Bucin Usia 30


Satu hal yang gue sadari belakangan ini seiring dengan pertambahan usia adalah kenyataan bahwa gue mulai merasakan perasaan-perasaan yang nggak pernah gue rasakan sebelumnya. Bayangin lo dalam kondisi bucin di usia 15 tahun, dan ketika lo masuk usia 30 kebucinan lo bukannya semakin berkurang tapi jadi dua kali lipat. Bahkan mungkin lebih, tergantung situasi dan kondisi lo saat itu. Kabar baiknya adalah ketika lo bucin di usia 30, lo akan lebih mengerti bagaimana menghadapinya. Lo bisa mengatasi perasaan meledak-ledak lo, lo bisa lebih mengontrol emosi, bisa berusaha meredam, bisa mengerti bahwa semua perasaan ini nggak akan ada gunanya kalau tidak diutarakan, dan ketika lo sudah siap mengutarakannya lo sudah harus siap juga menerima hal terburuk yang mungkin akan terjadi di hidup lo saat itu. Tapi itu bukan yang terakhir karena siklusnya akan berulang, lagi, dan lagi.

Belakangan ini gue bucin banget. Ini adalah fase bucin pertama gue di usia 30. I kinda enjoyed this actually. Karena rasanya benar-benar beda ketika gue naksir sama anak baru pindahan dari Australia pas gue SMP. Rasanya sangat jauh berbeda ketika gue naksir teman sekelas gue di sekolah yang sama dan kita masuk SMA bareng; lalu pas SMA, dia tahu gue suka sama dia dan dia menjauh sejauh-jauhnya. Waktu kuliah gue juga pernah suka sama seseorang yang kalau gue inget-inget sekarang gue malu banget karena pada saat itu jelas sekali gue belum dewasa dan sama sekali nggak tahu bagaimana mengatasi atau bahkan sekadar menghadapi letupan-letupan perasaan gue. Di situlah gue mulai berpuisi. Gue mulai merangkai kalimat-kalimat menjijikan yang gue yakin masih ada di sudut blog ini kalau lo niat. Judge me. It’s okay. Itu fase hidup dan gue nggak bisa menghapus atau mengubahnya. Gue cuma bisa embrace the fact bahwa karena proses itu gue mendewasa.

Perasaan bucin yang berbeda juga gue alami ketika memasuki usia 20-an. Kalau boleh jujur, gue ingin banget bisa sekip bagian ini dan menghapus semuanya karena ini terlalu menyakitkan. Terlalu banyak pengorbanan dan pengkhianatan. Terlalu banyak waktu yang terbuang buat ngurusin orang yang nggak perlu-perlu banget diurusin, buat merhatiin orang yang nggak mau diperhatiin, dan buat menyayangi orang yang bahkan nggak bisa menyayangi dirinya sendiri. Bagian terakhir itu berlaku juga buat gue, by the way, karena pada saat itu gue pun tidak tahu bagaimana caranya menyayangi diri gue karena gue terlalu fokus mencurahkan kasih sayang dan semua perasaan gue ke satu orang. Butuh dua tahun (atau mungkin tiga tahun) untuk move on dari orang ini dan setelah melihat ke belakang, gue nggak lagi kepikiran buat menghapus semuanya. Sama sekali. Malah gue bersyukur gue mengalami hal-hal itu karena tanpa itu, gue nggak akan bisa sekuat sekarang. Gue masih anxious kalau ada di dekat dia karena gue merasa dia adalah trigger dari banyak perasaan yang gue rasakan di rentang usia 22-an sampai 27-an gue. Wajar dong, 5 tahun gue habiskan cuma buat perhatian sama satu orang, ya gimana nggak ke-trigger kalau ketemu lagi, kan? Tapi gue rasa sekarang semua sudah lebih baik. Bahkan membicarakannya saja udah nggak membuat gue terbayang-bayang kebodohan dan semua pengorbanan sia-sia di masa lalu itu.

Gue benar-benar nggak sabar memasuki usia 30. Buat gue, ini adalah sebuah titik yang paling baik untuk memulai semuanya dari nol. Ini adalah momen yang paling tepat untuk merekonstruksi perasaan-perasaan yang tersakiti, untuk mengayomi semua penyangkalan-penyangkalan, dan untuk mulai menerima bahwa apa yang sudah terjadi ya sudah, dan yang akan terjadi adalah hal-hal yang pastinya tidak akan selalu menyenangkan, tapi pasti ada makna dan hikmahnya.

Tentu saja nggak harus di usia 30 lo melakukan itu atau menjadikan usia 30 sebagai titik penting untuk menjadi dewasa. Kalau lo bisa melakukannya di usia 20 akan jauh lebih baik lagi. Gue yakin usia 20 di tahun ini tuntutan dan tekanannya jauh lebih besar daripada ketika gue menjalani usia 20-an dulu. Generasinya sudah beda dan orang-orang pun berubah. Twitter memberitahu kita kalau di usia sekian kita harus sudah punya uang sekian, harus punya tabungan sekian, harus ada dana darurat, sudah harus ada jabatan di perusahaan setelah sekian tahun kerja, harus investasi ini, harus investasi itu. Lalu kapan napasnya? Kapan menikmati hidup dengan sebaik-baiknya? Kapan menjalani hidup dengan sesuka hatinya?

Nggak mau munafik kita semua butuh uang. Memang. Tapi hal yang lebih penting dari uang, menurut gue, adalah bagaimana lo menikmati setiap proses mendapatkannya. Klise, gue tahu. 

Tentu saja gue mau jadi kaya raya di usia 25 dengan kerja di perusahaan start-up dan gajinya sudah dua digit. Tapi apa daya gue di usia 25 masih kerja dengan gaji 4 juta, masih berusaha buat nabung, bayar kosan sendiri, menolak ajakan nongkrong di akhir pekan (apalagi nonton) karena gue nggak punya terlalu banyak uang lebih buat itu. Tapi pekerjaan gue saat itu sangat menyenangkan dan membuat gue sedikit banyak bisa menikmati hidup meskipun irit seirit-iritnya irit. Kata orang sih bekerjalah sesuai passion. WkWKWKWKWKkwKW dan saat itu passion gue adalah K-Pop dan gue kerja kayak main-main. Uang gue mungkin sedikit tapi pengalamannya luar biasa.

Sekarang gue udah nggak percaya hal itu. Sekarang moto gue: bekerjalah demi uang.

Tapi gue sudah lebih wise. Nggak selalu harus passion. Gue lebih realistis. Tapi harus gue akui sejauh ini gue selalu dapet pekerjaan yang UUK ujung-ujungnya k-pop. Memang mungkin rejeki gue sohiban sama Kim Junmyeon :)

Ini nggak bisa diaplikasikan untuk semua orang. Sekali lagi, uang penting. Di satu titik dalam hidup gue mungkin pernah kepikiran kenapa dulu gue nggak ambil tawaran kerja di Uber (waktu itu masih ada Uber belom diakuisisi Grab) padahal gue bisa dapat gaji (JAUH) lebih (BANYAK). Tapi melihat kondisi mental gue yang kayak gini, melihat bagaimana gue terpuruk karena bucin di usia 20-an, melihat bagaimana gue sangat tidak bisa mengerti dan mengayomi perasaan gue sampai gue usia 30, gue malah bersyukur gue nggak menerima tawaran itu. I’m not sure I can handle the pressure.

(ONE THING I LOVE ABOUT BEING 30: YOU KNOW YOUR LIMIT. IT'S EASIER TO SAY NO NOW)

Well, gue memang basically anaknya mudah menyerah. Tapi nggak apa-apa. Prinsip hidup gue adalah melakukan apa yang lo sukai dan nyaman, meski itu tidak membuat lo mendapatkan penghasilan jauh lebih banyak dari yang lo harapkan (atau dari orang-orang sekitar lo) (atau idealnya menurut pendapat masyarakat Twitter), tapi setidaknya semua kebutuhan lo tercukupi dan lo bisa hidup nyaman tanpa kekurangan. Apakah gue nggak pengin pindah kerja dan cari gaji 20 juta per bulan lalu nyicil apartemen dan nggak ngekos lagi? 

YA PENGINLAH! Tapi apakah gue sanggup? WKWKKWKWKWKWKWKWKWKWKW

Karena gue punya banyak waktu luang untuk memikirkan hal-hal di luar pekerjaan itulah yang membuat gue akhirnya merasakan bucin di usia 30.

Gue kenal Sky (bukan nama sebenarnya) di awal tahun 2020. Kita nggak pernah ketemu tatap muka karena pandemi saat itu jadi kita ngobrol lewat WhatsApp. Singkat cerita Sky ini adalah mutual gue yang dikenalkan ke gue karena ada pekerjaan sampingan waktu itu. Gue bukan tipe orang yang terbuka sama orang baru dan gue anaknya insecure banget. Gimana kalau dia ternyata penipu? Gimana kalau dia hipnotis gue lewat WhatsApp terus dia ambil semua tabungan dan harta benda gue? Gimana kalau...... pokoknya skenario terburuk yang bisa lo bayangkan (yang tidak cheesy kayak gitu tapi ya wkwkwkwk) muncul di kepala gue saat itu. Sky juga sangat berusaha untuk menjaga komunikasi kita hanya sebatas pekerjaan sampingan. Sampai akhirnya, gue nggak tahu kenapa, tiba-tiba dia bahas EXO.

Done.

Hidup gue berakhir sampai di situ.

Kunci gembok gue kebuka dan gemboknya hancur berkeping-keping.

Gue yang tadinya nahan-nahan buat nggak bahas itu jadi ngomong ke mana-mana.

Dari situ akhirnya kita saling follow Instagram.

Kalau lo kenal gue, lo mungkin tahu kalau gue nggak follow orang-orang yang nggak deket sama gue di Instagram. Beberapa mungkin gue follow meski nggak dekat karena gue merasa dia sudah baik sama gue in some ways so I followed them karena gue respect mereka. Tapi mostly orang-orang yang gue follow di Instagram adalah orang yang deket banget (BANGET) sama gue, bias gue di dunia hiburan, YouTuber yang kebetulan gue suka videonya, dan Sky.

Untuk yang satu itu, gue follow karena gue naksir. Gue harus jujur.

Selama dua tahun kita kontak-kontakan tapi obrolan kita di enam bulan kedua sudah nggak seberkualitas di satu bulan pertama. Sky orangnya sibuk banget sampai-sampai jarang buka handphone. Update Instagram aja seringkali tengah malam menuju ke jam dua pagi. Gue sering banget ngobrol sama dia di DM pada jam-jam itu bukan karena gue tahu kalau dia online di jam itu, tapi karena gue pun anaknya night owl. Gue baru tidur di sekitar jam 1-an setiap harinya dan dia baru online di jam-jam itu jadi sambil gue tiduran sambil gue bales-balesan DM. Cuma obrolannya nggak pernah berkualitas. Hanya saja gue menikmati hal itu. Obrolan itu selalu bikin gue senyum-senyum.

Sky orangnya misterius, tapi sangat terbuka. Dari penampilannya yang good looking gue sudah bisa menebak kalau dia nggak akan suka gue. WKKWKWKWKW. Dan permasalahannya adalah Sky tahu dia good looking dan dia mengeksploitasi ke-good looking-annya itu sebaik-baiknya. Biasanya orang yang good looking akan nyari orang yang paling nggak selevel good looking-nya. Nggak yang ujug-ujug terjun bebas kayak gue gini. Tapi karena gue sudah dewasa (WKWKWKW), gue nggak akan mundur sebelum gue tahu dia nggak suka sama gue. Jadi gue sudah berencana untuk confess dan siap ditolak.

So then I confessed.

And yes I got rejected.

Tapi kalau kata temen gue, itu bukan sebuah penolakan karena gue belum benar-benar bilang “Gue suka lo. Mau nggak lo jadi pacar gue?”

Obrolan gue baru sampai, “Boleh nggak kalau gue mau tahu kabar lo, gue tanya dan kirim pesan ke lo?”

Dia bilang “Mending jangan.”

Lalu gue mundur teratur.

WKKWKWKWKWKWKWKWKWKWKWKKWKWKWK GUE TERNYATA LEMAH. PANTESAN NGGAK BERKEMBANG HUBUNGAN GUE SAMA SIAPAPUN. PALING BERKEMBANG MEMANG SAMA GENSHIN IMPACT INI UDAH AR58.

Sepanjang dua tahun dari gue masih ngobrol berkualitas sampai kita cuma ngomong sepatah-sepatah itu, perasaan gue buat Sky menggebu-gebu banget. Bucin banget. Nadya (kayaknya) benci banget deh sama gue karena setiap kali gue chat dia isinya cuma “Kayaknya Sky jodoh gue deh Nad.” dan pernah di satu masa Nadya selalu menanggapi chat gue dengan stiker-stiker yang jelek banget setiap kali gue bahas Sky atau kirim stiker muka Sky.

(ya, gue bikin stiker muka Sky) (maafin gue?)

Adrenalin dan endorfinnya berasa banget setiap kali gue memikirkan Sky di periode itu. Terlebih setelah awal tahun 2022 ini gue mulai ke psikiater dan menjalani pengobatan buat anxiety dan depresi. Obat yang gue minum ini bener-bener membuat gue bisa fokus ke perasaan-perasaan yang memang seharusnya gue fokuskan, bukan ke kekhawatiran-kekhawatiran, insecurities, ketakutan, dan segala skenario buruk yang sebenarnya cuma ada di kepala gue. 

Gue curiga gue salah minum obat sebenarnya.

Dan setelah Sky nolak gue, obat ini pun membuat gue bisa lebih mengambil keputusan yang waras. Gue udah nggak perlu lagi clingy sama orang yang nggak suka sama gue dan gue harus move on. Gue tahu, gue harus move on. Ini adalah move on tercepat gue sih, jujur. Di hari yang sama, gue unfollow Sky (demi menghindari trigger; sebuah coping mechanism dadakan yang sangat berhasil), gue hide semua Story gue dari dia supaya dia nggak bisa lihat dan nggak bisa tiba-tiba memberikan respons, emoji, tanggapan, dan semacemnya yang akan nge-trigger perasaan bucin gue lagi. Gue mengakhirinya di hari yang sama dia “menolak” gue.

And I feel fine!

I feel like, everything is easier now. Dalam hal perasaan lho ya.

Gue merasa pengalaman-pengalaman gue bucin di usia belasan dan 20-an itu benar-benar membuat gue semakin mengerti bagaimana gue harus menanggapi perasaan ini dan mengatasi perasaannya. Tapi gue berutang sama obat anti-depresi ini juga sih. Dan latihan pernapasan/yoga. Itu sangat membantu gue untuk selalu bisa berusaha being present, tetap bernapas apapun yang terjadi, dan mengerti bahwa apa yang ada di kepala gue hanya di kepala gue dan bukan realita.

Usia 30 ini, gue nggak bisa bilang dengan yakin bahwa “Oh gue happy kok!” karena gue yakin kebahagiaan itu sifatnya sementara.

Tapi yang pasti di usia 30 ini gue bisa bilang dengan yakin bahwa “Oh, gue lebih mengerti diri gue. Gue tahu gue sedang tidak bahagia dan itu tidak apa-apa. Gue tahu gue sedang sedih, jadi gue harus berusaha untuk merasakan kesedihan itu tanpa harus memaksa dan pura-pura bahagia.

Oh gue sedang marah, jadi gue harus melakukan sesuatu supaya amarah gue ini nggak membuat orang lain tersakiti.

Oh gue sedang jatuh cinta, tapi lihat dulu orangnya siapa, kalau dia idola K-Pop, oh yaudah iyain aja biar cepet.”

Pekan lalu beberapa orang teman gue main ke kosan dan tinggal beberapa hari di sini. Setelah mereka pergi dan gue anter mereka ke Stasiun Gambir, gue merasakan sebuah perasaan yang sebelumnya sudah pernah gue rasakan tapi gue nggak bisa mendeskripsikannya dengan baik. Tapi kali ini, gue sudah menemukan perasaan apa itu:


Ketika perasaan itu datang kemarin, cukup lama buat gue untuk bisa berpindah ke perasaan lain dan fokus merasakan hal berbeda. Tapi setelah gue tahu itu perasaan apa, lain kali perasaan itu datang lagi, gue sudah tahu bagaimana cara menghadapinya supaya nggak berlarut-larut.

Memasuki usia 30 mungkin terdengar mengerikan buat sebagian orang. Buat gue juga. Tapi bagian yang paling mengerikan dari usia 30 sebenarnya bukan angkanya, bukan bertambah tuanya, tapi mengatasi segala insecurities yang timbul karena tuntutan sekitar. But one thing for sure: jangan biarkan tuntutan sekitar membuatmu ragu lalu berhenti jadi diri sendiri.

Tulisan ini adalah bagian dari seri 30 and Still StrugglingKlik di sini untuk baca tulisan sebelumnya.


Foto cover oleh Vie Studio.

Share:

0 komentar