Exhausted


Gue merasa sangat aneh beberapa minggu terakhir ini. Gue kehilangan semangat untuk melakukan banyak hal, gue kehilangan mood untuk melakukan segala hal. Rasanya seperti kembali ke masa-masa terpuruk gue beberapa bulan lalu ketika semua perasaan menyerbu di saat yang sama dan gue nggak punya pertahanan yang cukup kuat untuk menghalau mereka satu per satu. Rasanya seperti ada yang aneh. Semua tembok baja yang belakangan berdiri kuat di setiap sudut hati dan sudut kepala gue, yang akan menghadang semua pikiran-pikiran dan perasaan negatif, seperti pelan-pelan ambruk tanpa sebab yang jelas. Satu hal yang paling gue nggak sukai dari hidup adalah ketika gue berada dalam posisi gue nggak tahu sedang merasakan apa. Apakah ini sedih? Apakah ini kecewa? Apakah ini marah? Perasaan apa sih yang sedang gue rasakan ini? Apakah ini campuran dari dua perasaan pertama? Ketiganya? Atau malah bukan tiga-tiganya? Akan lebih mudah untuk mencari solusi dari sebuah permasalahan kalau kita tahu masalahnya apa. Akan lebih mudah untuk mencari pengalihan perhatian dari sebuah perasaan kalau kita tahu apa yang kita rasakan. Tapi kondisi gue di beberapa minggu terakhir ini bener-bener campur aduk, atau dalam bahasa gue: begajulan.

I feel exhausted. Even when I’m not busy at all.

Gue merasa kegiatan sehari-hari gue nggak terlalu banyak berubah. Rutinitas gue cenderung monoton dan nggak ada sesuatu yang terlalu memburu. Gue sudah tidak seambisius itu soal pekerjaan atau hal-hal di luar pekerjaan. Gue sudah nggak seambisius itu soal cari uang. Gue jadi ingat, di awal ketika gue memulai seri 30 But Still Struggling ini, gue menceritakan bagaimana gue lelah dengan begitu banyaknya pekerjaan yang harus gue ambil demi bisa mencari penghasilan tambahan, bagaimana gue juga merasa sedih dan kecewa karena pada akhirnya beberapa pekerjaan itu harus gue lepaskan (atau ada juga yang gue di-cut mendadak). Sekarang, melihat ke belakang, gue merasa bersyukur karena gue udah nggak lagi mengerjakan hal-hal itu. Meski dari sisi pendapatan jauh lebih berkurang, tapi gue nggak merasa kekurangan. Isn’t that a good thing? Dan ketika gue udah nggak terlalu banyak mengambil pekerjaan sampingan, gue juga punya lebih banyak waktu untuk istirahat dan tidur. Gue nggak kebayang kalau ketika mood gue lagi begajulan kayak dua minggu terakhir ini, lalu gue masih ada tanggung jawab pekerjaan yang kayak waktu itu, mungkin gue bisa berakhir ngambang di sungai terdekat sebelum akhirnya sadar kalau hidup gue terlalu berharga untuk mati ngambang di sungai Jakarta yang kotor.

Tapi ya itu, anehnya, ketika gue tidak sesibuk waktu itu, dua minggu ini gue merasa lelah. Setiap kali sepulang kerja gue pengin langsung tidur, setiap kali bangun tidur gue pengin tidur lagi, setiap kali ada kesempatan untuk tidur sebisa mungkin gue tidur, sampai akhirnya tidur pun nggak membantu untuk memperbaiki mood gue. Memang sih, dalam proses pengobatan ini gue diminta untuk mencari kesibukan lain, mencari pengalih perhatian, melatih fokus gue dengan melakukan hal-hal seperti olahraga, mewarnai, nulis, misalnya. Tapi ketika gue sudah capek kayak gitu, bahkan kadang-kadang mau ke kamar mandi aja gue tuh males. Sampai pada akhirnya di suatu malam, di hari ke 10 atau ke 11 dari permulaan mood swing gue yang udah makin parah, gue dapat ilham dan hidayah.

“Gue nggak bisa nih kayak gini terus,” kata gue ke diri gue sendiri yang hari itu lagi berbaring di kasur sambil dengerin lagu Billkin. (DIA BARU COMEBACK BY THE WAY, MESKI GUE MASIH TETAP STUCK SAMA LAGU LAMA SIH!)

Gue turun dari kasur dan langsung ganti baju dari piyama SpongeBob warna kuning (lengkap dengan celana panjang kuning norak dengan motif all-over muka SpongeBob) ke baju ngetek dan celana pendek. Gue langsung ambil iPad dan buka video tutorial yoga yang biasa gue lakukan, duduk di atas yoga mat, memulai latihan hari itu dengan bismillah. Karena gue tahu, kalau gue nggak bismillah, gue akan ngumpat kenceng-kenceng karena udah berapa bulan gue nggak yoga dan sendi-sendi gue udah kaku lagi. Terlebih pas butterfly pose, gue mau nangis karena pangkal paha gue sakit banget sementara dagu gue bahkan nggak bisa turun setengah jalan menyentuh ke matras.

Memulai itu memang susah, apalagi memulai lagi. Kita sering banget bikin alasan-alasan dan membuat pembenaran dari alasan-alasan itu. Belakangan ini gue selalu merasa bahwa gue nggak gendut-gendut amat jadi gue nggak perlu yoga dulu deh gue bisa makan sebebasnya sampai akhirnya gue liat perut gue bentukannya udah kayak karung beras (gue mungkin terlihat kecil, but... honestly, perut gue...,,,,,). Seketika overthinking gue menyerang dan untungnya rasa insecure gue jauh lebih besar daripada rasa percaya diri gue (as usual) akhirnya gue paksakan diri, sesakit apapun itu butterfly pose, gue hanya perlu menahan rasa sakitnya dalam 10 tarikan napas dan semuanya akan selesai.

Hari ini. Besok ya akan sakit lagi.

(MENGERANG KERAS KERAS SAMPAI TETANGGA NGIRA GUE SEDANG MELAKUKAN HAL-HAL TIDAK SENONOH)

Gue merasa bangga dengan diri gue hari itu. Gue bisa melawan keterpurukan gue dan perasaan-perasaan tidak enak di dada dan di kepala dengan turun ke matras yoga. Rasanya senang sekali. Rasanya puas sekali. Nggak serta-merta semua mood jelek gue hilang, tapi paling nggak hari itu gue nggak terpuruk dan hanya menghabiskan waktu di kasur berkontemplasi soal hidup dan memikirkan hal-hal yang tidak perlu. Setelah itu gue akhirnya bisa agak berpikir jernih. Gue melirik ke meja belajar gue, melihat bungkus obat, mendekat lalu meraihnya. Udah waktunya gue kembali ke dokter lagi. Mungkin emang gue harus konsultasi soal mood swing gue yang aneh banget ini. (OK, mungkin gue menyebutnya dengan mood swing tapi bukan dalam konteks atau term medis ya ini cuma biar gampang aja).

Harus gue katakan, sejak gue pertama kali memutuskan untuk terapi buat anxiety gue dan minum anti-depresan, seperti yang sudah gue ceritakan di blogpost sebelumnya, gue jadi lebih bisa fokus ke satu perasaan dan bisa menghindari diri dari pikiran-pikiran yang menyerang di belakang kepala gue. Belakangan ini rasanya agak berbeda. Pikiran-pikiran itu memang menyerang, tapi mereka seolah punya cara lain untuk menyusup masuk ke fokus gue sehingga gue yang biasanya bisa mengabaikan mereka jadi malah salah fokus ke mereka. Pinternya, mereka sekarang mainnya nggak keroyokan. Mereka tahu gue sedang ingin fokus ke satu perasaan akhirnya mereka masuknya ya satu-satu. Sebel banget.

“Apakah ini memang sudah fasenya, dok?” tanya gue.

Waktu itu dokter gue pernah bilang kalau pengobatan anti-depresan ini memang punya siklus dan fluktuatif. Jadi gue pikir mungkin gue memang sedang ada di titik terendah dari siklus itu sehingga mood gue jadi berantakan.

“Mungkin bisa jadi begitu. Selama ini juga kan obatnya baru setengah dosis, mungkin kita coba untuk menambah dosisnya kali ini. Ada masalah dengan tidur?”

“Saya justru bermasalah dengan bangunnya sih dok. Kalo udah tidur, saya nggak mau bangun, mau tidur aja terus. Untung saya inget saya masih miskin dan butuh kerja, jadi ya saya harus bangun walaupun susah payah,” kata gue.

“Kalau gitu saya nggak kasih obat tidur ya. Yang kemaren kalau masih ada, diminum kalau butuh aja,” kata dokternya.

“Kalau saya minum, saya takut beneran nggak bisa bangun dok,”

“Kalau gitu jangan diminum. Mending minum kopi kenangan,”

“Saya prefer janji jiwa sih,”

“Kopi susu keluarga family mart juga enak dan murah,”

“Iya tapi lebih murah indocafe coffeemix,”

“Nah itu memang enak kayaknya ada ganjanya deh,”

“Kayaknya...”

Dan hari itu gue pulang dengan obat dosis full dan gue nggak sabar untuk menunggu efeknya. Obat itu baru bisa gue minum besok pagi karena hari ini gue udah minum obat dengan resep yang sebelumnya. Jadi hari ini... masih panjang.

Bener aja... Jumat malam, Nikita Mirzani bebas dari penahanan dan gue harus nungguin sampai dia preskon dulu. Jam 11 malam kerjaan gue baru beres hari itu.

Hidup gue... seru kan. #GAK


***


Gue bangun dengan kepala goyang di Sabtu pagi. Mendadak gue migrain. Tapi gue yakin ini bukan karena obatnya. Hari ini gue harus rekaman podcast ngedrakor! dan gue harus nonton Yumi’s Cells 2 dulu sebelum siang. Tapi rasa sakit kepala gue seperti nggak tertolong. Jadi setelah minum obat pagi itu, gue memutuskan untuk tidur lebih lama dan bangun agak lebih siang sambil berharap sakit kepala gue bisa reda.

Gue lupa kapan terakhir kali gue merasakan migrain. Mungkin dua tahun lalu? Ketika gue masih minum obat TBC yang pilnya gede banget segede dosa itu? Gue memang kadang-kadang suka migrain tapi nggak sering. Mungkin setahun bisa dua kali gitu palng banter dan migrain gue yang kemaren itu nggak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan migrain yang sebelum-sebelumnya. Tapi tetap aja nggak nyaman. Migrain adalah hal terakhir yang lo harapkan terjadi pada lo di akhir pekan deh. Yang nyebelin dari migrain adalah karena dia nggak bisa sembuh cuma dengan parasetamol biasa. Harus yang ada gandengannya kayak ibuprofen atau sesuatu yang lebih keras lagi. Tidur juga kadang nggak membantu.

Gue pernah migrain parah pas hari keberangkatan gue ke Korea. Jadi hari itu, gue terbang dengan pesawat malam seperti biasanya kan, dan itu adalah keberangkatan gue pas malam takbiran. Gue pas itu mau ke Korea buat summer camp Asian Young Leaders' Camp. Sore jelang maghrib gue mendadak migrain!!!! KACAU!!!! Itu tuh beneran kayak gue nggak tahu lagi harus ngapain sampai gue maksa diri gue buat muntah di WC kosan TAPI NGGAK MUNTAH MUNTAH JUGA YA ALLAH GIMANA DONG. Rasanya kayak ada seng panas di otak kiri gue terus digergaji gitu pakai benda itu. Sakitnya minta ampun. Gue paksa minum obat dan tidur sampai abis Isya berharap bisa sembuh sebelum akhirnya gue berangkat ke bandara. Alhamdulillah deh jam 8-an udah kelar itu migrain jadi gue bisa terbang malam itu dengan meriang dan beler. 

Beruntung ketika kemaren weekend gue terbangun, kepala gue agak lebih ringan (gue nggak minum parasetamol by the way beneran cuma gue bawa tidur aja; dan sepanjang usaha gue buat tidur itu gue udah berusaha untuk menyuruh diri gue untuk muntah karena biasanya dengan muntah, migrainnya akan cepat sembuh). Tapi setelah bangun, ada perasaan ngambang yang aneh di kepala sebelah kiri gue. Kayak ada balon udara yang terbang gitu melayang-layang di dalam otak gue. Kadang gue bisa melihat ada bayang-bayang aneh di mata kiri gue yang mengisyaratkan sisa-sisa sakit kepalanya.

Gue nggak pernah minum alkohol sampai mabuk dan hangover. Tapi apakah hangover itu rasanya kayak gini? Kalau iya, gue nggak mau deh. Soalnya nggak enak banget. Pantesan Allah mengharamkan alkohol ya. Walaupun gue tetap penasaran bagaimana rasanya mabuk karena alkohol karena gue pengin rekam kelakuan gue pas mabuk. Apakah gue tipe yang diem? Banyak omong sampe bongkar aib sendiri? Atau tiba-tiba gue jadi jago break dance? Gue penasaran sampai sekarang. Mungkin nanti kalau gue khilaf gue akan coba.

Setelah minum obat dosis penuh pagi itu, gue masih ada perasaan yang mengganjal. Tapi gue udah punya backup plan buat menangani perasaan ini: ngobrol sama temen. Siang itu gue rekaman podcast jadi gue bisa sekalian curcol ke Nadya. Malam harinya gue ada janji sama Dimas.

And it works. THANK GOD!

Gue minum 3 gelas kopi sepanjang hari Sabtu itu dalam rangka untuk mengobati migrain gue. Tapi 2 gelas kopi pertama nggak membantu dan 1 gelas terakhir ditambah obrolan dengan Dimas ternyata ampuh buat menghilangkan semua rasa sakit yang tersisa dari pagi. Siapa yang menyangka kalau ternyata yang gue butuhkan selama ini cuma bersosialisasi dan ghibahin orang? Rasanya seperti sel introvert gue sedang memilih untuk bersembunyi dan sisi extrovert gue mengambil alih. Gue selalu mengidentifikasi diri gue sebagai introvert, by the way, karena seringkali public space itu melelahkan. I hate people in general. lol Tapi setelah gue pikir-pikir lagi, mungkin gue ada di antara keduanya, di antara introvert dan extrovert. Beberapa kali gue merasa bahwa ketemu orang, terutama significant others, sangat bisa membuat gue merasa lebih baik. Tapi nggak membantah juga sih kadang kalau udah capek, meski sedang bersama orang-orang yang sama, gue juga nggak akan terlalu banyak tingkah juga.

Tapi satu hal yang jelas malam itu adalah usaha gue untuk mencari jalan keluar dari mood swing ini akhirnya membuahkan hasil. Keputusan gue untuk konsultasi ke dokter, diberi dosis baru, ngobrol sama Nadya, dan ketemu Dimas hari itu adalah deretan keputusan yang tepat. Dari situ gue semakin sadar bahwa memang gue tuh kadang terlalu sering komplain soal keterpurukan dan kondisi nggak nyaman yang sedang gue alami, tapi mager buat do something about it.

Tapi ya jangan terlalu keras juga ke diri sendiri. You know your own limit. You do everything at your own speed.

Pelajaran berharga yang gue petik dari mood swing selama dua minggu terakhir (kurang lebih) adalah: kalau capek, ya istirahat; dan jangan lupa bernapas.



Share:

0 komentar