The hardest part of adulting is picking up the pieces of your broken heart, gluing it all together, and letting it heal until you try again.
Kalimat di atas sebenarnya bukan gue tulis untuk merepresentasikan perasaan atau kondisi gue saat ini. Tulisan itu datang dan terinspirasi dari pengalaman pribadi crush gue (subjek atau orang lain yang terlibat dalam cerita ini) yang ketika ketemu gue, dia sedang dalam masa-masa susah move on dari past relationship-nya. Ketika pertama kali gue ketemu dia, wajah ramah dan ceria itu tidak terlihat seperti sedang menyimpan beban orang dewasa yang teramat rumit. Sebagai orang dewasa, dia jago menembunyikannya. Sementara gue, nggak lama sebelum kenal, chat, dan ketemu sama dia, gue juga menghadapi pahitnya putus cinta. Anehnya buat gue, rasa pahitnya nggak lama-lama. Dari sisi gue, mungkin itu adalah salah satu sikap sebagai orang dewasa yang paling dewasa yang bisa gue lakukan.
Tapi gue dan dia adalah dua orang dewasa yang berbeda, ada di situasi berbeda, dan bereaksi terhadap sesuatu dengan cara yang berbeda juga. Satu-satunya hal yang klop di antara kita pada akhirnya adalah sama-sama bersikap dewasa dan berbesar hati untuk mengakhiri hubungan ini.
Tarik napas panjang dan dalam.Embuskan perlahan.
Lalu ngumpat: ANJING!!!!!!!!!!!!!
Gue sedang ada di Kuala Lumpur ketika menulis ini. Sampai ketika gue duduk di depan iPad dengan case/keyboard kuning ini, semua plan gue berjalan lancar: take off dari Jakarta, mendarat di KLIA, naik bus sampai Terminal Berpadu Selatan, lalu kebingungan mencari hotel yang gue tinggali buat semalem doang tapi gue udah bayar buat dua malam. Besok siangnya gue bangun dapet kabar baik dari Dita kalau dia berhasil tembus antrean ticketing konser IU di Jakarta Day 2. Abis itu gue keluar hotel, makan siang, jalan ke Pavilion buat beli tas (NOT PLANNED AT ALL ALIAS ALESAN) karena kemaren ritsleting tas gue mendadak copot, lalu duduk dan pesen kopi. Nggak ada satu hal pun yang nggak berjalan sesuai rencana hari ini, kalau pun ada sifatnya minor (kayak tadinya gue mau beli tas di SPAO aja tapi ternyata SPAO koleksi tasnya nggak banyak akhirnya gue beli di Vans).
Semua hal baik yang terjadi sangat, sangat, sangat perlu, dan harus gue syukuri, dan gue harus bisa fokus ke semua pencapaian itu. Sejauh ini gue nggak ada komplain apa pun soal kehidupan.
Sejauh ini. WKKWKWKWWK Kita lihat akan sejauh apa?!
Gue… lagi bingung. Walaupun ‘bingung’ kayaknya terlalu menyederhanakan perasaan gue sekarang. Gue terlalu banyak ngomongin soal ini dan gue janji (ke siapa pun yang baca tulisan ini dan mulai merasa ‘lu apa banget deh Ron’, tapi yang paling penting ke diri gue sendiri) ini akan jadi terakhir kalinya gue bahas soal topik yang sama seperti yang gue tulis di dua postingan sebelumnya.
Setelah semua kejadian-kejadian itu (match, chat, ketemu, baper, ditolak, baper, down, baper, sakit, nangis, baper, nangis, nangis, numb) gue memutuskan untuk ngajak dia ketemu lagi. Oke, ini mungkin bisa jadi usaha gue buat ‘bunuh diri’ karena, kalau dipikir-pikir, ngapain juga gue ketemu lagi sama orang yang jelas-jelas mengganggu pikiran gue selama ini? Yang jelas-jelas nggak suka sama gue dan jelas-jelas bilang itu di depan muka gue. Tapi for the sake of YOLO dan fucking living the moment, gue chat dia dan ngajak ketemu. Dalihnya belajar. Jadi dia kerja di salah satu agensi dan jago ngurusin sosmed, jadi gue pikir gue bisa tanya-tanya a few questions karena gue lagi tertarik masuk ke ranah itu.
Tenang aja, itu cuma dalih.
While yes, I really wanted to know more about that topic, it was just an excuse for me so I can meet this person.
“Lo beneran nggak belajar dari pengalaman ya?”
Oke gue mau pengakuan dosa. Ada beberapa sih sebenarnya... ehehe...malu. Tapi harus berani! WKWKWKWKWKKW Di postingan pertama gue tahun ini, gue menceritakan soal pertemuan gue dengan seseorang yang berujung gue naksir, tapi orangnya nggak naksir balik (biasalah... story of my life ahahah). Lalu gue baper dan gue memutuskan untuk merayakan kebaperan gue itu dengan memberi limit waktu hanya 48 jam. Teorinya begitu, tapi praktiknya nggak segampang itu. Fuck. HEHE. Setelah lewat dari 72 jam, 96 jam, 120 jam, bahkan sampai hari ini (yang mana gue udah terlalu malas untuk menghitung berapa jam totalnya) gue masih baper. Baru beberapa jam yang lalu sebelum gue akhirnya memutuskan untuk ngetik ini gue tiduran di kasur sambil melihat ke jendela dan menatap langit senja dan bilang "Fuck kok gue kangen". Sayang sekali kangen yang kali ini nggak bisa gue utarakan ke orangnya.
Menuju 48 jam setelah kejadian...
Gue menarik napas pelan dan dalam. Mengembuskannya sedikit demi sedikit dari balik masker. Agak nyangkut dikit di hidung karena gue lagi pilek, jadi di bagian itu mampet. Kenapa gue pilek? Nanti lo juga akan tahu sendiri. Tapi pilek sebenarnya bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan saat ini. Yang lebih memprihatinkan adalah kondisi hati gue.
(BADUM TZZ!!)