Oh ya, gue bahkan bukan fans artis-artis dari YG Entertainment in general. Maksudnya secara manajemen gitu. Biasanya kan anak-anak Kpop kalau udah bias sama satu grup dari manajemen tertentu, mereka juga akan bias sama grup lain dari manajemen yang sama. Gue contohnya, yang lo sendiri mungkin sudah tahu karena sudah sering main ke blog ini dan baca-baca tulisan gue tentang Kpop yang lain, adalah fans artis-artis SM Entertainment. Berawal dari kesukaan gue pada SHINee yang kemudian membawa gue jadi seorang ELF dan kemudian malah suka banget sama SNSD lalu jadi ngefans Krystal dan ngikutin f(x) kemudian sekarang mendeklarasikan diri sebagai EXO-L (bukan Eros ya soalnya jijik sama nama itu) yang juga menjabat sebagai fans berat Irene dan Red Velvet dan teman curhat Kun dan WinWin (tapi ini rahasia aja) di NCT. Oh gue juga diam-diam ngebias Doyoung. Kecuali kalau dia sudah mulai ke-Jaehyun-Jaehyun-an atau ke Chanyeol-Chanyeol-an, gue istirahat dulu ngebiasnya, biasanya sih geser dikit ke Mark atau Yuta meskipun belakangan ini gue lagi suka nyanyiin ‘Havana’-nya Camilla Cabello dan liriknya diganti jadi “Na Jaemin oh Nana...”. Gue juga suka beberapa artis JYP Entertainment but never been a big fan. Cuma sekedar-sekedar doang. Tapi dibandingkan dengan yang lain. Mungkin artis-artis YG Entertainment adalah yang paling gue hindari. Jangan tanya kenapa, mungkin ini cuma masalah selera. Seperti semisal lo ditanya kenapa lo suka sama artis-artis YG, lo pasti punya jawaban yang beda sama yang lain. Pasti punya alasan sendiri. Begitu juga gue. Punya alasan kenapa gue not really into YG’s artists sejak pertama kali gue suka Kpop ratusan juta tahun cahaya yang lalu.
My ruined plan and my luck.
Salah satu hal yang paling menyebalkan di dunia ini selain diem-dieman dan tebak-menebak perasaan adalah rencana yang nggak berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan. Gue meninggalkan kantor lebih awal hari itu, 2 Mei 2018, untuk mengejar pesawat pulang ke Lombok yang seharusnya berangkat 20:00 WIB. Tapi yah, maskapai sampah ini memang nggak pernah beres. Padahal gue sudah berencana, kalau landing di Lombok tepat waktu, gue masih punya waktu untuk woro-woro di rumah menunggu pergantian hari. Besok gue ulang tahun dan beberapa jam sebelum tengah malam gue masih duduk di bandara, scrolling Instagram sampai baterai ponsel gue nyaris habis. Kondisi ruang tunggu bandara itu udah luar biasa sumpek. Dan kondisinya sekarang diperparah karena gue kelaperan. Gue duduk di bangku yang salah malam itu, di samping satu keluarga yang juga akan terbang ke Lombok bareng gue (gue tahu mereka orang Lombok karena logatnya), yang buka bekal dari rumah. ASTAGFIRULLAH. Aromanya luar biasa menyiksa. Gue cuma bisa mengunyah roti berminyak yang gue beli setelah check in tadi dan menelan sebanyak mungkin air putih supaya gue bisa merasa kenyang. Yang akan gue lakukan setelah naik pesawat nanti adalah tidur jadi gue nggak perlu merasa lapar berlebihan. Gue mendarat di Lombok sekitar jam setengah satu pagi dan sampai di rumah sekitar jam dua subuh.
“Happy birthday, ya!” kata kakak perempuan gue sambil memberikan sebuah kotak kado yang dibungkus sederhana dengan kertas koran. Gue udah nggak punya semangat untuk senyum malam itu tapi tulisan di depannya bikin senyum gue merekah juga. Ada ucapan dari dia, suaminya, dan dua keponakan gue Nada dan Salman. Tulisan Salman hanya berupa garis-garis berantakan mirip cacing. “Dibuka sekarang atau nanti?” katanya. Makanan sudah tersedia di depan gue sekarang. Nasi hangat dengan beberapa lauk buatan nyokap dan kakak gue yang nggak bisa lagi gue tunda untuk dilahap.
“Nanti aja,” kata gue karena sibuk memikirkan bagaimana nasi dan lauk-lauk itu akan masuk ke mulut, dikunyah, lalu masuk ke perut. “Makan dulu.”
“Kamu tuh belum lahir. Masih beberapa jam lagi,” nyokap nimbrung ketika dia ingat hari ini tanggal berapa. “Sekarang sih belum,” katanya.
“Happy birthday, ya!” kata kakak perempuan gue sambil memberikan sebuah kotak kado yang dibungkus sederhana dengan kertas koran. Gue udah nggak punya semangat untuk senyum malam itu tapi tulisan di depannya bikin senyum gue merekah juga. Ada ucapan dari dia, suaminya, dan dua keponakan gue Nada dan Salman. Tulisan Salman hanya berupa garis-garis berantakan mirip cacing. “Dibuka sekarang atau nanti?” katanya. Makanan sudah tersedia di depan gue sekarang. Nasi hangat dengan beberapa lauk buatan nyokap dan kakak gue yang nggak bisa lagi gue tunda untuk dilahap.
“Nanti aja,” kata gue karena sibuk memikirkan bagaimana nasi dan lauk-lauk itu akan masuk ke mulut, dikunyah, lalu masuk ke perut. “Makan dulu.”
“Kamu tuh belum lahir. Masih beberapa jam lagi,” nyokap nimbrung ketika dia ingat hari ini tanggal berapa. “Sekarang sih belum,” katanya.
About me and my introverted mind.Gue nggak komplain terlahir dan kemudian tumbuh besar (meski belum berkembang biak) menjadi seorang introvert. Justru gue bersyukur. Masing-masing orang tentu saja punya pribadi yang berbeda-beda dan gue yakin banyak orang juga nyaman dengan kondisi mereka yang ekstrovert misalnya. Gue sendiri selalu kagum dengan mereka yang ekstrovert. Karena mereka tahu bagaimana memposisikan diri mereka di tengah kerumunan orang. Mereka tahu bagaimana bersikap dan bergaul dengan banyak orang, entah apakah mereka baru ketemu di lokasi atau sudah berteman lama. Mereka bisa masuk ke celah-celah pergaulan yang gue bahkan nggak menyadari bahwa itu ada. Kalaupun gue sadar akan keberadaan celah itu, jiwa introvert gue mungkin akan berbisik kalau gue pasti nggak akan pernah bisa masuk ke sana sekeras apapun gue mencoba. Menjadi orang yang sibuk dengan dunianya sendiri memang nggak gampang, karena ketika mereka dihadapkan dengan dunia nyata kadang-kadang panik. “Gue harus gimana ya?” itu adalah pertanyaan yang sering muncul di kepala gue. Bagaimana orang-orang di sekitar gue bergaul kadang-kadang membuat gue sangat terpukau gitu. “Bisa ya ada orang supel kayak gini?” Meanwhile gue sadar kalau gue hanyalah seonggok daging yang nggak akan memulai pembicaraan kalau nggak perlu dan kalau nggak diajak ngomong duluan. But wait until I feel comfort around you, I’ll be that crazy guy you’ve never met before.
Author's Pick
Bucin Usia 30
Satu hal yang gue sadari belakangan ini seiring dengan pertambahan usia adalah kenyataan bahwa gue mulai merasakan perasaan-perasaan yang ng...

More from My Life Stories
Podcast ngedrakor!
Podcast KEKOREAAN
#ISTANEXO

My Readers Love These
@ronzzyyy | EXO-L banner background courtesy of NASA. Diberdayakan oleh Blogger.