48 Jam Pity Party


Menuju 48 jam setelah kejadian...

Gue menarik napas pelan dan dalam. Mengembuskannya sedikit demi sedikit dari balik masker. Agak nyangkut dikit di hidung karena gue lagi pilek, jadi di bagian itu mampet. Kenapa gue pilek? Nanti lo juga akan tahu sendiri. Tapi pilek sebenarnya bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan saat ini. Yang lebih memprihatinkan adalah kondisi hati gue.

(BADUM TZZ!!)

Meski terdengar seperti bercanda, tapi ini adalah fakta yang harus gue beberkan setelah berbulan-bulan gue nggak nulis lagi di blog. Mulai deh gue overthinking nih sekarang. Apa jangan-jangan blog gue ngambek karena nggak pernah diisi sampai akhirnya AI-nya masuk ke dunia nyata seperti kayak di Black Mirror gitu, membuat kehidupan percintaan gue jadi kacau, lalu gue galau, lalu gue terpikir untuk membuat sebuah bahan tulisan, lalu gue akan membuka blog ini dan menulis lagi? Dunia sudah secanggih itu kah? Apakah selama ini sebenarnya percintaan gue terhalang AI dan juga algoritma Google?

Ternyata yang memprihatinkan bukan cuma hati gue, tapi juga otak gue.

Sebentar, izinkan gue mengatur napas dulu sambil mendengarkan lagu sedih terbarunya Lim Jae Hyun yang berjudul Rhapsody of Sadness. Ada baiknya sambil membaca lo dengarkan juga lagu ini (nanti seiring berjalannya artikel, lagunya akan berubah).


Ini sudah hampir 48 jam dari kejadian yang bikin hati dan pikiran gue kacau akhir pekan lalu. Sesuatu yang kalau dalam kondisi gue yang dulu (yang sebelum terapi ke psikiater) ini akan butuh waktu minimal dua sampai tiga tahun buat move on. Tapi untuk kali ini, gue hanya mengizinkan diri gue untuk terpuruk maksimal 48 jam saja. ‘Membiarkan diri’ ini termasuk mendengarkan lagu-lagu galau dan menulis semua yang akan gue tulis di sini. Ini adalah bagian dari pity party gue, coping mechanism, atau apalah orang nyebutnya. Tapi setelah ini, gue nggak akan lagi mengizinkan diri gue untuk merasakan sakit yang terlalu berlebihan pada sesuatu yang seharusnya nggak perlu attached sama gue seberlebihan ini. Lagipula, kita juga cuma ketemu beberapa hari doang.

Seminggu sebelum Golden Disc Awards 2024 Jakarta…


Sudah ada rencana dari kantor gue untuk kerja sama dengan GDA 2024. Kita bakal jadi streaming partner buat event ini. Kalau boleh jujur, gue lebih suka untuk biasa-biasa aja tanpa terlibat lebih dalam proyek apa pun yang sedang kantor ini lakukan. Dengan begitu gue bisa fokus ke pekerjaan gue, dan hanya pekerjaan gue saja. Tapi ketika bos gue memasukkan agenda GDA 2024 ini ke dalam folder ‘pekerjaan gue’, gue pun tidak bisa menolak. Atau tidak mau? Mungkin dua di antara itu. Gue excited sama event-nya, tapi nggak sama pekerjaan yang akan datang bersamanya. Karena gue tahu, kalau pada akhirnya kantor gue akan jadi streaming partner buat GDA 2024, pekerjaan gue akan jadi dua sampai tiga kali lipat dari biasanya. Itu termasuk planning buat artikel pre-event termasuk kuis-kuis, liputan event, dan hal-hal terkait post-event. Gue nggak mau terlalu banyak bekerja. Capek. Pengin secukupnya aja.

Tapi rupanya excitement gue mengalahkan keengganan itu. Entah apakah itu karena pada akhirnya gue akan bisa menyaksikan event awarding K-Pop pertama di Jakarta, atau karena hal lain, gue nggak bisa memastikan. Karena kalau boleh jujur, nggak satu pun dari lineup artis yang datang di GDA 2024 ini gue ikutin bener-bener. Terlebih lagi RIIZE nggak hadir (dan berujung nggak menang! RIGGED GAK SIH INI?!?! KWKWKWKWKW) jadi excitement itu pun berujung hanya pada mindset bahwa ini akan jadi sebuah pengalaman baru, sekaligus redemption gue karena sebelumnya bikin masalah di SMTOWN 2023. Yang itu ceritanya panjang jadi nggak usah gue bahas di sini. Cukup gue katakan gue nggak akan mau lagi memberikan dukungan dalam bentuk apa pun buat event-event promotor terkait. Kalau kantor memaksa, gue akan mengalihkan tanggung jawab itu ke orang lain. Udah muak.

Di tengah hectic-nya gue mempersiapkan GDA 2024, gue juga sedang galau-galaunya masalah asmara. FYI, tahun lalu akhirnya gue punya pacar. MUAHAHAHAHAAH. Yang ini beneran pacar, manusia seutuhnya, orang yang gue suka udah lama, yang sebelumnya denial dan bilang nggak suka gue, tapi berujung kami pacaran. Sayang sungguh sayang, hubungan yang gue kira akan long-term ini berakhir dengan… kentang. Kentang karena banyak alasan dan gue mungkin adalah salah satu alasannya. Tiga bulan (mungkin? gue lupa????) gue menjalani hubungan itu dengan sebaik-baiknya, tapi pada akhirnya di bulan-bulan setelah itu kami mulai goyah. Lalu salah satu di antara kami (dan itu bukan gue) (nggak mau langsung nyebut dia tapi WKWKWKWKWKKW) minta waktu untuk sendiri dan pada akhirnya waktu itu juga yang memisahkan kita cukup lama. Sampai pada akhirnya gue mutusin, ya mari disudahi saja. Dan ya, sudah, sampai di situ. Kkeut. Nggak ada aftermath-nya.

Gue pun bingung. Gue nggak ada sama sekali perasaan menyesal berlebihan, longing berlebihan, atau impulsif buat nanya kabar atau gimana-gimana. Rasanya seperti semuanya berakhir dan berakhirnya dengan baik-baik saja di gue. Di dia sih gue nggak tahu, tapi yang penting di sini kan gue. Ya ini kan blog gue. Bebas!

Dia adalah satu-satunya pacar gue sepanjang hidup, satu-satunya mantan pacar gue sepanjang hidup (sejauh ini), dan satu-satunya orang yang gue nggak ketemu dari dating apps. Gue udah suka sama dia 10 tahun dan kita baru jadian di tahun ke-10. Di antara itu gue pernah ketemu sama satu atau dua orang dari aplikasi kencan tapi kita nggak jadi apa-apa selain jadi capek karena nunggu siapa yang chat duluan atau ngajak jalan duluan. Capek adalah kata yang paling singkat tapi tepat untuk menjelaskan perjalanan kehidupan seorang manusia seperti gue dengan dating apps. Kelihatannya aplikasi ini gampang banget, tapi pada kenyataannya butuh effort dan energi yang superbanyak.

Gue nggak punya energi sebanyak itu. Ibarat Genshin Impact, artifact Energy Recharge gue ini jelek banget. Not that I need more, tapi gue hanya butuh 'cukup' untuk menjalani kehidupan. Nggak ada energi lebih untuk memulai komunikasi dengan orang baru yang diawali dengan ‘Hi’ dan nggak berlanjut ke mana-mana lagi selain di situ-situ doang.

Sampai pada suatu hari gue berpikir untuk install Bumble lagi dan kali ini mencoba untuk bayar akun premium. Sebelumnya gue selalu pakai yang gratisan kan, dan yang gratisan lo nggak akan tahu siapa yang nge-like lo duluan. Not that I really want to know sih, atau not that I am sure that people will like me, tapi for the sake of menghemat energi aja. Kalau gue tahu siapa yang like gue, gue bisa langsung like balik dan percakapan akan langsung bisa terjadi tanpa butuh waktu lama untuk mengira-ngira, ngeliatin profilnya lama, menimbang-nimbang, dan sebagainya.

Dan orang ini nge-like gue.

Deg-degan.

ANJING

OTOKAJI, USTAD-NIM?!?!?!

Gue cek profilnya dan gue suka foto pertamanya. Gue skrol ke bawah, gue suka lead profilnya. Gue skrol ke bawah lagi, gue suka foto selanjutnya. Gue skrol ke bawah lagi, ANJING GUE KOK SUKA SEMUANYA.

Swipe right.

Match.

Abis itu gue lempar handphone gue dari lantai 6 apartemen dan berusaha melupakan semuanya.

“AAAAAAAARGGGGHHHHH!!!!!! KENAPA GUE DEG-DEGAN?!?!”

Gue membenamkan kepala ke bantal dan mencak-mencak sambil tengkurep di atas tempat tidur. Gue yakin orang yang lagi naik lift di sebelah kamar gue bisa mendengar suara teriakan gue dengan sangat jelas, seperti gue dengan sangat jelas bisa mendengar suara ding-dong-deng dari lift setiap hari.

Jujur, nggak pernah seberdebar ini untuk urusan match sama orang di Bumble. Biasanya biasa aja.

Gue ambil hape gue lagi yang alhamdulillahnya nggak beneran gue lempar dari lantai 6. Gue buka lagi profilnya, gue liatin lagi foto-fotonya, gue skrol lagi profilnya, gue ngumpat lagi. Tapi kali ini gue buru-buru sadar dan umpatan itu gue ganti dengan istigfar.

“Astagfirullah. Ya Allah. Hamba suka orang ini.”

‘Suka’ is one thing, but ‘attached’ is another thing. And my problem is: I am easily attached. Jadi ketika handphone gue bergetar dan sebuah notifikasi masuk dari Bumble, gue sudah tahu bahwa jiwa dan raga gue akan gue gadaikan ke iblis. Gue akan masuk ke jurang dan terjebak di lembah neraka. Ini akan jadi kiamat buat gue.

“Kak Ron!”

Pesan itu singkat tapi rasanya ingin gue jawab dengan ‘I’m sorry Ron can’t come to the phone right now. Why? Oh, cause he’s dead’.

Gue nggak akan menuliskan semua isi pesan dan obrolan kami satu per satu. Tapi dia memulainya dengan panggilan seperti itu sebenarnya nge-trigger gue juga. Apakah dia orang yang gue kenal? Apakah somehow kita terhubung oleh sesuatu di dunia maya? Apakah kita pernah tanpa sengaja bertemu di dunia nyata tapi nggak pernah berkomunikasi dan baru ini kita bertukar sapa?

Little did I know at that time, semua asumsi gue itu benar.

Tiga hari sebelum Golden Disc Awards 2024 Jakarta…


Gue sama orang itu sudah bertukar pesan selama beberapa hari di Bumble. Sekarang gue sudah ada di 2637km di bawah tanah. Gue sudah bisa mendengar teriakan diri gue sendiri kepanasan terbakar api neraka. Gue sudah setengah jalan menuju kehancuran. Sayangnya otak gue nggak mau menyadari itu. Otak gue melawan. Dengan seenaknya dia mengirimkan pesan-pesan flirty yang dengan terang-terangan menunjukkan ketertarikan sama orang ini. Nggak sedikit pun otak gue mundur atau malu-malu. INI PASTI KARENA OBAT ANTI-DEPRESAN ITU DEH! Gue mulai mencari sesuatu untuk disalah-salahkan. Tapi apapun yang diperintahkan oleh otak untuk dilakukan tubuh gue hari itu sangat gue apresiasi. Gue biasanya nggak 'semurah' ini. Gue biasanya malu-malu dan sangat tertutup. Tapi kali ini, kalau kata salah satu temen di grup WhatsApp, gue udah obral diskon 100%. Entah sadar entah mabok, gue mencak-mencak di meja kantor ketika melihat apa yang gue baru saja kirim ke dia.

“Mau pulang bareng? Tapi aku nggak bawa helm 2.”

Dia mau.

“Ketemu di deket kantor kamu kali ya?”

Dia setuju.

“Mau makan dulu nggak?”

Dia bilang iya.

OTOKAJI, USTAD-NIM?!?!?!

😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭

Gue sampai di dekat lokasi ketemuan setengah jam sebelum jam ketemuannya. Gue tahu, IYA GUE TAHU INI KECEPETAN. HARUSNYA NGGAK USAH BURU-BURU JUGA NGGAK APA-APA! TAPI GUE DEG-DEGAN BANGET! GUE NGGAK TAHU LAGI DEH! Gue menunggu di sebuah plaza sambil main Candy Crush, bolak-balik buka chat Bumble, dan menunggu jam 9 malam. Menunggu dia ngabarin kalau dia sudah selesai dengan urusannya dan gue bisa jalan ke lokasi ketemuan.

Tadinya kita mau makan sandwich, tapi karena gue suka banget sama salah satu tempat makan ayam di dekat situ, gue minta ke dia untuk pindah makan ayam aja. Dia setuju. Gue pun bergegas ke tempat makan ayam itu dan kebingungan. Gue udah pernah makan di situ tapi gue lupa kalau pesannya di mesin, gue malah jalan ke kasir. Pas gue berdiri di kasir, gue merasakan kehadiran orang di belakang gue.

Bentar.

Sebelum gue lanjut, gue mau kalian membayangkan adegan di film Kabhi Kushi Kabhie Gham ketika Shah Rukh Khan baru pulang dari Inggris dan turun dari helikopter terus lari ke rumah dan ibunya sense anaknya akan pulang jadi dia jalan ke depan pintu dan nungguin.

Gue ibunya. Orang itu Shah Rukh Khan-nya.


Gue merasakan ada yang nyentuh lengan kanan sweater hijau Slytherin gue. Ketika gue menoleh… gue terperosok jauh lebih dalam. Sekarang gue ada di 5000km di bawah tanah. Literally gue udah jadi cacing. Cacing yang bahagia.

Kejadiannya cepat sekali. Kita berjabat tangan, lalu milih menu, lalu cari tempat duduk. Dan dalam proses yang sangat cepat itu, di kepala gue cuma ada satu hal yang pasti: GUE SUKA ORANG INI.

Bentar, gue udah bilang dari pas gue lihat fotonya ya? Oke gak apa-apa, gue bilang lagi. GUE SUKA DIA IRL.

Gimana ya gue menjelaskannya… dari momen singkat di depan mesin pemesanan ayam itu gue sudah berkecamuk dengan berbagai macam perasaan. Suka, seneng, familier, berdebar, kok kayak kenal, apakah kita sudah bertemu sebelumnya, apakah dia jodohku ya Allah, "wajahmu  mengingatkanku, pada kekasihku dulu", apakah ini yang akan membawaku terjebak ke dalam jurang neraka yang lebih jauh. Yang pasti semua ceklis gue udah diisi sama dia. Kulit cokelat, rambut hitam, terlihat sehat walafiat, murah senyum, ramah, pakai kaca mata, tinggi nggak jauh beda, familier, love that baju abu-abu, familier, kelihatan menyenangkan, familier, nggak awkward, familier.

Fuck.

This is it.

“This is gonna hurt.” – Tartaglia (from Genshin Impact).

***

Nggak butuh waktu lama untuk kita cair dalam obrolan malam itu. Karena seperti yang tadi gue bilang di paragraf sebelumnya, kita ada di circle yang sebenarnya nggak jauh-jauh banget. Nggak secara langsung kenal satu sama lain atau bersinggungan satu sama lain, tapi kita ada circle yang sama, circle K-Pop. Gue bisa mengerucutkan semuanya dari situ. Kita sempat menyebutkan beberapa nama yang kita sama-sama kenal, beberapa akun Twitter yang kita follow, atau beberapa promotor yang gue (dia nggak) nggak suka atau julid. Obrolan soal K-Pop dan promotor ini berkembang dengan cepat sampai-sampai gue nggak menyangka kalau itu adalah pertemuan pertama kita. Dan ketika dia cerita soal grup kesukaan dia, sesuatu yang aneh terjadi di kepala gue.

Look, I might be stupid in so many things. Gue mungkin pernah dihukum pas SMP karena nggak bisa hapal Juz Amma. Gue pernah struggling pas ujian praktik hapalan ayat pendek di SD. Gue mungkin sampai sekarang masih jadi orang yang akan langsung lupa nama siapa pun yang gue temui dan kenalan secara random di sebuah event. Tapi untuk yang satu ini, gue nggak tahu kenapa (dan ini emang agak frik), otak gue lagi-lagi dengan semena-mena memaksa gue untuk membuka sebuah laci memori dan mengeluarkan berkas dari sebuah tanggal spesifik, kenangan visual spesifik, di momen yang juga spesifik.

“Berarti pas grup ini ke Jakarta dulu, yang di Istora Senayan apa Tennis Indoor gitu, lo dateng dong?” gue bertanya sambil terus menjaga kontak mata. Men, mata dia berbinar-binar gitu, enak deh ngeliatnya.

“Yang pas mereka dateng sama grup ini bukan?” dia nanya balik.

“Iya, iya. Yang itu!” kata gue.

“Iya gue nonton,” jawab dia.

Gue langsung bertepuk tangan sekali.

“Lo pake baju putih, bawahan cokelat, kaos kaki tinggi, sama pake sneakers kan?”

(Udah gue bilang ini agak frik. Jadi tahan-tahan aja oke.)

“Hah anjir detail banget. Gue lupa deh, bentar gue lihat dulu di Reels, ada videonya.”

Beberapa menit kemudian.

“Iya lagi, gue pakai baju putih. Tapi nggak ada foto full body-nya jadi gue nggak tahu gue pakai bawahan apa,” kata dia.

“Seinget gue cokelat sih,” kenapa gue ngotot gue nggak tahu tapi ya ini bukan gue, ini otak gue. Gue cuma mengikuti perintah otak gue. “Frik banget gak sih gue anjir?” akhirnya gue mengakuinya juga dan gue mengakuinya di depan orang ini, dengan suara keras.

Obrolan malam itu berlanjut dengan gue kami berdua nggak terlalu sulit buat mencari bahan pembicaraan. Bahkan ketika kami berjalan menuju parkiran motor, kami tetap bisa ngobrol dengan santai. Bahkan ketika kami sudah ada di atas motor dan sedang dalam perjalanan pulang, kami tetap bisa ngobrol. Nggak ada momen diam atau mendadak hening atau tiba-tiba kehabisan bahan.

Did I mention the best part about it, tho? Belum ya? Rumah kita searah.

OH! OH! SATU LAGI, gue sempat minta nomor WhatsApp dia sebelum ke parkiran. Gue juga sempat ngasih tahu dia soal GDA 2024.

Satu hari sebelum Golden Disc Awards 2024 Jakarta…


At this point kita sudah cukup banyak tahu satu sama lain dari chat demi chat yang kita lakukan setiap hari. Sampai sini juga sudah jelas kalau gue suka sama dia, tapi gue nggak tahu apakah dia juga suka sama gue atau gimana. Sampai sini gue hanya bisa berasumsi aja, read between the lines, decoding semua pesan-pesan yang dia kirim. It’s a green light indeed.

Gue kira sih gitu.

Gue lupa persisnya kapan, apakah hari ini (satu hari sebelum GDA 2024) atau beberapa hari yang lalu, atau sehari setelah pertemuan pertama kita. Tapi di situ dia sedikit memberikan penjelasan, latar belakang, dan cerita soal hubungan asmaranya yang baru-baru ini. Lampu kuning buat gue udah mulai nyala di situ.

Sayangnya otak gue udah nggak berfungsi dengan baik. Fuck it. I want to try. This might work??????

Otak gue yakin karena dia juga yang read between the lines dan decoding everything dari pertukaran pesan-pesan itu. Sebenarnya udah ada sirine yang bunyi tapi bunyinya teredam suara deg-degan dari dada gue. Let’s just try, okay?

Gue nggak tahu apakah ini adalah sisi baik atau sisi buruk dari diri gue, tapi ketika gue suka sama orang gue biasanya akan all out. LIKE ALL OUT. Ibarat usus gue berserakan di jalan raya (??). jadi kalau ada hal-hal yang gue suka dan gue tahu dia juga suka, gue pasti akan nawarin ke dia. So, naturally (maaf ya teman-teman terdekatku), ketika gue tahu gue punya 1 tiket GDA 2024 lebih dari kantor yang emang sudah jadi jatah gue sebagai orang yang joining the team and running the articles for the past few weeks, gue langsung nawarin ke dia.

TENTU SAJA.

DAN TENTU SAJA DIA MAU.

I’m dead.


D-Day. Golden Disc Awards 2024 Jakarta…


“Gue abis red carpet, keluar dulu, nanti kita ketemu di depan gerbang. Gue kasih gelang lo, terus masuk lagi pake gelang yang beda. Soalnya gelang yang gue pakai sekarang CAT 2, gue mau duduk di CAT 1 aja, biar bareng sama temen gue dan bisa bareng sama lo juga.”

Kurang lebih begitulah penjelasan gue soal keribetan hari itu. By the way, dia memang sudah ada rencana buat staycation di dekat lokasi konser sama beberapa teman-temannya, jadi nggak akan sulit dan lama buat dia datang ke lokasi. Dan sesuai janji, kita ketemu sesuai rencana di atas setelah matahari terbenam.

Selain gue juga selalu all out buat orang yang gue suka, gue juga nggak akan bisa menjaga excitement gue. Gue akan bergerak secara berlebihan, melakukan kontak fisik secara berlebihan, senyum secara berlebihan, dan adoring orang yang ada di depan gue ini secara berlebihan. Kapan terakhir gue segembira ini? Setahun yang lalu? Pas gue akhirnya pacaran sama orang yang udah 10 tahun gue kejar itu? Pas gue kenalan sama dosen yang gue taksir tapi nggak ngizinin gue naksir dia itu? Kapan ya? Kenapa selama beberapa minggu terakhir ini gue rasanya kayak nggak pernah merasakan kebahagiaan yang kayak gini.

Karena gue kerja sepanjang event GDA 2024 itu, kita pun jadi nggak bisa terlalu banyak ngobrol. Paling sepatah sepatah ketika gue bilang “nanti gue minta fancam lo!” atau ketika gue nantangin dia “lo tahu nggak Wonwoo yang mana?”

Tentu saja di suasana konser kayak gitu akan lebih baik kalau masing-masing dari kita menikmati waktu sendiri-sendiri. Dia dengan konsernya, gue dengan kerjaan gue. Tapi meski pun detail dari momen itu nggak bisa gue rinci satu per satu, karena di kepala gue juga yang keinget cuma bikin angle berita dan percakapan antara gue dan temen kantor gue “gue ngetik ini ya Ping, lo ngetik itu”, gue gembira. Gue happy ada di situ. Gue happy ada di situ sama dia. Gue happy dia ada si situ.

“Abis ini gue traktir lo makan,” kata dia.

Ron sekarang sudah ada di neraka jahanam terdalam.

6 Hari setelah Golden Disc Awards 2024 Jakarta…


“Ada tempat makan Jepang kesukaan gue di Blok M,” kata dia.

“Yaudah di situ aja nggak apa-apa. Gue pengin makan ramen,” jawab gue.

“Tapi ramen di situ nggak terlalu rekomendasi sih, butter rice-nya enak,” kata dia lagi.

“Oh gitu, yaudah yang punya rumah aja yang pilihin makanan. Gue ikut aja. Kita ketemu jam berapa?” tanya gue.

“Gue book 8.45pm di tempatnya ya?” kata dia.

“Oke, gue berangkat mepet dari kantor,” jawab gue.

Tapi gue tetep dateng setengah jam sebelum jam janjian itu.

Ini adalah hari di mana dia harusnya ‘bayar utang’ ke gue karena gue udah ngasih tiket GDA 2024. Katanya dia mau traktir gue makan. Tapi gue sendiri nggak merasa perlu ditraktir terlebih lagi kayaknya kalo lo bicara soal tempat makan Jepang di Blok M, pasti overprice. Sebagai sesama karyawan biasa, nggak mungkin gue akan membebaninya dengan traktiran makan mahal. Untuk ukuran gue, balas budi kalo dikasih tiket konser itu cukup dengan cinta. Gak deng. Es krim aja cukup. Alhasil malam itu bill-nya kita bagi dua karena emang mahal banget untuk sekali makan dan ditanggung satu orang (terlebih lagi satu orang yang gak romantically suka sama orang yang dia ajak makan bareng).

Sampai di hari itu sebenarnya gue paham kalau sirine tanda bahaya dan lampu kuning yang menyala udah sangat terang. Tapi lagi-lagi ada hal yang mengganjal di antara itu. Kalau memang suara sirinenya sekeras itu, masa iya kita berdua sama-sama nggak denger sih? Kalau memang lampu kuningnya seterang itu, apa lagi yang harus coba untuk diyakinkan sih?

Gue pakai baju kuning malam itu, dia pakai baju putih. Gue suka banget dia pake baju putih. Dia juga pake baju putih pas pertama kali gue lihat dia di konser waktu itu. Gue sempat kecengklak aspal saat jalan menuju ke tempat makan. Gila nggak sih, gue udah di neraka jahanam masih aja ada yang berusaha menjatuhkan gue.

Malam itu semua makanan dia yang rekomendasikan dan gue memilih untuk ikut makan apa yang dia rekomendasikan. Makanannya nggak penting sebenarnya, yang penting adalah momen pertemuan dan cerita-ceritanya. Di situ kemudian kita saling cerita hubungan asmara kita di masa lalu. Di situ kemudian sirinenya semakin keras dan lampu kuningnya semakin terang benderang.

“Falling deep deep, until where? It will get deeper, I’m not sure as well.
I didn’t plan to drown you from the start.
I can hear the siren.
Can you hear it too?” – Taeyeon, Siren (from INVU, 2022).

Kita ngobrol cukup lama malam itu, terlama dari pertemuan kita yang sebelumnya. Meski durasi kita ketemu di GDA 2024 lebih lama, tapi ngobrolnya nggak sebanyak itu. Dalam momen itu gue share soal banyak hal. Bahkan gue mungkin ngerasa kayak overshared sih tapi itu udah jadi kebiasaan gue. Gue minta maaf ke dia dan dia bilang nggak apa-apa. Gue juga akhirnya tahu banyak hal tentang dia, termasuk kenapa suara sirine itu terlalu keras dan kenapa lampu kuningnya terang banget dan sekarang udah mulai mau berubah warna. Sampai sini yang gue sadari adalah kita berdua sama-sama orang yang terluka.

Ketika gue menyadari itu, gue harusnya langsung mundur. Gue harusnya langsung lari jauh-jauh dan langsung bikin boundaries. Gue pun melihat dia dengan boundaries dia yang tampaknya sehat, malam itu dinding itu terlalu keras untuk bisa gue tembus dan hantam. Gue yang lemah gini paling banter bisa ngeremukin styrofoam. Gue sadar itu, tapi otak gue seperti nggak mau tahu. Dia memaksa dan terus memaksa.

(ADA PELAAAANGIIIIIIIIIIII DI BOLA MUUUUUUUUUUUUUUUUUU)

Kita pulang dari tempat makan itu sekitar jam setengah satu, dan gue anterin dia sampai depan gang rumah. Ini udah Sabtu dan gue hari ini kerja. Sepulang dari situ gue langsung berusaha tidur tanpa minum obat tidur dan itu adalah sebuah keputusan yang bodoh.


7 Hari setelah Golden Disc Awards 2024 Jakarta…


Gue chat dia di hari Sabtu itu dan bilang terima kasih pada banyak hal, termasuk sudah ngajak gue ke tempat makan favorit dia dan soal dia mau terbuka tentang hal yang mungkin nggak mudah juga buat dia cerita ke orang. Respons dia soal itu pada akhirnya membuat gue sadar bahwa mungkin ini memang waktunya gue mundur dari sini.

“Obrolan semalam bikin gue sadar kalau ternyata gue masih butuh proses buat move on,” kata dia.

Gue udah ada di neraka jahanam, dan sekarang hati gue sudah hampir remuk. Tapi untung masih sedikit bisa dipertahankan. Masih sedikit. Sampai akhirnya dia bilang lagi.

“Tapi gue akan berusaha membuka diri buat orang lain.”

Gue terjun juga nih dari lantai 6.

Gue berusaha untuk nggak terlalu memikirkan kata-katanya atau mengolah kalimat-kalimat itu jadi sesuatu yang bikin gue semakin berharap. Tapi gue sudah terlanjut berharap, gue bisa apa? Gue suka sama dia sejak awal, gue bisa apa? Gue suka sama dia sejak kita pertama kali ketemu, gue bisa apa?

“Oke, Ron,” gue bicara ke diri sendiri.

“Mungkin emang lo nggak bisa buat berhenti suka, tapi lo bisa untuk mencoba berpikir jernih, berpikir tenang, berpikir logis. Lo nggak perlu memaksakan diri atau orang lain untuk berada dalam sebuah hubungan, baik itu dari lo atau dari dia.”

Lalu suara setan muncul. “TAPI LO LIAT DEH WHATSAPP DIA? APA COBA MAKSUDNYA DIA NGIRIM KAYAK GITU?!”

Kalau gue bisa meredam suara-suara di kepala gue untuk 24 jam saja mungkin hari itu gue akan sangat bahagia dan tenang. Hari Sabtu itu sebenarnya terlewati dengan sangat baik-baik saja dan biasa-biasa saja. Tapi hari Minggunya…


8 Hari setelah Golden Disc Awards 2024 Jakarta… alias Kiamat Sugra



Dia bilang hari ini dia mau ke Cikini dan gue bilang, “Bawain es krim!” dia bilang “Beres.”

Dia nggak tahu aja chat sesimpel itu bisa bikin Vibranium terkuat di Wakanda hancur lebur.

Apa maksudnya ‘Beres?’ apa dia mau bawain ke rumah gue? Apa dia mau beliin? Apa dia mau? APA DIA MAU SAMA GUE?

WKWKWKWKWKWKWKWWKWKWKWKWKWKWKKWKWKW ANJING.

Kita akhirnya janjian buat ketemuan di mal terdekat untuk makan malam dan makan es krim.

Itu hari Minggu, dan gue sedang kerja. Gue nggak akan keluar rumah di hari Minggu, terlebih lagi ketika gue sedang on duty kerja. Tapi hari itu, entah bagaimana caranya gue menyelesaikan pekerjaan gue sampai hanya tersisa satu berita untuk jam 10 malam. Di antara jam 7 sampai jam 10 malam itu gue masih bisa ketemu dia dulu, makan dan ngobrol. Di tengah-tengah pertemuan itu gue buka laptop dan menyelesaikan pekerjaan gue. Semua terjadi dengan sangat baik dan lancar.

Tapi dalam perjalanan menuju tempat ketemuan, otak dan hati gue bertengkar. Otak gue tetap maksain kesukaan itu, sementara hati gue mempertanyakan soal suara sirine, lampu kuning, dan sekarang muncul term baru: mixed signal.

Sepulang dari makan Jumat malam itu, memang gue menangkap ada sinyal yang salah. Kayak, dia sebenarnya nggak suka sama gue tapi kenapa (gue  merasa) dia seolah-olah nunjukkin kalau dia suka sama gue? Dan gue sebagai orang yang antenanya udah nggak di-upgrade dari tahun 1991 merasa kalau apa yang dia tunjukkan itu sebagai aksi dan pembuktian kalau dia suka sama gue. Padahal sebenarnya dia nggak suka sama gue.

Gue nggak suka banget deh sama kalimat-kalimat gue di paragraf sebelumnya.

But anyway, lagi-lagi di hari itu obrolan kami seru banget. Lebih seru bahkan dari obrolan-obrolan yang sebelumnya. Ada banyak hal yang gue ceritakan soal keluarga gue ke dia, ada beberapa hal yang dia ceritakan soal keluarga dia ke gue. Yang paling keinget adalah ketika dia muji gue pinter.

“Kalo gue pinter, gue sekarang kerja di Meta, nggak jadi wartawan,” kata gue.

“Loh ya emang lo pinter kan. Lo anak UI kan, ya pinter lah!” kata dia.

“Gue nggak mengidentikasi diri gue sebagai orang pinter sih. Gue nggak jago matematika soalnya. Gue lebih suka menilai diri gue sebagai orang yang… hm… kreatif?” kata gue lagi. “Tapi itu juga kan relatif ya karena kreatif menurut setiap orang akan berbeda,” gue menambahkan.

Dia tetap ngotot gue pinter sementara gue tetep ngotot kalo gue nggak pinter, dan kalo gue pinter gue dulu kuliahnya di Fasilkom bukan di FISIP. Obrolan itu berujung ke masa-masa kuliah, ke berapa lama dia kuliah dan berapa lama gue kuliah, berapa IPK dia dan berapa IPK gue.

“TUH KAN LO PINTER! CUM-LAUDE!”

“Itu karena di semester 4 dosennya enak-enak dan matkulnya gampang, bukan karena gue pinter. Tapi gue emang masuk UI nggak tes sih,”

“TUH KAN! AH ANJIR UDAH LAH!”

Gue suka perdebatan ini. Gue suka berdebat. Gue suka berdebat sama dia.

Di akhir hari itu seperti biasa gue nganterin dia pulang.

Setelah gue sampai rumah, gue balik kerja lagi, gue WhatsApp dia lagi. Gue bilang makasih atas ceritanya dan es krimnya.

Lalu otak gue dengan semena-mena memaksa jari gue untuk ngetik dan bilang:

“Jadi, gue uninstall Bumble nih?”

Tarik napas dalam.

Embuskan.

Gue tahu jawaban dia akan menyakitkan. Gue tahu. GUE TAHU SEJAK JUMAT MALAM. Tapi gue tetep aja pengin tahu reaksinya dari tulisan itu. Dan responsnya sesuai ekspektasi gue.

“Want my advice?” tanya dia.

Tanpa panjang lebar lagi, gue sudah paham maksud dia apa.

“Iya, iya. Gue ngerti. Oke gue berhenti.”




Ketika gue menutup laptop dan menyelesaikan pekerjaan malam itu, gue berjalan gontai ke kamar mandi. Gue mandi, pakai skincare, wudhu, lalu meringkuk di pojok tempat tidur dan nangis. Nangis. Sampai area sekitar mata-alis-jidat gue sakit. Sakit karena anti-depresan yang gue minum menyebabkan gue sulit untuk nangis, jadi area itu dipaksa buat ‘memeras air mata’ untuk gue bisa nangis. Kalau gue nggak nangis soalnya pasti gue akan muntah-muntah. Perasaan ini terlalu berlebihan untuk gue emban sendirian. Gue harus mengeluarkannya. Tapi mengeluarkannya lewat muntahan nggak hanya terdengar tidak elegan dan kurang dramatis, tapi juga menjijikkan.

Akhirnya gue berhasil nangis. Gue nangis cukup lama sampai akhirnya berhenti sendiri. Abis itu gue solat Isya dan bicara ke Allah sambil bertanya:

‘Lagi nih? Beneran? DEMI APA?’

Gue pikir, setelah menerima penolakan berkali-kali gue akan biasa aja. Tapi ternyata nggak semudah itu. Gue diam, mencoba mengatur napas. Hati gue menyalahkan otak, tapi otak gue nggak mau disalahkan (tentu saja).

“Lo kan udah denger sirinenya!”

“Ya tapi kan lampunya masih kuning, kuning kan berarti hati-hati, ya bener dong gue,”

“Tapi kan lo juga yang bilang kalo lo ngeh lampunya udah mau berubah warna! Abis kuning kan pasti merah? Kan gitu dari awal hijau, kuning, merah, gitu kan?”

“Ya nggak tahu. Siapa tahu dia mau kasih warna lain kan bisa aja?”




Siangnya di kantor gue udah nggak bisa fokus ngapa-ngapain lagi. Gue cuma ingin buka Reels dan membagikan semua kalimat-kalimat penyemangat yang mendadak dikirimkan algoritma buat gue. 24 jam setelah itu bahkan rasanya masih sakit. Ketika gue nulis ini, dada gue bahkan masih sedikit sesak.

Tapi gue selalu berusaha untuk melihat dari sudut pandang yang lebih positif. Mungkin saat ini gue belum layak buat siapapun. Mungkin saat ini gue masih harus memperbaiki diri gue dulu sampai gue benar-benar siap untuk menerima orang lain buat masuk ke hidup gue. Mungkin gue terlalu terburu-buru dan mungkin gue memang salah menangkap sinyal yang dia berikan.

Ya, memang lebih mudah menyalahkan diri sendiri di saat seperti ini. Tapi nggak apa-apa. Gue sudah kasih batas waktu 48 jam untuk diri gue ber-pity party atas pertemuan dan perpisahan ini, atas kegembiraan dan kekecewaan ini, atas penerimaan dan penolakan ini. Setelah 48 jam ini gue akan kembali jadi Ron yang… well… sendiri.

Gue nggak yakin dia akan baca posting-an ini, tapi hey, kalau kamu baca, makasih udah nambah traffic blog aku. Ehe.

Jadi apakah lo bisa nebak kenapa gue pilek? Kalau nggak, yaudah nggak usah dipikirin. Semoga sehat-sehat terus kawanku.

***

Share:

0 komentar