Sebut Aja Namanya Delta...


Pada dasarnya gue memang suka nulis dan terbiasa menuliskan apa yang gue rasakan untuk sekedar membuat pikiran gue sedikit lega. Kebiasaan yang cukup membahayakan buat gue karena gue pun juga sangat aktif di media sosial. Tapi sekarang mulai bisa ngurang-ngurangin sih. Ehehe... Mereka yang berteman dengan gue di semua media sosial sejak lama pasti pernah menangkap sinyal-sinyal curhatan lebay soal banyak hal, atau kalimat-kalimat ambigu dan berada di wilayah abu-abu tentang beberapa hal (atau mungkin beberapa orang). Gue bersyukur banyak dari orang-orang itu nggak peduli dan kalaupun ada yang peduli dan langsung tanya ke gue, mereka bukan orang yang membuat gue tidak nyaman. Kebiasaan ini kadang-kadang bikin ketergantungan. Setiap kali sedang mengalami guncangan emosi, karena nggak ada manusia langsung yang bisa diajak berbincang, kadang-kadang secara otomatis otak gue akan memerintah tangan buat ambil hanphone, jempol nge-tap Twitter, lalu menulis semua yang ingin gue tuliskan.

Di posisi gue mungkin itu terasa sangat wajar.

“Ya kan akun-akun gue. Perasaan juga perasaan gue!”

Tapi di posisi orang yang baca tweet itu, “Apaan sih lu?”

Itu kadang membuat gue takut. Karena gue terlalu sering mengungkapkan emosi dan perasaan gue ke publik lewat media sosial, gue jadi takut mendengar respons orang-orang. Gue jadi takut mereka berpikir macam-macam. Gue jadi takut di-judge. Gue jadi lebih sering mengutuk diri gue sendiri karena gue harusnya bisa nggak nulis itu dan bisa nggak mempublikasikan tulisan itu, tapi tetap juga gue tulis karena sedang emosi. Meski bisa dihapus, tapi sebelum dihapus tulisan itu sudah dibaca beberapa orang dan itu akan tetap membuat gue takut.

Sampai pada suatu hari gue sadar bahwa sebenarnya kebutuhan gue bukan di platform-nya, tapi di proses menulisnya. Akhirnya sejak itu perasaan-perasaan yang terlalu membuncah dan terlalu sensitif untuk dipublikasi hanya berakhir di notes handphone, aplikasi chat dengan mengirim pesan ke nomor gue yang lain kayak WhatsApp, atau di KakaoTalk yang ternyata bisa digunakan untuk nge-chat diri sendiri. Perasaan leganya sama tapi dengan risiko ketakutan yang lebih sedikit.

Hanya saja ada kalanya gue merasa perlu mempublikasi tulisan-tulisan isi hati itu. Buat apa? Gue nggak tahu. Mungkin cuma untuk membuat perasaan gue lebih tenang aja? Karena ketika gue menuliskannya di notes gue memang merasa lega tapi ada perasaan yang mengganjal sedikit. Seperti ingin orang yang menjadi alasan gue menulis itu tahu tentang tulisan itu dan membacanya lalu berspekulasi dan berpikir. Seperti ingin tahu respons dari orang-orang yang selama ini selalu takut gue dengarkan. Rasanya ketika gue mempublikasikan tulisan itu, gue seperti didengar meski gue nggak bersuara.

Rasanya lega.

Meski gue yakin kelegaan itu bukanlah sesuatu yang gue butuhkan untuk masalah-masalah tertentu, tapi setidaknya itu meringankan sedikit isi pikiran gue. Gue adalah tipe orang yang suka overthinking. Kejadian-kejadian kecil bisa jadi besar dalam pikiran gue. Pikiran-pikiran berlebihan ini harus dilepas dan dihempas. Dengan menulis biasanya bisa membantu. Efeknya akan jadi lebih memuaskan kalau dipublikasi dan dibaca orang-orang. Beneran terasa seperti ada yang mendengarkan.

Gue jadi nggak enak gini sama aplikasi notes di handphone gue... ahahahaha

Sebagai blogger dan content creator, respons audience sangat penting (ANJAY). Bukan hanya sebagai bahan pertimbangan untuk membuat konten serupa dan senada ke depannya, tapi juga buat bahan introspeksi. Selama sepuluh tahun nge-blog gue pun sudah terbiasa dengan berbagai respons orang-orang terhadap sebuah konten tulisan. Ada yang suka, ada yang nggak suka, ada yang nggak suka banget, ada yang merasa terhubung, ada yang merasa nggak nyambung, ada yang ketawa, ada yang nggak. Ketika mereka menuliskan perasaan mereka setelah membaca konten gue, gue merasa tujuan gue untuk menulis konten itu tercapai. Sebuah kelegaan lain pun muncul. Perasaan puasnya jadi lebih maksimal.

Tapi ketika respons itu datang dari orang yang nggak diharapkan...

(Gue mendadak senyum-senyum sendiri ketika menulis ini).

Ada satu pertanyaan yang bisa gue jawab dengan sangat mudah dan nggak perlu proses berpikir yang terlalu lama. Bukan siapa grup favorit gue di K-Pop atau lagu apa yang paling gue suka dari grup itu. Bukan apa film favorit gue sepanjang masa atau penyanyi 90-an yang paling sering gue puter lagunya sampai saat ini. Bukan juga soal kapan terakhir kali gue baca buku sampai habis dan gue tenggelam dalam ceritanya.

Pertanyaan itu adalah: siapa orang yang bikin lo jatuh cinta sejatuh-jatuhnya sampai-sampai ketika lo patah hati lo patah sepatah-patahnya?

Sebut aja namanya Delta.

Seperti halnya varian virus COVID-19, buat gue orang ini sangat berbahaya. Saking berbahayanya, gue nggak pernah merasa nyaman kalau ada di dekat orang ini. Perasaannya sangat aneh kayak campuran antara marah, kesal, dendam, kangen, ingin pegang tangannya, tapi juga ingin jambak, dan benci di saat yang sama. Agak susah buat gue untuk menangani perasaan itu dan gue lebih baik menghindar daripada harus diam membeku dan bikin orang lain yang ada di situ (yang kebetulan adalah mutual kami) jadi curiga dan nggak nyaman dengan kondisi canggung yang berlebihan.

Saking berbahayanya orang ini buat gue, gue sudah mempermalukan diri gue di depan dia berkali-kali dengan bilang gue benci dia tapi gue tetap kembali ke dia. Ngajak dia makan. Nonton. Nanya kabar. Dan hal-hal yang lo lakukan kalau lo sedang suka sama seseorang. Dalam kata lain bucin.

Saking berbahayanya orang ini gue sampai nggak tahu harus ngapain lagi dan kadang mematung kalau kami dan beberapa teman lain sedang “kebetulan” bertemu.

Delta seberbahaya itu sampai akhirnya gue memilih untuk memutus semua jalur komunikasi gue sama dia. Gue block semua media sosialnya, gue block nama dia di semua aplikasi chat yang gue punya, bahkan nomor handphone-nya pun gue block sehingga dia nggak akan bisa menghubungi gue dalam bentuk apapun (kecuali email, mungkin) dan gue nggak akan melihat wajah dia di handphone gue dalam kesempatan apapun.

Kecuali kalau ada temen gue yang iseng dan kirim screencapture update-an dia buat jadi bahan lucu-lucuan (dan itu sering terjadi). Walaupun gue selalu berusaha tertawa, padahal gue tetap sakit dan rindu.

Ketika gue mendadak diberhentikan dari pekerjaan freelance gue, perasaan gue kacau dan gue memutuskan untuk menulis di blog (cek posting-an sebelumnya ya bund). Secuil tulisan itu gue screencapture dan gue post di Instagram Story.

Delta membalas story itu.

Hari itu anehnya gue tidur sangat larut dan bangun sangat pagi. Seperti masyarakat bumi modern pada umumnya, setiap baru buka mata yang pertama kali dilihat adalah jam, lalu Instagram. Notifikasi di kotak masuk aplikasi ini selalu bikin tangan gue gatal jadi otomatis akan gue tap kalau ada warna merah menyala di situ.

Ada pesan dari Delta. Mengomentari soal Instagram Story gue itu dan memberikan gue semangat.

Gue lupa kapan persisnya gue unblock dia di Instagram tapi yang jelas gue nggak follow dia dan semua pesan yang masuk dari Delta gue mute. Dan anyway gue selalu matikan notifikasi semua aplikasi media sosial di handphone gue karena gue nggak butuh mendengar nada dering setiap lima menit sekali.

Awalnya pesan singkat itu nggak mau gue baca. Biasanya kalau dia mulai mengomentari apapun yang gue update di Instagram Story, gue nggak akan baca tapi akan langsung gue hapus. Apalagi waktu hati gue masih rapuh serapuh-rapuhnya saat itu, lihat avatar dia aja gue udah gemeteran. Tapi belakangan ini gue jauh lebih kuat. Bahkan ketika gue lihat ada pesan dari dia di inbox gue, reaksi gue pun nggak lagi panik berlebihan atau berdebar nggak karuan.

Datar dan biasa aja. Gue bangga sama diri gue sendiri pagi itu.

Gue akhirnya membalas pesan itu. Nggak hanya sekedar membalas singkat dengan berterima kasih karena diberi semangat, tapi gue membalas dengan tujuan untuk ngobrol. Gue ingin tahu kabar dia, ingin tahu dia sedang sibuk apa, ingin tahu bagaimana kehidupan dia akhir-akhir ini. 

Yang perlu digarisbawahi adalah gue hanya ingin tahu. Nggak ada perasaan romantis apapun yang terlibat di situ.

Dalam momen singkat balas-balasan chat pagi itu gue merasa Delta sama sekali nggak berubah. Dari cara dia bicara di chat tetap sama dengan yang dulu. Yang berubah adalah bagaimana hati gue merespons setiap kali gue membaca pesan dia atau ketika logo ‘typing’ muncul di layar.

Datar dan biasa aja. Bangga sama diri gue sendiri pagi itu (2).

Gue pikir karena gue sudah benar-benar move on, mari kita coba berbincang lebih jauh. Gue pun yang tadinya selalu membatasi diri ke Delta jadi melunak, nggak kaku lagi, dan membalasnya dengan gaya dan cara gue membalas pesan kebanyakan orang di Instagram:

  1. GAYA PERTAMA - MENULIS DENGAN HURUF BESAR KALAU GUE MERASA HEBOH,
  2. Gaya kedua - membalas dengan emoji kalau gue merasa kurang terwakili hanya dengan kalimat,
  3. Gaya ketiga - tertawa pendek seperti ‘ehe’, ‘lol’, atau nge-judge dan ngedumel tapi langsung bilang ‘but it’s okay’ kalau gue merasa dia sudah mulai menyebalkan dan memantik rasa kesal dalam diri gue tapi nggak ingin terlihat seperti gue baper banget.
Perbincangan pagi itu benar-benar seperti perbincangan dua orang teman (sangat aneh menulis ini dan menyebut dia teman karena gue bukan temannya dan dia juga bukan teman gue; sejak kapan gue lupa tapi kita sudah jadi dua orang asing yang kebetulan terhubung); atau seperti dua orang asing yang baru kenal di media sosial. Tahu kan, obrolan basa-basi itu?

Gue tanya apakah musik yang dia dengarkan masih sama yang dibalas dengan ‘kalau K-Pop paling yang terkenal-terkenal aja kayak BTS’ yang mana langsung gue jawab dengan tegas kalau gue bukan fans BTS padahal dia nggak nanya, lalu gue merekomendasikan film kesukaan gue dan tanya apakah dia sudah nonton, lalu berujung ke gue merekomendasikan serial kesukaan gue dan tanya apakah dia tertarik atau nggak buat menyaksikannya karena menurut gue bagus. Dan di situlah obrolan kami terhenti.

Gue hentikan, lebih tepatnya.

Karena gue merasa tersinggung lagi lantaran satu statement dari dia yang sangat bertolak belakang dengan apa yang dia katakan di awal obrolan yang cukup panjang itu.

Di situ gue sadar kalau gue sudah melakukan kesalahan dengan berusaha untuk keep in touch sama Delta. Gue nggak bilang kalau gue adalah orang paling baik sedunia yang suci tanpa dosa. Gue juga nggak bilang kalau semua orang harus berpikir seperti ini atau harus suka dengan hal ini/itu. Gue juga pernah kok kayak gitu. Bilang nggak suka album Obsession-nya EXO tapi akhirnya suka juga. Poinnya adalah bahwa gue rupanya masih nggak bisa menerima sisi Delta yang itu apa adanya. Gue masih merasa bahwa itu adalah sisi dia yang bikin gue nggak nyaman dan berujung pada penyesalan, “kenapa gue harus ngobrol sama dia sih pagi-pagi buta gini kalau ujung-ujungnya gue kesel?” Meski gue udah bisa berekspresi datar dan biasa aja dalam menanggapi setiap bubble chat dia, tapi rupanya gue masih tetap nggak bisa menjadi munafik soal sisi Delta yang itu masih mengganggu buat gue.

Sambil senyum gue membalas pesan Delta dengan gaya ketiga. Dia membalas pesan itu dengan cukup cepat. Tapi gue tahu, kalau gue lanjutkan dengan membalas lagi, obrolan ini nggak akan berakhir baik dan gue nggak mau merusak pagi gue, memperkeruh perasaan gue, dan menggoyahkan pendirian gue yang sudah datar dan biasa-biasa saja soal Delta. Gue keluar dari ruang obrolan dan menghapus pesan itu dari kotak masuk gue sambil bersumpah kalau gue nggak akan lagi sok-sok keep in touch sama orang ini.

Gue nggak mau terdengar seperti gue adalah orang paling baik sedunia atau paling sempurna sedunia. Gue cuma mau dilihat sebagai manusia. Dan sebagai manusia gue cuma bisa bilang kalau ada orang-orang yang sebaiknya memang nggak usah diajak ngomong lagi daripada mengganggu ketenangan dan kemaslahatan hidup.

Gue bisa mengerti kalau orang itu adalah gue. Kayaknya itulah kenapa circle gue semakin kecil aja karena orang yang tahan ngomong sama gue hanya orang yang berbesar hati kemaslahatannya mau diganggu.

Canda. I love you my friends.

Have a good life, Delta!

Kalau kata Emma Stone di La La Land, “I’m always gonna love you.”

Tapi tahu kan La La Land ending-nya kayak gimana? Hehe...

*Cover photo by Pixabay via Pexels.com



Share:

0 komentar