Gue nggak mau kepedean tapi gue harus bangga pada diri gue sendiri: gue udah mulai bisa membentengi hati dari kebucinan. WKWKWKWKKW. Lucu banget rasanya ngomong gini seolah-olah nggak akan ada apapun di dunia ini yang akan bikin gue bucin sepanjang sisa hidup gue. Tapi karena sekarang gue sedang fokus menjalani ‘hari ini’ jadi gue juga akan fokus untuk menghargai pencapaian gue ‘hari ini’. Di beberapa tulisan sebelumnnya, gue pernah cerita soal bagaimana gue bucin di usia 30. Sekarang, dua tahun berselang dari tulisan itu (kayaknya, atau mungkin udah tiga tahun), gue bisa dengan percaya diri bilang kalau gue sudah move on dari perasaan-perasaan bucin itu. Semua berawal dari seonggok daging hidup yang kita sebut saja namanya Max.
Gue sama sekali nggak kenal siapa Max sebelumnya. Tiba-tiba aja sosok ini masuk ke dalam hidup gue dalam kelebatan-kelebatan di lorong, di lift, di antara kubikel-kubikel meja kerja. Bahkan gue sama sekali nggak tahu siapa namanya ketika pertama kali lihat dan tertarik. Gue menyebutnya sebagai ‘si itu’ ketika bicara soal dia ke temen gue lewat chat.
“Hari ini si itu pake baju item.”
“Hari ini dia potong rambut.”
“Kayaknya baru minggu lalu deh dia potong rambut tapi hari ini rambutnya udah potong lagi?”
“Hari ini dia pake sweater coklat.”
“Hari ini dia makan gorengan di meja kayak kocak banget deh.”
Oh hai, selamat tahun baru! Gimana kabar lo? Masih sibuk memikirkan resolusi meski udah mau seminggu sejak pergantian tahun, atau sekarang udah yakin untuk menjalani hidup dengan ‘yaudah ikuti ke mana angin berembus saja’? Kalau lo masih stuck di mencari resolusi, gue berharap lo bisa menemukan apapun yang ingin lo capai tahun ini dan benar-benar mencapainya. Tapi kalaupun tidak, kalaupun lo memutuskan untuk mengikuti ke mana angin berembus, gue berharap angin akan membawa lo ke tempat-tempat yang indah dan membuat hati lo damai. Kalau kata drama Korea (Reply 1988 kalau nggak salah), lo juga perlu beli sepatu baru supaya sepatu itu bisa membawa lo ke tempat-tempat yang menakjubkan sepanjang tahun ini.
Gue menutup pintu kamar hotel itu dengan perasaan seperti mengambang. Gue tidak merasakan kaki gue menjejak di lantai sama sekali. Tentu saja, aslinya nggak gitu. Aslinya tetap menjejak. Gue kan bukan hantu dan nggak punya kekuatan levitasi sama sekali. Tapi indera perasa yang ada di telapak kaki gue seperti mati sesaat. Tadi lantai itu dingin. Dingin sekali. Tapi sekarang rasanya seperti kosong. Badan gue mendadak terasa sangat lelah. Obrolan yang lebih dari dua jam itu ternyata jauh lebih melelahkan daripada setengah jam yoga. Energi gue seperti terkuras habis, seperti yang gue prediksi, dan kelelahan seperti menguasai diri. Gue seolah nggak bisa lagi berpikir meski sebenarnya masih banyak hal yang harus gue pikirkan. Masih banyak hal dari obrolan gue malam itu yang perlu gue olah dan pilah. Tapi malam ini gue capek. Besok gue harus kembali ke Jakarta dan gue nggak mau membawa pulang perasaan aneh seperti ini.