Sebulan terakhir ini hidup gue terasa seperti “neraka”. Agak lebay sebenarnya menyebut deretan kejadian yang gue alami sebagai “neraka” tapi masing-masing orang punya standar tertentu terhadap sesuatu, kan? Atau ini gue hanya terdengar mencari pembenaran aja?
Anyway, setahun lebih yang lalu gue memutuskan untuk menjadi pelanggan sebuah provider wifi. Ini adalah sebuah keputusan yang besar dalam hidup gue karena gue belum pernah melakukan ini sebelumnya dan hal ini membutuhkan sebuah komitmen. Tapi karena momen WFH gue rasa akan sangat masuk akal kalau gue pasang wifi instead of gue pakai paket data di handphone lalu tethering ke laptop untuk kerja. Kantor gue harusnya memfasilitasi internet sih karena internetnya digunakan buat bekerja tapi yah itu tidak terjadi dan gue menjalankan komitmen ini sendiri.
Jujur gue nggak pernah punya masalah sama koneksi internetnya. Dibandingkan dengan provider lain, internet yang gue pakai ini nggak pernah terasa lemot atau gimana. Setidaknya ketika gue butuh, dia selalu ada.
Di awal-awal sih begitu.
Pada dasarnya gue memang suka nulis dan terbiasa menuliskan apa yang gue rasakan untuk sekedar membuat pikiran gue sedikit lega. Kebiasaan yang cukup membahayakan buat gue karena gue pun juga sangat aktif di media sosial. Tapi sekarang mulai bisa ngurang-ngurangin sih. Ehehe... Mereka yang berteman dengan gue di semua media sosial sejak lama pasti pernah menangkap sinyal-sinyal curhatan lebay soal banyak hal, atau kalimat-kalimat ambigu dan berada di wilayah abu-abu tentang beberapa hal (atau mungkin beberapa orang). Gue bersyukur banyak dari orang-orang itu nggak peduli dan kalaupun ada yang peduli dan langsung tanya ke gue, mereka bukan orang yang membuat gue tidak nyaman. Kebiasaan ini kadang-kadang bikin ketergantungan. Setiap kali sedang mengalami guncangan emosi, karena nggak ada manusia langsung yang bisa diajak berbincang, kadang-kadang secara otomatis otak gue akan memerintah tangan buat ambil hanphone, jempol nge-tap Twitter, lalu menulis semua yang ingin gue tuliskan.
Di posisi gue mungkin itu terasa sangat wajar.
“Ya kan akun-akun gue. Perasaan juga perasaan gue!”
Tapi di posisi orang yang baca tweet itu, “Apaan sih lu?”
Kenapa ya, setiap ada sesuatu hal mengecewakan terjadi, ujung-ujungnya gue selalu merasa kalau gue sedikit banyak juga berkontribusi pada hal tersebut?
Nungguin tanggal 27 Mei 2021 adalah hal ketiga yang paling mendebarkan sepanjang satu bulan kemarin. Sebelum kita masuk ke situ, mungkin ada baiknya gue kasih tahu dulu apa hal pertama dan keduanya. Walaupun nanti pas lo udah tahu hal ketiganya apa, lo pasti akan kayak, “Anjing! APAAN SIH LU RON?!” gitu deh gue yakin. Kata “anjing”-nya boleh disensor kalau lo adalah penganut paham aku-tidak-boleh-mengumpat-sebelum-karena-itu-dosa.
Hal pertama yang paling mendebarkan buat gue sepanjang Mei 2021 adalah tanggal 3 karena itu adalah hari ulang tahun gue. Gue nggak tahu kenapa tapi setiap tahun rasanya selalu berdebar menunggu pergantian dari tanggal 2 Mei ke tanggal 3 Mei. Mau bagaimana pun gue berusaha untuk mengabaikan dan tidak menghiraukannya, gue tahu hari itu tanggal 2 Mei dan gue tahu besok tanggal 3, jadi gue tetap deg-degan. Yang lebih mendebarkan lagi sebenarnya karena tahun ini gue genap berusia 30. Aneh banget rasanya... jujur, mungkin ini adalah awal dekade paling aneh dalam hidup gue. Jelas gue nggak inget apa yang terjadi ketika gue berulang tahun yang ke-10, dan gue samar-samar mengingat hari ulang tahun gue yang ke-20. Memasuki usia 30 tuh antara penasaran sama apa yang akan terjadi dan tidak ingin itu benar-benar terjadi. Semacem gue pengin terjebak aja di usia 24 atau 25 gitu so I’ll be forever young. Tapi gue kemudian sadar betapa menyebalkannya hidup gue di usia itu dengan segala kegalauan dan tetek bengek soal kasih tak sampai (HALAH AHHAHAHAHA) jadi gue pikir, oke, gue akan menyambut 30 seperti gue menyambut 20 saja.
Gue terkesan banget sama episode 1 SM Culture Universe (SMCU) di comeback aespa kemaren. Walaupun gue nggak suka lagu Next Level (jujur wkwkwkwk) tapi setidaknya ada hal positif dari comeback aespa ini yang bikin gue semangat. Nggak cuma semangat menunggu apa lagi nih yang bakal ditampilkan SM ke aespa berikutnya, tapi bagaimana SM bakal mengembangkan SMCU ini.
Gara-gara episode 1 SMCU yang Black Mamba itu, ada beberapa pertanyaan yang cukup mengganggu gue. Mau sampe kapan ini konsep akan dilakukan? Siapa aja nih grup yang bakal masuk ke universe ini? Grup senior masuk nggak nih? aespa jadi pembuka doang kan, berarti ada kemungkinan juga dong comeback EXO berikutnya bakalan masuk sini juga?
Gue setuju banget sama tulisan yang berseliweran di media sosial yang bilang “Anak muda merasa nggak keren kalo tidur cepet dan ingin stay up all night. Tapi nanti ketika lo udah masuk ke usia-usia dewasa lo akan sadar betapa tidur itu sangat menyenangkan dan lo butuhkan.”
Pernah ada di satu masa gue sangat suka banget begadang. Bukan party-party tapi ya WKKWKWKW biasanya gue begadang kalau lagi nulis, ngeblog, atau nyiapin project buat konser gitu (karena dulu sering bikin fan support buat beberapa grup yang gue datengin konsernya). Tidur bukanlah sesuatu yang gue prioritaskan di awal usia 20 gue. Kayak... begadang is cool! Tapi setelah dua atau tiga tahun di dunia kerja gue kemudian merasa bahwa tidur itu adalah sesuatu yang mahal banget. Terutama tidur nyenyak.
Karena sibuk dengan urusan kantor kadang-kadang gue suka mengorbankan jam tidur untuk bekerja. Sampai akhirnya gue tiba di satu titik di mana setiap weekend gue selalu tepar blasssssss tidur seharian dan bangun tengah hari bolong gitu cuma buat ke kamar mandi dan salat zuhur lalu kemudian tidur lagi sampai asar. Since gue juga bukan morning person (gue nggak tahu ini sejak kapan kebiasaan ini terbentuk) barulah setelah asar atau jelang maghrib gue bisa 100% sadar. Sampai akhirnya gue akan terbangun sampai tengah malam atau dini hari dan baru tidur di jam-jam yang seharusnya gue bangun buat memulai hari sepagi mungkin.
Begitulah lingkaran setan.
Gue baru pulang kantor dan lagi main Genshin Impact sambil teleponan sama beberapa temen malam itu. Kita kebetulan lagi ngumpul random buat ngegosip soal Aurel dan KD. Sesi gosip seru yang seharusnya emang lebih sering kita lakukan karena siapa sangka gosip-gosip lokal kayak gini bikin pertemanan jadi lebih erat. Lalu salah satu dari temen gue ngomong.
“KAK KAK KAK EXO RILIS TEASER!”
Gue awalnya nggak percaya karena kayak dari kemarin gue udah ngeluh-ngeluh sendiri soal teaser yang nggak keluar-keluar sejak video spoiler itu. Tapi gue agak panik juga. Gue lepas stik PS4 gue dan ambil handphone terus buka Twitter.
“NGGAK ADA DI TWITTER!”
“ADA ITU KAMU REFRESH AJA BARU GANTI AVATAR!”
Dan ternyata bener. Admin @weareoneEXO memang kalau urusan EXO sangat gercep sesuai timeline agensi sementara kalau urusan promosiin album solo atau perilisan single solo Lay lelet banget kayak siput penyakitan.
Pertama-tama, istigfar dulu karena gue sudah sampai sejauh ini di universe GMMTV jalur 2gether The Series.
Astagfirullahaladzim 99x.
Di saat teman-teman gue yang tahun lalu, waktu di awal-awal pandemi, ramai bahas Sarawatine; kini sudah nggak lagi menyinggung tontonan setiap Jumat malam ini, gue malah sejak itu ngikutin terus sampai sekarang.
Astagfirullahaladzim 99x.
Memang nasib manusia nggak ada yang bisa nebak.
Buat yang udah sempat baca blog ini beberapa lama mungkin tahu gue suka banget sama The Shipper. Menurut gue itu adalah series terkocak, terbaik, termenyenangkan, terseru, teranjir-kok-jadi-gitu-akhirnya, dan termengoyak hati. Karena gue belum banyak nonton series serupa dari GMMTV (dan malas buat menyaksikan judul-judul lain yang sudah tayang dulu-dulu kecuali Sotus dan Sotus S), sejauh ini The Shipper masih over the top. Belum ada yang bisa ngalahin.
Lalu datang Fish Upon the Sky.
Sejak pertama kali Baekhyun rilis album solo, gue nggak merasa cocok dengan genre musik yang dia nyanyikan. Gue yang selalu berharap Baekhyun rilis album solo dengan lagu-lagu pop-rock atau ballad dikasih lagu yang berat banget R&B gitu jadi pusing. Memang sih gue nggak bilang gue nggak suka genre R&B karena kayaknya cukup banyak lagu di genre ini yang bisa gue nikmati. Beberapa tahun belakangan misalnya gue suka banget sama lagu No Scrubs-nya TLC. Gue nggak yakin ada yang tahu lagu ini sekarang karena ini lagu tua banget sik.
Sejak awal bulan puasa ini, doa gue cuma satu: semoga gue nggak lagi jadi orang yang insecure. Tapi gue nggak yakin insecure bisa mewakili banyak sekali hal yang sebenarnya gue inginkan tahun ini. Kayak semisal gue nggak pengin lagi jadi orang yang nggak percaya diri, gue nggak pengin lagi jadi orang yang selalu merasa diri nggak layak, gue nggak pengin lagi jadi orang yang selalu merasa jelek, dan gue nggak lagi jadi orang yang nggak bisa jadi dirinya sendiri.
Terakhir kali gue nulis soal EXO adalah curhatan tentang fans yang... yeah, well, lo bisa baca sendiri. WKWKKWKW. Tapi izinkan gue sekali lagi memberikan sebuah permakluman(?): tulisan itu dibuat dalam kondisi emosi yang tidak stabil, tulisan tengah malam, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi perasaan penulis. Yang bisa gue pastikan adalah pendapat gue tidak berubah sih, paling nggak untuk saat ini. Tapi di tulisan kali ini gue nggak mau membahas soal itu karena yah biarkanlah itu jadi satu realita di fandom yang memang akan sulit diubah dan nggak akan hilang dengan segera. Jadi ya sekarang ngefans masing-masing aja.
Kalau boleh jujur nih (YA BOLEHLAH! WKWKWKKW ORANG BLOG SENDIRI), gue tuh orangnya sangatlah bucin. Kayak, gue pikir gue bakal bucin cuma sama idol K-Pop doang atau bintang film yang baru kemarin gue tonton, atau berharap ada film lain yang diperankan oleh Ryan Gosling dan Emma Stone (SOALNYA GUE SUKA BANGET LA LA LAND). Gue pikir gue bakalan bucin sama hal-hal halu semacem itu doang. Walaupun memang gue akui di area itu gue juga bisa jadi sangat bucin sih (kayak gue akan nggak segan-segan print foto bias gue buat ditaroh di dompet misalnya) tapi in real life ternyata gue bisa sebucin itu sama manusia.
It’s not that I just realized this now... soalnya kalau temen-temen gue baca ini mereka bakal bilang “YA EMANG! LO KEMANA AJA SELAMA INI?!” padahal ini kan hidup gue ya, ya gue di sini-sini aja gak sih WKWKWKWKWK. Tapi mungkin lebih karena udah cukup lama gue rehat(?) dari perasaan-perasaan bucin itu.
Gue baru sadar satu hal lain dari diri gue. Sesuatu yang sebelumnya nggak pernah gue perhatiin atau gue terlalu pikirin. Ya memang belakangan ini semua hal gue pikirin banget. Wkwkkwkw. Takut kalau tweet gue yang tadi akan menyakiti, takut kalau chat gue ke si anu bakal dianggep macem-macem, takut kalau update-an story gue di Instagram malah jadi gimana gitu. Sebenarnya kalau boleh jujur, gue nggak suka nih sama kebiasaan yang kayak gini. Walaupun di satu sisi memang gue jadi lebih harus hati-hati dalam bertindak, tapi di sisi lain melelahkan juga kalau semuanya harus dipikirin. Bahkan hal-hal kecil pun harus disesali juga. Ya tapi gue sedang berusaha untuk mengatasi itu.
Orang yang kenal gue atau pernah ketemu gue pasti tahu kalau gue ini orangnya banyak bicara banget. Kadang-kadang, dipertemuan pertama, gue saking salah tingkahnya jadi suka sok akrab dengan cara membeberkan hal-hal yang lebay. Semacem TMI banget gitu deh. Kayak yang tadi gue bilang di awal, gue dulunya nggak pernah menyadari ini atau mempermasalahkan ini. Tapi belakangan gue benar-benar kepikiran dan membuat gue jadi suka mengutuk diri gue sendiri atas apa yang tadi sudah gue lakukan.
Kayak, “duh harusnya gue nggak ngomong gitu!”, atau, “ih apaan sih, ngapain juga bahas hal itu!” Kalau ada hal yang paling gue sukai di dunia ini adalah bicara dengan diri sendiri, dan kalau ada hal yang paling nggak gue sukai di dunia ini adalah bicara dengan diri sendiri dan menyesali apa yang sudah gue lakukan sejam yang lalu, sehari yang lalu, seminggu yang lalu, bahkan bertahun-tahun yang lalu.
It sucks.
Gila udah
berapa lama gue nggak nulis di blog ini? Setelah ulang tahun blog ini yang
ke-10, padahal gue udah niat banget mau kembali rajin dan rutin menulis lagi
meski pendek-pendek. Tapi yah.... memang namanya manusia cuma bisa berencana. Pada
akhirnya yang menentukan adalah mood dan deretan drama Korea yang menunggu buat
ditonton.
Kalau lo tahu dua minggu lagi dunia akan kiamat, apa yang akan pertama kali lo lakukan?
Hihihi... ketika gue nulis kalimat di atas gue juga jadi mikir. Apa yang akan gue lakukan ya? Di umur sekarang masih banyak hal yang ingin gue kejar (meski capek juga sih ngejer terus, kapan gue yang dikejar? #ea #apanih) dan masih banyak juga yang ingin dicapai. Tapi kalau cuma punya waktu dua minggu untuk hidup, sebagai masyarakat Asia dengan budaya ketimurannya (hihihi) pastilah gue akan pulang kampung dan bertemu Mama. Tapi masalahnya adalah kalau semua orang tahu dua minggu lagi akan kiamat, pastilah semua orang akan panik, bahkan kiamat belum kejadian saja udah kiamat duluan karena panik.
Tapi apa jadinya setelah kepanikan itu, lo kemudian mendengar kabar terbaru bahwa pemberitahuan soal kiamat itu hoax. Lo sudah ketipu.
Wah... WAH GILA SIH. WAH WAH WAH WAH...
Bahkan membayangkannya aja gue sudah dendam. Apalagi benar-benar merasakannya. Nggak sanggup deh gue untuk menahan sakit hati. Rasanya beneran pengin ngedorong itu orang yang nyebarin hoax ke dalam sumur, terus sumurnya dikasih gas beracun, terus ditutup lubang sumurnya agar abadi di alam baka.
(anjir ini pikiran gue jahat banget ya)
(astagfirullah)
(ampuni aq ya Allah)
Tapi kurang lebih itu yang terjadi sama Kim, karakter yang diperankan Maisie Williams, di serial 6 episode berjudul Two Weeks To Live ini. Selama ini dia hidup dalam pengasingan yang sebenarnya disengaja tapi dia sama sekali nggak pernah diberitahukan alasan yang sebenarnya. Yang dia dengar selama ini dari Tina, ibunya, adalah kebohongan demi kebohongan. Kim beneran hidup jauh dari keramaian. Di sebuah pondok terpencil dengan pencahayaan yang seadanya (tetap ada listrik sih) tapi nggak pernah terlalu kenal teknologi. Tina sengaja mengisolasi dirinya dan Kim dari kehidupan luar karena sebuah alasan yang dia sendiri nggak bisa jelaskan kebenarannya ke Kim. Tapi Kim yang beranjak dewasa punya rasa penasaran yang besar banget. Dia bahkan punya satu buku yang berisi bucket list, hal-hal yang ingin dia lakukan di kehidupan nyata. Siapa sangka salah satu poin dalam bucket list itu adalah balas dendam.
Setelah nulis sebuah surat ke Ibunya, Kim kabur dari rumah untuk mulai mencoret satu per satu daftar di bucket list itu. Termasuk ya balas dendam itu tadi. Tapi sebelum itu terjadi, dia masuk ke sebuah pub dan bertemu dengan Nicky dan Jay, kakak-beradik yang sedang ngerumpi soal kehidupan. Jay nantangin Nicky buat mendekati Kim yang hari itu pertama kali ke pub buat mengenang kencan pertama Ibu dan Ayahnya dulu. Setelah obrolan lucu di bar (dan sumpah sih banyak banget kejadian kocak di situ kayak misalnya Kim yang sama sekali nggak pernah pakai high heels atau menggunakan alat pengering tangan di kamar mandi karena selama ini dia hidup kayak hermit) mereka lanjut ke rumah Jay. Di sanalah semuanya berawal: sebuah becandaan yang kemudian jadi rumit.
Gue ketakutan. Rasanya seperti berada di tengah-tengah dunia yang gue nggak kenal, dikelilingi oleh orang asing yang bisa saja berbuat jahat kapan saja. Gue dipaksa untuk melepas keyakinan gue akan Tuhan dengan ancaman-ancaman keselamatan. Sementara gue hanya bisa menangis. Sampai ada seorang laki-laki, yang gue yakini dia adalah salah satu anggota dari keluarga besar gue, datang menghampiri dan memeluk gue.
“Saya takut,” kata gue ke dia.
Air mata gue udah nggak bisa ketahan.
“Nggak usah takut. Kamu ikutin aja orang-orang ini. Mereka nggak jahat kok,” katanya dalam nada bicara yang dingin, kejam, dan nggak ingin gue dengar lagi untuk kedua kalinya.
Gue berada di antara dua pilihan yang nggak pernah ingin gue pilih: mati atau ikut aliran sesat orang-orang ini.
Ini adalah mimpi paling buruk yang pernah gue alami sejak awal tahun.
--