• Home
  • Explore Blog
    • K-Pop
    • EXO
    • Concert Experience
    • GMMTV's The Shipper Recap
    • Film
    • Self Reflection
    • My Trips!
      • New York Trip
      • Seoul Trip
      • Bangkok Trip
      • London Trip
  • Social Media
    • YouTube
    • Twitter
    • Instagram
    • Facebook
    • Email Me
  • My Podcasts
    • Podcast KEKOREAAN
    • Podcast ngedrakor!
  • NEW SERIES: 30 and Still Struggling
kaoskakibau.com - by ron


Gue udah terlalu lama mengabaikan blog ini sampai akhirnya kemaren gue bikin satu konten di Instagram yang mengingatkan gue dari mana gue memulai semuanya: dari sini. Dari blog ini.


Gue sedang duduk di meja kerja ringkih dari besi ringan dan papan sederhana yang gue beli di masa pandemi COVID-19 (yang gak nyangka ternyata udah 5 tahun aja lo!). Pikiran gue sedikit berkecamuk karena banyak hal. Sejujurnya, depresi gue belakangan ini sedang dalam fase yang gak berat banget, tapi di saat yang sama gue juga gak bilang kalau hidup sedang baik-baik saja. Gue hanya sedang... bingung dan sedikit kewalahan.


Gegara postingan Instagram itu gue akhirnya buka dashboard blog gue lagi. Update beberapa hal yang udah outdated dan gak sengaja skrol ke kolom komentar tulisan terakhir gue (yang gue sendiri gak sadar kalau widget Disqus itu masih bisa dipakai) lalu baca beberapa komentar di sana. Gue gemeter sedikit soalnya komentarnya pada baik-baik banget. Gue kemudian berpikir, 'oh orang tuh masih bisa relate sama tulisan gue ya?'


Gue dipaksa lagi kembali ke prinsip pertama gue bikin blog ini: untuk menulis, bukan untuk dibaca. Tapi sekarang setelah era istilah 'content creator' jadi makin banyak dan sering digunakan, seenggan apa pun gue untuk ikut arus tapi gak kerasa gue ketarik ombak juga. Gue mikir 'apa ini yang pada akhirnya bikin gue stuck?'


Ini yang gue maksud adalah 'keinginan untuk terus selalu dikasih validasi dan lupa dengan prinsip awal bahwa yang penting nulis, gak penting ada yang baca atau nggak'.


Beberapa orang juga muncul di komentar Reels yang gue bikin di Instagram, para pembaca lama blog ini. Sebagai orang yang haus validasi banget (WKWKWKWKWKK I KNOW I'M SORRY, I'M STILL ON THERAPY OK, GO EASY ON ME) itu bikin perasaan gue jadi tenang sedikit, lega sedikit. Ternyata masih ada yang ingat identitas blog ini dan siapa orang yang nulis, terlepas dari banyaknya tulisan yang mungkin sangat self-centred dan blunder. Tapi ya, jejak digital gue sebenarnya gampang banget dicari. Kalau lo cek tulisan di blog ini dari 10 tahun yang lalu, pasti akan ada banyak yang bisa jadi amunisi buat menyerang dari segala sisi.


The only thing I can say is that I changed.


Mungkin ada pemikiran dan pendapat yang tertulis beberapa tahun lalu, yang kalau gue baca lagi sekarang, gue pun akan memperdebatkan itu dengan diri gue sendiri. Dan banyak di antara hal-hal itu adalah soal dinamika fandom (EXO terutama) dan K-Pop. Ngomongin soal EXO, baru-baru ini gue kan liputan konser Kai di Jakarta dan itu juga jadi momen gue balik lagi ke bagaimana blog ini ada di era kejayaan EXO itu.


Itu bikin gue banyak berpikir dan berkontemplasi. Gue ketemu beberapa orang yang kenal gue dari blog ini di venue konser hari itu. Bahkan gue randomly bumped into one of long time EXO fans yang juga pembaca blog gue dan kita malah jadi nonton konsernya bareng. Ternyata kita masih orang-orang yang sama. Masih seheboh itu ngeliat grup ini bahkan setelah banyak sekali perubahan dan badai yang menyerang.


Gue bersyukur pernah jadi bagian dari dinamika fandom EXO dari awal sampai saat ini. Terlepas dari beberapa di antara kita mungkin punya pemikiran yang berbeda mengenai banyak hal (semisal siapa pacaran sama siapa atau ChanBaek is real sementara sebenarnya mungkin enggak juga), kita sama-sama sayang sama grup ini. WKWKWKKWKWKW Gue rasa, rasa sayang itu yang kemudian mendorong gue untuk kembali lagi ke blog ini dan punya pemikiran untuk memulai lagi.


Gue gak tahu sih sebenarnya apa yang harus gue mulai lagi. Tapi trigger-nya belakangan ini banyak banget. Ketika gue baca komentar di postingan terakhir gue itu juga jadi salah satu trigger untuk memulai lagi. At least untuk menumbuhkan semangat buat re-start, re-start, dan re-start.


Kehidupan memang lagi gak baik-baik aja, gue terombang-ambing ke sana ke mari karena banyak hal. Tuntutan hidup yang mungkin exist karena gue bikin sendiri, sementara sebenarnya semesta gak terlalu gimana-gimana banget soal itu.


So... where am I now?


I'm still here.


I will try, and try again.


I might fail again but who cares.


If I fall, I just need to stand up again and try again.


Semoga lancar semuanya wkwkwkwkwkwkkw (mendadak ragu).

***

Gue tiba-tiba ingat satu doa yang gue panjatkan di sebuah masa, setiap selesai salat, ketika gue merasa gue butuh seseorang untuk dipegang tangannya, untuk ditelepon sebelum tidur, ketika gue merasa gue menyukai seseorang dan ingin dia jadi bagian dari hari-hari gue, paling tidak sampai kami merasa kami masih saling membutuhkan. 

Gue sedang duduk di salah satu kafe di pinggiran Mataram, tempat yang sebelumnya diperkenalkan oleh Lola. Gue memutuskan buat mampir ke sini di Sabtu sore jelang maghrib karena gue sedang tidak baik-baik saja. 

Gue sedang berada dalam fase-fase bingung dan kosong dan nggak tahu sedang ingin apa. Gue duduk di kursi dekat jendela, kursi untuk empat orang tapi gue tempati sendirian, mendengarkan lagu Orla Gartland yang judulnya Why Am I Like This? yang anehnya mood-nya sangat pas dengan gue hari ini. Gue sebenarnya sedang kenapa sih?

"I got my mistakes on loop inside my head..."


“Malam ini ke mana? Keluar yuk, bosen nih.”

Gue kirim pesan itu ke Lola, teman karib gue sejak SMA. Gue lagi di Lombok by the way, lagi libur Lebaran setelah dua tahun terakhir gue Lebaran di kosan sendirian aja karena pandemi. Sekarang setelah tiga kali vaksin gue rasanya lebih berani pulang-pergi ke kampung halaman. Di 2022 ini aja gue udah tiga kali pulang saking beraninya.

Hari itu Sabtu. Gue sejak beberapa hari terakhir cuma tidur-tiduran saja di rumah karena menikmati waktu kosong tanpa bekerja dan nulis artikel. Ada beberapa artikel yang harus gue kerjakan Sabtu ini tapi gue akan free di malam harinya. Jadi gue pikir sepertinya akan menarik kalau gue ngajak Lola buat pergi-pergi. Dia bukan orang yang ribet buat diajak pergi-pergi dan selalu mau.

Geng SMA gue ada lima orang termasuk gue. Empat yang lainnya perempuan dan tiga di antara mereka sudah nikah. Lola masih sendiri dan gue selalu sendiri karena memang gue tidak ada keinginan sama sekali buat berumah tangga. Jadilah gue sama Lola sering banget main bareng kalau gue lagi pulang kampung. Sudah cukup lama juga kita nggak ketemu karena pandemi. Jadi mumpung gue lagi di rumah, gue jadi agak clingy sama dia dan ngajak-ngajak dia terus seolah-olah dia nggak punya kerjaan lain. WKWKWKWKWKKW. Gue nggak bisa ngajak temen-temen segeng gue yang lain karena sudah berkeluarga. Tahu diri aja gue nggak mungkin ngajak ibu-ibu nongkrong di kafe sementara anaknya dibiarin sama suami kan. Di titik ini gue sedang merasa bahwa gue tidak bisa seperti mereka yang mengemban tanggung jawab sebesar itu. Jadi gue lebih menikmati waktu sendiri gue saja bersama orang-orang yang sendirian juga seperti Lola.

Tapi malam itu rupanya Lola nggak sedang sendirian.

Sial.


Sebulan terakhir ini hidup gue terasa seperti “neraka”. Agak lebay sebenarnya menyebut deretan kejadian yang gue alami sebagai “neraka” tapi masing-masing orang punya standar tertentu terhadap sesuatu, kan? Atau ini gue hanya terdengar mencari pembenaran aja?

Anyway, setahun lebih yang lalu gue memutuskan untuk menjadi pelanggan sebuah provider wifi. Ini adalah sebuah keputusan yang besar dalam hidup gue karena gue belum pernah melakukan ini sebelumnya dan hal ini membutuhkan sebuah komitmen. Tapi karena momen WFH gue rasa akan sangat masuk akal kalau gue pasang wifi instead of gue pakai paket data di handphone lalu tethering ke laptop untuk kerja. Kantor gue harusnya memfasilitasi internet sih karena internetnya digunakan buat bekerja tapi yah itu tidak terjadi dan gue menjalankan komitmen ini sendiri.

Jujur gue nggak pernah punya masalah sama koneksi internetnya. Dibandingkan dengan provider lain, internet yang gue pakai ini nggak pernah terasa lemot atau gimana. Setidaknya ketika gue butuh, dia selalu ada.

Di awal-awal sih begitu.


Pada dasarnya gue memang suka nulis dan terbiasa menuliskan apa yang gue rasakan untuk sekedar membuat pikiran gue sedikit lega. Kebiasaan yang cukup membahayakan buat gue karena gue pun juga sangat aktif di media sosial. Tapi sekarang mulai bisa ngurang-ngurangin sih. Ehehe... Mereka yang berteman dengan gue di semua media sosial sejak lama pasti pernah menangkap sinyal-sinyal curhatan lebay soal banyak hal, atau kalimat-kalimat ambigu dan berada di wilayah abu-abu tentang beberapa hal (atau mungkin beberapa orang). Gue bersyukur banyak dari orang-orang itu nggak peduli dan kalaupun ada yang peduli dan langsung tanya ke gue, mereka bukan orang yang membuat gue tidak nyaman. Kebiasaan ini kadang-kadang bikin ketergantungan. Setiap kali sedang mengalami guncangan emosi, karena nggak ada manusia langsung yang bisa diajak berbincang, kadang-kadang secara otomatis otak gue akan memerintah tangan buat ambil hanphone, jempol nge-tap Twitter, lalu menulis semua yang ingin gue tuliskan.

Di posisi gue mungkin itu terasa sangat wajar.

“Ya kan akun-akun gue. Perasaan juga perasaan gue!”

Tapi di posisi orang yang baca tweet itu, “Apaan sih lu?”


Kenapa ya, setiap ada sesuatu hal mengecewakan terjadi, ujung-ujungnya gue selalu merasa kalau gue sedikit banyak juga berkontribusi pada hal tersebut?


Gue setuju banget sama tulisan yang berseliweran di media sosial yang bilang “Anak muda merasa nggak keren kalo tidur cepet dan ingin stay up all night. Tapi nanti ketika lo udah masuk ke usia-usia dewasa lo akan sadar betapa tidur itu sangat menyenangkan dan lo butuhkan.”

Pernah ada di satu masa gue sangat suka banget begadang. Bukan party-party tapi ya WKKWKWKW biasanya gue begadang kalau lagi nulis, ngeblog, atau nyiapin project buat konser gitu (karena dulu sering bikin fan support buat beberapa grup yang gue datengin konsernya). Tidur bukanlah sesuatu yang gue prioritaskan di awal usia 20 gue. Kayak... begadang is cool! Tapi setelah dua atau tiga tahun di dunia kerja gue kemudian merasa bahwa tidur itu adalah sesuatu yang mahal banget. Terutama tidur nyenyak.

Karena sibuk dengan urusan kantor kadang-kadang gue suka mengorbankan jam tidur untuk bekerja. Sampai akhirnya gue tiba di satu titik di mana setiap weekend gue selalu tepar blasssssss tidur seharian dan bangun tengah hari bolong gitu cuma buat ke kamar mandi dan salat zuhur lalu kemudian tidur lagi sampai asar. Since gue juga bukan morning person (gue nggak tahu ini sejak kapan kebiasaan ini terbentuk) barulah setelah asar atau jelang maghrib gue bisa 100% sadar. Sampai akhirnya gue akan terbangun sampai tengah malam atau dini hari dan baru tidur di jam-jam yang seharusnya gue bangun buat memulai hari sepagi mungkin.

Begitulah lingkaran setan.


Sejak awal bulan puasa ini, doa gue cuma satu: semoga gue nggak lagi jadi orang yang insecure. Tapi gue nggak yakin insecure bisa mewakili banyak sekali hal yang sebenarnya gue inginkan tahun ini. Kayak semisal gue nggak pengin lagi jadi orang yang nggak percaya diri, gue nggak pengin lagi jadi orang yang selalu merasa diri nggak layak, gue nggak pengin lagi jadi orang yang selalu merasa jelek, dan gue nggak lagi jadi orang yang nggak bisa jadi dirinya sendiri.


Kalau boleh jujur nih (YA BOLEHLAH! WKWKWKKW ORANG BLOG SENDIRI), gue tuh orangnya sangatlah bucin. Kayak, gue pikir gue bakal bucin cuma sama idol K-Pop doang atau bintang film yang baru kemarin gue tonton, atau berharap ada film lain yang diperankan oleh Ryan Gosling dan Emma Stone (SOALNYA GUE SUKA BANGET LA LA LAND). Gue pikir gue bakalan bucin sama hal-hal halu semacem itu doang. Walaupun memang gue akui di area itu gue juga bisa jadi sangat bucin sih (kayak gue akan nggak segan-segan print foto bias gue buat ditaroh di dompet misalnya) tapi in real life ternyata gue bisa sebucin itu sama manusia.

It’s not that I just realized this now... soalnya kalau temen-temen gue baca ini mereka bakal bilang “YA EMANG! LO KEMANA AJA SELAMA INI?!” padahal ini kan hidup gue ya, ya gue di sini-sini aja gak sih WKWKWKWKWK. Tapi mungkin lebih karena udah cukup lama gue rehat(?) dari perasaan-perasaan bucin itu.

Gue baru sadar satu hal lain dari diri gue. Sesuatu yang sebelumnya nggak pernah gue perhatiin atau gue terlalu pikirin. Ya memang belakangan ini semua hal gue pikirin banget. Wkwkkwkw. Takut kalau tweet gue yang tadi akan menyakiti, takut kalau chat gue ke si anu bakal dianggep macem-macem, takut kalau update-an story gue di Instagram malah jadi gimana gitu. Sebenarnya kalau boleh jujur, gue nggak suka nih sama kebiasaan yang kayak gini. Walaupun di satu sisi memang gue jadi lebih harus hati-hati dalam bertindak, tapi di sisi lain melelahkan juga kalau semuanya harus dipikirin. Bahkan hal-hal kecil pun harus disesali juga. Ya tapi gue sedang berusaha untuk mengatasi itu.

Orang yang kenal gue atau pernah ketemu gue pasti tahu kalau gue ini orangnya banyak bicara banget. Kadang-kadang, dipertemuan pertama, gue saking salah tingkahnya jadi suka sok akrab dengan cara membeberkan hal-hal yang lebay. Semacem TMI banget gitu deh. Kayak yang tadi gue bilang di awal, gue dulunya nggak pernah menyadari ini atau mempermasalahkan ini. Tapi belakangan gue benar-benar kepikiran dan membuat gue jadi suka mengutuk diri gue sendiri atas apa yang tadi sudah gue lakukan.

Kayak, “duh harusnya gue nggak ngomong gitu!”, atau, “ih apaan sih, ngapain juga bahas hal itu!” Kalau ada hal yang paling gue sukai di dunia ini adalah bicara dengan diri sendiri, dan kalau ada hal yang paling nggak gue sukai di dunia ini adalah bicara dengan diri sendiri dan menyesali apa yang sudah gue lakukan sejam yang lalu, sehari yang lalu, seminggu yang lalu, bahkan bertahun-tahun yang lalu.

It sucks.


Gila udah berapa lama gue nggak nulis di blog ini? Setelah ulang tahun blog ini yang ke-10, padahal gue udah niat banget mau kembali rajin dan rutin menulis lagi meski pendek-pendek. Tapi yah.... memang namanya manusia cuma bisa berencana. Pada akhirnya yang menentukan adalah mood dan deretan drama Korea yang menunggu buat ditonton.


Sebenarnya gue tuh takut banget deh buka DM belakangan ini. Hihihi... Sejak posting-an soal satu fandom di blog gue beberapa bulan yang lalu, gue jadi suka ngeri kalau lihat notifikasi ada DM masuk. Di saat yang sama gue tuh juga orangnya nggak bisa kalo liat notifikasi numpuk. Harus dibuka dan harus dihilangkan supaya nggak bikin gagal fokus. Tapi setelah ramai posting-an “toksik” waktu itu, udah, gue nggak berani lagi liat DM. 


Gue bangun pagi-pagi banget kemarin pagi karena ada kerjaan yang harus segera diselesaikan sebelum jam 12 siang. Karena gue juga harus rekaman Podcast ngedrakor! jadi jadwal gue terasa agak padat bahkan sejak gue membuka mata (karena drama Korea Train yang mau dibahas di episode terbaru belum selesai gue tonton). Belakangan ini gue sedang tidak dalam kondisi yang benar-benar baik, gue rasa? Karena sekarang gue susah banget bangun pagi. Kasur terasa lebih posesif dari sebelum-sebelumnya. Kalau pun gue terbangun, biasanya cuma ngecek jam, mengingat mimpi, lalu tidur lalu dan melanjutkan mimpi itu, sampai akhirnya di jam gue bener-bener harus bangun dan siap-siap ke kantor (sedang shift sore jadi bisa bangun siang banget) gue baru bangkit dari kasur lalu jalan ke kamar mandi.

Di akhir pekan biasanya ini akan lebih parah. Gue bisa tidur hari ini dan bangun besok.

I feel fine tho. I mean… I didn’t feel like I have something bothering my mind or anything. Gue bahkan mulai berhenti terlalu “merasakan” apapun gitu lho kayak yaudah nggak terlalu dipikirin. Kayak sama sekali. Tapi ini benar-benar aneh sih, jadi gue berpikir untuk ke psikolog aja karena gue takut ini udah masuk ke fase awal depresi. Menurut situs helpguide.org ini, salah satu gejala depresi adalah susah tidur dan tidur terlalu lama. Zuzur saza gue sudah melewati fase insomnia itu tapi sekarang malah masuk ke tidur terlalu lama.

Fiuh. Life is indeed hard.


Gue yakin nggak cuma gue yang mengeluhkan permasalahan hidup. Tentu saja semua orang punya masalah hidupnya masing-masing, begitu juga gue. Tapi anehnya, beberapa bulan terakhir ini, gue merasa hidup gue jauh lebih baik dari sepanjang 36 bulan yang lalu. Gue merasa agak aneh dan nggak terbiasa dengan ini.

Lha? WKWKKWKWKWKWKW

Kalau lo follow gue di Instagram (HAHAHA ASLI GUE KETAWA PAS NULIS INI), sepanjang 2017, 2018, dan 2019 lo pasti menangkap banyak sekali kegalauan di sana. Kegalauan-kegalauan yang ditulis dalam bentuk quote-quote yang gue upload ke Instagram Stories. Sekarang bahkan masih ada di Highlight gue dan jujur aja gue nggak mau buka-buka itu lagi karena masih merasa mual kalau ngebaca tulisan-tulisan itu. Tapi kalau lo mau, silakan liat dan baca. Sekalian follow juga boleh wkwkwkwkkwkw.

2017 – 2019 itu mungkin gue bisa bilang jadi masa-masa terburuk dan tergalau dalam hidup gue. Entah kenapa gue merasa berada di titik terendah banget di masa-masa itu. Kalau mau ditarik ke belakang lagi mungkin semuanya berawal sejak 2016. Ada banyak hal yang mungkin bisa jadi alasan kenapa gue ada di fase-fase terpuruk itu. Pindah kerja, penyesuaian diri di tempat baru, patah hati, anxiety (self-diagnoes which was not good), ketidakpastian hidup, tempat tinggal yang jelek, pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab, dan masih banyak lagi.

Tapi gue nggak bilang sepanjang tiga tahun itu semuanya buruk. Karena tentu saja di antara kegalauan-kegalauan itu (yang bahkan ada salah satu teman di Twitter yang bilang gue mungkin sudah masuk ke fase awal depresi) ada banyak sekali hal-hal positif yang terjadi. Hal-hal inilah yang membuat gue kemudian semakin yakin bahwa hidup itu emang seperti roda. Ada kalanya di atas, ada kalanya di bawah. Dan ketika lo di bawah, lo nggak akan selamanya ada di situ jadi jangan terlalu dipikirin dan jalani semuanya dengan sebaik-baiknya sambil lo belajar. Karena nanti ketika lo di atas, lo juga nggak akan selamanya ada di situ. Ada kalanya lo akan ke bawah lagi, tapi kali ini ketika lo ada di bawah lo sudah tahu kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Karena lo sudah pernah ada di posisi itu sebelumnya, jadi lo bisa mempersiapkan diri dan paling nggak karena lo sudah pernah ada di bawah, lo tahu bagaimana rasanya dan lo sudah belajar untuk menghadapi segala sesuatu, jadi sekarang you can do better than the last time.

Memasuki tahun 2020 gue digempur oleh banyak banget cobaan terutama masalah kesehatan. Untuk pertama kalinya dalam 28 tahun gue masuk rumah sakit dan dirawat sampai harus dioperasi. Sebelum sampai di ruang operasi gue bahkan sudah menderita berbulan-bulan karena sakit yang gue sendiri nggak tahu apa. Gue menghabiskan dua minggu pertama di tahun 2020 di dalam ruang rawat Rumah Sakit. Dan di situ banyak sekali hal yang terjadi bahkan sebulan setelah itu pun roller coaster hidup rasanya nggak berhenti mengguncang. Tapi kan katanya selalu ada matahari cerah setelah badai, ya? Dan sekarang gue merasa sudah melewati badai-badai itu.

Gue nggak bilang kalau gue sekarang sudah 100% bahagia karena nggak akan ada yang 100% dalam hidup ini. Tapi kalau boleh jujur, selama dua atau tiga bulan terakhir ini, gue berada dalam kondisi terbaik dalam hidup gue selama tiga tahun terakhir. Gue nggak pernah merasa sesehat ini, seproduktif ini, seseneng ini, setenang ini, sebahagia ini, secukup ini.

Gue merasa cukup.

Melihat kondisi fisik dan mental gue selama beberapa bulan ini, gue mungkin sekarang berani dan bisa bilang “I don’t want anything else. I want to live like this, forever.”


Gue susah tidur lagi belakangan ini. Ini mungkin sudah hari ketujuh atau kedelapan, gue lupa. Atau mungkin sebenarnya udah lebih dari itu. Seinget gue, sejak work from home ini gue memang susah banget tidur. Kadang malah nggak tidur. Sesuatu sangat mengganggu pikiran gue. Sesuatu seperti kemarahan-kemarahan yang nggak tersalurkan, emosi-emosi yang terpendam, dendam-dendam lama yang sepertinya merongrong dari dalam.

Terdengar sangat serius dan berbahaya, ya?

Kalau dipikir-pikir ternyata memang gue hanya butuh untuk menjadi sibuk agar lupa dengan hal-hal yang seharusnya nggak gue khawatirkan saat ini. Kenapa ya gue nggak pernah sadar tentang hal ini sebelumnya? Atau sebenarnya sih gue udah tahu tapi karena kekhawatirannya terlalu berlebihan dan kadang diada-adain jadinya malah kalah, gitu ya? Bisa jadi sih.

Gue sedang duduk di belakang meja kecil yang gue beli dari warnet yang sudah mau tutup di dekat kosan gue pas di Depok dulu dan baru selesai ngerjain artikel buat naik di portal kantor besok ketika gue memikirkan ini. Beberapa hari terakhir harus work from home membuat ritme kerja gue agak berubah. Termasuk juga keseharian mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Dan kemudian tiba-tiba saja gue kepikiran tentang hari-hari di mana gue selalu memikirkan hal-hal yang tidak pasti soal hidup. Kecemasan-kecemasan yang mendadak datang padahal sebenarnya nggak penting-penting amat buat dicemaskan.

Beberapa waktu yang lalu gue pernah menulis tentang bagaimana gue anxious mendengarkan pengakuan dua orang berbeda tentang dua hal serius yang ingin mereka bicarakan dengan gue. Yang satu mengaku kalau dia mengidap penyakit serius, yang satu mengaku kalau dia pacaran dengan salah satu teman gue. Gue nggak pernah memikirkan ini sebelumnya tapi gue iri banget sama orang-orang yang bisa mengumpulkan keberanian buat ngomong secara terbuka tentang sesuatu yang mereka anggap penting, ke seseorang yang (mungkin) mereka anggap penting.

Pikiran gue soal dua momen itu kemudian membawa gue ke pertanyaan yang gue ajukan ke diri gue sendiri: apakah reaksi gue saat itu sudah tepat?

Gue tahu sih seharusnya memang masa lalu tuh nggak usah dibahas lagi. Yang lewat ya sudah lewat aja. Tapi tiba-tiba aja gue kepikiran sama hal yang satu ini: reaksi.
https://www.pexels.com/photo/man-in-black-top-sitting-on-bench-beside-of-door-1532775/

Sebagai seorang introvert, satu-satunya alasan untuk menjauh dari keramaian adalah karena bergaul itu bisa jadi sangat melelahkan. Semua orang yang mengidentifikasi diri mereka sebagai seorang introvert pasti merasakan ini. Bersosialisasi itu selain menyenangkan juga membutuhkan banyak energi. Biasanya kami, para introvert, butuh waktu untuk menepi dan menjauh dari segala bentuk interaksi dengan manusia-manusia lain untuk mengisi ulang energi yang hilang itu. Dan itu bisa dengan banyak cara tapi yang pasti kami semua sepakat bahwa momen menjauhi keramaian dan interaksi sosial itu adalah momen menyendiri yang sakral dan perlu dilakukan.

Sekarang mungkin orang-orang menyebutnya dengan social distancing.

Ada yang bilang semakin kita dewasa semakin kita akan mengerti segala sesuatu tentang hidup.

Betul sekali. Kita mungkin nggak pernah benar-benar sadar bahwa setiap hari yang kita lalui membentuk kita jadi sosok diri kita yang sekarang. Diri lo 10 tahun yang lalu mungkin nggak akan pernah menyangka akan jadi lo yang sekarang. Diri lo yang sekarang bahkan mungkin masih nggak percaya dengan bagaimana hidup bisa membawa lo jadi diri lo yang sekarang.

Ada satu sisi dalam diri gue yang takut banget sama dunia luar. Belakangan sisi ini sedang berkecamuk dan menguasai diri gue banget. Kalau sudah begitu, semua hal rasanya salah. Karena sisi ini berisi kekhawatiran-kekhawatiran dan segala skenario yang sebenarnya nggak pernah terjadi dan hanya ada di dalam kepala gue. Nggak jarang sisi ini bikin gue bad mood seharian atau nangis seharian. Atau kalau nggak seharian kadang bisa tiba-tiba nangis pas lagi duduk dengan pikiran yang melayang. Ini semacam Dementor dalam diri lo yang nggak ada faedahnya sama sekali. Tapi susah untuk meng-Expecto Patronum-nya di saat lo sendiri nggak punya cukup energi positif buat melakukannya.
Ada nggak sih orang yang mau hidupnya mentok di satu titik dan nggak bergerak sama sekali? Pertanyaan ini muncul di kepala gue dalam manuver singkat dari tempat tidur menuju ke kamar mandi di suatu malam. Gerakan yang kemudian dilanjutkan dengan sebuah monolog yang harusnya tetap di kepala gue aja tapi ternyata keterusan sampai ke mulut.

“Nggak ada kali yang mau kayak gitu,” kata gue pas lagi cuci tangan. Belakangan ini gue lagi rajin banget cuci tangan pakai sabun karena takut kena virus corona.

Sebagai orang yang sehari-harinya menulis dan mendapatkan uang dari situ, stuck adalah salah satu hal haram yang rasanya amit-amit banget kejadian. Kayak pengin ngetok-ngetok meja berkali-kali, lanjut ngetok-ngetok jidat berkali-kali supaya dijauhkan dari kutukan bernama stuck. Mereka yang menulis menyebutnya Writer’s Block dan itu terjadi pada semua penulis mau dia baru mulai atau dia sudah senior. Bedanya mungkin mereka yang sudah senior bisa lebih tahu bagaimana cara menyikapi hal ini sementara yang penulis pemula akan sangat panik dan merasa diri mereka gagal karena tidak produktif.

Gue adalah yang kedua.

Postingan Lama Beranda

Hey, It's Me!



kpop blogger, kpop podcaster, social media enthusiast, himself


Author's Pick

Bucin Usia 30

Satu hal yang gue sadari belakangan ini seiring dengan pertambahan usia adalah kenyataan bahwa gue mulai merasakan perasaan-perasaan yang ng...

More from My Life Stories

  • ▼  2025 (1)
    • ▼  Juni (1)
      • So... Where Am I Now?
  • ►  2024 (5)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2023 (4)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2022 (12)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (2)
  • ►  2021 (16)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (9)
    • ►  April (1)
    • ►  Februari (2)
  • ►  2020 (49)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (6)
    • ►  Juli (20)
    • ►  Juni (4)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (2)
  • ►  2019 (22)
    • ►  Desember (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (4)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2018 (23)
    • ►  Desember (1)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2017 (20)
    • ►  Desember (2)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Juli (4)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2016 (36)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (6)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (9)
  • ►  2015 (44)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (6)
    • ►  Oktober (5)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (4)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (5)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2014 (34)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (5)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (5)
    • ►  Januari (8)
  • ►  2013 (48)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (6)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (5)
    • ►  Januari (7)
  • ►  2012 (98)
    • ►  Desember (7)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (6)
    • ►  Agustus (6)
    • ►  Juli (5)
    • ►  Juni (8)
    • ►  Mei (10)
    • ►  April (10)
    • ►  Maret (19)
    • ►  Februari (12)
    • ►  Januari (9)
  • ►  2011 (101)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (10)
    • ►  September (7)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (8)
    • ►  Juni (6)
    • ►  Mei (7)
    • ►  April (9)
    • ►  Maret (25)
    • ►  Februari (13)
    • ►  Januari (5)
  • ►  2010 (53)
    • ►  Desember (14)
    • ►  November (17)
    • ►  Oktober (5)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (6)
    • ►  Juli (7)

Podcast ngedrakor!

Podcast KEKOREAAN

#ISTANEXO

My Readers Love These

  • EXO MAMA MV: Review Saya! [PART 2]
  • Girls' Generation: "I Got A Boy" Music Video Review Saya!
  • Menjadi Dewasa yang Sebenarnya
  • EXO MAMA MV: Review Saya [PART 3--END]
  • A Trip To Mata Elang International Stadium (MEIS) Ancol
@ronzzyyy | EXO-L banner background courtesy of NASA. Diberdayakan oleh Blogger.

Smellker

Instagram

ronisnowhere

Black-and-White-Minimalist-Coming-Soon-Instagram-Post-2

I Support IU!

Copyright © 2015 kaoskakibau.com - by ron. Designed by OddThemes