Tarik napas panjang dan dalam.Embuskan perlahan.
Lalu ngumpat: ANJING!!!!!!!!!!!!!
Gue sedang ada di Kuala Lumpur ketika menulis ini. Sampai ketika gue duduk di depan iPad dengan case/keyboard kuning ini, semua plan gue berjalan lancar: take off dari Jakarta, mendarat di KLIA, naik bus sampai Terminal Berpadu Selatan, lalu kebingungan mencari hotel yang gue tinggali buat semalem doang tapi gue udah bayar buat dua malam. Besok siangnya gue bangun dapet kabar baik dari Dita kalau dia berhasil tembus antrean ticketing konser IU di Jakarta Day 2. Abis itu gue keluar hotel, makan siang, jalan ke Pavilion buat beli tas (NOT PLANNED AT ALL ALIAS ALESAN) karena kemaren ritsleting tas gue mendadak copot, lalu duduk dan pesen kopi. Nggak ada satu hal pun yang nggak berjalan sesuai rencana hari ini, kalau pun ada sifatnya minor (kayak tadinya gue mau beli tas di SPAO aja tapi ternyata SPAO koleksi tasnya nggak banyak akhirnya gue beli di Vans).
Semua hal baik yang terjadi sangat, sangat, sangat perlu, dan harus gue syukuri, dan gue harus bisa fokus ke semua pencapaian itu. Sejauh ini gue nggak ada komplain apa pun soal kehidupan.
Sejauh ini. WKKWKWKWWK Kita lihat akan sejauh apa?!
Gue… lagi bingung. Walaupun ‘bingung’ kayaknya terlalu menyederhanakan perasaan gue sekarang. Gue terlalu banyak ngomongin soal ini dan gue janji (ke siapa pun yang baca tulisan ini dan mulai merasa ‘lu apa banget deh Ron’, tapi yang paling penting ke diri gue sendiri) ini akan jadi terakhir kalinya gue bahas soal topik yang sama seperti yang gue tulis di dua postingan sebelumnya.
Setelah semua kejadian-kejadian itu (match, chat, ketemu, baper, ditolak, baper, down, baper, sakit, nangis, baper, nangis, nangis, numb) gue memutuskan untuk ngajak dia ketemu lagi. Oke, ini mungkin bisa jadi usaha gue buat ‘bunuh diri’ karena, kalau dipikir-pikir, ngapain juga gue ketemu lagi sama orang yang jelas-jelas mengganggu pikiran gue selama ini? Yang jelas-jelas nggak suka sama gue dan jelas-jelas bilang itu di depan muka gue. Tapi for the sake of YOLO dan fucking living the moment, gue chat dia dan ngajak ketemu. Dalihnya belajar. Jadi dia kerja di salah satu agensi dan jago ngurusin sosmed, jadi gue pikir gue bisa tanya-tanya a few questions karena gue lagi tertarik masuk ke ranah itu.
Tenang aja, itu cuma dalih.
While yes, I really wanted to know more about that topic, it was just an excuse for me so I can meet this person.
“Lo beneran nggak belajar dari pengalaman ya?”
Oke gue mau pengakuan dosa. Ada beberapa sih sebenarnya... ehehe...malu. Tapi harus berani! WKWKWKWKWKKW Di postingan pertama gue tahun ini, gue menceritakan soal pertemuan gue dengan seseorang yang berujung gue naksir, tapi orangnya nggak naksir balik (biasalah... story of my life ahahah). Lalu gue baper dan gue memutuskan untuk merayakan kebaperan gue itu dengan memberi limit waktu hanya 48 jam. Teorinya begitu, tapi praktiknya nggak segampang itu. Fuck. HEHE. Setelah lewat dari 72 jam, 96 jam, 120 jam, bahkan sampai hari ini (yang mana gue udah terlalu malas untuk menghitung berapa jam totalnya) gue masih baper. Baru beberapa jam yang lalu sebelum gue akhirnya memutuskan untuk ngetik ini gue tiduran di kasur sambil melihat ke jendela dan menatap langit senja dan bilang "Fuck kok gue kangen". Sayang sekali kangen yang kali ini nggak bisa gue utarakan ke orangnya.
Menuju 48 jam setelah kejadian...
Gue menarik napas pelan dan dalam. Mengembuskannya sedikit demi sedikit dari balik masker. Agak nyangkut dikit di hidung karena gue lagi pilek, jadi di bagian itu mampet. Kenapa gue pilek? Nanti lo juga akan tahu sendiri. Tapi pilek sebenarnya bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan saat ini. Yang lebih memprihatinkan adalah kondisi hati gue.
(BADUM TZZ!!)

Gue banyak nulis soal insecurity di blog ini. Kalau gue bilang mungkin ini satu-satunya kata kunci yang menghubungkan gue dengan beberapa orang pembaca. Kita semua tentu punya insecurity dalam berbagai bentuk dan intensitas. Nggak jarang orang-orang yang nggak ngerti dengan perasaan kita akan menganggap kita lebay atau memberikan komentar yang meremehkan kayak “Apa sih? Kan cuma…” atau “Ah elah, gitu doang kali…” dan segala macam. Dulu gue akan sangat kesal dengan orang-orang yang mengeluarkan komentar seperti itu, tapi sekarang gue lebih bisa paham kenapa akhirnya mereka memilih untuk berkomentar seperti itu. Yang pertama karena mungkin mereka memang tidak berada di situasi dan kondisi yang sama dengan kita, jadi mereka sama sekali nggak relate dengan apapun ketakutan atau insecurity yang kita rasakan. Yang kedua mungkin karena mereka terlalu sempurna dan jauh lebih baik dari kita. Yang ketiga, ini mungkin agak jahat tapi bodo amat, ya karena mereka sedang ada dalam fase menjadi totally an asshole. Kemungkinan ketiga ini bisa jadi paling benar sih. WKKWKWWKKWKWKW.
Gue yang sekarang beda sama yang dulu.
(Cue lagu Tegar)
Izinkan gue menjelaskan.
Di tengah keramaian masyarakat soal saham SM dibeli HYBE (yang mana demi kesehatan mental diri sendiri, gue memutuskan untuk tidak mengikuti secara detail isu ini karena jujur sekarang K-Pop mulai melelahkan secara industri tapi tetap menyenangkan secara lagu dan konten) gue mau sedikit cerita soal pengalaman gue di KWANGYA@JAKARTA.
Sejak awal dinding toko di Lotte Shopping Avenue itu ditutup poster, gue udah bersemangat buat ini. Ada ekspektasi besar yang gue bikin (dan seharusnya nggak gue bikin karena semua ekspektasi yang tidak kejadian akan berujung kecewa, dan gue nggak suka kecewa) sampai-sampai rasanya seperti kembali ke masa-masa awal usia 20 tahunan dulu dalam hal. Gue riset soal lokasi ini, gue bikin tag location-nya di Google Maps, waktu dapat kesempatan liputan ke sana pas opening day, gue pun kepo banyak hal soal isi dari KWANGYA@JAKARTA.
Mungkin gue perlu kali ya menjelaskan soal ekspektasi yang gue tulis di atas.
Gue nggak mau kepedean tapi gue harus bangga pada diri gue sendiri: gue udah mulai bisa membentengi hati dari kebucinan. WKWKWKWKKW. Lucu banget rasanya ngomong gini seolah-olah nggak akan ada apapun di dunia ini yang akan bikin gue bucin sepanjang sisa hidup gue. Tapi karena sekarang gue sedang fokus menjalani ‘hari ini’ jadi gue juga akan fokus untuk menghargai pencapaian gue ‘hari ini’. Di beberapa tulisan sebelumnnya, gue pernah cerita soal bagaimana gue bucin di usia 30. Sekarang, dua tahun berselang dari tulisan itu (kayaknya, atau mungkin udah tiga tahun), gue bisa dengan percaya diri bilang kalau gue sudah move on dari perasaan-perasaan bucin itu. Semua berawal dari seonggok daging hidup yang kita sebut saja namanya Max.
Gue sama sekali nggak kenal siapa Max sebelumnya. Tiba-tiba aja sosok ini masuk ke dalam hidup gue dalam kelebatan-kelebatan di lorong, di lift, di antara kubikel-kubikel meja kerja. Bahkan gue sama sekali nggak tahu siapa namanya ketika pertama kali lihat dan tertarik. Gue menyebutnya sebagai ‘si itu’ ketika bicara soal dia ke temen gue lewat chat.
“Hari ini si itu pake baju item.”
“Hari ini dia potong rambut.”
“Kayaknya baru minggu lalu deh dia potong rambut tapi hari ini rambutnya udah potong lagi?”
“Hari ini dia pake sweater coklat.”
“Hari ini dia makan gorengan di meja kayak kocak banget deh.”
Oh hai, selamat tahun baru! Gimana kabar lo? Masih sibuk memikirkan resolusi meski udah mau seminggu sejak pergantian tahun, atau sekarang udah yakin untuk menjalani hidup dengan ‘yaudah ikuti ke mana angin berembus saja’? Kalau lo masih stuck di mencari resolusi, gue berharap lo bisa menemukan apapun yang ingin lo capai tahun ini dan benar-benar mencapainya. Tapi kalaupun tidak, kalaupun lo memutuskan untuk mengikuti ke mana angin berembus, gue berharap angin akan membawa lo ke tempat-tempat yang indah dan membuat hati lo damai. Kalau kata drama Korea (Reply 1988 kalau nggak salah), lo juga perlu beli sepatu baru supaya sepatu itu bisa membawa lo ke tempat-tempat yang menakjubkan sepanjang tahun ini.
Gue menutup pintu kamar hotel itu dengan perasaan seperti mengambang. Gue tidak merasakan kaki gue menjejak di lantai sama sekali. Tentu saja, aslinya nggak gitu. Aslinya tetap menjejak. Gue kan bukan hantu dan nggak punya kekuatan levitasi sama sekali. Tapi indera perasa yang ada di telapak kaki gue seperti mati sesaat. Tadi lantai itu dingin. Dingin sekali. Tapi sekarang rasanya seperti kosong. Badan gue mendadak terasa sangat lelah. Obrolan yang lebih dari dua jam itu ternyata jauh lebih melelahkan daripada setengah jam yoga. Energi gue seperti terkuras habis, seperti yang gue prediksi, dan kelelahan seperti menguasai diri. Gue seolah nggak bisa lagi berpikir meski sebenarnya masih banyak hal yang harus gue pikirkan. Masih banyak hal dari obrolan gue malam itu yang perlu gue olah dan pilah. Tapi malam ini gue capek. Besok gue harus kembali ke Jakarta dan gue nggak mau membawa pulang perasaan aneh seperti ini.