Fish Upon the Sky setelah 5 Episode


Pertama-tama, istigfar dulu karena gue sudah sampai sejauh ini di universe GMMTV jalur 2gether The Series. 

Astagfirullahaladzim 99x. 

Di saat teman-teman gue yang tahun lalu, waktu di awal-awal pandemi, ramai bahas Sarawatine; kini sudah nggak lagi menyinggung tontonan setiap Jumat malam ini, gue malah sejak itu ngikutin terus sampai sekarang. 

Astagfirullahaladzim 99x. 

Memang nasib manusia nggak ada yang bisa nebak.

Buat yang udah sempat baca blog ini beberapa lama mungkin tahu gue suka banget sama The Shipper. Menurut gue itu adalah series terkocak, terbaik, termenyenangkan, terseru, teranjir-kok-jadi-gitu-akhirnya, dan termengoyak hati. Karena gue belum banyak nonton series serupa dari GMMTV (dan malas buat menyaksikan judul-judul lain yang sudah tayang dulu-dulu kecuali Sotus dan Sotus S), sejauh ini The Shipper masih over the top. Belum ada yang bisa ngalahin.

Lalu datang Fish Upon the Sky.

Gue skeptis banget awalnya sama series yang gue sebut dengan ‘series ikan cupang’ ini. Salahin A Tale of Thousand Stars untuk itu. Sebelum gue masuk ke Fish Upon the Sky, izinkan gue curhat sedikit soal A Tale of Thousand Stars.

Jadi setelah 2gether The Series dan The Shipper, salah satu teman di kantor merekomendasikan gue untuk nonton I Told Sunset About You. Sebagai orang yang nggak pernah percaya sama review orang-orang, gue tidak lantas langsung nonton ketika temen gue bilang series ini bagus. Lagi-lagi karena pengalaman gue sama 2gether (dan Still 2gether) yang bikin gue jadi mikir kayak... “oh oke, segini aja nih?”

Tapi setelah akhirnya memutuskan untuk nonton I Told Sunset Abou You, wow, speechless. WOW. THIS IS SO LIFE CHANGING! HAHAHAHAHAHAH INI ADALAH SERIES TERBAIK DI GENRE INI YANG GUE TONTON SEPANJANG PANDEMI! Gue suka banget semua hal tentang series itu sampai semua soundtrack-nya masih jadi most played gue di Spotify saat ini.

I Told Sunset About You bikin ekspektasi dan level series-series Thailand di genre ini jadi naik dalam standar gue. Kalau ada judul lain terus nggak sebagus itu, gue nggak akan bisa menikmatinya lagi deh kayaknya. Lalu di suatu kesempatan ngobrolin soal series itu sama salah satu temen di Instagram, dia merekomendasikan gue A Tale of Thousand Stars yang waktu itu bakal tayang.

“Ini kayaknya bakalan beda dan bagus deh kak, jadi coba ditonton aja,” katanya.

Karena entah sejak kapan nonton YouTube Jumat malam itu jadi kebiasaan, akhirnya gue pun menyaksikan episode pertama series itu. Lalu episode dua. Lalu episode tiga. SAMPAI AKHIRNYA EPISODE 10 DAN WOW AKU BENCI SEKALI KENAPA ORANG BERNAMA PHUPHA INI SANGAT MENYEBALKAN DAN SANGAT TIDAK JELAS. Huff... Menurut gue, A Tale of Thousand Stars ini punya premis yang unik (meski familier) tapi banyak sekali hal-hal yang dipaksakan terutama plot twist-nya.

A Tale of Thousand Stars adalah series terapabangetsih tahun 2021 ini.

Drama yang ditampilkannya nanggung, karakter-karakternya nggak punya tujuan yang jelas dan kebanyakan terombang-ambing, detail-detailnya agak kacau, meski semua itu dibalut dengan kemasan yang hangat dan sangat elegan. Kalau ada satu hal yang bisa dipuji dari series ini adalah chemistry dua pemain utamanya. Sisanya yaudah ini jadi series lain dari GMMTV yang pada akhirnya cuma jadi fanservice semata.

Tapi kalau boleh jujur, gue menikmati episode-episode awal. Tapi setelah masuk ke kehidupan di atas gunung dan lepas episode 7 ke atas, ceritanya jadi makin nggak fokus dan jadi nggak jelas padahal udah mau tamat. Awalnya gue sudah mau maafin nih semua keanehan dalam series ini karena adegan bandara yang sangat manis itu. Tapi lalu ada adegan 2 tahun kemudian yang membuatnya semakin tidak jelas. Padahal udahlah kelarin aja di bandara gak apa-apa kok.

Dari I Told Sunset About You yang udah level dewa lalu A Tale of Thousand Stars yang drop shay banget, gue pun jadi enggan lagi buat menunggu tontonan Jumat malam di GMMTV. Sampai akhirnya gue sekip dua Jumat dan di satu hari Sabtu gue kayak kehabisan tontonan, yaudahlah gue lihat aja deh ini Fish Upon the Sky kayak apa sih.

Dan gue terkejut ternyata ini adalah series receh yang gue butuhkan!

Gue butuh waktu lama buat memproses perasaan gue waktu nonton episode 1. Bukan karena episode 1-nya, jujur, tapi soal kenapa GMMTV bisa bikin series yang bagus tuh bagus banget dan yang meh tuh meh banget, sih? Kenapa nggak semuanya dibikin bagussssss gitu lho.

Alasan kenapa gue merasa Fish Upon the Sky adalah tontonan receh yang gue butuhkan banget adalah karena series ini punya treatment kayak film komedi Thailand yang gue tahu dan gue sukai. Salah satu film yang paling gue suka adalah May Who dan sampai sekarang film ini masih sering gue rekomendasikan ke temen-temen gue. Beberapa hari yang lalu gue nonton Con Heartist dan itu juga sangat-sangat komedi yang bisa gue telan mentah-mentah tanpa harus mikir macem-macem.

Gue nggak bilang Fish Upon the Sky ini bisa disandingkan dengan dua film layar lebar itu, tapi setidaknya untuk level GMMTV (yang gue tahu selama setahun terakhir untuk tayangan Jumat malam) ini termasuk layak buat ditonton bukan cuma buat mereka yang suka series di genre ini, tapi semua orang yang butuh tontonan komedi.

Gue mau bilang Fish Upon the Sky ini mirip The Shipper tapi belum berani. Soalnya The Shipper tuh punya tempat khusus banget di hati gue (APEU) karena cerita, drama, persahabatan, treatment, hyung-dongsaeng relationship, dan love story-nya sangat jelas dan konsisten. Dramanya dibangun dengan sangat apik sejak awal dengan detail-detail yang jelas (meski tentu tidak sempurna tapi at least nggak fatal). Yang pasti, The Shipper komedinya sangat klimaks terima kasih buat malaikat mau bernama Jennie.

Kenapa lalu gue bilang Fish Upon the Sky ini bagus? Soalnya, menurut gue, tiga episode pertamanya sangat-sangat kental dengan nuansa komedi yang biasanya gue dapat dari film-film Thailand yang gue suka (kayak yang gue sebutin di atas). Biasanya untuk serial Jumat malam GMMTV gue kasih ambang batas 5 episode sebelum gue memutuskan apakah gue suka atau tidak suka. A Tale of Thousand Stars gagal bikin gue suka di episode 5 (tapi gue tetep nonton buat tahu akhirnya dan apakah bisa pendapat gue itu berubah di episode terakhir) dan Fish Upon The Sky ini berhasil bikin gue bilang “ANJIR GUE SUKA SIH INI!” di episode 3.

Secara cerita sebenarnya cukup membosankan dan nggak ada yang terlalu baru: si jelek naksir si tampan lalu di-make over agar si tampan jatuh cinta juga tapi dalam perjalanannya dia sadar bahwa ternyata bukan si tampan yang harusnya dia kejar tapi orang lain yang jauh lebih perhatian dari si tampan.

Pretty boring, right?

Tapi yang bikin Fish Upon the Sky ini menyenangkan adalah tim produksinya berhasil mengemas cerita yang membosankan itu ke dalam visual yang benar-benar bikin lo merasa keluar dari segala penat di kehidupan nyata lo dan tenggelam dalam kejadian-kejadian kocak di series-nya. Visual para pemainnya dimanfaatkan sebaik mungkin dan senatural mungkin untuk menciptakan komedi-komedi yang bikin lo terhibur (ya mungkin nggak akan ngakak banget karena recehnya bisa jadi punya efek yang berbeda di setiap orang, tapi setidaknya komedinya menurut gue menghibur).

Karakter utamanya, Pi dan Mork, adalah dua orang dengan kepribadian berbeda. Sejauh ini yang hidupnya terasa complicated kayaknya sih si Mork karena di satu sisi dia selalu tampil sebagai sosok yang percaya diri dan populer karena dekat dengan Nan (si tampan yang ditaksir Pi). Tapi di sisi lain, Mork punya kepribadian yang berbeda dan lebih tertutup, kalem, introverted, yang diam-diam jadi teman online Pi yang dicurhatin terus sama Pi.

Di layar kita nggak diberitahu kalau teman online-ya Pi ini sebenarnya Mork. Tapi penonton bisa nebak karena yang memerankan si temen online itu ya si Mork.

Pi adalah sosok nerd yang bucin sama Nan. Sama seperti Tine di 2gether (mengingat series ini juga diangkat dari novel yang penulisnya sama), Pi adalah sosok yang cenderung nggak sensitif dengan keadaan. Dia cuma fokus mengejar satu orang tapi nggak pernah sadar kalau ada orang lain yang lebih perhatian sama dia.

Sampai sini ya pasti lo akan bilang “Lha ceritanya mah standar aja.” Karena memang iya. Tapi dalam usaha Pi untuk berubah dari nerd yang disebut jelek ke nerd yang agak good looking dan dalam perjalanan cerita Pi mengejar Nan, ada banyak hal receh yang terjadi yang akan bikin lo ber “hehe hehe” sampai “HEHEHEHEHEHE” dan akhirnya “AHAHAHAHAHHAHAHAHAHAHAHA” gitu.

Cerita yang standar dan cenderung membosankan ini dibalut dengan visual yang komikal, dialog-dialog yang lucu, juga akting yang lebay tapi dalam konteks series ini tidak apa-apa dari para pemainnya. JUJUR GUE NGGAK NGERTI INI GUE NULIS APA TAPI INTINYA MAH YA NI ORANG-ORANG SEMUANYA LEBAY ASLI TAPI LUCU BANGET.

Bagian yang paling gue suka adalah setiap kali Pi dan teman online-nya mulai chatting dan curhat. Dunia di sekitar Pi mulai gelap dan spotlight cuma dikasih ke dua orang yang terlibat dalam obrolan itu aja. Menurut gue ini visual yang sangat menarik dan bikin series-nya nggak flat.

Selain Pi dan Mork, bagian cerita Fish Upon the Sky yang nggak kalah menarik juga adalah Duean dan Meen.

Wah... ini sih jujur yang jadi alasan gue buat nungguin episode selanjutnya. Karena bodo amat apa yang terjadi sama Pi dan Mork yang kebanyakan slow motion hidupnya (WKKWKWKW NGERTI KAN ADEGAN-ADEGAN YANG DI-ROMANTISASI GITU KAYAK TATAPAN, PAPASAN, ATAU APA KEK YANG TIBA-TIBA SLOW MOTION SEENAKNYA BERASA DUNIA CUMA ADA MEREKA BERDUA).

Duean dan Meen diceritakan dengan treatment yang berbeda. Ketika cerita mereka ditampilkan, aspect ratio-nya berubah dari 16:9 ke ala-ala cinemascope (atau 21:9) gitu dan ada narator yang muncul buat menceritakan kisah dua orang ini. Yang bikin lucu lagi adalah karena si Duean ini bisa ngomong sama naratornya. Ditambah lagi Duean adalah orang yang meledak-ledak, ngomongnya ngegas terus, tapi di saat yang sama dia juga sebenarnya perasa. Jadi dia suka dicengin sama si narator. Menurut gue treatment ini fresh banget dan bikin cerita yang biasa-biasa aja ini jadi terasa istimewa.

Hal lain yang gue suka dari Fish Upon the Sky adalah setiap kali Pi bermonolog atau bicara sendiri di dalam kepalanya. Selain karena suara Phuwin di sini sangatlah nyaman di kuping, the way he act and talk within his head terasa sangat nyata dan relatable. Porsi monolog Pi di episode 1 ini juga yang sebenarnya bikin gue kepincut buat nonton lanjut ke episode berikutnya.

Sejauh ini gue hanya bisa membandingkan Fish Upon the Sky dengan The Shipper dari segi komedi dan treatment-nya. Tapi secara cerita gue belom berani bilang dua series ini bisa diadu head to head. Buat gue, The Shipper tuh series receh terbagus sejauh ini karena ceritanya memang nggak yang sekedar-sekedar gitu. Di balik semua kerecehan itu ada drama yang bener-bener dalam gitu. Tapi karena Fish Upon the Sky baru episode 5, masih belum bisa di-judge.

Oh iya, yang gue suka juga dari Fish Upon the Sky ini mereka nggak malu-malu buat ngecengin produksi lain GMMTV gitu. Kayak sebelumnya ada F4 Thailand terus muncul juga di satu dialog soal BrightWin dan EarthMix.

Lalu karena diangkat dari novel JittiRain juga, lo mungkin bisa ngerasa kalo karakter Pi di sini sangat ke Tine-Tine-an dan karakter Mork yang sangat ke Sarawat-Sarawat-an.

Sejauh ini Fish Upon the Sky masih bisa dinikmati meski konfliknya masih datar-datar aja. Tapi yang gue belajar dari serial Jumat malam GMMTV adalah: nonton aja gausah dipikirin. Kebanyakan mikir ntar kayak A Tale of Thousand Stars. Udah mikir kejauhan eh malah kentang.

Kemarin gue sempat bikin hal-hal yang gue suka dari series ini juga di Twitter. Bisa dilihat di thread ini:




Share:

0 komentar