Tuhan Maha Adil


Gue tiba-tiba ingat satu doa yang gue panjatkan di sebuah masa, setiap selesai salat, ketika gue merasa gue butuh seseorang untuk dipegang tangannya, untuk ditelepon sebelum tidur, ketika gue merasa gue menyukai seseorang dan ingin dia jadi bagian dari hari-hari gue, paling tidak sampai kami merasa kami masih saling membutuhkan. 

Gue sedang duduk di salah satu kafe di pinggiran Mataram, tempat yang sebelumnya diperkenalkan oleh Lola. Gue memutuskan buat mampir ke sini di Sabtu sore jelang maghrib karena gue sedang tidak baik-baik saja. 

Gue sedang berada dalam fase-fase bingung dan kosong dan nggak tahu sedang ingin apa. Gue duduk di kursi dekat jendela, kursi untuk empat orang tapi gue tempati sendirian, mendengarkan lagu Orla Gartland yang judulnya Why Am I Like This? yang anehnya mood-nya sangat pas dengan gue hari ini. Gue sebenarnya sedang kenapa sih?

"I got my mistakes on loop inside my head..."


Lirik lagu itu clingy banget di kepala gue dari tadi. Pikiran gue sedang nggak fokus dan sedang ke mana-mana banget. Gue sedang memikirkan beberapa tindakan gue belakangan ini yang mungkin damaging dan kurang tepat. Atau mungkin gue hanya terlalu banyak berpikir. Karena kalau gue pikir-pikir, gue bukan orang pertama yang melakukan hal ini. Jadi harusnya gue nggak terlalu memikirkannya. Tapi meski gue sudah berusaha meyakinkan diri gue untuk tidak terlalu memikirkannya, gue tetap aja mikirin hal ini, tetap aja ada suara aneh yang memaksa gue untuk menyalahkan keputusan gue dan menarik gue ke dalam sumur overthinking.

Kalau lo merasa kata-kata gue di atas muter-muter, ya lo nggak salah baca. Gue memang sebingung itu. Dan kalau lo bertanya-tanya dari mana gue tahu lagu Why Am I Like This ini, dari serial Heartstopper.

Anti-depresan gue sepertinya tidak bekerja cukup baik beberapa hari ini. Mungkin dosisnya harus ditambah? Mungkin gue harus minta dosis lebih ke dokter gue just in case hal seperti ini terjadi lagi di masa depan? Gue nggak tahu harus sampai kapan gue minum obat ini tapi selama obat ini bisa membantu gue untuk berpikir jernih dan lebih baik gue nggak apa-apa kalau minum obat terus. Selama gue butuh, gue nggak masalah.

Suasana belakangan ini agak panas dan gerah. Ada beberapa urusan perintilan rumah yang bikin gue agak kesal juga. Air di rumah mati terus dan gue nggak bisa menemukan solusinya untuk sementara ini. Gue berusaha untuk tidak terlalu memusingkan hal ini tapi ya tetap aja gue kepikiran. Gue sudah mencari jalan keluar tapi mentok terus. Sampai akhirnya gue kesal sendiri dan kekesalan itu nggak bisa gue ungkapkan dengan kalimat tapi hanya dengan diam saja. Rasanya nggak enak banget. Gue rasa ini yang bikin gue beberapa hari ini juga jadi nggak jelas banget. Rasa panas dan gerahnya jadi berlipat ganda.

Gue sibuk memperhatikan orang-orang yang sedang malam Mingguan di kafe ini ketika pikiran tentang doa yang pernah gue panjatkan itu datang. 

Di sebelah meja gue ada satu meja buat empat orang juga (dan yang ini beneran diisi oleh empat orang) yang sedang main Uno. Di depan gue ada satu orang yang dari tadi mencoba untuk memesan kopi dan dessert tapi semua yang dia sebut dari menu sedang kosong. Di ujung ruangan, di ruang kaca berbeda, ada sekelompok orang-orang sedang mengobrol dengan makanan yang sudah tersaji di meja. Tapi sebelumnya ada satu orang yang menarik perhatian gue dan sempat bikin gue salah tingkah sampai akhirnya pacarnya datang dan gue cuma bisa meringis.

"And I just stood there like a ghost..."

Gue pernah cerita tentang seseorang yang gue panggil Delta di beberapa posting-an terdahulu. Orang yang mengganggu pikiran gue selama bertahun-tahun dan setelah gue yakin untuk mengungkapkan perasaan gue ke dia, dia malah betingkah (YHA). Meski harusnya gue move on aja sesegera mungkin setelah itu tapi nyatanya gue butuh dua tahun lebih untuk benar-benar bisa melupakan dia.

Ada satu orang juga yang pernah nolak gue ketika gue mengutarakan perasaan gue ke dia, ini kayaknya belum pernah gue tulis di blog tapi sempat gue ceritakan di podcast Ronzikologi yang sudah gue hapus-hapusin sekarang. Situasinya berbeda tapi ceritanya kurang lebih sama. Dia nggak suka sama gue.

Seolah dua cerita itu belom cukup, baru-baru ini gue juga ditolak lagi. Tapi yang terakhir ini agak berbeda cara gue menghadapi efek penolakannya. Justru nggak ada drama dan semuanya berakhir secepat itu. Kayak Thanos abis menjentikkan jari dan dia hancur jadi debu sementara gue bisa dengan tenang melanjutkan hidup. Gak tahu deh nanti kapan ada yang pergi ke masa lalu dan balikin semuanya lagi mungkin baru dia akan muncul lagi jadi orang yang berbeda setelah blip. Gue nggak tahu. Tapi gue nggak berharap ketemu dia lagi sih. Kecuali... kali ini dia yang bucin ke gue, gue terima, yang mana tapi itu nggak akan mungkin terjadi. Wkwkwkwkw.

Gue nggak mengidentifikasi(?) diri gue sebagai orang yang relijius tapi gue punya keyakinan, percaya Tuhan itu Adil, percaya Tuhan, dan gue cukup rajin salat. Cukup rajin di sini maksudnya gue akan salat kalau sudah waktunya salat tapi mungkin ada hari-hari di mana (jangan kasih tahu nyokap gue) gue akan kesiangan bangun salat subuh. You can cancelled me. Lol. Idc. Sebagai orang yang beragama, gue selalu berdoa dan memohon, walaupun harus gue akui agak malu untuk memohon pada Tuhan sementara gue aja masih suka telat bangun salat subuh. Gue yakin ada tempat di sisi Tuhan buat orang-orang yang kayak gini dan Tuhan akan mendengarkan semua hambanya jadi gue kesampingkan rasa malu gue itu dan memohon.

"Kalau dia memang baik buatku, dekatkan. Kalau tidak baik, yasudah nggak apa-apa Ya Allah nggak dekat juga, huhuhuhuhu tapi pengin tapi gimana ya kalo nggak baik kan masa aku harus korbanin diri huhuhuhuhuhuhuhuhu tapi yaudah kalau tidak baik, jauhkan,"

Meski gue agak malu memohon, tapi gue punya keyakinan itu tadi bahwa Dia akan mendengarkan bahkan doa dari orang kayak gue sekalipun. Dan sudah tahu dong jawaban-Nya kayak gimana. Wkwkwkwkwkwkwkwkkw.

Nggak satu pun dari tiga orang itu bahkan bisa gue miliki barang sesaat.

Well, satu di antara mereka pernah sih. Pernah terjadi sesuatu di antara kami yang membuat gue merasa "wah apakah ini orang gue cari selama ini?" sampai akhirnya di satu momen dia dengan sadar memberi komentar tentang diri gue in a harsh almost(?) body shaming way dan gue kayak... "wait a second... what did you just say about me?"

Ketika lo menerima perlakuan tidak enak dari orang yang lo suka, lo butuh waktu lama untuk memprosesnya sampai lo benar-benar sadar bahwa apa yang dia lakukan itu salah. Kadang gue pun membela dia lebih daripada gue membela diri gue sendiri. Gue sangat-sangat tolol sih di usia-usia itu dan ketika gue melihat ke belakang gue cuma bisa nyentil jidat gue sendiri sambil ngumpat pelan. Untungnya gue sudah tidak berada di fase menyesali masa lalu. Semua yang terjadi di masa lalu adalah hal-hal yang memberikan pijakan kuat buat kaki dan perasaan gue di masa kini bahkan ketika gue menuliskan cerita ini. Bukan berarti gue membenarkan perilaku gue atau perilaku dia saat itu tapi karena itu sudah terjadi jadi ya sudah, tidak bisa diubah, gue hanya bisa menjalani hidup gue selanjutnya dengan hikmah yang gue dapat dari kejadian itu.

But then I got blinded again. WTF. WKWKWKWKWKKW

OKE YANG INI MUNGKIN NGGAK SAMPAI KE BODY SHAMING tapi mungkin lebih ke selera pribadi dia aja yang mungkin nggak sesuai sama diri gue sebagai seorang individu.

Satu hal yang gue pelajari dari menjadi seorang bucin adalah bahwa gue bisa jadi orang yang sangat tidak mempedulikan pendapat diri gue sendiri hanya karena mendengarkan pendapat orang lain. 

Gue ingin melakukan apapun agar dia tetap menyukai gue meskipun itu damaging buat gue. Asli, nggak heran gue butuh terapi kalau ingat-ingat soal ini. Tapi untungnya kayak tadi gue bilang, sama orang yang ketiga ini gue nggak butuh waktu lama buat move on-nya. Nggak kayak yang pertama. Yang ketiga ini, mungkin karena memang kita hanya ketemu online di masa pandemi jadi nggak terlalu ada rasa memiliki dalam diri gue. Walaupun gue bisa bilang dibanding dua orang yang lainnya, orang ketiga ini adalah yang paling sempurna secara tampilan dan wajah, yang kadang bikin gue mikir nih orang nggak cocok deh sama gue soalnya terlalu good looking buat orang yang average looking kayak gue.

Nah liat kan damage-nya. Xixixixixix.

"So why am I like this...? Why am I like this...? Why am I like this...? Why am I...?"

Gue nggak tahu bagaimana awalnya atau apa penyebabnya. Tapi gue selalu merasa canggung untuk memulai sebuah hubungan serius bahkan jauh sebelum gue kenal dan suka sama tiga orang itu. Oke sebenarnya gue pernah suka sama dua orang lainnya pas SMP tapi gue nggak merasa itu sebagai sebuah pengalaman yang gimana-gimana banget. In some ways, maybe that experience gave me a concept of rejection and one sided love, tapi belum benar-benar gue bisa merasakannya karena gue masih bocah saat itu. Yes, I know what it's like to not liked back, tapi ketika itu terjadi di usia lo dewasa rasanya jauh lebih sulit untuk menerima kenyataannya dan move on. Kayaknya dulu gue nggak se-desperado itu deh ketika tahu kalau orang yang gue suka ini nggak suka sama gue. Kenapa ketika sudah dewasa rasanya malah sakit banget? Apakah karena dulu gue bahkan belom terlalu mengenal rasa sakit hati atau gimana?

Selain canggung memulai hubungan, gue juga selalu merasa gue tidak layak buat siapapun. Ok, I know this sounds too much, but I'm being honest here. Nggak jarang gue bertanya ke diri gue sendiri, emangnya ada ya yang mau sama gue? Lol.

One of my best friend (semoga dia juga consider me as his best friend) (SEE? I DID IT AGAIN!) (OH GOD I'M SCREWED) having this huge insecurities about his body. Gue nggak tahu kenapa, tapi dulu sebelum dia nge-gym dia terlihat baik-baik saja di mata gue, nggak ada sesuatu yang membuat gue merasa dia jelek atau gimana. Setelah dia nge-gym, tubuhnya berubah drastis dan jadi lebih gede (ya seperti layaknya orang nge-gym), dan bahkan setelah tubuhnya berubah dia masih tetap merasa ada yang kurang, tidak sempurna, seolah-olah dia melakukan hal yang salah dan bukan ini yang dia inginkan tapi he keeps doing it for some reasons.

"Tbh you look okay," kata gue ke dia di satu kesempatan.

"Nah... I'm ugly..."

"No you're not!"

"I am tho,"

"Well, setidaknya lo udah punya pacar!"

"Ya sih ehhehehe,"

"Anjing..."

Dari situ gue belajar bahwa bahkan ketika orang udah punya pacar pun orang akan masih merasa kurang. Bahkan gue yang tidak punya pacar pun masih merasa kurang. Ternyata pacar bukan jawaban dari segala kekurangan yang gue rasakan selama ini.

(Ya gitu) (sebuah kesimpulan) (wkwkwkwkw)

Nggak.... maksudnya, manusia tuh emang kayak gitu. Nggak pernah puas. Rumput tetangga selalu lebih hijau. Gue selalu berusaha untuk tidak pernah percaya dengan hal itu dan merasa puas dengan apapun yang gue sudah miliki sekarang. Tapi toh akhirnya gue nggak bisa, atau belum bisa, gue tetap merasa iri, contohnya sama temen gue ini. Padahal cuma perkara dia punya pacar, dan dia udah pacaran 7 tahun, dan dia sama pacarnya saling support satu sama lain (dari cerita yang gue dengar sih ya).

Cuma itu.

CUMA ITU TAPI GUE IRI AJA YAUDAH GAPAPA KAN GUE MANUSIA JUGA.

Tapi lalu Tuhan memberikan gue sebuah moment of realization yang justru datang bukan dari orang-orang yang gue sebutkan di atas. Datangnya dari salah satu rekan kerja gue.

Di satu percakapan kita, dia menggebu-gebu soal pekerjaan dan soal bagaimana pegawai level bawah seperti kita nggak bisa terlalu santai menjalani hidup, bahwa kita harus berusaha sekuat tenaga dan kerja kerja kerja. Moral(?) gue kesentil ketika dia bilang harus tetap kerja sampai kaya. Di situ gue langsung ambil penggaris dan spidol lalu menggambar garis tebal di antara pola pikir dia dan pola pikir gue. Sebagai sebuah tanda dan batasan bahwa gue nggak boleh melintas ke seberang.

"Kalau kayak gitu kapan istirahatnya? Gue nggak mau deh jadi kaya-kaya banget. Gue merasa cukup kayaknya sekarang. Gue ingin kayak sekarang aja terus, nggak ambisius, nggak merasa lebih, nggak merasa kurang, cukup. Kayaknya gini-gini aja juga nggak apa-apa," kata gue.

Dia lalu balas chat itu dengan tertawa. Sementara gue lanjut hanyut dalam pikiran-pikiran setelah itu.

Kalau gue merasa sekarang gue sudah cukup, berarti sendiri pun sebenarnya nggak masalah. Cukup. 

Ada alasan Tuhan mengabulkan doa gue dan menjauhkan gue dari orang-orang yang gue sebut dalam doa gue itu karena mungkin mereka nggak akan membuat gue merasa cukup. Mungkin gue harus membuat diri gue merasa cukup dulu sebelum gue bisa membawa orang lain masuk ke dalam hidup gue dan memberikan pengertian soal sudut pandang gue itu. 

Kalau dia mengerti, maka itu cukup juga buat gue untuk melangkah ke hal yang lebih jauh. Kalau tidak, ya berarti memang belum dia bukan orangnya.



Share:

0 komentar