Gue tiba-tiba ingat satu doa yang gue panjatkan di sebuah masa, setiap selesai salat, ketika gue merasa gue butuh seseorang untuk dipegang tangannya, untuk ditelepon sebelum tidur, ketika gue merasa gue menyukai seseorang dan ingin dia jadi bagian dari hari-hari gue, paling tidak sampai kami merasa kami masih saling membutuhkan.
Gue sedang duduk di salah satu kafe di pinggiran Mataram, tempat yang sebelumnya diperkenalkan oleh Lola. Gue memutuskan buat mampir ke sini di Sabtu sore jelang maghrib karena gue sedang tidak baik-baik saja.
Gue sedang berada dalam fase-fase bingung dan kosong dan nggak tahu sedang ingin apa. Gue duduk di kursi dekat jendela, kursi untuk empat orang tapi gue tempati sendirian, mendengarkan lagu Orla Gartland yang judulnya Why Am I Like This? yang anehnya mood-nya sangat pas dengan gue hari ini. Gue sebenarnya sedang kenapa sih?
"I got my mistakes on loop inside my head..."
“Malam ini ke mana? Keluar yuk, bosen nih.”
Gue kirim pesan itu ke Lola, teman karib gue sejak SMA. Gue lagi di Lombok by the way, lagi libur Lebaran setelah dua tahun terakhir gue Lebaran di kosan sendirian aja karena pandemi. Sekarang setelah tiga kali vaksin gue rasanya lebih berani pulang-pergi ke kampung halaman. Di 2022 ini aja gue udah tiga kali pulang saking beraninya.
Hari itu Sabtu. Gue sejak beberapa hari terakhir cuma tidur-tiduran saja di rumah karena menikmati waktu kosong tanpa bekerja dan nulis artikel. Ada beberapa artikel yang harus gue kerjakan Sabtu ini tapi gue akan free di malam harinya. Jadi gue pikir sepertinya akan menarik kalau gue ngajak Lola buat pergi-pergi. Dia bukan orang yang ribet buat diajak pergi-pergi dan selalu mau.
Geng SMA gue ada lima orang termasuk gue. Empat yang lainnya perempuan dan tiga di antara mereka sudah nikah. Lola masih sendiri dan gue selalu sendiri karena memang gue tidak ada keinginan sama sekali buat berumah tangga. Jadilah gue sama Lola sering banget main bareng kalau gue lagi pulang kampung. Sudah cukup lama juga kita nggak ketemu karena pandemi. Jadi mumpung gue lagi di rumah, gue jadi agak clingy sama dia dan ngajak-ngajak dia terus seolah-olah dia nggak punya kerjaan lain. WKWKWKWKWKKW. Gue nggak bisa ngajak temen-temen segeng gue yang lain karena sudah berkeluarga. Tahu diri aja gue nggak mungkin ngajak ibu-ibu nongkrong di kafe sementara anaknya dibiarin sama suami kan. Di titik ini gue sedang merasa bahwa gue tidak bisa seperti mereka yang mengemban tanggung jawab sebesar itu. Jadi gue lebih menikmati waktu sendiri gue saja bersama orang-orang yang sendirian juga seperti Lola.
Tapi malam itu rupanya Lola nggak sedang sendirian.
Sial.
Sebulan terakhir ini hidup gue terasa seperti “neraka”. Agak lebay sebenarnya menyebut deretan kejadian yang gue alami sebagai “neraka” tapi masing-masing orang punya standar tertentu terhadap sesuatu, kan? Atau ini gue hanya terdengar mencari pembenaran aja?
Anyway, setahun lebih yang lalu gue memutuskan untuk menjadi pelanggan sebuah provider wifi. Ini adalah sebuah keputusan yang besar dalam hidup gue karena gue belum pernah melakukan ini sebelumnya dan hal ini membutuhkan sebuah komitmen. Tapi karena momen WFH gue rasa akan sangat masuk akal kalau gue pasang wifi instead of gue pakai paket data di handphone lalu tethering ke laptop untuk kerja. Kantor gue harusnya memfasilitasi internet sih karena internetnya digunakan buat bekerja tapi yah itu tidak terjadi dan gue menjalankan komitmen ini sendiri.
Jujur gue nggak pernah punya masalah sama koneksi internetnya. Dibandingkan dengan provider lain, internet yang gue pakai ini nggak pernah terasa lemot atau gimana. Setidaknya ketika gue butuh, dia selalu ada.
Di awal-awal sih begitu.
Pada dasarnya gue memang suka nulis dan terbiasa menuliskan apa yang gue rasakan untuk sekedar membuat pikiran gue sedikit lega. Kebiasaan yang cukup membahayakan buat gue karena gue pun juga sangat aktif di media sosial. Tapi sekarang mulai bisa ngurang-ngurangin sih. Ehehe... Mereka yang berteman dengan gue di semua media sosial sejak lama pasti pernah menangkap sinyal-sinyal curhatan lebay soal banyak hal, atau kalimat-kalimat ambigu dan berada di wilayah abu-abu tentang beberapa hal (atau mungkin beberapa orang). Gue bersyukur banyak dari orang-orang itu nggak peduli dan kalaupun ada yang peduli dan langsung tanya ke gue, mereka bukan orang yang membuat gue tidak nyaman. Kebiasaan ini kadang-kadang bikin ketergantungan. Setiap kali sedang mengalami guncangan emosi, karena nggak ada manusia langsung yang bisa diajak berbincang, kadang-kadang secara otomatis otak gue akan memerintah tangan buat ambil hanphone, jempol nge-tap Twitter, lalu menulis semua yang ingin gue tuliskan.
Di posisi gue mungkin itu terasa sangat wajar.
“Ya kan akun-akun gue. Perasaan juga perasaan gue!”
Tapi di posisi orang yang baca tweet itu, “Apaan sih lu?”
Kenapa ya, setiap ada sesuatu hal mengecewakan terjadi, ujung-ujungnya gue selalu merasa kalau gue sedikit banyak juga berkontribusi pada hal tersebut?
Gue setuju banget sama tulisan yang berseliweran di media sosial yang bilang “Anak muda merasa nggak keren kalo tidur cepet dan ingin stay up all night. Tapi nanti ketika lo udah masuk ke usia-usia dewasa lo akan sadar betapa tidur itu sangat menyenangkan dan lo butuhkan.”
Pernah ada di satu masa gue sangat suka banget begadang. Bukan party-party tapi ya WKKWKWKW biasanya gue begadang kalau lagi nulis, ngeblog, atau nyiapin project buat konser gitu (karena dulu sering bikin fan support buat beberapa grup yang gue datengin konsernya). Tidur bukanlah sesuatu yang gue prioritaskan di awal usia 20 gue. Kayak... begadang is cool! Tapi setelah dua atau tiga tahun di dunia kerja gue kemudian merasa bahwa tidur itu adalah sesuatu yang mahal banget. Terutama tidur nyenyak.
Karena sibuk dengan urusan kantor kadang-kadang gue suka mengorbankan jam tidur untuk bekerja. Sampai akhirnya gue tiba di satu titik di mana setiap weekend gue selalu tepar blasssssss tidur seharian dan bangun tengah hari bolong gitu cuma buat ke kamar mandi dan salat zuhur lalu kemudian tidur lagi sampai asar. Since gue juga bukan morning person (gue nggak tahu ini sejak kapan kebiasaan ini terbentuk) barulah setelah asar atau jelang maghrib gue bisa 100% sadar. Sampai akhirnya gue akan terbangun sampai tengah malam atau dini hari dan baru tidur di jam-jam yang seharusnya gue bangun buat memulai hari sepagi mungkin.
Begitulah lingkaran setan.
Sejak awal bulan puasa ini, doa gue cuma satu: semoga gue nggak lagi jadi orang yang insecure. Tapi gue nggak yakin insecure bisa mewakili banyak sekali hal yang sebenarnya gue inginkan tahun ini. Kayak semisal gue nggak pengin lagi jadi orang yang nggak percaya diri, gue nggak pengin lagi jadi orang yang selalu merasa diri nggak layak, gue nggak pengin lagi jadi orang yang selalu merasa jelek, dan gue nggak lagi jadi orang yang nggak bisa jadi dirinya sendiri.
Kalau boleh jujur nih (YA BOLEHLAH! WKWKWKKW ORANG BLOG SENDIRI), gue tuh orangnya sangatlah bucin. Kayak, gue pikir gue bakal bucin cuma sama idol K-Pop doang atau bintang film yang baru kemarin gue tonton, atau berharap ada film lain yang diperankan oleh Ryan Gosling dan Emma Stone (SOALNYA GUE SUKA BANGET LA LA LAND). Gue pikir gue bakalan bucin sama hal-hal halu semacem itu doang. Walaupun memang gue akui di area itu gue juga bisa jadi sangat bucin sih (kayak gue akan nggak segan-segan print foto bias gue buat ditaroh di dompet misalnya) tapi in real life ternyata gue bisa sebucin itu sama manusia.
It’s not that I just realized this now... soalnya kalau temen-temen gue baca ini mereka bakal bilang “YA EMANG! LO KEMANA AJA SELAMA INI?!” padahal ini kan hidup gue ya, ya gue di sini-sini aja gak sih WKWKWKWKWK. Tapi mungkin lebih karena udah cukup lama gue rehat(?) dari perasaan-perasaan bucin itu.
Gue baru sadar satu hal lain dari diri gue. Sesuatu yang sebelumnya nggak pernah gue perhatiin atau gue terlalu pikirin. Ya memang belakangan ini semua hal gue pikirin banget. Wkwkkwkw. Takut kalau tweet gue yang tadi akan menyakiti, takut kalau chat gue ke si anu bakal dianggep macem-macem, takut kalau update-an story gue di Instagram malah jadi gimana gitu. Sebenarnya kalau boleh jujur, gue nggak suka nih sama kebiasaan yang kayak gini. Walaupun di satu sisi memang gue jadi lebih harus hati-hati dalam bertindak, tapi di sisi lain melelahkan juga kalau semuanya harus dipikirin. Bahkan hal-hal kecil pun harus disesali juga. Ya tapi gue sedang berusaha untuk mengatasi itu.
Orang yang kenal gue atau pernah ketemu gue pasti tahu kalau gue ini orangnya banyak bicara banget. Kadang-kadang, dipertemuan pertama, gue saking salah tingkahnya jadi suka sok akrab dengan cara membeberkan hal-hal yang lebay. Semacem TMI banget gitu deh. Kayak yang tadi gue bilang di awal, gue dulunya nggak pernah menyadari ini atau mempermasalahkan ini. Tapi belakangan gue benar-benar kepikiran dan membuat gue jadi suka mengutuk diri gue sendiri atas apa yang tadi sudah gue lakukan.
Kayak, “duh harusnya gue nggak ngomong gitu!”, atau, “ih apaan sih, ngapain juga bahas hal itu!” Kalau ada hal yang paling gue sukai di dunia ini adalah bicara dengan diri sendiri, dan kalau ada hal yang paling nggak gue sukai di dunia ini adalah bicara dengan diri sendiri dan menyesali apa yang sudah gue lakukan sejam yang lalu, sehari yang lalu, seminggu yang lalu, bahkan bertahun-tahun yang lalu.
It sucks.
Gila udah
berapa lama gue nggak nulis di blog ini? Setelah ulang tahun blog ini yang
ke-10, padahal gue udah niat banget mau kembali rajin dan rutin menulis lagi
meski pendek-pendek. Tapi yah.... memang namanya manusia cuma bisa berencana. Pada
akhirnya yang menentukan adalah mood dan deretan drama Korea yang menunggu buat
ditonton.
Sebenarnya gue tuh takut banget deh buka DM belakangan ini. Hihihi... Sejak posting-an soal satu fandom di blog gue beberapa bulan yang lalu, gue jadi suka ngeri kalau lihat notifikasi ada DM masuk. Di saat yang sama gue tuh juga orangnya nggak bisa kalo liat notifikasi numpuk. Harus dibuka dan harus dihilangkan supaya nggak bikin gagal fokus. Tapi setelah ramai posting-an “toksik” waktu itu, udah, gue nggak berani lagi liat DM.
Gue yakin nggak cuma gue yang mengeluhkan permasalahan hidup. Tentu saja semua orang punya masalah hidupnya masing-masing, begitu juga gue. Tapi anehnya, beberapa bulan terakhir ini, gue merasa hidup gue jauh lebih baik dari sepanjang 36 bulan yang lalu. Gue merasa agak aneh dan nggak terbiasa dengan ini.
Lha? WKWKKWKWKWKWKW
Kalau lo follow gue di Instagram (HAHAHA ASLI GUE KETAWA PAS NULIS INI), sepanjang 2017, 2018, dan 2019 lo pasti menangkap banyak sekali kegalauan di sana. Kegalauan-kegalauan yang ditulis dalam bentuk quote-quote yang gue upload ke Instagram Stories. Sekarang bahkan masih ada di Highlight gue dan jujur aja gue nggak mau buka-buka itu lagi karena masih merasa mual kalau ngebaca tulisan-tulisan itu. Tapi kalau lo mau, silakan liat dan baca. Sekalian follow juga boleh wkwkwkwkkwkw.
2017 – 2019 itu mungkin gue bisa bilang jadi masa-masa terburuk dan tergalau dalam hidup gue. Entah kenapa gue merasa berada di titik terendah banget di masa-masa itu. Kalau mau ditarik ke belakang lagi mungkin semuanya berawal sejak 2016. Ada banyak hal yang mungkin bisa jadi alasan kenapa gue ada di fase-fase terpuruk itu. Pindah kerja, penyesuaian diri di tempat baru, patah hati, anxiety (self-diagnoes which was not good), ketidakpastian hidup, tempat tinggal yang jelek, pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab, dan masih banyak lagi.
Tapi gue nggak bilang sepanjang tiga tahun itu semuanya buruk. Karena tentu saja di antara kegalauan-kegalauan itu (yang bahkan ada salah satu teman di Twitter yang bilang gue mungkin sudah masuk ke fase awal depresi) ada banyak sekali hal-hal positif yang terjadi. Hal-hal inilah yang membuat gue kemudian semakin yakin bahwa hidup itu emang seperti roda. Ada kalanya di atas, ada kalanya di bawah. Dan ketika lo di bawah, lo nggak akan selamanya ada di situ jadi jangan terlalu dipikirin dan jalani semuanya dengan sebaik-baiknya sambil lo belajar. Karena nanti ketika lo di atas, lo juga nggak akan selamanya ada di situ. Ada kalanya lo akan ke bawah lagi, tapi kali ini ketika lo ada di bawah lo sudah tahu kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Karena lo sudah pernah ada di posisi itu sebelumnya, jadi lo bisa mempersiapkan diri dan paling nggak karena lo sudah pernah ada di bawah, lo tahu bagaimana rasanya dan lo sudah belajar untuk menghadapi segala sesuatu, jadi sekarang you can do better than the last time.
Memasuki tahun 2020 gue digempur oleh banyak banget cobaan terutama masalah kesehatan. Untuk pertama kalinya dalam 28 tahun gue masuk rumah sakit dan dirawat sampai harus dioperasi. Sebelum sampai di ruang operasi gue bahkan sudah menderita berbulan-bulan karena sakit yang gue sendiri nggak tahu apa. Gue menghabiskan dua minggu pertama di tahun 2020 di dalam ruang rawat Rumah Sakit. Dan di situ banyak sekali hal yang terjadi bahkan sebulan setelah itu pun roller coaster hidup rasanya nggak berhenti mengguncang. Tapi kan katanya selalu ada matahari cerah setelah badai, ya? Dan sekarang gue merasa sudah melewati badai-badai itu.
Gue nggak bilang kalau gue sekarang sudah 100% bahagia karena nggak akan ada yang 100% dalam hidup ini. Tapi kalau boleh jujur, selama dua atau tiga bulan terakhir ini, gue berada dalam kondisi terbaik dalam hidup gue selama tiga tahun terakhir. Gue nggak pernah merasa sesehat ini, seproduktif ini, seseneng ini, setenang ini, sebahagia ini, secukup ini.
Gue merasa cukup.
Melihat kondisi fisik dan mental gue selama beberapa bulan ini, gue mungkin sekarang berani dan bisa bilang “I don’t want anything else. I want to live like this, forever.”
Gue susah tidur lagi belakangan ini. Ini mungkin sudah hari ketujuh atau kedelapan, gue lupa. Atau mungkin sebenarnya udah lebih dari itu. Seinget gue, sejak work from home ini gue memang susah banget tidur. Kadang malah nggak tidur. Sesuatu sangat mengganggu pikiran gue. Sesuatu seperti kemarahan-kemarahan yang nggak tersalurkan, emosi-emosi yang terpendam, dendam-dendam lama yang sepertinya merongrong dari dalam.
Terdengar sangat serius dan berbahaya, ya?
Kalau dipikir-pikir ternyata memang gue hanya butuh untuk menjadi sibuk agar lupa dengan hal-hal yang seharusnya nggak gue khawatirkan saat ini. Kenapa ya gue nggak pernah sadar tentang hal ini sebelumnya? Atau sebenarnya sih gue udah tahu tapi karena kekhawatirannya terlalu berlebihan dan kadang diada-adain jadinya malah kalah, gitu ya? Bisa jadi sih.
Gue sedang duduk di belakang meja kecil yang gue beli dari warnet yang sudah mau tutup di dekat kosan gue pas di Depok dulu dan baru selesai ngerjain artikel buat naik di portal kantor besok ketika gue memikirkan ini. Beberapa hari terakhir harus work from home membuat ritme kerja gue agak berubah. Termasuk juga keseharian mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Dan kemudian tiba-tiba saja gue kepikiran tentang hari-hari di mana gue selalu memikirkan hal-hal yang tidak pasti soal hidup. Kecemasan-kecemasan yang mendadak datang padahal sebenarnya nggak penting-penting amat buat dicemaskan.
Beberapa waktu yang lalu gue pernah menulis tentang bagaimana gue anxious mendengarkan pengakuan dua orang berbeda tentang dua hal serius yang ingin mereka bicarakan dengan gue. Yang satu mengaku kalau dia mengidap penyakit serius, yang satu mengaku kalau dia pacaran dengan salah satu teman gue. Gue nggak pernah memikirkan ini sebelumnya tapi gue iri banget sama orang-orang yang bisa mengumpulkan keberanian buat ngomong secara terbuka tentang sesuatu yang mereka anggap penting, ke seseorang yang (mungkin) mereka anggap penting.
Pikiran gue soal dua momen itu kemudian membawa gue ke pertanyaan yang gue ajukan ke diri gue sendiri: apakah reaksi gue saat itu sudah tepat?
Gue tahu sih seharusnya memang masa lalu tuh nggak usah dibahas lagi. Yang lewat ya sudah lewat aja. Tapi tiba-tiba aja gue kepikiran sama hal yang satu ini: reaksi.
Sebagai seorang introvert, satu-satunya alasan untuk menjauh dari keramaian adalah karena bergaul itu bisa jadi sangat melelahkan. Semua orang yang mengidentifikasi diri mereka sebagai seorang introvert pasti merasakan ini. Bersosialisasi itu selain menyenangkan juga membutuhkan banyak energi. Biasanya kami, para introvert, butuh waktu untuk menepi dan menjauh dari segala bentuk interaksi dengan manusia-manusia lain untuk mengisi ulang energi yang hilang itu. Dan itu bisa dengan banyak cara tapi yang pasti kami semua sepakat bahwa momen menjauhi keramaian dan interaksi sosial itu adalah momen menyendiri yang sakral dan perlu dilakukan.
Sekarang mungkin orang-orang menyebutnya dengan social distancing.

Ada nggak sih orang yang mau hidupnya mentok di satu titik dan nggak bergerak sama sekali? Pertanyaan ini muncul di kepala gue dalam manuver singkat dari tempat tidur menuju ke kamar mandi di suatu malam. Gerakan yang kemudian dilanjutkan dengan sebuah monolog yang harusnya tetap di kepala gue aja tapi ternyata keterusan sampai ke mulut.
“Nggak ada kali yang mau kayak gitu,” kata gue pas lagi cuci tangan. Belakangan ini gue lagi rajin banget cuci tangan pakai sabun karena takut kena virus corona.
Sebagai orang yang sehari-harinya menulis dan mendapatkan uang dari situ, stuck adalah salah satu hal haram yang rasanya amit-amit banget kejadian. Kayak pengin ngetok-ngetok meja berkali-kali, lanjut ngetok-ngetok jidat berkali-kali supaya dijauhkan dari kutukan bernama stuck. Mereka yang menulis menyebutnya Writer’s Block dan itu terjadi pada semua penulis mau dia baru mulai atau dia sudah senior. Bedanya mungkin mereka yang sudah senior bisa lebih tahu bagaimana cara menyikapi hal ini sementara yang penulis pemula akan sangat panik dan merasa diri mereka gagal karena tidak produktif.
Gue adalah yang kedua.
Inget nggak gimana rasanya ketemu sama orang yang lo taksir? Ketika pertama kali kalian berdua ngobrol dan akhirnya merasa nyambung. Ketika awalnya lo biasa aja, nggak ada perasaan apa-apa karena itu bukan cinta pada pandangan pertama kayak yang biasa ada di serial-serial drama televisi Korea. Lalu kalian ngobrol karena punya satu topik yang suka dibahas. Entah buku, entah film, entah musik, entah Kpop. Dari obrolan yang cuma beberapa menit itu kok rasanya nyaman ya? Kok rasanya enak nih kalau misalnya kita ketemu lagi dan ngobrol lagi. Akhirnya kalian mulai tukar-tukaran nomor ponsel dan mulai ngobrol di chat. Masih nggak ada rasa apa-apa. Murni karena kalian cuma ingin memperluas pertemanan aja. Nggak ada salahnya dong punya teman baru. Tapi pelan-pelan dari obrolan-obrolan soal buku, film, musik, dan Kpop itu berubah jadi obrolan-obrolan yang serius. Tiba-tiba di suatu hari dia chat dan nanya hal penting ke lo. Rupanya ada masalah keluarga. Lo mulai mendengarkan curhatan-curhatan dia. Lo mulai khawatir. Lo mulai menjadikan diri lo selalu available untuk dia kalau memang dia lagi butuh cerita. Lalu rasa biasa-biasa aja dalam diri lo itu berubah jadi perhatian. Lo jadi sering nanya dia lagi ngapain, kapan bisa ketemu, mau nonton ini nggak, gue ada tiket konser nih mau pergi bareng nggak. Dan lo sampai di satu titik kalau lo ternyata suka sama dia. Dia nggak tahu. Lo sendiri sebenarnya juga masih ragu sama perasaan lo. Tapi lo tetap memberikan perhatian itu. Dia tetap menerima perhatian itu. Kemudian lo masuk ke fase cinta diam-diam karena lo nggak mau hubungan kalian jadi renggang setelah lo ngungkapin perasaan lo ke dia. Inget nggak gimana rasa berbunga-bunga setiap kali dia balas chat lo?
Happy, kan? Meski diam-diam lo curi-curi pandang ketika dia nggak memerhatikan, tapi lo happy, kan?
Tapi perasaan happy itu nggak cuma akan terjadi hanya karena dan ketika lo ketemu sama orang yang lo taksir. Ketemu sama orang yang nyambung pada obrolan pertama juga buat gue memberikan efek happy yang sama. Gue punya temen namanya Ais, gue lupa sebenarnya awalnya kita bisa kenal kayak gimana tapi kayaknya sih gara-gara dia admin salah satu fanbase EXO dulu dan pada masa-masa itu gue lagi gila-gilanya nge-tweet soal EXO. Kita kenal di Twitter dan kemudian ketemu beberapa kali karena fanbase yang bersangkutan ada event dan gue dateng. Tapi momen ketemu kita yang paling gue ingat adalah di satu hari di akhir bulan Maret 2013 ketika ada event cover dance di Gandaria City. Setelah itu kita akhirnya jadi sering ketemuan dan jalan bareng. Sampai sekarang, dia jadi temen jalan-jalan gue kalau di Bandung.