Gue merasa sangat aneh beberapa minggu terakhir ini. Gue kehilangan semangat untuk melakukan banyak hal, gue kehilangan mood untuk melakukan segala hal. Rasanya seperti kembali ke masa-masa terpuruk gue beberapa bulan lalu ketika semua perasaan menyerbu di saat yang sama dan gue nggak punya pertahanan yang cukup kuat untuk menghalau mereka satu per satu. Rasanya seperti ada yang aneh. Semua tembok baja yang belakangan berdiri kuat di setiap sudut hati dan sudut kepala gue, yang akan menghadang semua pikiran-pikiran dan perasaan negatif, seperti pelan-pelan ambruk tanpa sebab yang jelas. Satu hal yang paling gue nggak sukai dari hidup adalah ketika gue berada dalam posisi gue nggak tahu sedang merasakan apa. Apakah ini sedih? Apakah ini kecewa? Apakah ini marah? Perasaan apa sih yang sedang gue rasakan ini? Apakah ini campuran dari dua perasaan pertama? Ketiganya? Atau malah bukan tiga-tiganya? Akan lebih mudah untuk mencari solusi dari sebuah permasalahan kalau kita tahu masalahnya apa. Akan lebih mudah untuk mencari pengalihan perhatian dari sebuah perasaan kalau kita tahu apa yang kita rasakan. Tapi kondisi gue di beberapa minggu terakhir ini bener-bener campur aduk, atau dalam bahasa gue: begajulan.
I feel exhausted. Even when I’m not busy at all.
Pernah ada teman gue yang datang dari Lombok dan menginap di salah satu hotel di pinggiran Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, dan dia mengaku diganggu sama makhluk halus. Lampu kamarnya tiba-tiba mati-nyala-mati-nyala, bahkan ketika teman sekamarnya lagi mandi, lampu kamar mandi mendadak mati. Ketika dia cerita ke gue, gue cuma bisa ketawa karena memang ceritanya (atau mungkin cara dia menceritakannya yang membuat itu jadi) lucu (walaupun menurut dia itu teror menyeramkan), di situ gue baru menyadari satu hal: selama hampir 10 tahun gue di Jakarta, gue nggak pernah lagi merasakan takut pada makhluk-makhluk halus atau yang biasa kalian sebut hantu (pakai suara Prilly Latuconsina di trailer Danur 1). Akhirnya gue bilang ke temen gue,
Sekitar tahun 2014 atau 2015, ketika gue belum jadi pengendara motor di Jakarta, gue pernah pinjam motor teman gue untuk pergi ke daerah Blok M. Niatnya sore itu di sela-sela jam kerja yang nggak terlalu padat gue mau ke money changer. Kalau nggak salah inget waktu itu gue baru pulang dari liputan di Korea atau New York gitu deh dan ada sisa uang yang perlu gue tuker balik ke Rupiah. Karena gue sedang malas naik Metro Mini ke kawasan Blok M (ya, dulu masih ada Metro Mini) karena jurusan Blok M – Pasar Minggu – Blok M itu Metro Mini-nya luar biasa melelahkan kala itu (kalau nggak salah jalan layang buat TransJakarta dari Tendean ke... mana tuh, Tangsel? Belum jadi dan macetnya di situ minta ampun deh kalo di jam-jam sibuk) gue pun memutuskan untuk pinjem motor aja. Gue awam sama jalanan Jakarta di jalur pemotor kala itu karena memang selama ini selalu menggunakan angkutan umum. Tapi kurang lebih gue tahu jalannya karena sering naik angkutan umum.
Ketika gue pinjem motor itu gue nggak nanya motornya apa (atau sebenarnya gue nanya tapi gue nggak pernah ngeh brand dan bentukan tipe motor tertentu, yang gue tahu cuma Mio, atau Honda Beat, dan semacam itu. Brand di luar itu gue cuma bisa hah heh hoh doang), temen gue ngasih STNK dan gue pikir itu sudah cukup buat memberitahu gue motornya yang mana. Gue toh bisa lihat nomor kendaraannya di STNK dan mencari motor itu di parkiran. Permasalahannya adalah gue nggak pernah parkir motor di situ dan nggak tahu flow parkiran kantor kayak gimana. Maksud gue... kalo parkiran Mal kan udah jelas ya jalan masuknya di mana keluarnya di mana. Kalau di kantor gue waktu itu agak... berantakan.
Sesampainya gue di parkiran, gue agak bingung dan muter-muter selama lima sampai sepuluh menit nyari motor itu. Tapi gue nggak mau menyerah dan gue terus berusaha buat ngecek motor itu di posisi yang temen gue kasih tahu. Tetep aja motor itu nggak ketemu juga. Sampai akhirnya satpam yang nungguin parkiran nyamperin gue, dengan wajah dan nada bicara yang agak kesal.