Emang Boleh (Akhirnya) Sekangen Itu?
Oke gue mau pengakuan dosa. Ada beberapa sih sebenarnya... ehehe...malu. Tapi harus berani! WKWKWKWKWKKW Di postingan pertama gue tahun ini, gue menceritakan soal pertemuan gue dengan seseorang yang berujung gue naksir, tapi orangnya nggak naksir balik (biasalah... story of my life ahahah). Lalu gue baper dan gue memutuskan untuk merayakan kebaperan gue itu dengan memberi limit waktu hanya 48 jam. Teorinya begitu, tapi praktiknya nggak segampang itu. Fuck. HEHE. Setelah lewat dari 72 jam, 96 jam, 120 jam, bahkan sampai hari ini (yang mana gue udah terlalu malas untuk menghitung berapa jam totalnya) gue masih baper. Baru beberapa jam yang lalu sebelum gue akhirnya memutuskan untuk ngetik ini gue tiduran di kasur sambil melihat ke jendela dan menatap langit senja dan bilang "Fuck kok gue kangen". Sayang sekali kangen yang kali ini nggak bisa gue utarakan ke orangnya.
Gue bilang 'Yang kali ini' karena sebelumnya kalau gue diserang perasaan rindu kayak gini gue akan langsung bilang ke orangnya. Itu lebih mudah buat gue karena nggak akan ada perasaan yang tersisa. Bagus buat gue sebenarnya, cuma nggak enak buat orang itu. Ya nggak sih? Gimana coba menurut lo? Apakah kalau lo berada di posisi gue, lo akan mengambil sikap dan tindakan yang cuma nyaman buat lo aja dan mengabaikan kenyamanan dan perasaan orang lain? Atau lo tetap mempertimbangkan perasaan mereka?
Konteks bilang kangen ini nggak cuma ke orang yang bikin gue tertarik secara romantis, tapi juga buat teman-teman dekat yang mana udah nggak banyak lagi sekarang. Tapi justru karena udah nggak banyak, jadinya wajar buat diutarakan. Memang sih belakangan ini gue agak ngurang-ngurangin, soalnya gue berusaha menempatkan diri (dan tahu diri???) juga. Beberapa teman gue sudah ada yang berkeluarga. Kalau tiba-tiba ada seonggok daging bilang kangen di WhatsApp, nanti apa nggak dikira selingkuhan? MUAHAHAHAHAHAHAHAHAHHAHAHHA!
Gue sebetulnya adalah orang yang nggak enakan. Meski gue punya prinsip 'ya bilang aja apa yang lo rasain', tapi kadang-kadang gue juga akan diserang overthinking soal orang yang mendengar perasaan gue itu. Dalam permasalahan gue ini, gue bilang ke dia, si orang yang gue taksir ini, kalo gue kangen. Gue nggak bilang cuma sekali tapi beberapa kali di beberapa kesempatan berbeda dalam pesan teks yang berbeda juga. Gue tahu nggak akan ada jawaban yang sesuai ekspektasi gue dari ungkapan perasaan itu, karena emang basically dia nggak suka gue kan, tapi yang penting perasaan gue tersampaikan dan nggak harus dipendam. Tapi kemudian overthinking menyerang. Gimana kalau dia nggak nyaman? Di situlah kemudian gue menambah satu bubble chat gue ke dia.
"Maaf kalau gue terlalu frontal soal perasaan kangen gue ini. Kalau lo nggak suka atau nggak nyaman, please bilang?"
Kemudian dia balas,
"Gue akan bilang kalau gue nggak nyaman."
Apakah itu artinya sejauh ini masih oke? Sejauh ini gue masih bisa kangen dan bilang ke dia? Entahlah. Pikiran-pikiran soal orang ini aja masih sangat mengganggu keseharian gue. Malas rasanya kalau harus nambah pikiran dengan berspekulasi.
But again, meski setelah mendapatkan jawaban seperti itu overthinking gue nggak lantas berkurang. Setelah chat itu, gue urungkan semua keinginan menggebu-gebu gue untuk chat dia untuk sekadar bilang "Gue kangen". Dan itu sangat menyiksa, rupanya.
Ini bukan pertama kalinya gue berhadapan dengan orang yang gue taksir tapi nggak naksir balik. Sejujurnya hampir semua orang yang gue taksir nggak pernah naksir balik. Again... story of my life.
Ada satu orang yang gue suka bertahun-tahun (10 tahun to be exact), gue confess berkali-kali, ditolak berkali-kali, dan bikin gue susah move on sampai bertahun-tahun setelah itu. Butuh 3 sampai 4 tahun buat gue move on dari dia dan itu pun harus disertai dengan kunjungan ke psikiater. Beneran seserius itu gue sukanya, sampai bahkan ketika gue nggak sedang memikirkan apa pun, yang kepikiran di kepala gue cuma dia.
Yang sekarang ini mungkin memang nggak selama itu proses kenal dan mengejarnya. Gue pun heran. Kenapa ya gue gampang banget suka sama orang ini? Kenapa gue sejatuh itu? Yang gue khawatirkan sebenarnya adalah proses move on-nya. Kalau yang waktu itu aja move on-nya bisa lama banget plus kunjungan ke psikiater, yang ini gimana?
Ya sebenernya sih ya nggak perlu juga sampai dipikirin sejauh itu. Bukankah kita harus live in the moment kalau kata quote-quote berbahasa Inggris itu? Gue pun sebenarnya sudah menganut live in the moment ini sejak beberapa tahun terakhir dan berusaha untuk nggak memenuhi pikiran gue dengan kekhawatiran-kekhawatiran yang nggak perlu. Gue bahkan pernah ngobrol sama dia sebuah topik soal overthinking ini dalam konteks kerjaan. Gue inget banget, gue sampaikan ke dia kalau gue sekarang tipe orang yang "kerjain aja apa yang harus dikerjain hari ini, jangan mikirin yang besok". Dalam konteks kerjaan ini berhasil. Justru ketika gue dikejar deadline gue akan lebih mudah untuk mengeluarkan ide-ide yang memang sudah lama ada di kepala gue. Nggak setiap saat terjadi memang, tapi ketika itu terjadi rasanya seneng aja.
Tapi ada kalanya prinsip itu nggak berlaku di luar konteks pekerjaan tadi. Apalagi kalau udah menyinggung masalah hati. Sigh... FUCK!
Kalau boleh jujur, memang pertemuan dan perkenalan gue dengan orang ini sangat singkat. Tapi jatuh hatinya sama dalamnya dengan yang waktu itu (yang naksir 10 tahun itu. Ini adalah pertama kalinya dalam beberapa tahun (post-therapy) gue merasa susah move on. Bahkan gue berani mengklaim ini susahnya sama kayak yang pas gue ngejer orang 10 tahun itu. Gue masih berusaha untuk menemukan jawaban dari pertanyaan 'kenapa kok bisa sesusah move on itu?'.
"Soalnya dia tuh thick all the boxes di orang yang lo cari, Ron," kata Dita ketika kita dalam perjalanan pulang dari nonton fanmeeting Park Hyung Sik.
Gue nggak bisa membantah itu. Tapi gue juga nggak bisa membantah fakta kalau sebenarnya itu nggak benar 100 persen.
Orang ini memang masuk kriteria gue dan thick some boxes, but not all the boxes. Tapi some boxes are enough, tho! Nggak ada orang yang sesempurna itu! Gue membatin. Sudah waktunya gue juga harus menerima kekurangan orang lain tanpa harus mengecilkan mereka dan tidak menghiraukan kelebihan-kelebihannya. Gue pun sejatinya bukan orang yang sempurna kan. Sayangnya gue nggak punya waktu lagi buat berusaha untuk menerima kekurangan orang itu karena kita sekarang bukan apa-apa. WKWKWKWKKWWK. Teman, katanya sih. Tapi kata 'teman' pun rasanya terlalu berlebihan untuk dilekatkan ke hubungan ini. Mungkin lebih tepatnya 'kenalan' aja. Karena memang kita kenal, ngobrol dan jalan beberapa kali, sharing beberapa hal personal, lalu sudah. Nggak ada follow up dari itu.
Gue nggak tahu bagaimana perasaan gue sekarang karena galau adalah kata yang terlalu luas dan abu-abu. Lebih daripada itu, gue kecewa. Sedikit marah. Banyak perasaan menyesal. Ada juga rasa sedih. Tapi perasaan itu bukan datang karena penolakan dari orang tersebut. Sama sekali nggak! Perasaan itu datang dari kegagalan gue dalam menerima kenyataan bahwa nggak semua orang yang gue suka akan suka gue balik. Dan setiap kali gue mengalami penolakan, gue selalu struggle untuk berbesar hati menerima kenyataan. Jauh lebih mudah untuk nge-drag diri gue lebih jatuh dengan pikiran-pikiran destruktif soal 'gue nggak berharga' atau 'gue emang mungkin nggak layak buat siapa pun' daripada berpikir bahwa 'mungkin emang dia bukan yang baik buat lo dan Tuhan mau memberikan yang terbaik'.
Dibandingkan dengan tulisan yang sebelumnya, yang ini terasa lebih depresif, ya?
Gue berusaha untuk menyibukkan diri gue belakangan ini dengan hal-hal yang, well, lebih bermanfaat seperti produksi podcast atau berolahraga misalnya. Meski ada bagian dari diri gue yang rasanya enggan terlalu bekerja keras buat itu, tapi sepertinya mungkin memang itu yang gue perlu lakukan saat ini. Bukan hanya untuk sekadar melupakan bahwa gue nggak disukai oleh orang yang gue taksir atau untuk mengalihkan pikiran gue dari hal-hal destruktif yang muncul karena masalah yang sama, tapi juga untuk hal yang jauh lebih besar: karier dan kesehatan. Gue lupa kapan terakhir kali gue bersemangat ini untuk urusan pekerjaan dan olahraga ini. Tapi gue rasa momennya pas dan gue hanya memanfaatkan momen itu saja.
Di satu posting-an galau gue di Instagram, gue nulis caption yang terinspirasi dari pertemuan singkat gue dan orang ini. Di situ gue tulis sambil bertanya, apa sih sebenarnya alasan kita dipertemukan?
Sebelum gue sampai di paragraf ini, gue bahkan nggak tahu jawabannya. Tapi setelah menuju akhir tulisan ini, gue akhirnya tahu alasan itu.
So, thank you? AHAHAHAHAHAHAHAHAHA.
Gue berharap dia juga cepat sembuh dari rasa sakitnya, jadi nanti ketika dia bertemu dengan orang lain yang sefrontal gue soal mengutarakan perasaan dan secara kebetulan memang dia suka dan tipe dia banget, dia bisa menerima orang itu dengan hati terbuka.
Gue juga berharap bisa segera sembuh dari luka ini. Supaya ada tenaga buat nyari pacar lagi. MUAHAHAHAHAHAHAHHAHAHAHAHAHA (TERTAWA MANIAK DAN DEPRESI).
***
0 komentar