondisi mata dan kepala yang berat banget karena ngantuk dan perut yang mules entah karena belum sarapan atau belum ngopi. Seharusnya semalam gue tidur lebih cepat karena paginya ada jadwal kunjungan ke dokter. Tapi gue benar-benar lupa karena malamnya gue nonton Avatar (re-release) di IMAX dan memesan tiket jam 8 lebih 40 malam waktu Jakarta. Film selesai sekitar tengah malam dan gue sampai kosan setengah satu pagi apa deh. Tapi gue nggak langsung tidur malah main Genshin Impact sampai jam setengah dua. Di situlah gue baru sadar kalau paginya gue harus ke rumah sakit. Kalau kata Piko ini fucked up banget sih. Gue nggak mungkin membatalkan kunjungan ini karena obat gue juga udah abis, jadi gue buru-buru tidur dan berharap bisa bangun sepagi mungkin.

Kalau gue bukan pasien BPJS mungkin gue nggak perlu repot-repot melakukan ini. Gue bisa ke rumah sakit kapan aja sesuai perasaan hati. Tapi karena iuran BPJS nggak semahal asuransi swasta jadi gue memilih menggunakan fasilitas ini buat berobat. Jadi pagi itu, as expected, gue berangkat terlambat ke rumah sakit. Rencananya gue mau berangkat jam 7 kurang biar sampai di sana pas jam 7 jadi gue bisa masuk ke ruang konsultasi lebih cepat. Tapi gue telat satu jam dan itu bikin gue dapat giliran konsultasi jam 10 pagi. Dua jam nunggu dan kondisi gue udah nggak jelas banget. Ngantuk, laper, capek, pengin berbaring, tapi juga pengin dapet obat lebih cepat. Gue nggak mau repot-repot nunggu obatnya karena bisa diambil sore, jadi gue langsung pulang ke kosan sehabis konsultasi.

Seperti biasa gue selalu memutar musik kalau lagi di atas motor. Meski terdengar tidak aman, tapi ini mengurangi keinginan gue buat marah-marah dengan suara motor di sekitar, apalagi kalau ada orang pake knalpot yang gede banget lubangnya itu dan suka nyemprot angin ke muka gue kalau tiba-tiba dia ada di depan motor gue. Gue sumpahin orang-orang ini kentutnya bau banget sampai orang-orang di sekitarnya nggak nyaman dan pergi dari hidupnya. Maaf jahat tapi gue tulus kok ini mendoakannya. Biasanya gue nggak memutar lagu dalam kondisi shuffled. Agak ngeselin, gue punya kecenderungan menjadi sangat perfeksionis untuk hal-hal yang tidak perlu seperti misalnya kalau lagu di playlist gue nggak keputer sesuai urutan. Misalnya gue lagi dengerin album Purpose-nya Taeyeon yang selalu gue mulai dengan Here I Am dan berakhir di Gravity lalu kembali lagi ke Here I Am. Dari track 1 sampai track terakhir, meski gue tidak hapal kalau disuruh ngurutin daftar track-nya, tapi gue sudah hapal dan ingat abis lagu A pasti lagu B. Kalau tiba-tiba ke-shuffle ke lagu F, gue pasti gemeter tuh di atas motor dan bisa melipir dulu ke pinggir buat set itu tombol shuffle biar dimatiin.

Gue sefrik itu sih asli.

Tapi gue mencoba untuk tidak menjadi orang frik lagu dengan mendengarkan lagu secara acak belakangan ini. Kalau ada lagu yang gue suka biasanya gue akan like di YouTube Music dan nanti akan gue download individual di aplikasi itu untuk didengarkan tanpa internet (WKWKWKWK MISKIN). Karena di hari Senin sampai Minggu gue bisa saja ingin mendengarkan macam-macam secara random, jadilah playlist download di YouTube Music gue ini juga isinya random. Mulai dari pop 2010-an, pop 2000-an, K-Pop, sampai lagu India ada di sana.

Di Spotify, ada playlist otomatis yang akan mengumpulkan lagu-lagu yang paling sering lo putar ulang selama seminggu terakhir. Gue suka fitur ini karena semua lagu yang lagi pas mood-nya sama gue akhir-akhir ini terkumpul jadi satu di situ. Sama seperti folder download gue di YouTube Music, playlist Spotify ini juga auto-download kalau ada WiFi. Dan siang itu ketika gue pulang dari rumah sakit, gue memutuskan untuk memutar playlist di Spotify ini dan satu lagu yang asing, tapi familier di kuping, keputar.

Gue merinding. Ada perasaan nostalgik yang aneh mendadak muncul di kepala gue saat mendengarkan lagu ini. Ketika gue sudah ada dalam mood nostalgia yang maksimal, nggak hanya kepala gue yang akan dipenuhi oleh memori itu tapi rasanya sekujur tubuh gue ikut merasakan apapun yang melekat di kenangan gue tentang memori itu. Gue mendadak seperti sedang berada di jalan kosong di sepanjang garis pantai di Lombok yang selalu gue kunjungi sendirian naik motor kalau lagi pulang kampung. Biasanya di jalan itu gue akan nyanyi kenceng-kenceng tanpa peduli orang-orang akan memperhatikan atau melihat (karena basically juga nggak terlalu banyak orang di sepanjang jalan itu). Gue mendadak bisa mencium udara pantai yang bersih dan segar. Meski saat ini kuping gue sedang disumpel sama earpiece, gue seperti mendengar suara gesekan dedaunan yang tertiup angin. Dari kejauhan ada suara ombak berdebur pecah di pantai berbatu. Suara motor gue nyaris tidak terdengar tapi gue bisa merasakan getarannya di telapak tangan, kaki, dan bokong. Momen itu terasa nyata dan mendadak dada gue jadi agak sesak. Sesak karena kerinduan pada masa-masa lalu yang seharusnya yaudah biarin aja lewat, tapi lo sangat menghargainya sampai-sampai nggak mau melupakannya karena menurut lo apa yang terjadi saat itu sangat berharga. Lo ingin kembali secara fisik ke masa itu meski nggak bisa. Dan lagu yang secara random keputer siang itu secara magis membawa gue ke sebuah memori spesifik tentang jalan kosong di sepanjang garis pantai itu.

Cukup lama untuk gue bisa sadar siapa yang menyanyikan lagu itu karena jelas ini lagu baru dan baru masuk di playlist gue. Lagu-lagu yang lainnya sudah akrab gue dengarkan selama sebulan terakhir: Villain-nya SNSD (dari album Forever1), Lagu Sendu-nya Audy (gegara nonton live dia di Playlist Festival dan nggak bisa move on), Can’t Translate/Untold Answer-nya Billkin (karena ya gue gak bisa move on juga dari lagu ini sejak selesai nonton ITSAY), dan beberapa lagu lain kayak Cinta Begini-nya Tangga, Lover-nya Kevin Oh, Hello-nya Adele tapi versi cover Avril Lavigne, dan lagu Someone Like You-nya Adele beneran. Sampai akhirnya chorus lagu ini keputer, gue baru sadar ini lagu siapa.

눈을 떠 천천히 고갤 들어 (Open my eyes and slowly raise my head)
그대로 한 걸음 발 닿는 대로 (Just take one step at a time)
벅차오르는 마음을 따라 (Following my pounding heart)
내가 찾은 그곳 serenity (To the place I found serenity)

Lirik terakhir di chorus lagu itu yang ring the bell di kepala gue. Ah! Gue ingat ini lagu siapa! Gue dengerin lagu ini pas pertama dirilis awal pekan ini dan langsung gue ulang-ulang. Pantesan aja lagu ini udah ada di playlist most repeat gue.

“Ini Xiumin!” kata gue kenceng banget sambil terus ngegas motor.

Setelah momen gue tahu siapa yang nyanyi, tiba-tiba lagi secara acak pikiran gue membawa gue ke satu momen terbawah gue sepanjang dua tahun terakhir. Ketika gue benar-benar rindu rumah tapi nggak bisa pulang karena pandemi. Ketika gue merasa kewalahan dengan perasaan-perasaan yang muncul dan bahkan nggak bisa menanganinya satu per satu. Ketika gue dihujani oleh rasa bersalah di saat yang sama juga excitement buat menyambut hari esok yang lebih baik. Semua melebur di satu malam dan gue nyender di dinding dapur lalu nangis kejer kayak di film-film (kalau malam itu ada soju di kulkas gue mungkin di bagian akhir dari kalimat ini ada momen gue nangis sambil nenggak botol soju. Tapi karena alkohol diharamkan oleh Allah SWT jadi gue cuma bisa minum tetesan air mata gue aja untuk menambah kesan dramatis).

Lalu momen singkat sebelum belok ke gang kosan itu membawa gue ke sebuah momen realization bahwa betapa tahun ini gue sudah jadi orang yang sangat berbeda dengan gue yang tahun lalu. Terutama bagaimana tubuh dan pikiran gue merespons memori-memori masa lalu.

Sebelumnya, rasa nostalgik dan merinding yang gue deskripsikan di atas akan diikuti dengan rasa penyesalan mendalam buat hal-hal apapun yang terjadi di masa lalu juga tapi tidak berkaitan dengan momen spesifik yang sedang muncul di pikiran gue saat itu. Ibarat party pooper deh pokoknya. Lo lagi seneng-seneng mikirin apa, tapi tiba-tiba kepala lo malah memaksa lo untuk mengingat kenangan buruk yang padahal lo sendiri sudah berusaha keras untuk melupakannya.

Lalu setelah itu gue akan memaki diri gue sendiri karena sudah membiarkan pikiran jelek merusak pikiran-pikiran senang nostalgia itu tadi. Hal ini akan berlanjut sampai gue benar-benar terpuruk menyalahkan diri sendiri dengan segala pergulatan yang terjadi di kepala gue.

Tapi sekarang reaksi gue sudah berbeda. Gue bisa benar-benar merasakan sensasi nostalgik itu tanpa dirusak oleh hal-hal lain yang sama sekali tidak berkaitan dengan itu dan bisa fokus merasakan sensasinya. Gue bisa fokus mengenang hal-hal baik tanpa harus takut ada hal-hal buruk yang mengikuti. Gue akhirnya sadar bahwa nostalgia nggak selalu harus diikuti dengan perasaan rindu yang membawa lo ke lembah kesedihan, instead, dia bisa juga diikuti dengan perasaan puas bahwa lo sudah pernah merasakan hal itu dan cukup sampai di situ tanpa ada drama berlebih.

Ketika motor gue sampai di depan gerbang kosan, gue juga yakin bahwa gue yang tahun ini jauh lebih tenang dari gue yang tahun lalu.

Entah bagaimana ceritanya lagu yang gue dengarkan saat itu sangat pas mendeskripsikan apa yang gue cari dan gue butuhkan selama bertahun-tahun gue hidup sendiri di kota yang terlalu besar dan terlalu berisik buat gue ini: ketenangan.

And I 귀 기울여봐 (And I, listen)
펼쳐진 이 순간 (This moment that has unfolded)
더 크게 외쳐봐 (Shout out loud)
It’s my serenity


Terima kasih sudah berusaha, Ron!





Share:

0 komentar