Di tengah keramaian masyarakat soal saham SM dibeli HYBE (yang mana demi kesehatan mental diri sendiri, gue memutuskan untuk tidak mengikuti secara detail isu ini karena jujur sekarang K-Pop mulai melelahkan secara industri tapi tetap menyenangkan secara lagu dan konten) gue mau sedikit cerita soal pengalaman gue di KWANGYA@JAKARTA.
Sejak awal dinding toko di Lotte Shopping Avenue itu ditutup poster, gue udah bersemangat buat ini. Ada ekspektasi besar yang gue bikin (dan seharusnya nggak gue bikin karena semua ekspektasi yang tidak kejadian akan berujung kecewa, dan gue nggak suka kecewa) sampai-sampai rasanya seperti kembali ke masa-masa awal usia 20 tahunan dulu dalam hal. Gue riset soal lokasi ini, gue bikin tag location-nya di Google Maps, waktu dapat kesempatan liputan ke sana pas opening day, gue pun kepo banyak hal soal isi dari KWANGYA@JAKARTA.
Mungkin gue perlu kali ya menjelaskan soal ekspektasi yang gue tulis di atas.
Gue nggak mau kepedean tapi gue harus bangga pada diri gue sendiri: gue udah mulai bisa membentengi hati dari kebucinan. WKWKWKWKKW. Lucu banget rasanya ngomong gini seolah-olah nggak akan ada apapun di dunia ini yang akan bikin gue bucin sepanjang sisa hidup gue. Tapi karena sekarang gue sedang fokus menjalani ‘hari ini’ jadi gue juga akan fokus untuk menghargai pencapaian gue ‘hari ini’. Di beberapa tulisan sebelumnnya, gue pernah cerita soal bagaimana gue bucin di usia 30. Sekarang, dua tahun berselang dari tulisan itu (kayaknya, atau mungkin udah tiga tahun), gue bisa dengan percaya diri bilang kalau gue sudah move on dari perasaan-perasaan bucin itu. Semua berawal dari seonggok daging hidup yang kita sebut saja namanya Max.
Gue sama sekali nggak kenal siapa Max sebelumnya. Tiba-tiba aja sosok ini masuk ke dalam hidup gue dalam kelebatan-kelebatan di lorong, di lift, di antara kubikel-kubikel meja kerja. Bahkan gue sama sekali nggak tahu siapa namanya ketika pertama kali lihat dan tertarik. Gue menyebutnya sebagai ‘si itu’ ketika bicara soal dia ke temen gue lewat chat.
“Hari ini si itu pake baju item.”
“Hari ini dia potong rambut.”
“Kayaknya baru minggu lalu deh dia potong rambut tapi hari ini rambutnya udah potong lagi?”
“Hari ini dia pake sweater coklat.”
“Hari ini dia makan gorengan di meja kayak kocak banget deh.”
Oh hai, selamat tahun baru! Gimana kabar lo? Masih sibuk memikirkan resolusi meski udah mau seminggu sejak pergantian tahun, atau sekarang udah yakin untuk menjalani hidup dengan ‘yaudah ikuti ke mana angin berembus saja’? Kalau lo masih stuck di mencari resolusi, gue berharap lo bisa menemukan apapun yang ingin lo capai tahun ini dan benar-benar mencapainya. Tapi kalaupun tidak, kalaupun lo memutuskan untuk mengikuti ke mana angin berembus, gue berharap angin akan membawa lo ke tempat-tempat yang indah dan membuat hati lo damai. Kalau kata drama Korea (Reply 1988 kalau nggak salah), lo juga perlu beli sepatu baru supaya sepatu itu bisa membawa lo ke tempat-tempat yang menakjubkan sepanjang tahun ini.
Gue menutup pintu kamar hotel itu dengan perasaan seperti mengambang. Gue tidak merasakan kaki gue menjejak di lantai sama sekali. Tentu saja, aslinya nggak gitu. Aslinya tetap menjejak. Gue kan bukan hantu dan nggak punya kekuatan levitasi sama sekali. Tapi indera perasa yang ada di telapak kaki gue seperti mati sesaat. Tadi lantai itu dingin. Dingin sekali. Tapi sekarang rasanya seperti kosong. Badan gue mendadak terasa sangat lelah. Obrolan yang lebih dari dua jam itu ternyata jauh lebih melelahkan daripada setengah jam yoga. Energi gue seperti terkuras habis, seperti yang gue prediksi, dan kelelahan seperti menguasai diri. Gue seolah nggak bisa lagi berpikir meski sebenarnya masih banyak hal yang harus gue pikirkan. Masih banyak hal dari obrolan gue malam itu yang perlu gue olah dan pilah. Tapi malam ini gue capek. Besok gue harus kembali ke Jakarta dan gue nggak mau membawa pulang perasaan aneh seperti ini.
Tarik napas. Embuskan. Tarik lagi. Embuskan.
Gue mengulangi mantra ini sejak siang karena beberapa hal. Sebenarnya kondisi hati gue hari ini nggak terlalu yang gimana-gimana banget. Sedikit excited sih, karena gue mau ketemu sama beberapa orang. Satu adalah orang yang gue kenal online dan berharap bisa ada sesuatu di antara kami walaupun kalau boleh jujur percakapan kita di chat semuanya flat dan one liner tapi gue memutuskan untuk tidak nge-judge sampai kita benar-benar ketemu dan ngobrol. Yang satu lagi... wah ini panjang ceritanya. Tapi long story short, pertemuan dengan orang yang kedua ini sudah melewati waktu berpikir yang sangat panjang. Banyak orang menyarankan gue untuk tidak melakukannya, tapi gue memilih untuk mendengarkan diri gue saja tidak mendengarkan orang lain. Maaf ya teman-teman baikku. Aku beneran penasaran sama akhir ceritanya, makanya aku bandel. Wkwkwkwkwkwkw...
Gue sedang dalam perjalanan pulang dari rumah sakit menuju kosan di suatu hari Rabu, dengan kondisi mata dan kepala yang berat banget karena ngantuk dan perut yang mules entah karena belum sarapan atau belum ngopi. Seharusnya semalam gue tidur lebih cepat karena paginya ada jadwal kunjungan ke dokter. Tapi gue benar-benar lupa karena malamnya gue nonton Avatar (re-release) di IMAX dan memesan tiket jam 8 lebih 40 malam waktu Jakarta. Film selesai sekitar tengah malam dan gue sampai kosan setengah satu pagi apa deh. Tapi gue nggak langsung tidur malah main Genshin Impact sampai jam setengah dua. Di situlah gue baru sadar kalau paginya gue harus ke rumah sakit. Kalau kata Piko ini fucked up banget sih. Gue nggak mungkin membatalkan kunjungan ini karena obat gue juga udah abis, jadi gue buru-buru tidur dan berharap bisa bangun sepagi mungkin.
Kalau gue bukan pasien BPJS mungkin gue nggak perlu repot-repot melakukan ini. Gue bisa ke rumah sakit kapan aja sesuai perasaan hati. Tapi karena iuran BPJS nggak semahal asuransi swasta jadi gue memilih menggunakan fasilitas ini buat berobat. Jadi pagi itu, as expected, gue berangkat terlambat ke rumah sakit. Rencananya gue mau berangkat jam 7 kurang biar sampai di sana pas jam 7 jadi gue bisa masuk ke ruang konsultasi lebih cepat. Tapi gue telat satu jam dan itu bikin gue dapat giliran konsultasi jam 10 pagi. Dua jam nunggu dan kondisi gue udah nggak jelas banget. Ngantuk, laper, capek, pengin berbaring, tapi juga pengin dapet obat lebih cepat. Gue nggak mau repot-repot nunggu obatnya karena bisa diambil sore, jadi gue langsung pulang ke kosan sehabis konsultasi.
Seperti biasa gue selalu memutar musik kalau lagi di atas motor. Meski terdengar tidak aman, tapi ini mengurangi keinginan gue buat marah-marah dengan suara motor di sekitar, apalagi kalau ada orang pake knalpot yang gede banget lubangnya itu dan suka nyemprot angin ke muka gue kalau tiba-tiba dia ada di depan motor gue. Gue sumpahin orang-orang ini kentutnya bau banget sampai orang-orang di sekitarnya nggak nyaman dan pergi dari hidupnya. Maaf jahat tapi gue tulus kok ini mendoakannya. Biasanya gue nggak memutar lagu dalam kondisi shuffled. Agak ngeselin, gue punya kecenderungan menjadi sangat perfeksionis untuk hal-hal yang tidak perlu seperti misalnya kalau lagu di playlist gue nggak keputer sesuai urutan. Misalnya gue lagi dengerin album Purpose-nya Taeyeon yang selalu gue mulai dengan Here I Am dan berakhir di Gravity lalu kembali lagi ke Here I Am. Dari track 1 sampai track terakhir, meski gue tidak hapal kalau disuruh ngurutin daftar track-nya, tapi gue sudah hapal dan ingat abis lagu A pasti lagu B. Kalau tiba-tiba ke-shuffle ke lagu F, gue pasti gemeter tuh di atas motor dan bisa melipir dulu ke pinggir buat set itu tombol shuffle biar dimatiin.
Gue sefrik itu sih asli.
Gue merasa sangat aneh beberapa minggu terakhir ini. Gue kehilangan semangat untuk melakukan banyak hal, gue kehilangan mood untuk melakukan segala hal. Rasanya seperti kembali ke masa-masa terpuruk gue beberapa bulan lalu ketika semua perasaan menyerbu di saat yang sama dan gue nggak punya pertahanan yang cukup kuat untuk menghalau mereka satu per satu. Rasanya seperti ada yang aneh. Semua tembok baja yang belakangan berdiri kuat di setiap sudut hati dan sudut kepala gue, yang akan menghadang semua pikiran-pikiran dan perasaan negatif, seperti pelan-pelan ambruk tanpa sebab yang jelas. Satu hal yang paling gue nggak sukai dari hidup adalah ketika gue berada dalam posisi gue nggak tahu sedang merasakan apa. Apakah ini sedih? Apakah ini kecewa? Apakah ini marah? Perasaan apa sih yang sedang gue rasakan ini? Apakah ini campuran dari dua perasaan pertama? Ketiganya? Atau malah bukan tiga-tiganya? Akan lebih mudah untuk mencari solusi dari sebuah permasalahan kalau kita tahu masalahnya apa. Akan lebih mudah untuk mencari pengalihan perhatian dari sebuah perasaan kalau kita tahu apa yang kita rasakan. Tapi kondisi gue di beberapa minggu terakhir ini bener-bener campur aduk, atau dalam bahasa gue: begajulan.
I feel exhausted. Even when I’m not busy at all.
Pernah ada teman gue yang datang dari Lombok dan menginap di salah satu hotel di pinggiran Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, dan dia mengaku diganggu sama makhluk halus. Lampu kamarnya tiba-tiba mati-nyala-mati-nyala, bahkan ketika teman sekamarnya lagi mandi, lampu kamar mandi mendadak mati. Ketika dia cerita ke gue, gue cuma bisa ketawa karena memang ceritanya (atau mungkin cara dia menceritakannya yang membuat itu jadi) lucu (walaupun menurut dia itu teror menyeramkan), di situ gue baru menyadari satu hal: selama hampir 10 tahun gue di Jakarta, gue nggak pernah lagi merasakan takut pada makhluk-makhluk halus atau yang biasa kalian sebut hantu (pakai suara Prilly Latuconsina di trailer Danur 1). Akhirnya gue bilang ke temen gue,
Sekitar tahun 2014 atau 2015, ketika gue belum jadi pengendara motor di Jakarta, gue pernah pinjam motor teman gue untuk pergi ke daerah Blok M. Niatnya sore itu di sela-sela jam kerja yang nggak terlalu padat gue mau ke money changer. Kalau nggak salah inget waktu itu gue baru pulang dari liputan di Korea atau New York gitu deh dan ada sisa uang yang perlu gue tuker balik ke Rupiah. Karena gue sedang malas naik Metro Mini ke kawasan Blok M (ya, dulu masih ada Metro Mini) karena jurusan Blok M – Pasar Minggu – Blok M itu Metro Mini-nya luar biasa melelahkan kala itu (kalau nggak salah jalan layang buat TransJakarta dari Tendean ke... mana tuh, Tangsel? Belum jadi dan macetnya di situ minta ampun deh kalo di jam-jam sibuk) gue pun memutuskan untuk pinjem motor aja. Gue awam sama jalanan Jakarta di jalur pemotor kala itu karena memang selama ini selalu menggunakan angkutan umum. Tapi kurang lebih gue tahu jalannya karena sering naik angkutan umum.
Ketika gue pinjem motor itu gue nggak nanya motornya apa (atau sebenarnya gue nanya tapi gue nggak pernah ngeh brand dan bentukan tipe motor tertentu, yang gue tahu cuma Mio, atau Honda Beat, dan semacam itu. Brand di luar itu gue cuma bisa hah heh hoh doang), temen gue ngasih STNK dan gue pikir itu sudah cukup buat memberitahu gue motornya yang mana. Gue toh bisa lihat nomor kendaraannya di STNK dan mencari motor itu di parkiran. Permasalahannya adalah gue nggak pernah parkir motor di situ dan nggak tahu flow parkiran kantor kayak gimana. Maksud gue... kalo parkiran Mal kan udah jelas ya jalan masuknya di mana keluarnya di mana. Kalau di kantor gue waktu itu agak... berantakan.
Sesampainya gue di parkiran, gue agak bingung dan muter-muter selama lima sampai sepuluh menit nyari motor itu. Tapi gue nggak mau menyerah dan gue terus berusaha buat ngecek motor itu di posisi yang temen gue kasih tahu. Tetep aja motor itu nggak ketemu juga. Sampai akhirnya satpam yang nungguin parkiran nyamperin gue, dengan wajah dan nada bicara yang agak kesal.