The hardest part of adulting is picking up the pieces of your broken heart, gluing it all together, and letting it heal until you try again.
Kalimat di atas sebenarnya bukan gue tulis untuk merepresentasikan perasaan atau kondisi gue saat ini. Tulisan itu datang dan terinspirasi dari pengalaman pribadi crush gue (subjek atau orang lain yang terlibat dalam cerita ini) yang ketika ketemu gue, dia sedang dalam masa-masa susah move on dari past relationship-nya. Ketika pertama kali gue ketemu dia, wajah ramah dan ceria itu tidak terlihat seperti sedang menyimpan beban orang dewasa yang teramat rumit. Sebagai orang dewasa, dia jago menembunyikannya. Sementara gue, nggak lama sebelum kenal, chat, dan ketemu sama dia, gue juga menghadapi pahitnya putus cinta. Anehnya buat gue, rasa pahitnya nggak lama-lama. Dari sisi gue, mungkin itu adalah salah satu sikap sebagai orang dewasa yang paling dewasa yang bisa gue lakukan.
Tapi gue dan dia adalah dua orang dewasa yang berbeda, ada di situasi berbeda, dan bereaksi terhadap sesuatu dengan cara yang berbeda juga. Satu-satunya hal yang klop di antara kita pada akhirnya adalah sama-sama bersikap dewasa dan berbesar hati untuk mengakhiri hubungan ini.
Gue banyak nulis soal insecurity di blog ini. Kalau gue bilang mungkin ini satu-satunya kata kunci yang menghubungkan gue dengan beberapa orang pembaca. Kita semua tentu punya insecurity dalam berbagai bentuk dan intensitas. Nggak jarang orang-orang yang nggak ngerti dengan perasaan kita akan menganggap kita lebay atau memberikan komentar yang meremehkan kayak “Apa sih? Kan cuma…” atau “Ah elah, gitu doang kali…” dan segala macam. Dulu gue akan sangat kesal dengan orang-orang yang mengeluarkan komentar seperti itu, tapi sekarang gue lebih bisa paham kenapa akhirnya mereka memilih untuk berkomentar seperti itu. Yang pertama karena mungkin mereka memang tidak berada di situasi dan kondisi yang sama dengan kita, jadi mereka sama sekali nggak relate dengan apapun ketakutan atau insecurity yang kita rasakan. Yang kedua mungkin karena mereka terlalu sempurna dan jauh lebih baik dari kita. Yang ketiga, ini mungkin agak jahat tapi bodo amat, ya karena mereka sedang ada dalam fase menjadi totally an asshole. Kemungkinan ketiga ini bisa jadi paling benar sih. WKKWKWWKKWKWKW.
Gue yang sekarang beda sama yang dulu.
(Cue lagu Tegar)
Izinkan gue menjelaskan.
Gue nggak mau kepedean tapi gue harus bangga pada diri gue sendiri: gue udah mulai bisa membentengi hati dari kebucinan. WKWKWKWKKW. Lucu banget rasanya ngomong gini seolah-olah nggak akan ada apapun di dunia ini yang akan bikin gue bucin sepanjang sisa hidup gue. Tapi karena sekarang gue sedang fokus menjalani ‘hari ini’ jadi gue juga akan fokus untuk menghargai pencapaian gue ‘hari ini’. Di beberapa tulisan sebelumnnya, gue pernah cerita soal bagaimana gue bucin di usia 30. Sekarang, dua tahun berselang dari tulisan itu (kayaknya, atau mungkin udah tiga tahun), gue bisa dengan percaya diri bilang kalau gue sudah move on dari perasaan-perasaan bucin itu. Semua berawal dari seonggok daging hidup yang kita sebut saja namanya Max.
Gue sama sekali nggak kenal siapa Max sebelumnya. Tiba-tiba aja sosok ini masuk ke dalam hidup gue dalam kelebatan-kelebatan di lorong, di lift, di antara kubikel-kubikel meja kerja. Bahkan gue sama sekali nggak tahu siapa namanya ketika pertama kali lihat dan tertarik. Gue menyebutnya sebagai ‘si itu’ ketika bicara soal dia ke temen gue lewat chat.
“Hari ini si itu pake baju item.”
“Hari ini dia potong rambut.”
“Kayaknya baru minggu lalu deh dia potong rambut tapi hari ini rambutnya udah potong lagi?”
“Hari ini dia pake sweater coklat.”
“Hari ini dia makan gorengan di meja kayak kocak banget deh.”
Oh hai, selamat tahun baru! Gimana kabar lo? Masih sibuk memikirkan resolusi meski udah mau seminggu sejak pergantian tahun, atau sekarang udah yakin untuk menjalani hidup dengan ‘yaudah ikuti ke mana angin berembus saja’? Kalau lo masih stuck di mencari resolusi, gue berharap lo bisa menemukan apapun yang ingin lo capai tahun ini dan benar-benar mencapainya. Tapi kalaupun tidak, kalaupun lo memutuskan untuk mengikuti ke mana angin berembus, gue berharap angin akan membawa lo ke tempat-tempat yang indah dan membuat hati lo damai. Kalau kata drama Korea (Reply 1988 kalau nggak salah), lo juga perlu beli sepatu baru supaya sepatu itu bisa membawa lo ke tempat-tempat yang menakjubkan sepanjang tahun ini.
Gue menutup pintu kamar hotel itu dengan perasaan seperti mengambang. Gue tidak merasakan kaki gue menjejak di lantai sama sekali. Tentu saja, aslinya nggak gitu. Aslinya tetap menjejak. Gue kan bukan hantu dan nggak punya kekuatan levitasi sama sekali. Tapi indera perasa yang ada di telapak kaki gue seperti mati sesaat. Tadi lantai itu dingin. Dingin sekali. Tapi sekarang rasanya seperti kosong. Badan gue mendadak terasa sangat lelah. Obrolan yang lebih dari dua jam itu ternyata jauh lebih melelahkan daripada setengah jam yoga. Energi gue seperti terkuras habis, seperti yang gue prediksi, dan kelelahan seperti menguasai diri. Gue seolah nggak bisa lagi berpikir meski sebenarnya masih banyak hal yang harus gue pikirkan. Masih banyak hal dari obrolan gue malam itu yang perlu gue olah dan pilah. Tapi malam ini gue capek. Besok gue harus kembali ke Jakarta dan gue nggak mau membawa pulang perasaan aneh seperti ini.
Pada dasarnya gue memang suka nulis dan terbiasa menuliskan apa yang gue rasakan untuk sekedar membuat pikiran gue sedikit lega. Kebiasaan yang cukup membahayakan buat gue karena gue pun juga sangat aktif di media sosial. Tapi sekarang mulai bisa ngurang-ngurangin sih. Ehehe... Mereka yang berteman dengan gue di semua media sosial sejak lama pasti pernah menangkap sinyal-sinyal curhatan lebay soal banyak hal, atau kalimat-kalimat ambigu dan berada di wilayah abu-abu tentang beberapa hal (atau mungkin beberapa orang). Gue bersyukur banyak dari orang-orang itu nggak peduli dan kalaupun ada yang peduli dan langsung tanya ke gue, mereka bukan orang yang membuat gue tidak nyaman. Kebiasaan ini kadang-kadang bikin ketergantungan. Setiap kali sedang mengalami guncangan emosi, karena nggak ada manusia langsung yang bisa diajak berbincang, kadang-kadang secara otomatis otak gue akan memerintah tangan buat ambil hanphone, jempol nge-tap Twitter, lalu menulis semua yang ingin gue tuliskan.
Di posisi gue mungkin itu terasa sangat wajar.
“Ya kan akun-akun gue. Perasaan juga perasaan gue!”
Tapi di posisi orang yang baca tweet itu, “Apaan sih lu?”
Kenapa ya, setiap ada sesuatu hal mengecewakan terjadi, ujung-ujungnya gue selalu merasa kalau gue sedikit banyak juga berkontribusi pada hal tersebut?
Gue setuju banget sama tulisan yang berseliweran di media sosial yang bilang “Anak muda merasa nggak keren kalo tidur cepet dan ingin stay up all night. Tapi nanti ketika lo udah masuk ke usia-usia dewasa lo akan sadar betapa tidur itu sangat menyenangkan dan lo butuhkan.”
Pernah ada di satu masa gue sangat suka banget begadang. Bukan party-party tapi ya WKKWKWKW biasanya gue begadang kalau lagi nulis, ngeblog, atau nyiapin project buat konser gitu (karena dulu sering bikin fan support buat beberapa grup yang gue datengin konsernya). Tidur bukanlah sesuatu yang gue prioritaskan di awal usia 20 gue. Kayak... begadang is cool! Tapi setelah dua atau tiga tahun di dunia kerja gue kemudian merasa bahwa tidur itu adalah sesuatu yang mahal banget. Terutama tidur nyenyak.
Karena sibuk dengan urusan kantor kadang-kadang gue suka mengorbankan jam tidur untuk bekerja. Sampai akhirnya gue tiba di satu titik di mana setiap weekend gue selalu tepar blasssssss tidur seharian dan bangun tengah hari bolong gitu cuma buat ke kamar mandi dan salat zuhur lalu kemudian tidur lagi sampai asar. Since gue juga bukan morning person (gue nggak tahu ini sejak kapan kebiasaan ini terbentuk) barulah setelah asar atau jelang maghrib gue bisa 100% sadar. Sampai akhirnya gue akan terbangun sampai tengah malam atau dini hari dan baru tidur di jam-jam yang seharusnya gue bangun buat memulai hari sepagi mungkin.
Begitulah lingkaran setan.
Sejak awal bulan puasa ini, doa gue cuma satu: semoga gue nggak lagi jadi orang yang insecure. Tapi gue nggak yakin insecure bisa mewakili banyak sekali hal yang sebenarnya gue inginkan tahun ini. Kayak semisal gue nggak pengin lagi jadi orang yang nggak percaya diri, gue nggak pengin lagi jadi orang yang selalu merasa diri nggak layak, gue nggak pengin lagi jadi orang yang selalu merasa jelek, dan gue nggak lagi jadi orang yang nggak bisa jadi dirinya sendiri.
Kalau boleh jujur nih (YA BOLEHLAH! WKWKWKKW ORANG BLOG SENDIRI), gue tuh orangnya sangatlah bucin. Kayak, gue pikir gue bakal bucin cuma sama idol K-Pop doang atau bintang film yang baru kemarin gue tonton, atau berharap ada film lain yang diperankan oleh Ryan Gosling dan Emma Stone (SOALNYA GUE SUKA BANGET LA LA LAND). Gue pikir gue bakalan bucin sama hal-hal halu semacem itu doang. Walaupun memang gue akui di area itu gue juga bisa jadi sangat bucin sih (kayak gue akan nggak segan-segan print foto bias gue buat ditaroh di dompet misalnya) tapi in real life ternyata gue bisa sebucin itu sama manusia.
It’s not that I just realized this now... soalnya kalau temen-temen gue baca ini mereka bakal bilang “YA EMANG! LO KEMANA AJA SELAMA INI?!” padahal ini kan hidup gue ya, ya gue di sini-sini aja gak sih WKWKWKWKWK. Tapi mungkin lebih karena udah cukup lama gue rehat(?) dari perasaan-perasaan bucin itu.
Gue baru sadar satu hal lain dari diri gue. Sesuatu yang sebelumnya nggak pernah gue perhatiin atau gue terlalu pikirin. Ya memang belakangan ini semua hal gue pikirin banget. Wkwkkwkw. Takut kalau tweet gue yang tadi akan menyakiti, takut kalau chat gue ke si anu bakal dianggep macem-macem, takut kalau update-an story gue di Instagram malah jadi gimana gitu. Sebenarnya kalau boleh jujur, gue nggak suka nih sama kebiasaan yang kayak gini. Walaupun di satu sisi memang gue jadi lebih harus hati-hati dalam bertindak, tapi di sisi lain melelahkan juga kalau semuanya harus dipikirin. Bahkan hal-hal kecil pun harus disesali juga. Ya tapi gue sedang berusaha untuk mengatasi itu.
Orang yang kenal gue atau pernah ketemu gue pasti tahu kalau gue ini orangnya banyak bicara banget. Kadang-kadang, dipertemuan pertama, gue saking salah tingkahnya jadi suka sok akrab dengan cara membeberkan hal-hal yang lebay. Semacem TMI banget gitu deh. Kayak yang tadi gue bilang di awal, gue dulunya nggak pernah menyadari ini atau mempermasalahkan ini. Tapi belakangan gue benar-benar kepikiran dan membuat gue jadi suka mengutuk diri gue sendiri atas apa yang tadi sudah gue lakukan.
Kayak, “duh harusnya gue nggak ngomong gitu!”, atau, “ih apaan sih, ngapain juga bahas hal itu!” Kalau ada hal yang paling gue sukai di dunia ini adalah bicara dengan diri sendiri, dan kalau ada hal yang paling nggak gue sukai di dunia ini adalah bicara dengan diri sendiri dan menyesali apa yang sudah gue lakukan sejam yang lalu, sehari yang lalu, seminggu yang lalu, bahkan bertahun-tahun yang lalu.
It sucks.
Gila udah
berapa lama gue nggak nulis di blog ini? Setelah ulang tahun blog ini yang
ke-10, padahal gue udah niat banget mau kembali rajin dan rutin menulis lagi
meski pendek-pendek. Tapi yah.... memang namanya manusia cuma bisa berencana. Pada
akhirnya yang menentukan adalah mood dan deretan drama Korea yang menunggu buat
ditonton.
Gue semalem mimpi aneh banget.
Eh, enggak.
Enggak cuma semalem, maksudnya. Gue selalu punya mimpi aneh. Tapi, ya namanya mimpi, pasti seringkali nggak masuk akal. Ada mimpi yang rasanya sangat real banget sampai-sampai pas kebangun tuh masih kebawa-bawa. Pasti lo pernah deh, mimpi lagi makan sesuatu terus pas makanan itu sudah hampir masuk mulut lo tiba-tiba kebangun dengan perasaan menyesal. Atau mungkin lo mimpi dikerjain sama temen atau marah sama seseorang yang kemudian ketika lo kebangun, lo masih dendam dan emosi sampai nendang-nendang udara kosong dari atas kasur. Karena orang itu semenyebalkan itu!
Ada satu posting-an di blog ini beberapa bulan lalu yang menceritakan betapa gue mengalami insomnia yang... nyebelin. Meski secepat apapun gue tidur di kasur, terlelapnya bisa lama banget. Bahkan pernah di satu masa gue baru bisa tidur setelah lepas jam 5 pagi. Padahal itu tidurnya udah dari jam 12 malam. YA KAN NYEBELIN!!!!
Ada yang bilang untuk bikin gampang tidur bisa dengan mendengarkan lagu-lagu yang selow. IU, my love from the star (gak deng), juga punya pemikiran yang sama soal lagu selow. Dia bikin lagu selow buat ngebantu orang yang susah tidur. Ya mungkin nggak 100% begitu sih tapi dia pernah bilang di konser Love Poem di beberapa kota, di Jakarta juga waktu itu, IU bilang "Sebuah kehormatan yang besar kalau kalian bisa tidur pas dengerin lagu ini,"
Gue yakin nggak cuma gue yang mengeluhkan permasalahan hidup. Tentu saja semua orang punya masalah hidupnya masing-masing, begitu juga gue. Tapi anehnya, beberapa bulan terakhir ini, gue merasa hidup gue jauh lebih baik dari sepanjang 36 bulan yang lalu. Gue merasa agak aneh dan nggak terbiasa dengan ini.
Lha? WKWKKWKWKWKWKW
Kalau lo follow gue di Instagram (HAHAHA ASLI GUE KETAWA PAS NULIS INI), sepanjang 2017, 2018, dan 2019 lo pasti menangkap banyak sekali kegalauan di sana. Kegalauan-kegalauan yang ditulis dalam bentuk quote-quote yang gue upload ke Instagram Stories. Sekarang bahkan masih ada di Highlight gue dan jujur aja gue nggak mau buka-buka itu lagi karena masih merasa mual kalau ngebaca tulisan-tulisan itu. Tapi kalau lo mau, silakan liat dan baca. Sekalian follow juga boleh wkwkwkwkkwkw.
2017 – 2019 itu mungkin gue bisa bilang jadi masa-masa terburuk dan tergalau dalam hidup gue. Entah kenapa gue merasa berada di titik terendah banget di masa-masa itu. Kalau mau ditarik ke belakang lagi mungkin semuanya berawal sejak 2016. Ada banyak hal yang mungkin bisa jadi alasan kenapa gue ada di fase-fase terpuruk itu. Pindah kerja, penyesuaian diri di tempat baru, patah hati, anxiety (self-diagnoes which was not good), ketidakpastian hidup, tempat tinggal yang jelek, pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab, dan masih banyak lagi.
Tapi gue nggak bilang sepanjang tiga tahun itu semuanya buruk. Karena tentu saja di antara kegalauan-kegalauan itu (yang bahkan ada salah satu teman di Twitter yang bilang gue mungkin sudah masuk ke fase awal depresi) ada banyak sekali hal-hal positif yang terjadi. Hal-hal inilah yang membuat gue kemudian semakin yakin bahwa hidup itu emang seperti roda. Ada kalanya di atas, ada kalanya di bawah. Dan ketika lo di bawah, lo nggak akan selamanya ada di situ jadi jangan terlalu dipikirin dan jalani semuanya dengan sebaik-baiknya sambil lo belajar. Karena nanti ketika lo di atas, lo juga nggak akan selamanya ada di situ. Ada kalanya lo akan ke bawah lagi, tapi kali ini ketika lo ada di bawah lo sudah tahu kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Karena lo sudah pernah ada di posisi itu sebelumnya, jadi lo bisa mempersiapkan diri dan paling nggak karena lo sudah pernah ada di bawah, lo tahu bagaimana rasanya dan lo sudah belajar untuk menghadapi segala sesuatu, jadi sekarang you can do better than the last time.
Memasuki tahun 2020 gue digempur oleh banyak banget cobaan terutama masalah kesehatan. Untuk pertama kalinya dalam 28 tahun gue masuk rumah sakit dan dirawat sampai harus dioperasi. Sebelum sampai di ruang operasi gue bahkan sudah menderita berbulan-bulan karena sakit yang gue sendiri nggak tahu apa. Gue menghabiskan dua minggu pertama di tahun 2020 di dalam ruang rawat Rumah Sakit. Dan di situ banyak sekali hal yang terjadi bahkan sebulan setelah itu pun roller coaster hidup rasanya nggak berhenti mengguncang. Tapi kan katanya selalu ada matahari cerah setelah badai, ya? Dan sekarang gue merasa sudah melewati badai-badai itu.
Gue nggak bilang kalau gue sekarang sudah 100% bahagia karena nggak akan ada yang 100% dalam hidup ini. Tapi kalau boleh jujur, selama dua atau tiga bulan terakhir ini, gue berada dalam kondisi terbaik dalam hidup gue selama tiga tahun terakhir. Gue nggak pernah merasa sesehat ini, seproduktif ini, seseneng ini, setenang ini, sebahagia ini, secukup ini.
Gue merasa cukup.
Melihat kondisi fisik dan mental gue selama beberapa bulan ini, gue mungkin sekarang berani dan bisa bilang “I don’t want anything else. I want to live like this, forever.”
Gue bangun cukup pagi hari ini, biasanya selalu kesiangan. Padahal semalam gue tidur cukup larut. Biasanya kalau gue telat tidur (dan ini hampir setiap hari sih) lalu gue terbangun terlalu pagi, gue akan dengan rela lanjut tidur demi menambah jam istirahat satu atau dua jam. Tapi hari ini cukup berbeda, gue tiba-tiba aja seger setelah membuka mata. Dan seperti kebanyakan millennials, gue pun buka hape dan skroling media sosial sebentar. Di situlah kemudian gue melihat update-an dari Instagram Creative Disc soal Evanescence yang baru rilis single baru mereka buat album baru di 2020 ini. Karena itu masih pagi jadi gue masih menyempatkan baca caption fotonya dan yang menarik perhatian gue adalah karena Creative Disc nulis kalau “Evanescence menyajikan formula yang membersarkan nama band ini”. Otomatis gue langsung buka Spotify dan search nama mereka lalu menemukan lagu baru berjudul The Game Is Over.
Pas gue dengerin gue nyaris nangis.
ANJIR! HAH! DEMI APA?!
Gue dengerin lagu itu sampai abis lalu gue dengerin lagi single lain yang juga dirilis tahun ini yang judulnya Wasted On You dan sekali lagi gue berteriak kenceng banget tapi dalam hati karena ini masih pagi dan gue tidak mau mengambil risiko diusir dari kosan ini.
Gue susah tidur lagi belakangan ini. Ini mungkin sudah hari ketujuh atau kedelapan, gue lupa. Atau mungkin sebenarnya udah lebih dari itu. Seinget gue, sejak work from home ini gue memang susah banget tidur. Kadang malah nggak tidur. Sesuatu sangat mengganggu pikiran gue. Sesuatu seperti kemarahan-kemarahan yang nggak tersalurkan, emosi-emosi yang terpendam, dendam-dendam lama yang sepertinya merongrong dari dalam.
Terdengar sangat serius dan berbahaya, ya?
Gue akhirnya memulai podcast pribadi gue. Hehe... sebenarnya di awal 2019 gue sudah pernah mengunggah podcast dengan nama ‘Gloomy Monday’ ke Soundcloud. Waktu itu gue belum terlalu tahu seluk belum podcasting dan belum mengenal Anchor buat bisa masukin podcast ke Spotify. Ada dua episode yang gue unggah waktu itu tapi akhirnya nggak berlanjut lagi karena berujung gue fokus ke KEKOREAAN. Setelah kurang lebih setahun berkutat di KEKOREAAN, akhirnya gue menemukan kemauan dan semangat untuk membuat podcast pribadi yang gue kasih nama ronzikologi.
Tadinya memang gue mau lanjutin aja ‘Gloomy Monday’ tapi rasanya so last year banget. Haha... lagipula, nama itu sudah lengket dengan label ‘Live Instagram’ karena memang itu adalah live show Instagram yang gue mulai pas gue masih kerja di rumah produksi film dulu. Kemudian nggak berlanjut lagi karena hidup saat itu bener-bener kayak roller coaster. Keputusan untuk mengubah nama ke ronzikologi juga karena selain ini adalah fresh start gue juga ingin menempelkan branding nama ‘ron’ di setiap apa yang gue bikin. Biar sejalan gitu sama ‘ronzzykevin’, ‘ronzstagram’, dan sekarang ‘ronzikologi’.
(maaf ya kaoskakibau, jadi nggak dianggep sejalan)
(tapi kau tetap di hati lah! mau gimana juga!)