Mimpi Buruk



Gue ketakutan. Rasanya seperti berada di tengah-tengah dunia yang gue nggak kenal, dikelilingi oleh orang asing yang bisa saja berbuat jahat kapan saja. Gue dipaksa untuk melepas keyakinan gue akan Tuhan dengan ancaman-ancaman keselamatan. Sementara gue hanya bisa menangis. Sampai ada seorang laki-laki, yang gue yakini dia adalah salah satu anggota dari keluarga besar gue, datang menghampiri dan memeluk gue.

“Saya takut,” kata gue ke dia.

Air mata gue udah nggak bisa ketahan.

“Nggak usah takut. Kamu ikutin aja orang-orang ini. Mereka nggak jahat kok,” katanya dalam nada bicara yang dingin, kejam, dan nggak ingin gue dengar lagi untuk kedua kalinya.

Gue berada di antara dua pilihan yang nggak pernah ingin gue pilih: mati atau ikut aliran sesat orang-orang ini.

Ini adalah mimpi paling buruk yang pernah gue alami sejak awal tahun.

--

Seperti kebanyakan mimpi yang lain, gue nggak tahu bagaimana awalnya sampai akhirnya gue bisa ada di situasi yang benar-benar gila dan nggak bisa gue kontrol itu. Gue bukan control freak, jujur, tapi kalau ada sesuatu yang paling nggak gue inginkan untuk dihadapi adalah hal-hal buruk yang terjadi di luar kontrol gue.

Gue tidur cukup awal semalam tapi memang kondisi mental gue belakangan ini tidak terlalu baik. Gue selalu berusaha untuk tetap waras jadi gue bisa menjalani hidup dengan “normal”. Paling tidak, pekerjaan gue beres dan gue bisa punya waktu rehat sebentar main Genshin Impact di antara kesibukan gue yang nggak sibuk-sibuk banget sebenarnya tapi selalu kacau karena manajemen waktu yang parah. Kalau gue nggak salah baca, gue pernah ingat ada yang bilang kalau mimpi datang dari alam bawah sadar dan kondisi mental kita. Dan ya mungkin memang kondisi mental gue sedang kacau banget sampai-sampai dalam satu kali tidur, gue didatangi dua mimpi buruk bergiliran tapi entah gimana saling berkaitan.

Kadang mimpi gue di hari ini bisa nyambung di hari yang lain. Atau mimpi-mimpi gue di hari yang berbeda berada dalam sebuah universe yang sama. Gue bisa mengingat tempat mimpi itu terjadi sehingga ketika mimpi lain datang di hari yang berbeda dan tempatnya terasa familier, gue akan langsung bisa mengenalinya. Pernah suatu hari gue mimpi naik mobil di sebuah kawasan berbukit dengan jurang-jurang terjal di pinggirnya, lalu di salah satu jurang ada persimpangan menuju pedesaan. Satu hari gue mimpi pernah jalan kaki ke sana cari musala, di hari lain gue mimpi sedang ada di dalam mobil dan melewati persimpangan itu, di hari yang lain lagi gue kembali ke tempat yang sama tapi dalam situasi mimpi yang berbeda.

Dari semua mimpi yang gue alami, seringkali memang random. Kayak gue pernah cerita pernah mimpi ketemu Chanyeol makan arem-arem di mall. Pernah mimpi ketemu Luhan di dekat selokan. Yang terakhir gue mimpi ketemu Siwon di parkiran kantor dan akrab banget kayak orang udah kenal lama. Oh sama gue pernah mimpi ketemu Yunho di depan gang rumah gue dan kita ngobrol kayak tetangga lagi ngebahas acara 17-an di kampung.

Tapi mimpi gue hari ini seburuk itu sampai-sampai gue nggak mau ingat-ingat lagi. Tapi anehnya ingatan soal mimpi itu tetap datang ke gue dan menghantui kepala gue bahkan setelah setengah jam gue bangun. Sampai akhirnya gue memutuskan untuk menuliskannya.

Ini mimpi paling buruk gue di tahun 2021 dan gue nggak mau lagi dapat mimpi kayak gini.

Semua berawal ketika gue dan seorang perempuan seumuran gue, atau mungkin beberapa tahun lebih muda dari gue, tiba-tiba saja ada di sebuah lokasi yang mirip-mirip kawasan deket rumah gue. Lokasinya kayak nggak jauh dari rumah gue mungkin sekitar 200 atau 300 meter. Masih di kawasan kampung gue juga. Suasana hari itu sedang hujan atau baru habis hujan karena yang gue ingat sekitarannya basah. Jalanan beraspal kasar yang gue jejaki juga terlihat basah, daun-daun dari tumbuhan liar di sekitar tempat itu juga terlihat lebih hijau dari biasanya dan gue bisa melihat bekas air hujan di atasnya. Anehnya hari itu nggak terlalu mendung.

Perempuan ini, gue nggak tahu siapa, gue nggak kenal dan nggak terasa seperti gue kenal. Biasanya mimpi gue selalu spesifik ke satu orang. Kalau gue bisa mengenali Siwon, Chanyeol, Yunho, dan Luhan, biasanya orang-orang yang datang ke mimpi gue juga bisa gue kenali. Tapi perempuan ini nggak bisa.

Gue mencoba buat cari tahu (entah dalam mimpi atau ketika gue sudah bangun dan mengingat-ingat kejadian dalam mimpinya) siapa perempuan ini. Tapi bahkan gue nggak bisa mengenalinya sebagai orang terdekat gue. Dia nggak ada dalam daftar perempuan seusia dia yang gue kenal.

Perempuan ini tingginya nggak jauh dari gue, agak lebih pendek mungkin satu atau dua sentimeter. Perawakannya proporsional tapi mungkin agak sedikit gempal. Tipe perempuan yang kayaknya akan mengeluh berat badannya naik padahal menurut gue dia baik-baik saja dan oke-oke saja. Dari cara gue ngomong ke dia dalam mimpi itu bisa dipastikan kita dekat satu sama lain. Gue nyaman sama dia bahkan gue kayak beberapa kali menggenggam pergelangan tangan dia buat mengajak dia lari.

Lari dari kejaran pembunuh.

Jujur aja di dalam mimpi itu gue nggak banyak bicara karena kondisinya memang lagi kacau. Tapi yang jelas gue tahu kalau gue sedang dikejar oleh seorang pembunuh yang gue nggak tahu siapa dan motifnya apa. Entah bagaimana ceritanya, gue tahu kalau ada pembunuh yang memang sedang mengincar manusia dan dalam satu lemparan senjata tajam yang pendek dia bisa membunuh korbannya.

Dan target selanjutnya adalah gue.

Gue, dan siapapun di dunia ini, dilarang buat menyebut nama pembunuh itu. Semacam Voldemort yang kalau namanya disebut, dia akan muncul. Atau paling nggak pengikutnya akan muncul. Mimpi itu berawal dari gue dan perempuan itu sedang berusaha kabur dari si pembunuh (atau entah dari siapa). Gue menggenggam pergelangan tangan perempuan itu dan mengajaknya buat lari dari satu gang ke gang yang lain. Gue tahu gang-gang itu, gue tahu daerah itu karena deket rumah gue. Jadi gue tahu harus belok ke mana dan jalan mana yang kemungkinan si pembunuh nggak akan kepikiran buat lalui.

Ketika gue sudah merasa aman, kami berdua berhenti berlari dan mengatur napas. Tapi sialnya, perempuan ini seperti nggak tahu peraturan soal nama pembunuh yang tidak boleh disebut itu. Dia keceplosan (tapi anehnya dengan suara cukup lantang) menyebut namanya dan gue mendadak diselimuti ketakutan yang lebih besar. Ketakutan yang bahkan lebih terasa mencekam dan mengancam dari ketika gue kabur dan berlari tadi.

Gue dan perempuan itu terpisah. Mendadak gue kabur sendiri. Gue nggak tahu apa yang terjadi sama dia dan gue dengan sangat egois ingin segera lari menyelamatkan diri. Yang gue pikirkan saat itu cuma satu: bertahan hidup. Gue masih pengin ketemu sama Mama dan Mama adalah satu-satunya orang yang terlintas di pikiran gue sepanjang gue lari buat menyelamatkan diri, sekaligus berdoa supaya si pembunuh tidak menemukan gue sama sekali.

Gue masuk ke salah satu gang sempit yang lebarnya nggak sampai satu meter. Gue tahu gang itu karena gue selalu lewat sana setiap kali jalan kaki atau naik sepeda ke sekolah ketika SMA. Gang itu biasanya tergenang air saat hujan dan hari itu memang baru habis hujan. Anehnya, gue sudah punya perasaan buruk kalau di gang itu gue akan mati. Gue sudah punya perasaan buruk kalau hari ini gue akan mati. Tapi gue nggak mau mati dulu. Gue masih mau hidup dan gue berdoa supaya gue tetap hidup.

Nggak sampai dua puluh langkah dari mulut gang, persis di sebuah persimpangan menuju gang lain, pembunuh itu muncul. Jantung gue rasanya mau copot dan aliran darah gue seolah berhenti. Seperti gue sudah mati bahkan belum dibunuh.

Pembunuh itu datang berdua. Dia yang gue sebut pembunuh punya perawakan tinggi, berotot, laki-laki, botak. Wajahnya nggak serem tapi justru karena wajahnya nggak serem dan fakta adalah dia seorang pembunuh yang membuat suasananya jadi lebih menyeramkan. Di tangan kanan dan kirinya ada senjata tajam pendek yang sudah siap dia lempar. Senjata itu bisa saja menembus jantung gue secepat kilat dan gue nggak akan sempat untuk kabur menyelamatkan diri. Bahkan gue sudah nggak terpikir untuk bisa selamat karena gue yakin gue akan mati hari itu. Gue nggak pernah punya kemampuan menyelamatkan diri jadi jangan harap gue bisa selamat dari seorang pembunuh yang sudah berpengalaman.

Di sebelah laki-laki botak itu ada seorang wanita berambut panjang pakai dress merah. Yang gue ingat dia nggak melakukan apa-apa. Perempuan ini semacam sidekick yang nggak ngapa-ngapain tapi selalu ada menyaksikan pembunuhan yang dilakukan oleh si laki-laki. Tapi gue rasa dia punya kemampuan super yang memang dimanfaatkan oleh laki-laki itu sebelum membunuh korbannya. Semacam mind-controller yang membuat korbannya nggak bisa lari dan kabur lalu si laki-laki tinggal mengeksekusi korbannya sekejap mata.

Mungkin itu juga yang terjadi ke gue hari itu. Ketika pembunuh botak itu melempar senjatanya, benda tajam itu langsung menancap ke gue dan gue ambruk. Tapi entah gimana ceritanya gue masih bisa bertahan hidup dan berdiri. Tapi nggak dalam waktu yang lama. Ketika gue belok ke gang yang nggak jauh dari sana dan berhasil kabur dari pantauan si pembunuh dan wanita bergaun merah, gue merasa gue sudah selamat. Hanya saja karena gue yakin gue akan mati hari ini, gue akhirnya beneran mati.

Pembunuh itu melempar senjatanya memotong kabel listrik di atas kepala gue dan kabel itu jatuh ke air dan menyetrum gue sampai mati.

Gue mati.

Secepat itu.

Bahkan gue belum sempat mengucapkan kata-kata terakhir seperti dalam adegan film ketika pemeran utama menemukan orang yang disayanginya sudah sekarat lalu mereka berdialog singkat sebelum akhirnya sang pemeran utama menutup mata si orang kesayangan dengan telapak tangannya.

Tapi mati gue di sini nggak sedramatis itu.

Terjadinya sangat cepat bahkan lebih cepat dari kedipan mata.

Yang gue ingat adalah perasaan menyesal yang mendalam. Perasaan menyesal bahwa gue masih belum bisa memberikan yang terbaik buat Mama. Perasaan menyesal bahwa gue nggak akan bisa ketemu Mama lagi. Semuanya berakhir di situ.

--

Gue terbangun dan dada gue sesak. Penyesalannya terasa banget bahkan setelah gue keluar dari mimpi itu. Gue berusaha untuk terjaga dan nggak tertidur lagi karena gue nggak mau mimpi itu berlanjut atau berulang. Gue nggak mau mimpi seperti itu datang lagi. Tapi karena itu belum waktunya gue bangun dan gue memang nggak bisa bangun dan langsung bangkit dari tidur (seperti biasanya WKWKKWKWKW) akhirnya gue tidur lagi.

Mimpi lain datang.

Dan ini klimaksnya.

SHIT.

--

Gue sedang berada di sebuah bioskop. Sedang ada acara premiere film atau semacamnya. Pokoknya di situ ramai banget dan semua bintang terkenal Indonesia ada di situ. Bahkan gue bisa mengenali beberapa aktor dan aktris Hollywood. Wow, ada apa ini? Kenapa gue tiba-tiba ada di situ?

Gue duduk di deretan bangku paling atas di bioskop itu. Tapi bangkunya agak berbeda karena bisa diputar-putar ke depan, ke belakang. Ada beberapa teman gue di situ tapi gue nggak ingat siapa saja, kecuali satu orang namanya Saras. Dia adalah temen gue di kantor yang sekarang. Dia host salah satu acara podcast yang gue produseri tapi lagi stuck karena wfh terus (shit kok curhat).

Ketika gue duduk di bangku bioskop itu rasanya kayak dapat kesempatan kedua untuk hidup. Apa yang terjadi antara gue dan pembunuh botak di mimpi yang sebelumnya terasa seperti... mimpi, tapi nyata.

Aneh.

Yang pasti rasanya seperti lo mati di Genshin Impact setelah melawan salah satu bos nyebelin tapi kemudian hidup lagi dan lo bisa ingat semua kejadian yang lo alami sebelum lo mati. Gue ingat semua kejadian yang gue alami sebelum kena setrum kabel listrik di dalam gang yang banjir itu. Dan gue ceritain itu ke beberapa teman gue yang ada di sana termasuk Saras.

Awalnya gue pikir nggak ada yang aneh dengan acara itu. Semua orang terkenal ada di sana, semua orang yang berpengaruh di negeri ini ada di sana, semua berjalan baik-baik saja. Sebenarnya ada banyak dialog antara gue, Saras, dan beberapa tamu orang terkenal yang ada di ruangan itu tapi gue lupa detail obrolannya. Kayaknya tentang film atau politik gue lupa. Yang pasti gue nggak terlalu paham obrolannya karena yang banyak berdiskusi dan berdialog adalah Saras. Sementara gue masih dalam fase recovery dari mimpi buruk dan sedang menyesuaikan diri dengan kenyataan baru di mimpi kedua yang gue nggak tahu kalau ternyata jauh lebih buruk dari mimpi yang pertama.

Acara itu bubar dan selesai. Teman-teman gue nggak lagi sama gue dan Saras udah entah ada di mana. Gue kemudian keluar dari gedung bioskop dan di luar juga tetap ramai. Semacam ada sebuah acara besar-besaran yang digelar karena jalanan ramai banget. Kondisi jalan tidak macet tapi orang-orang berkerumun. Mobil-mobil terparkir di pinggir jalan dan semua orang tumpah ke jalanan. Kondisinya kurang lebih, dalam mimpi gue itu, seperti ketika acara wisuda di UI atau acara lebaran di kampung. Anehnya, gue tidak merasa aman. Sama sekali.

Tiba-tiba perasaan tentang dikejar-kejar pembunuh itu datang lagi. Seperti gue akhirnya sadar bahwa hidup gue yang sekarang, yang akhirnya bebas dari kejaran pembunuh itu, hanyalah sebuah halusinasi. Ah, entah, gue bingung menjelaskannnya. Yang mana yang halusinasi? Hidup gue yang ini? Atau hidup gue yang sebelumnya?

Ketika gue berdiri di sebuah jalan sempat di mimpi yang kedua, gue merasa seperti ada orang yang sengaja menempatkan gue di situasi terburuk yang pernah gue alami. Seperti W.I.C.K.E.D yang menempatkan pemeran-pemeran utama dalam film The Maze Runner. Seperti ada orang yang dengan sengaja mempermainkan hidup gue tapi enggak tahu motifnya apa. Nggak tahu tujuannya apa. Tapi gue bisa menyadari itu, entah itu benar atau hanya perasaan gue saja. Yang pasti gue nggak merasa aman sama sekali saat itu.

Lagi-lagi gue berada di tempat yang familier. Kalau lo pernah ke UI, lo pasti tahu belokan dari FMIPA menuju ke Stadion UI-PNJ, kawasan dekat Menara Air dan kuburan bikun. Ada jalur sepeda dan pejalan kaki di sana yang kalau lo jalan terus lo akan sampai juga ke gedung Rektoran.

Gue seperti sedang berdiri di sana. Gue nggak pernah suka tempat itu karena pas zaman ospek, gue inget dipaksa lari sama senior yang teriak-teriak nyuruh gue lari dengan cepat. Gue benci banget sama orang-orang itu. Gue benci banget sama ospek UI. Seharusnya gue nggak usah ikutan ospek itu karena nggak ada gunanya. Ketika gue berdiri di sana dalam mimpi itu, gue dihantui oleh dua hal: kenangan buruk ospek itu dan ingatan soal pembunuh botak. Juga ancaman yang gue tahu akan muncul kalau gue berjalan beberapa langkah ke depan.

Seseorang seperti menekan tombol START dan gue mulai berjalan. Keramaian mulai terasa jauh lebih ramai tapi jauh lebih mencekam. Gue pakai baju putih dan orang-orang yang ada di sekitar gue juga pakai baju putih. Gue nggak tahu apa yang terjadi di jalanan sebelah gue karena orang-orang seperti sibuk dengan dirinya masing-masing. Yang pasti ada beberapa kegiatan yang terasa seperti ritual. Ketika gue berjalan, seseorang tampak mengikuti dari belakang kanan gue. Gue mulai merasa terancam. Tapi jujur, tanpa orang itu pun gue sudah merasa terancam. Rasanya kayak lo ditempatkan dalam situasi yang sama sekali nggak lo inginkan. Sekali lagi, gue nggak suka berada dalam situasi yang seperti itu dan penuh dengan kejutan-kejutan yang tidak menyenangkan dan hal-hal yang nggak bisa gue kontrol.

Gue tahu orang yang mengikuti gue ini punya maksud nggak baik jadi gue mempercepat langkah gue. Hanya saja, di saat yang sama, gue juga tahu secepat apapun gue lari gue akan tetap terjebak dalam situasi tidak menyenangkan itu. Dan itu jadi kenyataan ketika satu orang akhirnya muncul di depan gue dan punya motif yang sama. Intinya dua orang ini ingin menjebak gue untuk satu tujuan yang sama: masuk aliran sesat mereka.

Orang-orang itu pakai baju putih. Baru kali ini gue merasa seram melihat orang pakai baju putih. Biasanya nggak pernah gue setakut itu melihat orang dengan pakaian putih. Gue berusaha lari dari orang yang ada di belakang gue tapi orang yang ada di depan gue sudah mencegat dengan sigap. Setelah gue perhatikan, dua orang ini gue kenal. Mereka adalah artis populer. Yang nggak gue sangka adalah mereka pengikut aliran sesat ini.

Di situ lagi-lagi gue teringat Mama. Semua penyesalan-penyesalan yang gue rasakan soal kematian dan nggak bisa lagi ketemu Mama memenuhi hati gue. Itu bikin dada gue sesak dan gue mau nangis. Lebih mau nangis ingat kalau gue nggak bisa ketemu Mama lagi daripada gue dibai’at aliran sesat itu.

Dua orang itu akhirnya menangkap gue dan air mata gue keluar. Gue nangis kenceng dan teriak kalau gue nggak mau ikut mereka. Gue nggak mau jadi bagian dari mereka. Kalau ada hal yang nggak ingin gue lakukan di dunia ini selain ketemu sama orang yang paling gue benci adalah ikut dengan mereka dan dipaksa masuk aliran sesat. Dan dalam proses mereka mencoba membungkam gue karena gue terlalu berisik, di sanalah kemudian gue lihat secara langsung ritual-ritual aneh yang dilakukan orang-orang di jalanan sejak tadi.

Ritual-ritual kejam yang hanya bisa lo lihat di film-film horor Amerika tentang aliran sesat. Atau kisah-kisah masa lalu dari zaman penjajahan yang bikin lo bergidik.

Orang-orang dikubur hidup-hidup dengan janji kehidupan abadi di surga. Orang-orang yang dipaksa melakukan hal-hal tidak manusiawi dengan iming-iming kebahagiaan. Semua hal kejam dan keji yang bisa dilakukan manusia atas perintah manusia ada di jalan itu. Dan gue menyaksikannya langsung dengan mata kepala gue sendiri sambil terus menangis. Sementara dua orang ini terus berusaha menyeret gue untuk dibawa ke satu tempat yang gue nggak tahu di mana.

Ada jarak satu meter antara satu ritual dan ritual lain dan semuanya adalah ritual yang gue yakin nggak pernah ingin lo lihat dan saksikan langsung. Di sana gue juga bisa menemukan wajah-wajah familier, wajah-wajah orang terkenal, wajah-wajah yang gue nggak pernah nyangka ternyata ambil bagian di balik semua kejahatan ini dan aliran sesat itu. Tapi gue sampai titik air mata gue yang terakhir nggak pernah tahu itu aliran sesat apa. Yang jelas, gue dalam hati masih berdoa dan berharap gue bisa selamat dari semua hal itu dan masih bisa ketemu Mama.

Di dalam mimpi itu, gue merasakan perasaan yang sebelumnya nggak pernah gue rasakan. Bukan ketakutan akan hantu, bukan merasa terancam akan kena COVID-19, bukan merasa was-was akan pencuri atau begal. Rasa takut yang gue rasakan saat itu terasa baru. Rasanya seperti semua harapan buat hidup sudah nggak ada. Rasanya seperti lo udah nggak punya lagi hari esok untuk dijalani dan hari ini akan berakhir dengan dua kemungkinan: mati atau mati. Sementara di dalam hati gue nggak pernah mau bergabung dengan aliran sesat itu. Gue nggak mau ikut mereka. Gue masih punya keyakinan soal Agama yang gue anut sekarang dan gue masih berharap gue bisa selamat dari kekejaman itu, dari situasi itu.

Di tengah kericuhan itu gue sadar gue masih punya Tuhan. Gue istigfar dalam hati. Istigfar ter-istigfar yang pernah gue lakukan. Gue nggak pernah se-hopeless itu. Gue nggak pernah istigfar setulus itu, mungkin. Di tengah hilangnya harapan, di tengah pilihan mati atau mati, gue mencoba memunculkan harapan baru bahwa Tuhan akan menolong gue hari itu. Kalau dipikir-pikir, ketika dua orang itu menyeret gue dalam keadaan hidup aja gue masih bersyukur. Gue sendiri bingung kenapa orang-orang ini mempertahankan gue untuk tetap hidup. Seolah mereka punya rencana tersendiri buat gue. Seolah gue adalah orang yang mungkin bisa berkontribusi lebih dalam aliran sesat ini. Seolah mereka melihat potensi dalam diri gue yang mungkin bisa membuat aliran sesat ini jadi makin sesat atau gimana, gue nggak tahu.

Tapi alih-alih fokus pada pikiran soal kenapa gue dipertahankan untuk hidup, pikiran gue sibuk dengan apa yang gue lihat di jalanan. Orang-orang mati, orang-orang dikorbankan untuk ritual, ritual-ritual yang menjijikkan dan nggak sepantasnya dilakukan di jalan. Di saat yang sama gue juga terus istigfar, memikirkan nasib gue, penyesalan akan tidak bisa bertemu Mama lagi, dan memohon supaya gue bisa selamat dari orang-orang ini.

Sampailah gue di satu jalan dan dua orang itu kemudian melepaskan tangan mereka dari badan gue dan mendorong gue ke seorang laki-laki lain yang sepertinya adalah korban juga. Kenapa gue curiga dia korban? Karena dia punya air wajah yang beda dari yang lain. Kalau dua orang itu terasa intimidatif, laki-laki yang satu ini memberikan rasa aman. Dia juga pakai baju putih. Dia nggak ngomong banyak tapi dari apa yang gue lihat gue akhirnya menyimpulkan kalau dia adalah orang yang berpura-pura ikut aliran sesat ini hanya demi bertahan hidup. Entah buat berapa lama yang jelas dia sedang berusaha untuk bertahan hidup dengan memalsukan keyakinannya.

Jujur dari tadi gue juga memikirkan kemungkinan itu. Gue bisa aja pura-pura, kan? Yang penting hidup kan? Tapi gue nggak mau. Kenapa gue nggak mau? Gue nggak tahu.

Ketika badan gue didorong paksa oleh dua orang tadi, badan gue berbenturan dengan badan laki-laki itu dan dia langsung meluk gue. Gue langsung nangis kenceng banget. Dia nggak ngomong apa-apa tapi gue pelan-pelan mulai tenang. Seolah-olah dia bisa bicara dengan gue tapi lewat pikiran. Seperti dia memasukkan pesan-pesan positif ke kepala gue dan memaksa gue untuk berhenti menangis dan meyakinkan gue buat bertahan hidup. Gue bisa bertahan, tapi gue harus mau mengikuti orang-orang ini. Kurang lebih begitu pesan yang dia sampaikan ke kepala gue.

Gue berhenti menangis.

Mata gue sembab, pipi gue masih basah, rambut gue udah awut-awutan, gue baru sadar kalau pakaian gue sudah berubah jadi seperti orang-orang yang ada di sana. Seperti laki-laki yang memeluk gue itu: pakaian putih dari kain panjang yang nggak dijahit tapi cuma dililit ke badan dan bahu. Sebelah bahu gue tertutup, sebelah lagi terbuka.

Gue berdiri lama sama laki-laki itu melihat ke jalan. Satu per satu mobil mewah warna hitam melintas. Mobil yang membawa petinggi-petinggi aliran sesat itu datang buat sebuah majelis atau entah perkumpulan atau rapat akbar atau entah apa. Sekali lagi gue nggak berkomunikasi verbal dengan laki-laki itu tapi dia seolah memberikan pesan-pesan penjelasan ke kepala gue soal siapa yang datang, siapa menjabat siapa, dan siapa saja orang-orang besar di negara ini (atau nama-nama populer di negara ini) yang ternyata adalah bagian dari aliran sesat itu. Gue kaget banget ketika gue tahu ada nama-nama aktor yang filmnya sering gue tonton, nama-nama pejabat yang gue tahu, sampai nama-nama orang yang gue benci dan sering gue julidin di sosmed ternyata juga bagian dari aliran sesat ini. Yang terakhir gue komentar dalam hati: nggak heran. Bahkan di “dunia normal” pun mereka sesat dan kalau di sini mereka nggak sesat gue malah heran.

Jujur saja gue nggak ingin lama-lama di situ dan gue masih ingin selamat dan lari. Tapi harus lari ke mana? Dunia tempat gue berdiri sekarang, saat itu, seperti nggak punya jalan buat menyelamatkan diri. Seperti laki-laki di samping gue itu, berpura-pura untuk selamat. Itu saja sudah menyakitkan. Bagaimana gue harus mencoba lari dan kabur? Gue yang dari tadi cuma bisa nangis, memangnya bisa selamat? Gue yang dengan mudah dibunuh oleh di pembunuh botak, memangnya bisa selamat?

Dada gue semakin sesak tapi gue tetap istigfar. Berusaha mencari ketenangan dan harapan akan diselamatkan. Sampai akhirnya gue ketemu sama seseorang yang gue kenali sebagai salah satu dari anggota keluarga gue yang cukup dipandang dalam keluarga. Gue merasa lega bertemu dengan orang yang gue kenal.

Lo tahu kan rasanya ketika lo hopeless dan helpless lalu melihat setitik harapan lo akan selamat atau diselamatkan? Ketika gue ketemu laki-laki itu, gue merasa persis seperti itu. Hanya saja... ada plot twist-nya.

Gue memeluk laki-laki itu, dia di keluarga gue panggil sebagai Om/Paman. Gue nangis lagi. Gue cerita semua yang terjadi dari tadi, gue cerita apa yang gue lihat, gue ceritakan semuanya. Tanpa pernah gue berpikir atau bertanya kenapa dia bisa ada di sini dan bagaimana bisa dia ada di sini. Ketika gue sadar hal itu, gue melepas pelukan gue dan gue melihat penampilan dia. Persis sama dengan gue dan orang-orang yang ada di situ.

“Saya takut,” kata gue ke dia.

Air mata gue udah nggak bisa ketahan.

“Nggak usah takut,” katanya. Ada nada dingin yang menyeramkan di sana. Nada yang nggak gue sukai sama sekali.

“Kamu ikutin aja orang-orang ini. Mereka nggak jahat kok,” dia melanjutkan dalam nada bicara yang lebih kejam, dan sekali lagi, nggak ingin gue dengar lagi untuk kedua kalinya.

Gue berada di antara dua pilihan yang nggak pernah ingin gue pilih: mati atau ikut aliran sesat orang-orang ini.

Alhamdulillah gue kebangun sebelum kejadiannya jauh lebih buruk.

Ini pertama kalinya gue nggak menyesal bangun dari sebuah mimpi.

Ini pertama kalinya gue merasa seperti terjebak tanpa pertolongan. Seperti ketika Marissa Anita dikejar-kejar orang-orang kampung jahat di Perempuan Tanah Jahanam. Kondisi tanpa pertolongan dan tanpa ampun.

Ini adalah mimpi paling buruk yang pernah gue alami sejak awal tahun.

--



cult artwork midsommar on pinterest

Share:

0 komentar