Kalau dipikir-pikir ternyata memang gue hanya butuh untuk menjadi sibuk agar lupa dengan hal-hal yang seharusnya nggak gue khawatirkan saat ini. Kenapa ya gue nggak pernah sadar tentang hal ini sebelumnya? Atau sebenarnya sih gue udah tahu tapi karena kekhawatirannya terlalu berlebihan dan kadang diada-adain jadinya malah kalah, gitu ya? Bisa jadi sih.
Gue sedang duduk di belakang meja kecil yang gue beli dari warnet yang sudah mau tutup di dekat kosan gue pas di Depok dulu dan baru selesai ngerjain artikel buat naik di portal kantor besok ketika gue memikirkan ini. Beberapa hari terakhir harus work from home membuat ritme kerja gue agak berubah. Termasuk juga keseharian mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Dan kemudian tiba-tiba saja gue kepikiran tentang hari-hari di mana gue selalu memikirkan hal-hal yang tidak pasti soal hidup. Kecemasan-kecemasan yang mendadak datang padahal sebenarnya nggak penting-penting amat buat dicemaskan.
Beberapa waktu yang lalu gue pernah menulis tentang bagaimana gue anxious mendengarkan pengakuan dua orang berbeda tentang dua hal serius yang ingin mereka bicarakan dengan gue. Yang satu mengaku kalau dia mengidap penyakit serius, yang satu mengaku kalau dia pacaran dengan salah satu teman gue. Gue nggak pernah memikirkan ini sebelumnya tapi gue iri banget sama orang-orang yang bisa mengumpulkan keberanian buat ngomong secara terbuka tentang sesuatu yang mereka anggap penting, ke seseorang yang (mungkin) mereka anggap penting.
Pikiran gue soal dua momen itu kemudian membawa gue ke pertanyaan yang gue ajukan ke diri gue sendiri: apakah reaksi gue saat itu sudah tepat?
Gue tahu sih seharusnya memang masa lalu tuh nggak usah dibahas lagi. Yang lewat ya sudah lewat aja. Tapi tiba-tiba aja gue kepikiran sama hal yang satu ini: reaksi.
Sebagai seorang introvert, satu-satunya alasan untuk menjauh dari keramaian adalah karena bergaul itu bisa jadi sangat melelahkan. Semua orang yang mengidentifikasi diri mereka sebagai seorang introvert pasti merasakan ini. Bersosialisasi itu selain menyenangkan juga membutuhkan banyak energi. Biasanya kami, para introvert, butuh waktu untuk menepi dan menjauh dari segala bentuk interaksi dengan manusia-manusia lain untuk mengisi ulang energi yang hilang itu. Dan itu bisa dengan banyak cara tapi yang pasti kami semua sepakat bahwa momen menjauhi keramaian dan interaksi sosial itu adalah momen menyendiri yang sakral dan perlu dilakukan.
Sekarang mungkin orang-orang menyebutnya dengan social distancing.
Ada yang bilang semakin kita dewasa semakin kita akan mengerti segala sesuatu tentang hidup.
Betul sekali. Kita mungkin nggak pernah benar-benar sadar bahwa setiap hari yang kita lalui membentuk kita jadi sosok diri kita yang sekarang. Diri lo 10 tahun yang lalu mungkin nggak akan pernah menyangka akan jadi lo yang sekarang. Diri lo yang sekarang bahkan mungkin masih nggak percaya dengan bagaimana hidup bisa membawa lo jadi diri lo yang sekarang.
Ada satu sisi dalam diri gue yang takut banget sama dunia luar. Belakangan sisi ini sedang berkecamuk dan menguasai diri gue banget. Kalau sudah begitu, semua hal rasanya salah. Karena sisi ini berisi kekhawatiran-kekhawatiran dan segala skenario yang sebenarnya nggak pernah terjadi dan hanya ada di dalam kepala gue. Nggak jarang sisi ini bikin gue bad mood seharian atau nangis seharian. Atau kalau nggak seharian kadang bisa tiba-tiba nangis pas lagi duduk dengan pikiran yang melayang. Ini semacam Dementor dalam diri lo yang nggak ada faedahnya sama sekali. Tapi susah untuk meng-Expecto Patronum-nya di saat lo sendiri nggak punya cukup energi positif buat melakukannya.
Ada nggak sih orang yang mau hidupnya mentok di satu titik dan nggak bergerak sama sekali? Pertanyaan ini muncul di kepala gue dalam manuver singkat dari tempat tidur menuju ke kamar mandi di suatu malam. Gerakan yang kemudian dilanjutkan dengan sebuah monolog yang harusnya tetap di kepala gue aja tapi ternyata keterusan sampai ke mulut.
“Nggak ada kali yang mau kayak gitu,” kata gue pas lagi cuci tangan. Belakangan ini gue lagi rajin banget cuci tangan pakai sabun karena takut kena virus corona.
Sebagai orang yang sehari-harinya menulis dan mendapatkan uang dari situ, stuck adalah salah satu hal haram yang rasanya amit-amit banget kejadian. Kayak pengin ngetok-ngetok meja berkali-kali, lanjut ngetok-ngetok jidat berkali-kali supaya dijauhkan dari kutukan bernama stuck. Mereka yang menulis menyebutnya Writer’s Block dan itu terjadi pada semua penulis mau dia baru mulai atau dia sudah senior. Bedanya mungkin mereka yang sudah senior bisa lebih tahu bagaimana cara menyikapi hal ini sementara yang penulis pemula akan sangat panik dan merasa diri mereka gagal karena tidak produktif.
Gue adalah yang kedua.
Inget nggak gimana rasanya ketemu sama orang yang lo taksir? Ketika pertama kali kalian berdua ngobrol dan akhirnya merasa nyambung. Ketika awalnya lo biasa aja, nggak ada perasaan apa-apa karena itu bukan cinta pada pandangan pertama kayak yang biasa ada di serial-serial drama televisi Korea. Lalu kalian ngobrol karena punya satu topik yang suka dibahas. Entah buku, entah film, entah musik, entah Kpop. Dari obrolan yang cuma beberapa menit itu kok rasanya nyaman ya? Kok rasanya enak nih kalau misalnya kita ketemu lagi dan ngobrol lagi. Akhirnya kalian mulai tukar-tukaran nomor ponsel dan mulai ngobrol di chat. Masih nggak ada rasa apa-apa. Murni karena kalian cuma ingin memperluas pertemanan aja. Nggak ada salahnya dong punya teman baru. Tapi pelan-pelan dari obrolan-obrolan soal buku, film, musik, dan Kpop itu berubah jadi obrolan-obrolan yang serius. Tiba-tiba di suatu hari dia chat dan nanya hal penting ke lo. Rupanya ada masalah keluarga. Lo mulai mendengarkan curhatan-curhatan dia. Lo mulai khawatir. Lo mulai menjadikan diri lo selalu available untuk dia kalau memang dia lagi butuh cerita. Lalu rasa biasa-biasa aja dalam diri lo itu berubah jadi perhatian. Lo jadi sering nanya dia lagi ngapain, kapan bisa ketemu, mau nonton ini nggak, gue ada tiket konser nih mau pergi bareng nggak. Dan lo sampai di satu titik kalau lo ternyata suka sama dia. Dia nggak tahu. Lo sendiri sebenarnya juga masih ragu sama perasaan lo. Tapi lo tetap memberikan perhatian itu. Dia tetap menerima perhatian itu. Kemudian lo masuk ke fase cinta diam-diam karena lo nggak mau hubungan kalian jadi renggang setelah lo ngungkapin perasaan lo ke dia. Inget nggak gimana rasa berbunga-bunga setiap kali dia balas chat lo?
Happy, kan? Meski diam-diam lo curi-curi pandang ketika dia nggak memerhatikan, tapi lo happy, kan?
Tapi perasaan happy itu nggak cuma akan terjadi hanya karena dan ketika lo ketemu sama orang yang lo taksir. Ketemu sama orang yang nyambung pada obrolan pertama juga buat gue memberikan efek happy yang sama. Gue punya temen namanya Ais, gue lupa sebenarnya awalnya kita bisa kenal kayak gimana tapi kayaknya sih gara-gara dia admin salah satu fanbase EXO dulu dan pada masa-masa itu gue lagi gila-gilanya nge-tweet soal EXO. Kita kenal di Twitter dan kemudian ketemu beberapa kali karena fanbase yang bersangkutan ada event dan gue dateng. Tapi momen ketemu kita yang paling gue ingat adalah di satu hari di akhir bulan Maret 2013 ketika ada event cover dance di Gandaria City. Setelah itu kita akhirnya jadi sering ketemuan dan jalan bareng. Sampai sekarang, dia jadi temen jalan-jalan gue kalau di Bandung.
Lagi banyak banget yang resign dari kantor gue beberapa bulan terakhir. Beberapa adalah orang yang gue sendiri nggak tahu mereka ternyata sekantor sama gue (hahaha maaf anaknya memang tidak tahu sopan santun), beberapa adalah orang yang gue tahu dan pernah koordinasi kerjaan. Selama periode kerja di beberapa kantor gue biasanya nggak pernah terlalu mikirin siapa yang datang dan siapa yang resign. Karena memang kan fase kerja di perusahaan swasta kayak gitu. Kalau orangnya nyaman sama kerjaannya mungkin mereka bisa bertahan dua atau tiga tahun. Tapi kalau mereka merasa tidak berkembang secara personal atau tidak nyaman secara pribadi, ya nggak bisa disalahkan juga kalau enam bulan udah cabut. Tapi yang kemaren resign sih rata-rata memang orang-orang yang sudah ada bahkan sebelum gue masuk ke situ. Kenapa ya? Karena sudah pindah kantor tiga kali sejak lulus kuliah, adegan orang-orang pamit buat resign kayak gini seharusnya udah jadi hal yang biasalah. Toh gue sendiri sudah pernah resign juga kan dari tiga kantor sebelumnya. Tapi kemaren tuh aneh aja gitu, ada sesuatu yang ganjal di dadaku. HAHAHAHAHAH. Gue nggak bisa bohong kalau gue kepikiran. Like, why people? Why?! Alasannya apa?!
Well, sebenarnya ini jawabannya simpel aja: mencari yang terbaik. Karena kalau yang sekarang nggak memberikan apa yang kita cari dan yang kita butuhkan ya kita kan sebenarnya memang harus pindah. Daripada terpenjara terus dan terjebak di kubangan yang sama kan? Gue jadi ingat obrolan sama Rizka dan Ais dalam kunjungan main-main pertama gue ke Bekasi akhir pekan lalu. Topikya soal resign ini juga dan soal gimana salah satu temen mereka memutuskan untuk cabut padahal baru tiga bulan kerja. “Ya soalnya kondisinya nggak lebih baik dari kantor sebelumnya. Jadi buat apa lama-lama?”
Waktu gue resign dari kantor gue yang sebelumnya, ada banyak yang nanya “Kok bisa sih lo mengambil keputusan secepat itu?” Dan sekarang ketika orang-orang pada resign, kok gue malah jadi bingung ya? Hahahahaha. Ya mungkin jawaban lainnya: mereka sedang dalam proses mengejar mimpi.
Hmmm... mimpi...
SHIT! SHIT! SHIT! SEJAK KAPAN KATA INI JADI SANGAT MEMBUAT GUE BAPER?!
Ada nggak sih di antara kalian yang setiap ulang tahun ngomong ke diri sendiri, “Wow, I’m one year older now. Do I look different? Do I feel different? Do I need to feel different just because now I’m one year older?”
Gue sedang duduk di kamar yang dibuat nyokap setahun yang lalu untuk gue di rumah. Membagi dua ruang keluarga yang sudah jadi terlalu luas buat keluarga kami yang sebenarnya udah jarang ngumpul-ngumpul lagi. Meja belajar gue ada sebelah Selatan ruangan yang menghadap Barat itu, nempel ke tembok yang di sampingnya ada jendela yang nggak pernah dibuka. Jendela yang juga nggak punya tirai sama sekali. Pemandangan di balik jendela itu nggak menarik. Hanya lahan sempit antara rumah gue dengan rumah tetangga yang akhirnya dijadikan tempat menumpuk material-material bekas bangunan. Beberapa kali gue mencoba meyakinkan nyokap untuk membuat kolam kecil di sana atau sekalian kolam renang aja buat main-main air tapi ditolak sama dia. “Nanti lembab ke rumah tetangga, kita yang kena masalah.” Katanya. Padahal di belakang, posisi salah satu kamar di rumah ini nempel juga sama kamar mandi tetangga yang lain, menyebabkan kamar itu dindingnya jadi lembab banget dan kami nggak pernah komplain sama sekali. Jadi kenapa kita harus takut tetangga komplain ke kita? Sebel.
Happy new year!
Boleh nggak sih kalau gue bilang waktu berganti so damn fast like crazy karena mendadak 2017 udah lewat gini aja? Kemudian 2018 datang dengan semua tantangan dan kemungkinan-kemungkinan yang pasti nggak akan pernah kita sangka-sangka. Bagaimana kabar kalian? Masih bahagia? Atau masih memikirkan dia yang sudah lama pergi tapi masih melekat di pikiran dan hati?
Ah. Lemah! Sama saja kalian kayak gue!
Ada berapa perpisahan dan selamat tinggal yang kalian alami selama setahun terakhir?
Mungkin ada dari kalian yang akan menjawab satu atau dua, ada juga yang mungkin menjawab pertanyaan di atas dengan “nggak ada”. Ya, bisa dimaklumi banget sih karena kan kehidupan masing-masing individu di universe dan di alternate universe ini beda-beda. Ketika lo sedang duduk-duduk menikmati susu pisang sambil mikirin mau nulis apa di blog lo akhir pekan ini mungkin di saat yang sama ada orang yang sedang bergelut dengan perasaannya karena mereka akan ditinggal pergi oleh orang terdekat. Tapi pertanyaan gue di awal posting-an ini adalah pertanyaan yang serius. Jadi silakan dijawab dalam hati atau kalau memang kalian mau berbaik hati dan repot-repot silakan meninggalkan komentar di disqus di bawah posting-an ini. Kalau kalian mau melakukan itu gue akan sangat berbahagia.
Pertanyaan gue selanjutnya, apakah setelah mengalami perpisahan itu kalian jadi beneran sedih parah yang sesedih itu? Yang sampai gloomy banget sepanjang hari ketika mengalaminya?
Kehilangan banget kah sosok itu ketika dia pergi? Atau mungkin di kepala kalian mendadak malah muncul pikiran-pikran tentang kesendirian, kesepian, dan semacem “wah gue akan sama siapa nih kalau dia nggak ada? Apakah masih ada yang lain yang bisa sedeket itu sama gue selain dia?” setelah itu?
Ataukah mungkin sampai kalian merasa dada kalian sesak dan sampai mau nangis? Atau bahkan mungkin kalian sama sekali nggak terlalu mikirin banget karena kalian tipe orang yang “ah yaudah namanya juga hidup kan ada pertemuan ada perpisahan”?
Gue nggak mau terus-terusan bertanya sebenarnya tapi gue beneran penasaran. Kalau kalian memang penganut statement terakhir gue di paragraf sebelumnya dan termasuk orang yang “yaudah yang pergi memang udah waktunya pergi”, gimana sih cara kalian membuat diri kalian baik-baik aja setelah itu? Gimana sih kalian bisa tetap kalem dan tenang dan seolah tidak terjadi apa-apa dalam hidup kalian dan tidak ada perpisahan sama sekali? Baaimana kalian menghadapi situasi itu dan me-maintain hati kalian untuk nggak terlalu merasakan kesedihan berlebih? Apakah memang semudah itu ya? Apa cuma gue yang terlalu drama dan merasa kalau apapun yang sudah menyangkut perpisahan dan mengucapkan selamat tinggal pasti akan jadi sesuatu yang berat?
Gue mau jujur sama kalian karena kalian adalah pembaca setia blog ini dan gue merasa punya kedekatan dengan kalian semua: gue ini orang aneh.
Eh... itu sih nggak bukan rahasia ya? Ahahahaha
Hai Ron.
Selamat ulang tahun.
Sudah
berapa usiamu saat ini? 26 tahun? Wah sudah cukup tua untuk berumah
tangga ya. Tapi apakah kamu pernah terpikir untuk segera berumah tangga?
Setahuku sih belum. Karena yang ada di pikiranmu saat ini sama sekali
bukan topik tentang itu. Dan aku juga nggak yakin kalau ada topik
tentang itu terselip di sederet keinginan-keinginan yang ingin kamu
lakukan dalam beberapa tahun ke depan. Tapi nggak masalah kok, Ron. Itu
pilihanmu. Jangan dengarkan kata orang-orang yang terlalu banyak
bertanya soal kapan kamu akan menikah. Suruh mereka mengurusi hidup
mereka sendiri saja daripada mengurusi orang lain. Toh kalau kamu segera
menikah mereka juga nggak akan repot-repot ngurusin katering atau
keinginanmu untuk membuat resepsi berkonsep “KPop Fantasy” kok. Kamu
juga yang akan repot sendiri bukan mereka. Sebaiknya fokus ke hal-hal
lain yang membuatmu bahagia saja. Oh ya, itu lebih penting. Dan ya, kamu
butuh bahagia.
Aku
tahu beberapa tahun terakhir hidupmu penuh dengan drama. Well,
sebenarnya sejak kau masih duduk di bangku SD pun hidupmu sudah penuh
dengan drama. Dijauhi teman-teman karena kamu aneh. Alien. Dan kamu
tidak tahu harus bagaimana menghadapi mereka. Tidak sampai sana, di SMP
dan SMA pun juga demikian. Dan yah… sesekali juga mendapat lirikan
judgemental dari teman kuliah. Tapi aku bangga sama kamu, Ron. Karena
semua itu membuatmu jauh lebih kuat. Lebih cuek. Lebih bodo amat sama
pendapat orang lain. Aku suka prinsipmu beberapa tahun terakhir ini:
kalau orang lain tidak mau menerimaku apa adanya, kenapa aku harus
memaksa mereka? Itu urusan mereka. Aku akan tetap jadi diriku sendiri.
Semoga memasuki usiamu yang ke-26 ini kamu masih tetap dengan prinsip itu.
Aku
juga tahu ada banyak sekali pilihan-pilihan yang salah yang kamu ambil
dalam hidupmu. Dan kita sama-sama tahu apa yang terakhir. Tapi aku
berharap itu semua membuatmu semakin kuat. Semakin tahu bahwa hidup
memang tidak mudah. Tidak pernah mudah. Semua keputusan-keputusan salah
yang kamu ambil itu bukanlah sesuatu yang sekedar lewat. Tapi percaya
deh, Ron, semua itu pasti akan ada hikmahnya. Mungkin tidak sekarang.
Mungkin nanti. Mungkin tidak langsung kamu lihat, tapi bertahap. Mungkin
tidak langsung kamu temukan, tapi siapa tahu ada orang lain yang
menunjukkan. Jadi jangan pernah menyerah dan putus asa. Jangan pernah
merasa bahwa dunia berakhir hanya karena kamu salah mengambil jalan.
Semua itu adalah pelajaran yang akan membuatmu jadi semakin dewasa dan wise tentu saja.
Nggak kerasa tahun ini gue udah resmi jadi anak kosan selama delapan tahun berturut-turut. Sejak 2009 gue pertama kali pindah dari Mataram ke Depok untuk kuliah di UI sampai 2017 ini gue jadi salah satu pegawai rumah produksi di Jakarta. Yang mana, sepertinya akan gue tinggalkan dalam waktu dekat, mohon doanya. Wah, selama delapan tahun ini gue udah hapal banget deh naik dan turunnya hidup sendiri tanpa keluarga. Jauh dari masakan Mama. Nggak pernah bisa ketemu tiap hari sama temen-temen SMP dan SMA (meanwhile mereka di grup LINE tengah merencanakan untuk kumpul-kumpul) (dan membicarakan pernikahan).
Selama delapan tahun ini gue belajar banyak hal banget tentang kesendirian. Masak sendiri, makan masakan sendiri. Tidur sendiri, beresin tempat tidur sendiri. Perbaiki keran kamar mandi yang rusak juga harus sendiri sampai masang kawat di ventilasi kamar mandi supaya nggak masuk tokek kayak kejadian di Depok tahun 2010 dulu. Karena nggak mau manja (ceileh) gue juga belajar nyuci seprai dan selimut sendiri. Dua hal ini kayaknya sih jangan dilakukan setiap minggu. Karena mijetnya sampai jari-jari gue mau patah. Selama delapan tahun terakhir gue banyak melakukan hal-hal yang nggak pengen gue lakukan sendiri, tapi gue nggak punya pilihan.
Sebagai anak rantau sebenarnya ada sih, opsi untuk tinggal bareng temen. Setidaknya jadi nggak merasa sendiri terus. Tapi gue tuh orangnya ribet sendiri dan terlalu labil. Apalagi pas baru lulus SMA dulu. Kalau diinget-inget rasanya pengen pecut diri sendiri pake rotan. Kelabilan gue itulah yang bikin gue belum siap untuk bisa berbagi apapun dengan Dia-Yang-Disebut-Teman-Sekamar. Lagipula, gue juga selalu menganggap diri gue sebagai alien. Orang aneh. Yang kesukaannya bisa jadi nggak sama dengan kebanyakan orang saat itu (bahkan saat ini). Ya rasanya belum siap aja berada di satu kamar dengan orang yang belum lama gue kenal. Berbagi bau keringat sampai kentut.
Waktu itu gue mikir gini, gue baru lulus SMA, pindah ke Depok sendiri dan menjalani hari-hari sebagai mahasiswa baru yang selama dua minggu pertama sudah muak dan stres dengar teriakan senior yang nggak ada faedahnya itu: “THINK FAST DONG DEK! KREATIF DONG DEK! BISA LEBIH CEPET GAK DEK LARINYA?!” najis. Gue kira UI nggak ada gini-ginian ternyata ada juga. Hal-hal kayak gitu, termasuk kehidupan mahasiswa baru yang terombang-ambing nggak jelas di kampus bikin gue males mikir macem-macem yang ujung-ujungnya bikin kepala gue sakit. Ya, gue emang gampang banget stres. Manajemen emosi gue waktu itu masih kacau banget. Makanya gue pikir wajar kalau waktu itu gue nggak mau dibebani dengan keharusan untuk berbagi bau kentut dengan manusia lain.
Seiring waktu berganti, gue jadi lebih dewasa dalam hal ini. Jadi lebih wise—ahelah—gitu. Malah gue jadi penasaran. Semacem bisul yang gatel tapi nggak boleh digaruk. Nggak tahu hubungannya apa. Lulus kuliah dan nggak lagi dibebani dengan hal-hal kampus, sudah punya penghasilan sendiri dan mulai bisa menabung membuat gue jadi less-stress than before. Gue pun penasaran gimana rasanya punya roommate ya? Apalagi sehabis nonton variety show flop Korea yang judulnya ‘Roommate’ itu, gue jadi makin pengen tahu rasanya.
“Seru kali ya? Bisa punya temen makan. Temen ngobrol sebelum tidur gitu?”
Katanya udah dewasa tapi pikirannya kayak anak SMP.
Pernah nggak, kalian suatu hari duduk di sebuah kursi kayu, di teras rumah yang halamannya luas banget, ngeliatin cahaya matahari pelan-pelan menghilang dan tenggelam di sebelah barat, sambil menghirup aroma teh mint hangat dari meja kecil yang ada di sebelah kanan kalian, dan memikirkan soal apa saja yang sudah terjadi selama tiga tahun terakhir?
Gue nggak pernah. Karena di teras rumah gue nggak ada kursi kayu, tapi adanya sofa tua yang udah bau dan berdebu. Halaman rumah gue juga nggak luas-luas banget. Cuma dua kali lompat kodok juga kebentur tembok. Dan cahaya matahari jelang terbenam nggak pernah terlihat jelas dari sana karena kehalang sama tembok rumah-rumah lain. Tapi kadang-kadang cahayanya bagus juga. Cuma, di jelang akhir kalimat paragraf pertama sih gue pernah. Ya nggak sambil duduk minum teh mint juga.
Belakangan ini gue sering banget memikirkan “the good old days”. Seolah nggak mau menerima kenyataan bahwa setiap individu yang ada di sekitar gue pasti berubah. Sekecil apapun itu. Perubahan-perubahan yang tanpa kita sadari bikin hubungan pertemanan jadi merenggang dan pelan-pelan semakin menjauh. Kenyataan itu kemudian bikin kerinduan akan masa-masa pas bareng dulu makin berasa.
Kalau lo termasuk pembaca setia blog ini, lo pasti tahu kalau gue nggak terlalu punya banyak teman. Sebagai perantau yang kehidupan masa kecil dan masa remajanya dihabiskan di Mataram, Lombok, membuat gue nggak terlalu punya hubungan yang sangat dekat dengan teman-teman sekolah gue dulu. Teman waktu kuliah dulu juga sekarang sedang giat-giatnya bekerja, jadi beneran jarang banget bisa ketemu dan menghabiskan waktu berkualitas. Jadilah teman-teman yang sering kontak dan komunikasi sama gue sekarang adalah mereka yang memang punya satu kesanaam: sama-sama suka KPop.
“Introvert itu nggak sama dengan
pemalu.”
Itu yang gue baca di artikel sebuah
media online beberapa waktu lalu. Semakin gue cermati, semakin gue berpendapat
sama dengan tulisan itu. Semakin juga gue punya pandangan yang jelas tentang
sifat alami gue yang memang introvert, tapi bukan pemalu.
Mana ada pemalu yang mau membungkus
dirinya dengan konfeti dan joget-joget nggak jelas di lokasi konser demi untuk
di-notice sama Lee Jin Ki.
Melanjutkan tulisan di artikel tadi,
introvert adalah orang yang lebih menyukai kesendirian kadang-kadang, meski
mereka ada di tengah keramaian. Dan gue kembali mengamini tulisan itu.
Belakangan ini gue sering merasakan hal ini. Belakangan ini gue sering merasa
ingin sendiri. Entah kenapa apapun yang dilakukan oleh orang-orang di sekitar
gue, walaupun itu lingkaran pertemanan gue sendiri, jadi nggak seru lagi. Gue
merasa semangat gue untuk berinteraksi dan beramah-tamah dengan sekitar
mendadak hilang. Dan ini adalah sebuah masalah besar.
Ke orang-orang yang sudah lama gue
kenal (atau sudah lama kenal gue) pastilah gue akan banyak ngomong dan ngoceh
tentang banyak hal. Di satu momen gue bisa jadi sangat menyebalkan karena
kebanyakan ngomong. Sering banget gue menyinggung roommate gue karena gue
terlalu banyak omong. Walaupun dia mungkin nggak teriak “ANJING LO, GUE TERSINGGUNG!”
tapi gue bisa melihat itu dari mimik wajah dan perubahan sikapnya yang mendadak
dingin kayak Arandelle waktu Elsa masih labil.
Karena keberisikan gue yang to the
max inilah pernah suatu hari salah satu temen kantor, namanya Nabila, nanya ke
gue. “Lo lagi sakit ya?” cuma karena gue hari itu nggak sebanyak omong
biasanya. Nggak seberisik biasanya.
Nggak. Gue nggak sedang sakit. Gue
sedang pengen sendiri dan diem.
Tapi nggak bisa mengeluarkan kalimat
seperti itu. Gue hanya bisa faking smile dan “Nggak Bilaaaa gue lagi pusing
nih. Biasalah anak muda. Labil.” Dan pembicaraan itu akan terputus saat itu juga
dan semuanya akan memaklumi. Karena kadang dalam kondisi seperti ini, kejujuran
itu bisa dinilai berbeda. Kalau gue bilang, “Tolong, gue lagi pengen sendiri.”
Bisa-bisa ditanggepin “Yaudah sana ke toilet. Lebih private.” Kan nggak enak.
Gue sedang berusaha untuk menyelesaikan laporan mingguan gue di kantor hari ini ketika gue iseng (sebenarnya dulu kegiatan ini gue jadwalkan setiap harinya) nge-search ‘kaoskakibau’ di Twitter. Dulu setiap kali gue mem-posting artikel baru (mostly tentang EXO atau review MV) gue selalu melakukan ini untuk nge-RT-in orang-orang yang nge-share artikel gue. Belakangan emang agak jarang karena konten gue yang tentang KPop sudah makin berkurang.
“Selamat datang di real life!” begitu kata gue pada diri gue setiap kali gue sadar tentang kenyataan bahwa spazzing sekarang bukanlah hal yang bisa gue lakukan setiap saat lagi, nggak seperti beberapa bulan yang lalu.
Lalu gue menemukan sebuah posting-an dari salah satu akun Twitter. Posting-an yang membawa gue tenggelam dalam ke pikiran-pikiran serius tentang kehidupan. Posting-an yang gue baca itu sebenarnya adalah “timehop” dari si pemilik akun yang ternyata 2013 lalu pernah nulis status di Facebook mengutip tulisan gue di blog.
“Pas bukain postingan lama di facebook, trus nemu ini, postingan thn 2013 ngutip dr kaoskakibau.” Tulis @nnMonti. Dia memotret posting-an Facebook-nya 2013 lalu dan mengunggahnya ke Twitter. Waktu gue baca isi posting-an itu, gue terdiam cukup lama. Emang gue pernah nulis kayak gitu?
Buru-buru gue menekan CTRL+T di browser dan mengetik ulang kalimat pertama di posting-an itu lalu menambahkan “, kaoskakibau” setelahnya. Kemudian gue menekan ENTER dan Google menempatkan kaoskakibau.com di urutan teratas pencarian. Lengkap dengan kutipan kalimat yang persis sama dengan yang ditulis @nnMonti.
Gue sangat suka mencoba hal baru. Walaupun sebenarnya gue tipikal orang yang sangat setia dengan sesuatu yang lama, yang sudah gue mengerti dengan baik, ketimbang mengambil risiko untuk melakukan sesuatu yang berbeda tetapi masih gambling. Tapi setelah memutuskan pindah kerja dari bidang yang gue sukai ke bidang yang masih ‘igemoya’ banget, pola pikir gue jadi berubah. Mungkin mencoba hal baru nggak ada salahnya.
Di tengah kesibukan gue dengan pekerjaan baru gue sekarang (yang najis tralala bener-bener sibuk banget from sunrise to sunset) (gak deng ini cuma pencitraan) gue masih berusaha untuk mengejar ketertinggalan gue pada posting-an blog. Tapi kemudian muncul sesuatu yang sepertinya nggak bisa gue hindari. Sesuatu yang memang sudah gue rencanakan sejak lama. Sejak akhir 2011 dan gue bahas lagi di jelang akhir 2015 lalu. Sesuatu yang sudah menumpuk idenya tapi terlalu takut untuk memulai: bikin channel YouTube.
Di suatu malam, gue sama beberapa temen kampus sedang makan di JB. Buat anak Depok pasti tahu tempat makan pinggir jalan di jalan Margonda deket gapura belimbing raksasa ini. Temen gue ini namanya Rini. Malam itu kita lagi on-fire banget membahas masa depan. Biasa kan, mahasiswa tingkat akhir past galau soal masa depan. Pertanyaan “mau kerja apa” dan “mau jadi apa lo nanti” selalu menghantui. Dan ketika gue sama Rini ngobrol malem itu (di sana ada Nadya sama Shinta juga kalau nggak salah inget), kita sepakat soal satu hal.
“Gue pengen banget deh jadi artis YouTube,” kata gue sesumbar. Rini mendadak bersemangat dan berteriak.
“Eh iya gue juga loh! GUE JUGA PENGEN BANGET”
“IYA KAN RIN! Kayaknya kalau ngeliat YouTube-ers luar tuh kok mereka indah banget hidupnya ya! Bahkan Shinta-Jojo aja bias begitu loh,”
Shinta yang gue maksud di paragraf sebelumnya bukan Shinta yang Keong Racun itu.
“Tapi gue sih nggak mau kayak gitu. Gue pengennya kayak punya acara sendiri di YouTube gitu Ron,” kata Rini.
“Iya sama! Gue juga kayak kebayang bikin apaa yang berhubungan sama Kpop gitu. Kayak EatYourKimchi. Gue seneng banget liat video mereka!” kata gue lagi.
Obrolan gue dan Rini ngalor ngidul sampe ke mana-mana. Dan ketika bertahun-tahun berselang setelah itu, Rini nggak jadi artis YouTube. Tapi sekarang dia jadi host acara kesehatan di ElShinta TV. GUE KEDULUAN!!! RINI UDAH JADI ARTIS DULUAN!!!!
Ide bikin channel YouTube sendiri sebenarnya sempat juga muncul tahun 2013 lalu. Gue udah sempat kepikiran untuk serius sampai beli kamera segala. Tapi gue sadari saat itu gue masih punya banyak kekurangan. Di antaranya adalah gue masih belum percaya diri kalo muncul di video.
Ketawa gue terlihat aneh.
Setiap gue ngomong kok kayaknya terlalu menye.
Gue terlalu banyak kedip.
Rambut gue nggak banget.
Gerakan tangan gue kurang tegas.
Terlalu sering mengatupkan bibir.
Keseringan jilat bibir juga.
Banyak hal. Padahal waktu itu ada momen gue jalan-jalan ke Ciater untuk pertama kalinya dan suda diniatin mau bikin video, eh malah batal karena ternyata pas gue nonton lagi hasil rekamannya, bener-bener najis. Nggak layak siar banget. Dan ketika istilah vlog sudah mulai banyak digunakan, sementara gue masih aktif nge-blog, keinginan gue untuk bikin vlog pun semakin besar. Makanya gue jadi sering iseng ngerekam muka sendiri. Ngomong di kamera sendiri setelah itu. Ala-ala test cam gitu. Gue jadi sering live facebook secara random. Semua untuk membiasakan diri bicara di depan kamera.
Gue basic-nya orang yang pemalu. Tapi kalau lama kenal bisa jadi malu-maluin. Tapi kalau dua hal itu muncul di saat yang sama di kamera dan gue nggak siap kan jelek banget. Makanya takes time banget untuk gue akhirnya percaya diri dan menemukan momen untuk muncul di YouTube dan punya channel sendiri.
“2016 sih aku udah harus vlog sih Nis,” kata gue Annisa, temen gue yang sekarang kuliah di Korea. Kita lagi ngobrol di Lotteria di COEX Mall setelah gue jalan-jalan ke SMTOWN COEX Artium tahun lalu. Annis pun menyemangati.
Akhirnya gue mulai nabung pelan-pelan untuk beli segala kebutuhan yang kemungkinan akan gue butuhkan untuk nge-vlog. Mulai dari handphone yang kameranya bagus, microphone, kamera aksi, sampai keinginan gue untuk beli kamera mirrorless demi mendukung niat gue ini. Tapi pelan-pelan. Karena mirrorless sampai sekarang belom berhasil gue punya hahahahaha
Kalo lagi ngumpul sama temen, gue suka rekam-rekamin. Ala-ala nge-vlog gitu. Padahal di-posting juga enggak. Pas tahun baru gue sok-sokan bikin video selamat tahun baru di Instagram. Macem-macem deh aksinya. Tapi nggak ada yang naik sama sekali ke YouTube. Gue masih malu-malu. Kalau dipikir-pikir, video pertama yang nampilin muka gue di YouTube ya pas gue ke SM dan manggil-manggil Suho secara random itu. Selebihnya udah nggak pernah lagi.
Dan gue nggak tahu bagaimana awalnya keyakinan itu datang, ketika gue ke Singapura untuk nonton Seventeen kemaren gue sudah membayangkan kalau semua footage yang gue rekam dari perjalanan sampai ketika di Singapura nanti akan jadi video pertama gue di YouTube. Dan benar saja, gue akhirnya nge-vlog. Nggak lagi hanya nge-blog.
Hehehehe
Gue jadi ingat alasan pertama kenapa gue nge-blog dulu. “Karena saya merasa hidup saya unik dan orang-orang mungkin tertarik untuk tahu keunikannya.” Kata gue di sebuah wawancara kerja dulu. Dan gue merasa ini adalah alasan yang juga sangat oke untuk memulai nge-vlog. Selain memang tuntutan zaman. Semua orang sudah mulai nge-vlog. Semua orang sudah ngomongin soal konten pribadi di YouTube. Semua orang sudah mulai bicara video, bukan lagi tulisan dan gambar doang.
Ide-ide banyak muncul di kepala gue untuk video YouTube. Dan semoga gue bisa mewujudkannya pelan-pelan, dan satu per satu. Gue juga nggak bisa yang langsung WOW banget. Karena gue sendiri masih NEWBS (newbie) dan masih CUPS (cupu) soal ginian. Tapi gue yakin kalau pelan-pelan dan istikomah pasti akan menuai hasil yang oke. Dan semuanya bisa terjadi seperti ini karena dukungan kalian sekalian: pembaca kaoskakibau.com, followers @ronzzykevin, followers @ronstagram, likers @kaoskakibau di Facebook, adders @kaoskakibau di LINE, dan tentu saja teman-teman yang kenal gue dan masih berhubungan sama gue secara virtual.
Tanpa kalian apalah gue. Hanya percikan keringat Kim Jong Un. THANK YOU SO MUCH!
Dan sekarang gue resmi mengelola akun YouTube bernama KaosKakiBau TV dengan serial pertamanya yang berjudul #vron (#vlognyaron).
Kenapa KaosKakiBau TV? Sebenarnya ini menyambung keberadaan kaoskakibau.com sebagai blog. Dan kata-kata TV terasa pas aja karena sejatinya channel ini adalah versi video dari kaoskakibau.com. Mungkin terinspirasi dari berbagai acara YouTube Kpop yang juga pake-pake TV sih kayak Winner TV gitu. Alasan lain nggak ada. Lebih simpel aja dan gampang diinget. Supaya brand KaosKakiBau-nya juga tetep ada gitu.
Lalu kenapa #vron (#vlognyaron)? Sekarang apa-apa tuh bagus banget kalo di-hashtag-in. Kesannya sangat #kekinian dan #DigitalBingits. Ide untuk menamai seri vlog-nya #vron juga dateng saat itu juga ketika gue mengedit video Singapura itu. #vron adalah gabungan dari kata vlog dan ron. Sudah jelas kan. Dan kepanjangan #vlognyaron itu lebih ke yang kayak lebih enak aja disebut kalo lagi ada yang ngomongin gitu.
“Eh udah nonton #vlognyaron yang baru belum?”
Gitu.
(KAYAK AJA ADA YANG NGOMONGIN)
Yang jelas ini adalah salah satu isi bucket list yang sekarang sudah bisa gue coret. Gue sendiri masih harus banyak belajar karena seperti yang gue bilang tadi gue masih #NEWBS di dunia vlogging. So yeah, I need all your critics and comments, guys! Gue termasuk orang yang percaya bahwa nggak ada komentar yang sampah. Komentar itu muncul dari perasaan mengganjal yang ada di hati seseorang yang berarti ada sesuatu yang salah yang ingin dia ubah, kan. Jadi, silakan rajin-rajin komentar di YouTube gue.#kalem
Untuk sekarang mungkin gue akan fokus ke #vron dulu yang isinya sebagian besar adalah kegiatan sehari-hari gue yang membosankan yang mungkin nggak bisa gue tulis di blog. Ke depannya gue sih sebenarnya sudah ada beberapa ide yang mungkin asik untuk dikemas dalam format video pendek di YouTube. Tapi ya doakan supaya cepet bisa terkabul. Sekarang masih dalam tahap mengumpulkan receh untuk membuat studio pojokan di kamar kosan yang sempit tapi nyaman (buat gue) ini.
Sekali lagi gue mau ngucapin terima kasih untuk semuanya yang sudah memberikan dukungannya sejak kaoskakibau.com sampai sekarang di kaoskakibauTV. Dukungan kalian sangat berarti banget! Kalo nggak ada kalian, ya siapa yang mau nonton videonya? AHAHAHAHAHAHHAA KENAPA SIH KALIAN TUH BAIK BANGET?! JANGAN TERLALU BAIK GITULAH. KALO ORANG TERLALU BAIK BIASANYA GAMPANG DIMANFAATIN!
#baper #drama #apalah #pergiajasana #keAlaska
Akhir kata, sila LIKE+COMMENT+SHARE+SUBSCRIBE #vron (#vlognyaron) di YouTube. Playlist-nya tinggal klik aja di [bit.ly/vlognyaron] atau bisa langsung nonton di bawah ini:
Di suatu siang, beberapa hari setelah Lebaran 2015, gue dan Dimas, salah satu temen gue yang dulunya anak cover dance dan sekarang sudah pindah haluan jadi penyanyi nasyid tapi masih menyimpan hasrat untuk nge-dance tapi dia hanya bisa memendam hasrat itu karena di satu sisi dia merasa aneh di sisi lain dia merasa pengen, sedang menunggu pesanan pizza di salah satu tempat makan di kawasan Pasir Kaliki, Bandung. Nama tempatnya Herb & Spice. I reccomend you to try every food in there because it taste really really good. But that’s not my point.
Gue termasuk orang yang susah percaya sama orang lain untuk urusan cerita-cerita masalah pribadi. Tapi di saat yang sama gue orangnya gampang dipancing untuk cerita-cerita masalah pribadi. Nah, bingung kan?
Sama.
Gue juga suka bingung sama diri gue sendiri. Ketika gue berniat untuk menyaring siapa-siapa saja yang berhak mendengarkan kisah-kisah kehidupan pribadi gue yang paling pribadi malah jatohnya jadi nggak kesaring karena kadang-kadang gue bisa random acara cerita sama siapa aja.
Dimas mungkin satu di antara banyak orang yang pernah mendengarkan curhatan-curhatan gue soal kehidupan. Dan topik siang itu adalah comfort zone.
Gue yakin semua orang di dunia ini pasti punya zona nyaman yang nggak pengen mereka tinggalkan. Dan buat gue, zona nyaman itu adalah Kpop. Nggak sekedar masalah fandom dan suka sama siapa, tapi Kpop buat gue adalah sumber penghasilan selama tiga tahun terakhir. Gue hidup dengan menulis berita Kpop di media mainstream dan kasarnya Kpop adalah sesuatu yang sangat penting dalam hidup gue sejak 2013 sampai jelang akhir 2016 ini. Karena berkat Kpop gue bisa bayar kosan, makan, minum, dan juga jalan-jalan ke beberapa negara yang mungkin sama sekali nggak pernah kepikiran di kepala gue sebelumnya.
Bekerja sebagai jurnalis Kpop adalah hal yang sangat menyenangkan buat gue. Nggak, bukan sangat menyenangkan. Tapi SANGAT SANGAT SANGAT SANGAT SANGAT SANGAT MENYENANGKAN.
“Apa sih yang paling menyenangkan di dunia ini selain mengerjakan hobi sendiri dan dibayar?” kata salah satu wartawan hiburan di sebuah sesi wawancara Yubin ‘Wonder Girls’ via telepon beberapa tahun lalu. Lucunya, dia adalah pembaca blog gue juga. “Gue tahu lo lebih dulu dari blog daripada tahu lo wartawan Kpop,” katanya. Gue nggak bisa menyembunyikan senyuman malu-malu gue saat itu.
Kpop adalah zona yang benar-benar nyaman. Di situ gue merasa bisa jadi diri gue sendiri. Di saat orang lain sedang heboh mendengarkan lagu baru Tulus atau DJ Snake, gue tetap dengan EXO dan SNSD. Ketika orang lain sedang heboh membahas apakah benar Saipul Jamil punya video porno sama cowok seperti yang diunggah oleh sebuah akun anonim di Instagram dan jadi heboh di media online, gue tetap heboh manas-manasin orang yang nggak suka sama Baekhyun-Taeyeon. Kpop buat gue sangat penting dan signifikan. Kpop buat gue adalah kehidupan. Kpop buat gue adalah identitas. Kpop buat gue adalah zona nyaman.
2 Januari 2016, Liputan konser KRY di Jakarta (ronzstagram)
Saya selalu bertanya-tanya kapan saya bisa ke Seoul sejak pertama kali jadi fans KPop. Ketika kesempatan itu datang, saya hanya bisa alay bukan kepalang. Posting-an ini adalah bagian kedua dari 'Finally, Seoul!', catatan perjalanan pertama saya ke Seoul, Korea Selatan. Sebelum melanjutkan baca bagian ini, silakan baca dulu bagian pertama di sini.
Gue nggak sempat menikmati bagaimana mewah dan meriahnya Bandara Incheon ketika gue mendarat di Seoul, Minggu (29/11/2015). Beberapa hal yang mendadak terjadi karena gue kelamaan tidur di pesawat jadi penyebabnya.
Pertama, gue belum isi kartu pendatang yang harus diserahkan di imigrasi. Kedua, gue nggak prepare pulpen untuk mengisi kartu itu jadi gue harus minjem pulpen dari Mbak Dian, PR dari Oh!K Channel yang mengundang gue ke Korea. Ketiga, karena minjem pulpen dan mengambil kartu isian pendatang yang baru itu gue harus memulai antre dari belakang lagi, padahal tadi udah kayak hampir maju ke loket imigrasi-nya. Sial aja ketika gue selesai ngisi, semua orang kayaknya baru mendarat dan udah antre aja di sana. Sebel.
Ternyata proses imigrasi di Korea nggak deg-degan kayak di Amerika. Ini pasti nih Amerika karena efek 'My Name Is Khan'. Jadi kan takut kalo tiba-tiba digrebek cuma karena bawa tolak angin. Alhamdulillah Korea kayaknya gwencana sarangiya.
But anyway, sekeluarnya dari pintu kedatangan bandara dengan alay dan ber "HAH!" "HAH!" ria seperti anak kampung yang nggak tahu kalau nafasnya ternyata bau, gue akhirnya bisa merasakan udara dingin Seoul yang sebelumnya sama sekali nggak kebayang itu.
Hey there! Hehe... jadi bingung mau manggil apa ke kalian yang sudah setia membaca blog ini dengan tulisan-tulisan absurd-nya. Apakah ini artinya aku harus mencari sebutan untuk pembaca blog ini?
(Gak usah banyak gaya deh).
This post is not gonna be that typical very long post that I always made on this blog. Tapi ini hanya sekedar curhatan pendek yang akan gue tulis soal pengalaman gue masuk ke ruang jumpa pers dua konser Infinite di Jakarta di tahun 2013 dan 2015.
Gue nulis ini dari sudut pandang diri gue sebagai seorang fans tentu saja, di luar dunia profesional dan pekerjaan. Walaupun pembatas antara pekerjaan dan kehidupan spazzing gue sangat tipis, tapi semoga tidak berbenturan dan berjalan di track-nya masing-masing.
(Apa deh).
Oke, singkat cerita kemaren gue dapat tugas untuk datang ke preskon konser 'Infinite Effect' di Jakarta. Lokasinya di salah satu hotel di kawasan Thamrin. Hotelnya cukup terkenal. Walaupun gue tadi sempat Googling juga pas sebelum berangkat untuk memastikan apakah di hotel ini ada mushola atau nggak. Yang gue dapatkan adalah informasi bahwa di toilet hotel ini ternyata nggak ada semprotan buat cebok pas lagi boker.
Alhamdulillah gue tadi udah buang hajat di kantor sebelum berangkat jadi gue aman.
Masalah besar datang ketika gue sedang nunggu kopaja dan gue lupa kalau gue belum minum setelah makan siang. Ya gimana sih rasanya kalo ati ampela masih nempel di kerongkongan. Alhasil gue menahan haus (sambil berkali-kali menelan ludah) sepanjang perjalanan. Tapi efeknya tidak baik. Ternyata tidak minum membuat kepala gue agak pusing. Ini mungkin karena efek kebanyakan tidur dan bangun yang dipaksakan sebelum berangkat.
Lagian... kenapa sih Infinite harus preskon hari Sabtu.
Ini tuh weekend.
(Tidak terpikir sebelumnya kalo "YA KAPAN LAGI LO MALEM MINGGUAN SAMA INFINITE!" walaupun dalam konteks yang benar-benar berbeda). *
Gue bukan tipikal orang yang suka nonton drama atau film yang happy ending. Kadang-kadang menurut gue, film yang happy ending itu klise. Dibuat seolah-olah dunia ini hanya berisi kebahagiaan. Dibuat seolah-olah semuanya akan baik-baik saja. Bagus sih, punya pola pikir seperti itu. Positif dan selalu menyenangkan. Tapi kadang-kadang ini jadi nggak realistis ketika akhirnya kita menjalani sendiri kehidupan dan merasakan berbagai macam penolakan dan kekecewaan. Walau sekecil apapun.
Gue suka nulis cerpen dan beberapa kali nulis fanfiction juga sejak kenal KPop (sila cek di sini). Menentukan ending bisa jadi adalah yang paling sulit buat gue. Mungkin gue emang masih amatir, tapi gue denger-denger bahkan penulis besar pun katanya agak sulit menentukan bagaimana ia harus mengakhiri kisah yang sudah dia bangun dengan penuh kasih sayang itu.
Maka sulit juga buat gue untuk mengakhiri cerita perjalanan ke New York ini, walaupun perjalanannya harus berakhir juga bagaimanapun. Kecuali gue tiba-tiba diadopsi sama orangtua kaya raya di New York dan diajak pindah kewarganegaraan dan disekolahkan dan bla bla bla bla.... yang akhirnya nggak mungkin kejadian.
Walaupun di beberapa kondisi gue sebenarnya lebih suka ending yang menggantung, tragis, atau mungkin open ending, tapi untuk kehidupan nyata ini, gue tentu ingin ending yang bahagia dari perjalanan gue di New York. Yah... mau nggak mau hukum alam itu terjadi. Semua yang berawal pasti akan berakhir.
Mari berbahagia!!!!
Gue bertekad untuk mengakhiri jam-jam terakhir gue di New York sebisa mungkin membahagiakan dan mengesankan. Kecuali bagian masuk toko oleh-oleh mungkin. Karena itu nggak akan gue ceritakan panjang lebar di tulisan ini, gue hanya bisa menyimpulkan bahwa membeli oleh-oleh adalah hal paling membosankan, membingungkan, menyebalkan, dan semua kata-kata negatif bisa ditulis di sini.
Hari terakhir di New York rasanya sangat aneh. Badan gue bener-bener kecapekan setelah perjalanan ke Central Park malam harinya. Mungkin ini juga karena efek kurang tidur yang sudah sangat berlebihan sejak berangkat dari Doha. Mungkin ini yang dinamakan jet lag tapi gue nggak menyadarinya. Tapi gue meyakinkan setiap sel tubuh gue agar jangan tumbang dulu. Karena masih ada sekitar 20 jam yang masih bisa dinikmati sebelum kembali ke Doha dan terbang lagi ke Jakarta.
Gue tidur cukup cepat malam itu. Padahal keinginan gue untuk begadang dan mem-posting foto-foto yang gue potret di Instagram sangat besar. Tapi karena takut dibilang spamming jadi gue simpan saja untuk di-posting late post selama sebulan ke depan (DAN ITUPUN TERJADI). Sekitar jam sebelas malam gue tidur. Pulas. Tapi sebentar banget. Gue terbangun sekitar pukul dua atau tiga pagi karena ingat gue belum setor kerjaan ke kantor.
Akhirnya gue menghabiskan sekitar satu setengah sampai dua jam di depan laptop sebangunnya gue malam itu. Mengingat-ingat lagi apa yang terjadi sepanjang hari kemarin selama kunjungan di Carlo's Cake Factory, Carlo's Bake Shop, dan juga ketika wawancara langsung sama Randy Fenoli. Ada sekitar 15 artikel panjang yang harus di buat dari perjalanan 3 hari 2 malam ini. Beruntung tidak semuanya harus diselesaikan malam itu tapi bisa dicicil sampai November. Jadi gue masih bisa agak bersantai.
Setelah selesai ngetik dan mengirim email (SET SET SET WIFI HOTEL SUPERCEPET MAU NANGIS YA ALLAH), gue buru-buru mandi dan sembahyang subuh ketika sudah masuk waktunya. Karena Selasa (29/9/2015) itu adalah hari terakhir di New York yang penuh kebahagiaan ini, maka gue bertekad akan menghabiskannya dengan sebaik-baiknya. Setepar-teparnya. Sampai teler kalau bisa.
Gue masih penasaran dengan Central Park sebenarnya. Jadi hari itu, tujuan utama gue adalah Central Park. Kerjaan di hari terakhir dimulai sekitar jam setengah 10 pagi. Itu berarti dari jam enam gue punya sekitar tiga jam untuk mengarungi jalan dari hotel ke Central Park dan kembali lagi ke hotel. Karena siangnya akan wawancara Theresa Caputo di kawasan Broadway, jadi gue pikir itu sudah terhitung jalan-jalan. Senengnya lagi, hari itu kerjaan akan selesai jam 1 siang. Means, masih bisa jalan-jalan sekitaran kota.
"Oke, hari ini pokoknya gue mau random!" kata gue. Ketika mandi gue udah kebayang akan sarapan di McDonald (oke maafin gue tapi kemanapun gue pergi kayaknya gue mentok di fast food kesukaan gue ini) dan setelah itu membawa kopi berjalan dari McDonald sampai ke Central Park. Setelah itu, biar Tuhan yang menentukan. Pas mandi gue juga inget kalau ternyata gue belum sikat gigi dari gue mendarat di New York sampai hari ini. *