Di Braga


Tarik napas. Embuskan. Tarik lagi. Embuskan. 

Gue mengulangi mantra ini sejak siang karena beberapa hal. Sebenarnya kondisi hati gue hari ini nggak terlalu yang gimana-gimana banget. Sedikit excited sih, karena gue mau ketemu sama beberapa orang. Satu adalah orang yang gue kenal online dan berharap bisa ada sesuatu di antara kami walaupun kalau boleh jujur percakapan kita di chat semuanya flat dan one liner tapi gue memutuskan untuk tidak nge-judge sampai kita benar-benar ketemu dan ngobrol. Yang satu lagi... wah ini panjang ceritanya. Tapi long story short, pertemuan dengan orang yang kedua ini sudah melewati waktu berpikir yang sangat panjang. Banyak orang menyarankan gue untuk tidak melakukannya, tapi gue memilih untuk mendengarkan diri gue saja tidak mendengarkan orang lain. Maaf ya teman-teman baikku. Aku beneran penasaran sama akhir ceritanya, makanya aku bandel. Wkwkwkwkwkwkw...

Pertemuan dengan orang pertama ini, meski terbilang pertemuan pertama, nggak bikin gue terlalu berdebar. Kondisi jantung gue cukup santai dan benar-benar tidak seperti sedang akan bertemu dengan siapa-siapa. Gue cukup heran sih, karena biasanya kalau mau ketemu sama orang baru dalam konteks apapun gue selalu berdebar. Tapi hari ini? Anehnya chill aja. Kita janjian di tempat yang nggak jauh dari hotel gue di Braga. Karena belakangan ini hujan, kita mutusin buat jalan di sekitaran Braga aja. Makan dan ngemil apa yang menarik di situ. Kita janjian selepas Zuhur karena penting buat gue untuk salat dulu baru keluar daripada nanti ribet nyari tempat salat di lokasi. Sebenarnya nggak akan terlalu ribet karena kebanyakan cafe di sekitaran Braga ini sudah punya fasilitas itu, tapi biar tambah chill aja. Lagipula gue tahu dia juga semalem abis jalan sama temennya jadi mungkin butuh waktu tidur lebih lama. Ketemu jam 1 siang rasanya sangat pas. Gue keluar dari hotel setengah jam sebelum jam ketemuan. Tapi anehnya nih dari tadi pagi, bahkan dari jam 11, dia nggak ada ngabarin sama sekali. Gue tadinya nggak mau chat karena... entahlah... entah kenapa gue merasa kalau gue chat duluan kok kayaknya ngotot banget? Wkwkwkkw... jadi gue mutusin untuk biarin aja, biarkan dia memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Sementara gue nunggu, mungkin ada baiknya gue keliling-keliling Braga dulu aja.

Hari itu nggak terlalu cerah dan awan mendung rasanya udah nggak sabar untuk melepas semua beban air mata mereka. Belum sampai mana-mana, gue udah dicegat oleh seorang mahasiswi yang dandan rapi dan mengaku dari UKM anak muda Bandung. Dia bilang di awal dia nggak mau ngapa-ngapain kok jangan takut sementara gue digituin makin takut. Gue udah tahu dia mau nawarin sesuatu untuk gue beli dan gue nggak ada keinginan untuk beli. Jujur gue lagi laper. Tapi gue memutuskan untuk mendengarkan apa yang dia sampaikan, itung-itung sambil nunggu si orang dateng.

"Kita mau nawarin kakak ini, dipegang aja kak, bukan bom kok jangan takut," kata si mahasiswi.

Oke. Red flag. Jangan pernah bercanda soal bom di depan gue. Jangan. Gue nggak nyangka becandaannya akan sampai ke bom karena sebelum ini, gue berdiri agak di tengah jalan, terus dia minta gue agak minggir dengan bilang "Nanti kesenggol mantan,". Oke, another red flag. Gue nggak pernah pacaran dan jangan sok-sok tahu soal kehidupan percintaan gue. Di titik dia mengeluarkan becandaan lainnya yang gue terka adalah becandaan Gen Z yang kebanyakan lihat TikTok, gue jadi meragukan hari gue akan berjalan dengan baik. Gue jadi meragukan kondisi hati gue yang tadi kayaknya baik-baik saja. Kalau gue punya waktu untuk mendengarkan becandaan cringe ini, apa iya gue masih ada tenaga buat menghadapi obrolan dengan dua orang yang akan gue temui hari ini? Apa lagi yang pertama ini bener-bener pertemuan pertama...

Gue merasakan tetesan air hujan tipis di pipi gue. Gue refleks lihat ke atas dan langit makin mendung. Gue ingin segera mengakhiri sesi cringe dengan mahasiswi itu dengan menolak tawaran dia untuk membeli produk yang daritadi dia presentasikan. Biarlah hari ini gue jadi orang jahat dengan tidak membantu UKM anak muda ini. Mungkin rejekinya memang bukan dari gue. Tetesan hujan lain jatuh dan gue buru-buru melihat ke sekitar, mencari tempat berlindung sebelum akhirnya hujan turun deras. Gue cek WhatsApp lagi dan masih nggak ada pesan dari dia. Oke, gue masuk ke sebuah kafe yang di depannya ramai orang berkerumun dan ketika gue intip ke bagian dalam, di depan kasir juga ada antrean ramai. Dari luar kafe ini emang terlihat seperti kafe masa kini yang di dalamnya pasti banyak spot foto. Di depannya juga ada photobox yang hampir gue masuki karena gue kira itu pintu masuk kafenya. Alhamdulillah gak jadi malu-maluin. Setelah menemukan jalan masuk dan lihat-lihat menu, ada satu menu pasta yang mencuri perhatian gue. Pasta, tapi pake saus ala Jepang gitu dan ada potongan ayamnya. Ini hari Sabtu dan akhir pekan adalah satu-satunya kesempatan gue untuk makan sesuka hati selain salad dan sayur. Oh, gue lagi mencoba mengurangi nasi jadi Senin sampai Jumat di hari biasa gue cuma makan salad. Enak? Nggak. Sama seperti pasta yang gue pesan hari itu yang ternyata nggak enak. Gambarnya padahal udah enak banget.

WhatsApp gue masih sepi dan itu udah jam 2. Gue akhirnya memutuskan untuk chat dia.

"Karena kemarin kamu bilang kamu susah tidur, kalo sekarang masih tidur, nggak apa-apa ya. Selamat istirahat!"

Centang satu.

Kalau sampai jam tiga dia nggak bales, gue baru akan memutuskan kalau rencana kencan ini batal dan gue di ghosting. Jadi gue makan aja dulu, bikin konten reels, minum minuman yang gue pesan dan ternyata sama tidak enaknya dengan si makanan karena minumannya terlalu manis dan rasa mint-nya terlalu kayak balsem. Gue jadi curiga sebenarnya mungkin bukan salah makanannya tapi salah hati gue yang kagi begajulan nunggu si teman kencan.

Wait... jadi ini kencan? Shit. Gue melabeli ini dan membuat kejadiannya jadi semakin menyedihkan. Fuck!

Gue cek WhatsApp lagi dan masih centang satu. Sudah jam tiga.

Oke maafin gue tapi...

*contact blocked*

Gue ambil headset dan putar lagu Survivor-nya Destiny's Child, mantra penyemangat gue belakangan ini. Berusaha untuk mencari semangat meski sedikit. Gue kecewa banget sebenernya, tapi gue yakin dia pasti punya alasan. Ada momen di mana gue berusaha untuk mencari pembenaran dan ngasih excuses atas ketidakdatangan dia tapi gue pikir agak nggak sehat dan nggak adil. Kalau gue yang di akhir pekan ini nggak pernah bisa bangun pagi dan datang tepat waktu sesuai jam janjian, harusnya dia juga bisa melakukan itu apapun kondisinya. Kondisi hati gue saat itu cukup gue pertanyakan. Gue kecewa tapi seperti udah nggak terlalu sakit atau gimana. Kayak... ah udah biasa. Gue tahu nggak sehat juga berpikir seperti itu but I can't helped it. Gue berusaha meyakinkan diri gue bahwa gue layak untuk diperlakukan baik dan setidaknya orang itu datang tepat waktu sebagai salah satu usaha untuk memperlakukan gue dengan baik. But then again gue berkonflik dengan moral. Gue nggak tahu dia sedang kenapa atau apa yang terjadi dan gue udah kesel aja gini tuh rasanya kayak nggak fair. Tapi tetep aja gue kesel!

Gue buka Instagram dan unfollow dia. Oke gue akan mengakhiri ini di sini.

Hujan semakin deras dan gue sudah merasa lelah padahal gue nggak ngapa-ngapain dari tadi. Gue mau balik ke hotel aja. Udah males buat bergerak ke mana-mana juga. Normalnya, Sabtu memang jadwal gue buat tidur. Gue juga ke sini, nginep di hotel ini, supaya gue bisa tidur. Tapi sial aja gue hari ini. Gue nggak bisa terlalu lama di kafe itu karena sekarang mood gue udah bener-bener nggak beres. Gue memutuskan untuk menghantam hujan buat nyebrang ke hotel dan masuk ke kamar lalu memutar lagu sedih dan tidur. Masih ada agenda lain yang harus dihadapi malam ini.

Badan gue meringkuk di dalam selimut. Kamar hotel itu rasanya jauh lebih dingin dari yang tadi. Semua posisi tidur rasanya nggak enak. Kenapa ya gue harus masih memikirkan ini padahal gue harusnya juga nggak berekspektasi apa-apa. Tapi sekarang, ketika gue goler-goleran ini, gue sadar kalo perasaan uneasy yang sedang gue rasakan bukan cuma karena apa yang sudah terjadi tadi tapi mengantisipasi apa yang akan terjadi malam ini. Mungkin sebenarnya misi ini sejak awal gue fokusin aja ke yang malem, pertemuan dengan orang kedua, yang gue yakin akan jauh lebih menghabiskan tenaga.

Tarik napas. Embuskan. Tarik napas. Embuskan.

Gue akhirnya tidur-tidur ayam. Di tengah-tengah kondisi tidur yang nggak tidur itu gue mendengar suara Keane nyanyiin lagu EXO yang judulnya What U Do? dari album The War. Keane adalah nama handphone Samsung S10+ gue, by the way. Gue sudah tahu siapa yang menelepon. But I don't have any energy left. Biarin aja. Nanti aja gue lihatnya kalau gue udah tenang. Apapun alasan yang dia buat sekarang rasanya nggak akan bisa gue terima. Udah. Lupain aja...

Gue butuh menjelaskan latar belakang cerita pertemuan dengan orang kedua ini tapi rasanya terlalu rumit dan nggak bisa dipersingkat demi membuatnya jadi jelas. Yang bisa gue bilang adalah bahwa dulu gue dan dia teman dan kita tidak berteman lagi lalu berusaha berteman tapi tidak bisa tapi lalu kita sering ketemu dan sangat canggung dan tidak nyaman. Di satu sisi gue sebenarnya menyimpan dendam dan benci, itulah kenapa gue nggak mau lagi temenan sama dia. Ada banyak hal yang membuat gue memutuskan untuk "oke nggak mau deh". Semua hal itu terjadi ketika gue masih di usia 20-an dan saat itu gue sangat wrecked.

Setelah jalan beberapa bulan ke psikiater, gue merasakan banyak sekali perubahan dan banyak sekali hal yang harus gue revisit untuk membuat hubungan antar-manusia dalam hidup gue jadi lebih sehat. Dan kalau ada satu orang yang harus gue temui untuk memperbaiki hubungan itu, dia adalah orangnya.

Gue merasa bersalah banget, gue merasa selama ini gue villain dalam pertemanan ini, gue egois, gue sangat tidak dewasa. Gue merasa apa yang gue lakukan nggak adil aja buat dia. Tapi gue nggak membantah bahwa apa yang dia lakukan juga nggak adil buat gue. Tapi, di saat yang sama, setelah gue pikir-pikir, semua tindakan dia saat itu juga pastilah karena trigger dari sikap gue. Fakta bahwa dia juga masih di usia 20-an dengan masalah-masalah yang kurang lebih sama dengan gue, tindakan itu bisa saja muncul tanpa pemikiran yang matang dan panjang. Singkat cerita, pertemuan gue dan dia hari ini adalah untuk membicarakan apa yang sudah terjadi di antara kami 10 tahun terakhir dan kenapa akhirnya kami tidak bisa berteman lagi dan apakah kami harus melanjutkan pertemanan ini atau berhenti sampai di sini. Selain itu, gue juga utang maaf dan terima kasih ke dia.

Gue merasa gue selama ini jahat banget dan gue harus minta maaf atas kejahatan itu. Gue udah menyakiti dia, gue tahu. Meski gue merasa dia juga menyakiti gue, tapi di sini, di momen ini, gue mau minta maaf atas semua hal yang gue lakukan dan menyakiti dia. Selain itu, gue juga utang terima kasih karena gue sadar bahwa betapa konflik antara gue dan dia sangat membuka pikiran gue dan mendewasakan gue. Selain itu gue juga mau berterima kasih ke dia, karena gue kenal dia, gue jadi kenal sama teman-teman dekat gue yang sekarang, yang juga adalah teman-teman dia.

That's it.

I guess?

But... lol. Shit. Shittttttt.

Jam 6 sore gue bangun dari tidur sore tidak nyaman itu dan duduk di kasur sambil ngecek kondisi hati. Agak lebih baik tapi jantung lebih berdebar dari yang tadi. Shit.

Sebelum ke kamar mandi, gue memaksa perut gue untuk mules dengan minum kopi Janji Jiwa yang gue beli tadi sore sebelum balik ke kamar. Baru sesedot langsung mules alhamdulillah. Setelah menyelesaikan kewajiban dengan kloset, gue salat maghrib dan memohon pada Allah SWT kalau dia memang jodohku maka dekatkan, kalau bukan, jauhkan sejauh-jauhnya tapi jangan sampe nggak bisa di DM ya Allah.

Setengah tujuh jantung gue semakin berdebar. Gue nggak bisa menerjemahkan arti deg-degan ini. Biasanya gue bisa tuh mikir jauh kayak oh karena deg-degan pasti lancar atau aduh deg-degan ini kayaknya bakal gagal deh.

Tarik napas. Embuskan.

"Gue udah di lobby. Tapi gue salat dulu deh ya," dia DM di Instagram.

Gue liat jam, udah jam 7, udah jam janjian kita, udah Isya juga.

Wow... see? SEE THE DIFFERENCE?!

Even when I have grudge and hate this person, dia tetap masih bisa bikin gue respect karena dia datang tepat waktu. Gue keluar ke lobby dan nunggu di depan resepsionis. Ketika gue lihat dia muncul dari pintu yang lain, gue langsung samperin dan jantung gue tidak lagi berdebar berlebihan. Sekarang dia normal. Dia baik-baik saja.

"Hei!" gue langsung nyamperin dia dan geragasan meluk. "Apa kabar?"

Semua dinding, canggung, dendam, benci, marah, dan semua perasaan-perasaan di antara itu, melebur dan menguap bersama napas gue. This might be a very good start. Malam ini mungkin akan berjalan dengan lancar.

Kami kemudian ngobrol lama. Dari jam tujuh kita ketemu sampai hampir jam sebelas malam. Gue sebenarnya mau lebih lama tapi itu akan jadi sangat tidak sehat jadi ketika sudah waktunya dia pulang, gue persilakan dia pulang. Obrolan malam itu benar-benar dalam dan itu adalah obrolan terdalam, ternyaman, tersehat, yang pernah gue lakukan dengan dia selama hampir 10 tahun terakhir. Ada air mata di antara obrolan itu dan mostly karena dia nangis. Gue tidak merasakan lidah atau suara gue bergetar sama sekali setiap kali gue bicara, gue juga heran, gue sangat lancar dan tidak berdebar berlebihan, setidaknya maksud dan tujuan gue ketemu sama dia malam ini bisa tersampaikan dengan jelas. Gue sangat bisa merasakan sudah tidak ada lagi dinding tebal di antara kita, rasanya seperti ketemu temen lama aja, rasanya nyaman, meski gue berusaha untuk tidak terlalu hanyut dan tetap memberi batasan di dalam hati. Takut khilaf. Wkwkwkwkwkwkwkkwkw.

Malam itu untuk pertama kalinya gue minta maaf ke dia atas semua yang sudah gue lakukan selama kita, sebutlah, berantem. I've been a jerk, a bitch, mean. Banyak sekali hal yang sudah gue lakukan dan itu bisa jadi sangat menyakiti dia, gue menjelaskan dan membeberkan satu per satu apa yang gue maksud dengan statement sebelumnya itu. Gue ingin mendengarkan pendapat dan sudut pandang dia. Gue ingin obrolan ini sesehat mungkin, gue mendengarkan opini dia soal masalah ini, dia mendengarkan opini gue soal masalah ini. Sesuatu yang sebelumnya nggak pernah kami lakukan karena ego gue. Karena ketidakmampuan gue untuk mengerti. Karena ekspektasi gue yang terlalu jauh padahal harusnya nggak begitu.

"Gue merasa selama ini, selama kita kenal, selama gue berusia 20-an, gue udah jahat banget sama lo. Dan untuk itu gue minta maaf. Selain itu, gue juga utang terima kasih. Terima kasih atas semua yang lo lakukan buat gue selama ini. Butuh waktu lama untuk gue sadar bahwa lo adalah orang yang cukup berperan dalam proses pendewasaan gue, lo adalah inspirasi gue dalam menulis, dan karena lo juga gue jadi bisa ketemu sama temen-temen deket gue yang sekarang. Rasanya jahat aja dan nggak adil kalau gue masih menyimpan dendam usia 20-an gue ke lo padahal ada hal-hal baik juga yang bisa gue ambil dari situ. Maafin gue dan terima kasih."

Gue lupa apakah dia nangis pas itu, atau dia nangis pas dia cerita bagian yang dia ingin ceritakan. Tapi yang jelas, semua berakhir jauh lebih baik dari yang terjadi tadi siang. Gue sempat khawatir malam ini nggak akan berjalan lancar, tapi di luar dugaan semua baik-baik saja.

Gue udah nggak punya rahasia lagi sekarang. Paling nggak ke dia. Malam itu, I'm being vulnerable and open, untuk pertama kalinya gue nggak takut mendengarkan apa yang akan dia katakan meski itu hal buruk tentang gue. Mungkin karena gue tahu gue emang nggak sepenuhnya baik selama kita berteman dan berantem. Makanya itu gue minta maaf kan. Gue nggak janji nggak akan jadi jerk lagi tapi setidaknya gue bisa jadi less-jerk lah. Wkwkkwkwkwkwkkw.

Gue menulis paragraf terakhir ini masih sambil mendengarkan Survivor-nya Destiny's Child, dan kali ini dengan perasaan yang agak kacau. Setelah bangun paginya gue merasa begajulan banget. Entah kenapa rasanya gue butuh validasi atas apa yang gue lakukan semalam. Gue butuh orang bilang ke gue bahwa gue did something good, I did great. Mata gue rasanya penuh tapi air matanya nggak jatuh-jatuh. Entah kenapa gue ingin banget dipuji atas apa yang gue lakukan semalam. Atas sebuah pencapaian dalam hubungan antar-manusia ini. Atas sebuah usaha untuk memperbaiki pertemanan dan memulai hubungan yang sehat. Entah kenapa gue ingin banget mendengarkan kalimat itu: you did well, thank you for trying, thank you for trying, you did great.

Masih ada uneasy feeling yang tersisa dan gue nggak tahu ini perasaan apa. Mungkin sesampainya gue di Jakarta gue akan menemukan jawabannya.





Share:

0 comments