the only thing I wished for...


Sejak awal bulan puasa ini, doa gue cuma satu: semoga gue nggak lagi jadi orang yang insecure. Tapi gue nggak yakin insecure bisa mewakili banyak sekali hal yang sebenarnya gue inginkan tahun ini. Kayak semisal gue nggak pengin lagi jadi orang yang nggak percaya diri, gue nggak pengin lagi jadi orang yang selalu merasa diri nggak layak, gue nggak pengin lagi jadi orang yang selalu merasa jelek, dan gue nggak lagi jadi orang yang nggak bisa jadi dirinya sendiri.

Sebenarnya ada sedikit kekhawatiran ketika akhirnya gue memasuki tahun 2021. Seperti biasa, orang yang “hobinya” overthinking kayak gue akan selalu merasa ketakutan dan tidak siap dengan apapun yang mungkin akan terjadi tahun ini. Padahal kalau dipikir-pikir, ketidakpastian hidup itu pasti akan selalu ada nggak peduli mau tahun berapa aja. Tapi 2021 ini rasanya semua ketidakpastian itu semakin jelas dan terpampang nyata dan kalau sebelumnya gue sudah takut buat menghadapinya, maka tahun ini gue lebih takut lagi.

Gue nggak tahu bagaimana awalnya tapi sepanjang tahun 2020 kemaren sampai awal tahun 2021 ini adalah tahun paling buruk buat kesehatan mental gue. Ya memang sih gue nggak pernah cek ke dokter atau apa tapi gue merasa ada yang aneh aja gitu. Gue jadi sering banget nangis, itu yang pertama. Kayak... superrandom. Gue pernah di satu malam nelepon temen gue dan gue nangis bilang “GUE PENGIN PULANG KAMPUNG!” dan itu untuk pertama kalinya dalam sejarah kehidupan gue di Jakarta gue nangis minta pulang kampung.

Di malam yang sama juga, sebelum akhirnya gue menemukan orang yang bisa angkat telepon gue, gue mencoba menelepon beberapa orang lainnya tapi nggak ada jawaban. Di situ gue semakin yakin bahwa kadang apa yang kita inginkan, apa yang kita harapkan, nggak selalu sesuai dengan kenyataan. Dan di situ juga gue sadar betapa kita butuh orang yang paling nggak mau angkat telepon kita saat kita menghubungi mereka secara tiba-tiba kayak gitu.

Sampai pertengahan tahun 2020 kemaren gue adalah orang yang paling nggak suka ditelepon. Tapi di penghujung tahun itu gue sadar bahwa ternyata ada alasan orang untuk telepon dan bicara karena nggak selamanya tulisan di chat itu bisa bikin lo mengeluarkan semua resah, gundah, dan sesak yang ada di dada. Rasanya beda aja gitu kalau lo curhat sambil ngetik sama curhat sambil bicara. Rasanya kalau bicara, emosi yang sebenarnya tuh bisa tumpah dan beneran lebih terasa lega setelah apa yang ingin lo sampaikan selesai dan tersampaikan dengan baik.

Lebih buruk lagi, 2020 adalah tahun gue merasa sangat-sangat merasa tidak layak mendapatkan apapun. Kayak... gue selalu diliputi oleh perasaan-perasaan negatif yang bilang “I’m not worthy”. It’s kinda sad....... soalnya gue selalu berusaha untuk membuat orang lain merasa mereka dihargai (I tried to, really, If I did something wrong I might not in a very good state of mind and/or mental condition that time) atau paling nggak memberikan semangat buat orang lain dan meyakinkan mereka bahwa mereka layak buat mendapatkan apapun yang mereka inginkan. Tapi anehnya gue pernah berada di titik di mana gue sama sekali merasa nggak layak buat mendapatkan apapun.

So I try to fix that mindset. Gue berusaha keluar dengan mencoba untuk rehat dari hal-hal yang bisa bikin gue lelah: media sosial. Some days mungkin lo pernah melihat akun Twitter gue nggak aktif atau Instagram gue dikunci, dan itu bener-bener karena gue capek banget deh sama semua hal. Walau harus gue akui salah satu cara gue bisa berinteraksi dengan manusia lainnya adalah lewat dua media sosial itu, tapi di saat yang sama dua media sosial itu juga bikin gue jadi merasa kayak... sampah.

Gue tahu semua orang ingin terlihat baik di media sosial. Semua orang ingin kelihatan seperti apa yang mereka ingin orang lain lihat, jadi mereka menunjukkan hal-hal yang menarik buat orang lain. Gue juga. Dan ini membunuh banget sih. Jadi gue memutuskan untuk berhenti dan bersumpah (AGAIN) kalau mulai tahun ini, gue nggak akan lagi jadi orang yang fake. Meaning, gue nggak akan terlalu berusaha keras untuk menunjukkan apa yang ingin orang lihat tapi justru menampilkan sesuatu yang apa adanya. Bukan apa yang orang butuhkan, tapi apa yang benar-benar ingin gue perlihatkan.

Dan itu membawa kita ke permasalahan lain gue di paruh kedua 2020 kemarin: I feel ugly and not comfortable with how I look.

Bukan dalam artian gue jerawatan dan gue nggak suka sama kondisi muka gue yang jerawatan, lalu gue pakai skincare supaya gue nggak lagi jerawatan, jadi supaya gue bisa nyaman dengan muka sendiri.

Tapi dalam arti gue jerawatan dan gue nggak suka dengan kondisi muka gue, lalu gue pakai skincare supaya gue nggak jerawatan tapi justru itu nggak bikin gue merasa lebih baik, malah lebih buruk. Gue terjebak dalam sebuah situasi di mana gue sendiri nggak punya standar nyaman dan standar baik buat diri gue sendiri.

Itu gila banget sih.

Jujur aja dulu gue nggak pernah memikirkan hal ini atau bahkan merasakannya. Gue nggak pernah terlalu insecure dengan penampilan gue atau bagaimana cara gue bicara atau cara gue senyum misalnya. Tapi entah sejak kapan gue mulai memikirkan hal-hal ini. Gue mulai sibuk mengatur diri gue supaya terlihat baik di mata orang lain. Itu saja sebenarnya sudah salah.

Jadi gue tutup mata, tarik napas, dan bilang ke diri sendiri kalau tahun ini nggak akan ada lagi pikiran-pikiran seperti itu. Gue harus berubah jadi lebih baik, gue harus nyaman dengan diri gue sendiri, dan itu bukan demi orang lain tapi demi diri gue sendiri. Gue harus menerima diri gue sendiri, baik dan jeleknya, lalu kalau orang lain nggak bisa menerimanya ya itu rugi di mereka. WKWKWKKWKWKWKWK

Jadi pas hari pertama Ramadhan gue buka Quran lagi setelah sekian lama, doa gue cuma satu: Ya Allah, hehe, doanya di Ramadhan tahun ini beneran nggak banyak kok. Cuma satu aja. Tapi mungkin yang satu ini agak ribet karena rentetannya banyak banget. Ya Allah, aku cuma pengin nggak lagi insecure sama diri sendiri. Aku hanya minta usahaku buat mengembalikan kepercayaan diri, mengembalikan kenyamanan, mengembalikan pandangan positif soal diriku sendiri; semuanya bisa berjalan dengan baik. Jadi aku nggak akan lagi merasa diriku kurang satu apapun. Semoga Ramadhan kali ini bikin aku bisa semakin yakin bahwa dengan menjadi diriku sendiri saja sebenarnya sudah cukup.

Itu aja.

Meski sebenarnya gue masih ingin meracau soal banyak sekali hal, tapi itu dulu aja deh yang gue minta. Sisanya sambil jalan aja nanti.

Gue menghabiskan penghujung usia 20-an gue dengan sebuah fase yang cukup penting soal identitas dan kepercayaan diri. Semoga itu bisa cukup jadi pijakan dan modal awal gue buat memasuki usia 30 tahun. Gila rasanya menyadari bahwa sekarang gue sudah ada di titik ini. Gila juga rasanya kalau dipikir-pikir bahkan ketika gue sudah ada di titik ini gue masih belum menemukan purpose gue di kehidupan. Tapi semoga dengan tetap jadi orang baik gue pelan-pelan bisa menemukannya.

Selamat ulang tahun, Ron!

Jangan hidup dengan standar buatan orang lain. Nggak ada gunanya. Semoga lo bisa tetap bertahan.
 

Salam,

Ron.



Share:

0 komentar