Yah... Hubungan Gue Sama Provider Internet Aja Toxic


Sebulan terakhir ini hidup gue terasa seperti “neraka”. Agak lebay sebenarnya menyebut deretan kejadian yang gue alami sebagai “neraka” tapi masing-masing orang punya standar tertentu terhadap sesuatu, kan? Atau ini gue hanya terdengar mencari pembenaran aja?

Anyway, setahun lebih yang lalu gue memutuskan untuk menjadi pelanggan sebuah provider wifi. Ini adalah sebuah keputusan yang besar dalam hidup gue karena gue belum pernah melakukan ini sebelumnya dan hal ini membutuhkan sebuah komitmen. Tapi karena momen WFH gue rasa akan sangat masuk akal kalau gue pasang wifi instead of gue pakai paket data di handphone lalu tethering ke laptop untuk kerja. Kantor gue harusnya memfasilitasi internet sih karena internetnya digunakan buat bekerja tapi yah itu tidak terjadi dan gue menjalankan komitmen ini sendiri.

Jujur gue nggak pernah punya masalah sama koneksi internetnya. Dibandingkan dengan provider lain, internet yang gue pakai ini nggak pernah terasa lemot atau gimana. Setidaknya ketika gue butuh, dia selalu ada.

Di awal-awal sih begitu.

Lalu setelah lewat setahun banyak sekali masalah mulai terjadi. Bukan soal internet lemotnya, kalau lemot yaudahlah yang penting kan masih terkoneksi, tapi ini mati total.

MATI TOTAL.

Bayangkan, di masa-masa WFH, internet yang udah lo bayar dengan rutin (fyi mereka punya peraturan kalau telat bayar 1 x 24 jam langsung kena denda) mati mendadak.

Di sinilah hidup gue mulai jadi kacau dan gerbang neraka seperti sedang terbuka lebar untuk menarik gue masuk dan membusuk di sana.


WFH ini kita sangat bergantung dengan internet. Dalam kapasitas gue sebagai pegawai biasa, gue nggak bisa afford banyak dalam hal pengeluaran untuk internet. Jadi ketika gue udah pasang wifi, gue merasa gue nggak butuh lagi beli paket data untuk handphone. Ya buat apa? Kan nggak pernah keluar rumah juga. Nggak butuh-butuh banget juga. Kalau semisal gue ada jadwal keluar rumah, gue mungkin akan beli paket data untuk sehari itu saja. Tapi most of the time kan gue di kosan dan gue nggak akan butuh paket data juga.

Lalu ketika wifi gue mati, semuanya terasa seperti... gila.

Di awal-awal gue mungkin menanggapinya hanya dengan panik biasa. Tapi setelah dalam sebulan wifi gue mati dua kali, respons gue sudah mulai berubah. Panik itu berubah jadi amarah. Ada rasa sesak di dada yang kapan saja bisa meledak kalau ini masalah nggak selesai. Yang meski sudah berusaha gue tahan tapi tetap nggak bisa. Yang akhirnya meledak setiap kali gue menelepon ke customer service.

Gue tahu, gue paham, gue paham sekali, kalau customer service memang pekerjaannya hanya melayani pelanggan dan mendengarkan keluhan pelanggan. Gue nggak tahu dengan provider yang lain, tapi provider yang gue pakai ini, customer service-nya benar-benar tugasnya hanya itu. Setelah dia mendengarkan pelanggan dia akan menghubungkan pelanggan tersebut ke pihak terkait. Apakah itu teknisi atau sales atau siapapun yang terkait pokoknya. Dalam hal ini gue ke teknisi.

Di situlah permasalahan lain muncul.

Teknisi yang dipekerjakan oleh provider internet gue ini rupanya adalah teknisi dari vendor (pihak ketiga). Gue tahu itu setelah berbincang dengan teknisi yang datang untuk membetulkan koneksi yang putus. Ketersediaannya sangat terbatas, dalam artian ketika gue internet gue mati di hari Sabtu jam 10 pagi Waktu Indonesia Barat, teknisinya baru bisa datang di hari Senin jam 3 sore Waktu Indonesia Barat.

“Ya terus menurut Anda nih, mbak, pekerjaan saya gimana ya?”

Fyi lagi, setiap akhir pekan gue pun harus kerja means gue butuh koneksi internet setiap saat. 7 x 24 jam.

Gue selalu mencoba untuk bersikap baik dan bicara biasa-biasa saja tanpa tendensi marah-marah. Tapi dalam kondisi itu, ketika gue lagi kerja dan internet mati, lalu gue minta pertolongan dan pertolongannya baru datang dua hari kemudian, gue yang hanya manusia biasa ini cuma bisa marah-marah.


Kalau itu cuma terjadi sekali, okelah, tapi dalam 30 hari terakhir itu udah terjadi 4 kali dan di momen-momen yang benar-benar krusial: di tengah-tengah pekerjaan. Yang paling parah sih weekend kemarin ini, gue lagi piket weekend (yang berarti gue harus standby dari kurang lebih jam 6 pagi sampai kurang lebih jam 10 malam di hari Sabtu dan Minggu), wifi gue tiba-tiba mati jam 12 siang dan dijanjikan teknisinya datang hari Minggu jam 3 sore.

“Lantas sampai Minggu jam 3 sore saya harus gimana dengan pekerjaan saya?” itu pertanyaan yang selalu gue lempar ke customer service ketika gue menelepon mereka. Tentu saja mereka nggak punya solusi karena tugas mereka bukan mencarikan gue solusi soal pekerjaan gue. Tapi gue juga nggak seharusnya mempersiapkan plan B setiap saat internet gue mati karena menurut gue ketika gue sudah komitmen sama provider internet ini, gue sudah rutin bayar setiap bulan, mereka juga harus menjaga komitmen dengan memberikan pelayanan terbaik termasuk ketika internet mati gini mereka harus sigap dan nggak buang-buang waktu.

Tapi itu nggak terjadi. Tentu saja.

Dan akhirnya gue cari plan B. Hari Sabtu dan Minggu itu gue pun terpaksa ke kantor untuk kerja dari kantor. Di sanalah gue kemudian berpikir panjang soal komitmen gue sama si provider internet ini.

Kalau dalam setahun ini gue menghabiskan tenaga, emosi, pulsa (yang mana gue rasa lebih mahal biaya nelepon ke CS-nya daripada bayar internet sebulannya), dan waktu cuma buat marah-marah ke mereka sekali sebulan (atau dalam kejadian baru-baru ini empat kali sebulan), gue merasa udah nggak ada alasan lagi buat mempertahankan komitmen ini.

Ketika gue sebagai pelanggan sudah melakukan tugas gue setiap bulan dengan bayar tagihan tepat waktu (dengan ancaman denda kalau telat bayar sehari saja), tapi mereka bahkan sama sekali nggak mencoba untuk sigap dalam menangani permasalahan yang sama setiap bulan (SAMPAI 4 KALI LOH!), untuk apa lagi bertahan?

Sore itu gue telepon lagi customer service-nya dan minta untuk internet gue diputus aja dan gue akan berhenti berlangganan.

“Kalau begitu nanti akan dikenakan biaya pemutusan ya mas.”

Rasanya gue pengin loncat dari menara Eiffel.

“Mohon maaf mbak, tapi selama sebulan ini saya udah 4x mati, bahkan internet saya saja sekarang masih belum online lagi, dan saya nggak ada kompensasi apapun, lalu saya mau minta berhenti berlangganan dan saya disuruh bayar?”

Pengen rasanya teriak: “YA! MICOSO?!”

Lalu gue berhenti menulis sebentar untuk menyelesaikan urusan pemutusan ini dan menelepon lagi ke customer service-nya sekaligus bertanya soal kompensasi. Mereka menyebut ada kompensasi tapi pihak CS-nya juga masih harus melakukan pengajuan dan keputusannya ada di pihak lain.

Kesabaran gue udah di level nol sih jujur. 

Yang gue inginkan sekarang hanyalah terbebas dari hubungan beracun antara gue dan provider internet ini, berhenti kontak dan merepotkan semua CS yang sudah gue marah-marahi sebelumnya, lalu kabur sejauh mungkin atau tenggelam bersama provider internet lain yang lebih baik.

Gue nggak tahu kenapa butuh waktu lama buat gue untuk berpikir dan memutuskan berhenti berlangganan. Entah karena gue sibuk hitung-hitungan soal budget, ketidakmampuan gue untuk membayar lebih untuk provider yang lebih baik atau gimana, gue juga nggak tahu. Tapi gue mikir juga kadang-kadang, apakah pelayanan seperti ini gue dapatkan karena gue basically miskin dan hanya bisa berlangganan paket yang paling murah? Ada gak sih kemungkinan itu? Cuma kalau dipikir-pikir lagi, kayanya kalau emang pelayanannya berdasarkan siapa yang bayar lebih mahal... sih... kayaknya... HAHAHAHAHAHAHAHAHAHA nggak tahu ya agak jahat.

Tapi ini realita di luar sana gak sih...

Soalnya kan gue tinggal sendiri, gue pakai wifi buat diri gue sendiri, yang mana nggak perlu paket dengan bandwidth yang gede juga karena kebutuhan gue nggak sebanyak itu. Maksud gue adalah, gunanya provider memberikan pilihan paket kan agar pelanggan juga bisa lebih leluasa dalam menentukan sesuai kebutuhan dan kemampuan mereka. Tapi kalau pada akhirnya mereka melayani keluhan tergantung siapa yang membayar lebih mahal tuh rasanya... ya kayak sakit aja gitu sebagai orang yang cuma bisa bayar paket paling murah. WKWKWKWKWKW. Tapi semoga ini cuma halusinasi gue aja.

Yang pasti gue sudah memutuskan untuk tidak lagi menggunakan layanan provider internet ini. Bukan karena layanan internetnya jelek atau koneksinya lemot, tapi karena layanan pelanggannya saat internet bermasalah yang menurut gue terlalu lamban dan nggak sigap.

Gue banyak mendengar cerita dari teman-teman gue yang menggunakan provider internet lain dan ketika mereka mengalami kendala yang sama, hari itu juga teknisinya akan datang buat memperbaiki. Dan itu nggak cuma sekali mereka alami, tapi berkali-kali.

Sementara gue, nggak cuma sekali internet gue mati, tapi berkali-kali, dan berkali-kali juga gue harus menunggu selama 2 hari untuk bisa kembali menggunakan layanan internet yang sudah gue bayar rutin setiap bulannya.

Ada yang punya waktu nunggu?

Gue sih nggak punya.


Sekarang gue mikir lagi...

Dulu ketika gue nggak berlangganan wifi, gue nggak pernah punya masalah dengan provider wifi dan permasalahan gue selalu sama orang yang gue taksir dan nggak naksir gue balik. Sampai akhirnya gue memutuskan buat move on, gue malah dipertemukan dengan permasalahan wifi ini. Sekarang ketika permasalahan wifi gue ini selesai dan gue sudah komitmen dengan provider wifi lainnya, apakah gue akan kembali masuk ke fase naksir sama orang yang salah lagi?

YA ALLAH...

*cover photo by Oleg Magni via Pexels.





Share:

0 komentar