Insoles 3,5CM


Gue banyak nulis soal insecurity di blog ini. Kalau gue bilang mungkin ini satu-satunya kata kunci yang menghubungkan gue dengan beberapa orang pembaca. Kita semua tentu punya insecurity dalam berbagai bentuk dan intensitas. Nggak jarang orang-orang yang nggak ngerti dengan perasaan kita akan menganggap kita lebay atau memberikan komentar yang meremehkan kayak “Apa sih? Kan cuma…” atau “Ah elah, gitu doang kali…” dan segala macam. Dulu gue akan sangat kesal dengan orang-orang yang mengeluarkan komentar seperti itu, tapi sekarang gue lebih bisa paham kenapa akhirnya mereka memilih untuk berkomentar seperti itu. Yang pertama karena mungkin mereka memang tidak berada di situasi dan kondisi yang sama dengan kita, jadi mereka sama sekali nggak relate dengan apapun ketakutan atau insecurity yang kita rasakan. Yang kedua mungkin karena mereka terlalu sempurna dan jauh lebih baik dari kita. Yang ketiga, ini mungkin agak jahat tapi bodo amat, ya karena mereka sedang ada dalam fase menjadi totally an asshole. Kemungkinan ketiga ini bisa jadi paling benar sih. WKKWKWWKKWKWKW.

Gue yang sekarang beda sama yang dulu.
(Cue lagu Tegar)

Izinkan gue menjelaskan.

Gue terlahir seperti orang Indonesia pada umumnya dengan ukuran tubuh yang nggak tinggi-tinggi amat. Awalnya gue nggak pernah begitu merasa tidak nyaman dengan tinggi badan gue, sampai akhirnya gue masuk SMP dan orang-orang di kelas gue tingginya paling nggak tiga sampai empat kepalan tangan dari gue. Di antara teman sekelas gue di SMP mungkin gue adalah yang paling pendek. Di SMA keadaan sedikit membaik tapi gue tetap ada di deretan anak-anak pendek ini. Lalu pas kuliah, gue sering menghabiskan waktu dengan beberapa teman yang tingginya kayak 1,5 tinggi badan gue dan di situ rasanya gue kayak kurcaci banget.

Gue mulai merasa tinggi badan gue agak bermasalah ketika gue berdiri di kereta dan susah menggapai pegangan yang menggelantung di langit-langit kereta saat itu. Entah apakah karena gue yang kependekan atau pegangannya yang terlalu tinggi. Tapi yang paling bikin gue merasa semakin tersiksa karena pendek adalah ketika nonton konser. Di situlah kemudian gue mulai berusaha mencari jalan keluar dan menemukan benda ajaib bernama insoles.

Gue punya beberapa mulai dari yang silikon sampai yang busa. Dua-duanya gue pakai sampai benar-benar nggak bisa dipakai lagi. Gue bahkan selalu beli sepatu yang ukurannya satu angka lebih besar dari ukuran kaki gue supaya insoles-nya bisa masuk dan kaki gue tetap muat di sepatu itu. (THERE YOU GO, A TIP AND TRICK!)

Ada kalanya gue sangat nyaman menggunakan insoles. Saking nyamannya sampai-sampai semua sepatu gue harus high-cut dengan begitu nggak akan terlalu kelihatan kalau gue pakai insoles. Gue nggak tahu kenapa hal ini harus jadi satu hal yang memalukan pada saat itu, tapi yang pasti sepatunya harus high-cut supaya insoles-nya nggak kelihatan. Kalau semisal gue mau beli sepatu low-cut, gue harus pastikan bahwa sol sepatunya sama tebalnya dengan insoles yang gue pakai di sepatu high-cut.

Sisi baiknya saat itu adalah gue jadi sedikit lebih percaya diri kalau sedang jalan di sebelah siapa pun karena paling nggak tinggi kami nggak terlalu jauh berbeda. Anehnya, mayoritas orang-orang yang gue temui pasti lebih tinggi dari gue, jadi insoles ini sangat membantu untuk menaikkan kepercayaan diri. Sisi buruknya adalah sakit pinggang. Di awal-awal gue pakai insoles, gue selalu merasakan sakit pinggang yang aneh dan nggak tahu karena apa. Seolah-olah gue udah melakukan olahraga berat gitu setiap malam pinggang gue pasti selalu sakit. Baru tahu belakangan kalau sakit itu mungkin karena si insoles yang gue pakai ini. Tapi ini bisa jadi nggak valid juga karena nggak pernah didiagnosa secara klinis. 

Ketika berkunjung ke Korea di tahun 2015 kalau nggak salah, gue beli insoles lain yang bahannya beda (yang tadi bikin sakit pinggang itu yang silikon). Yang ini mirip sol sepatu biasa tapi agak lebih tebel aja dan bisa dikustom mau setinggi apa. Biasanya gue akan pakai di ketinggian yang moderate. Kalau yang paling tinggi misalnya 5cm, gue pakai yang sedikit lebih pendek dari itu: 3,5cm. Mungkin lo pikir ini nggak terlalu ngaruh, tapi buat gue, ini adalah sebuah penemuan terbaik sepanjang milenum. Tanpa insoles gue akan jinjit kalau berhenti di lampu merah pas naik motor, tapi dengan insoles kaki gue bisa menapak dengan sempurna. Insoles ini kemudian jadi satu hal yang pasti ada di dalam semua sepatu Converse gue supaya kalau gue ganti-ganti sepatu gue nggak perlu keluar-masukin itu insoles. Gue ogah ngelepas insoles ini sampai-sampai gue lupa pas ikut lari-lari seru di Bandung, gue baru sadar kalau sepanjang beberapa kilometer itu gue lari pake insoles 3,5cm. Besokannya nggak hanya pinggang gue yang sakit tapi sekujur tubuh gue.

Salah satu hal yang bikin gue mau pake insoles sebenarnya adalah karena terpapar K-Pop juga. Seperti yang kita tahu, nggak semua idola K-Pop itu tinggi semampai. Ada beberapa di antara mereka yang tinggi di profil sama tinggi di dunia nyatanya beda. Nggak jarang mereka mengakalinya dengan pakai insoles juga. Di beberapa variety show, insoles bahkan jadi bahan becandaan antara satu member dan member lain. Kalau variety show ini dirilis sekarang pasti netizen udah langsung teriak “SIANJING BODY SHAMING BIAS GUE!” gitu. Terpapar K-Pop di bagian insoles ini sebenarnya efek negatif dari industri tersebut. Percaya nggak percaya, insoles dan tinggi badan mungkin satu dari sederet insecurity yang disebabkan oleh grup K-Pop yang setiap penampilannya harus selalu sempurna.

Selain sakit pinggang (yang kemudian seiring waktu berjalan nggak sesakit itu dan mulai terbiasa) gue nggak ada masalah lain sama insoles. Tapi ketika gue memasuki usia 30, gue memikirkan semua pilihan-pilihan yang gue lakukan di awal usia 20 termasuk keputusan gue untuk pakai insoles ini.

Alasan gue pakai insoles tentu saja karena gue tidak percaya diri dengan tinggi badan gue. Walaupun diganjel insoles tidak serta-merta membuat tinggi gue jadi permanen, tapi paling nggak di beberapa momen gue jadi nggak terlihat mungil-mungil banget. Hanya saja sisi negatifnya adalah gue jadi selalu menilai bahwa ada yang salah dengan tinggi gue. Dan itu adalah hal yang nggak bisa gue benarkan.

Ada banyak standar yang dibuat orang-orang di dunia yang sebenarnya sangat menyusahkan hidup kita. Salah satunya adalah soal tinggi badan. Gue dulu pengin banget jadi barista di Starbucks karena gue suka kopi dan gue suka sekali dengan pekerjaan itu. Tapi setiap kali gue mau ngelamar kerja jadi barista, peraturannya selalu ada minimal tinggi badan. Gue nggak tahu alasan logisnya apa dan kalau pun gue tahu kayaknya gue tetap akan julid. Apa yang salah dengan jadi barista dan punya badan nggak terlalu tinggi? Kan yang kerja bikin kopi otak sama tangan bukan kaki.

Ya sebutlah standar lain yang orang-orang bikin buat memberi tekanan dan bikin hidup kita makin insecure: umur segini harusnya udah nikah, umur segini harusnya udah punya aset ini, umur segini harusnya udah punya tabungan segitu, dan hal-hal lain yang sebenarnya nggak ada urusannya sama mereka karena ini hidup kita.

Ketika gue mulai komplain dengan hal-hal di atas, pikiran kemudian membawa gue ke insoles itu. Kalau selama ini gue kesal sama Starbucks yang dulu kalau cari barista pakai minimal tinggi badan, harusnya gue nggak pakai insoles dong! Dengan pakai insoles berarti mengesankan gue kayak mengikuti standar mereka, nggak sih? Kalau gue nggak suka dengan peraturan itu, harusnya gue nggak sok-sokan jadi orang yang punya tinggi badan plus 3,5cm. WKKWKWKWKWKWKW. Atau ini gue aja yang overthinking?

Kesadaran gue soal insoles ini juga sangat dipengaruhi soal body image sebenarnya. Selama beberapa tahun gue kayak berada di fase bingung dengan tipikal bentuk tubuh yang menurut orang-orang “ideal”. Kayak… gue pernah pengin banget gemuk karena for some reasons ada orang yang bilang gue underweight, tapi seberusaha apapun gue banyak makan gue nggak bisa gemuk. Lalu kemudian ketika gue sudah banyak makan gue malah merasa nggak nyaman dengan bentuk tubuh gue dan ingin jadi lebih kurus. Kayak… lha? Jadi bingung???? Di situlah kemudian gue baru sadar bahwa gue sudah jadi korban tekanan masyarakat sekitar. Padahal sebenarnya nggak ada tuh aturan lo harus punya berat badan berapa, tinggi badan berapa, underweight, atau overweight. Oke kalau dari sudut pandang medis mungkin term over/under bisa dipake. Tapi menurut gue selama lo nyaman sama diri lo sendiri (dan percaya deh sama gue, being comfortable in your own skin is not an easy job to do) nggak peduli apakah lo under atau overweight atau “kurang tinggi untuk jadi barista Starbucks”.

Again, ini nggak applicable ke semua kondisi. Kalau semisal ada yang overweight yang itu sudah mengancam kesehatan lo secara keseluruhan, means sudah ada diagnosa klinis, berarti ya emang nggak bagus buat dipertahankan. Begitu juga dengan underweight. Tapi di kasus gue, oke gue underweight, tapi gue masih bisa berkembang secara baik, otak gue bisa bekerja dengan baik, badan gue bisa dipakai kerja dengan baik, jadi gue merasa nggak terlalu ada yang salah dong? Gue pun nyaman kok!

Now I don’t give a fuck. Toh dengan tinggi badan dan berat badan yang segini-segini aja gue tetap bisa doing something I like.

Gue pun kemudian mulai meninggalkan kebiasaan menggunakan insoles itu. Tapi itu bukan berarti gue memusuhi insoles, mungkin gue akan pakai lagi every now and then. Yang jadi musuh gue (dan seharusnya kita musuhi) adalah standar yang dibuat orang-orang tentang bagaimana kita seharusnya menjalani kehidupan. Trust me, when you stop give a fuck to what people are saying, you’ll feel way better.

Meninggalkan insoles ini kemudian jadi sebuah momen yang sangat liberating karena pada akhirnya gue nggak terpaku lagi pada keharusan untuk pakai sepatu high-cut. Gue bisa pakai sepatu apapun sekarang! Gue nggak sakit pinggang lagi sekarang! Dan sekarang kalau pun gue nonton konser di belakang dan panggung nggak kelihatan karena gue pendek dan orang-orang di depan angkat handphone semua, gue tetap bisa menikmati musik dan penampilan artis yang gue suka lewat layar; atau kalau memang mau nyaman ya pilih kelas duduk aja (tapi maaf gue bukan anak duduk gue anaknya festival banget).

Gue harus berterima kasih ke insoles ini tho karena sudah pernah mengangkat rasa percaya diri gue selama beberapa tahun.



Share:

0 komentar