• Home
  • Explore Blog
    • K-Pop
    • EXO
    • Concert Experience
    • GMMTV's The Shipper Recap
    • Film
    • Self Reflection
    • My Trips!
      • New York Trip
      • Seoul Trip
      • Bangkok Trip
      • London Trip
  • Social Media
    • YouTube
    • Twitter
    • Instagram
    • Facebook
    • Email Me
  • My Podcasts
    • Podcast KEKOREAAN
    • Podcast ngedrakor!
  • NEW SERIES: 30 and Still Struggling
kaoskakibau.com - by ron

Di tengah keramaian masyarakat soal saham SM dibeli HYBE (yang mana demi kesehatan mental diri sendiri, gue memutuskan untuk tidak mengikuti secara detail isu ini karena jujur sekarang K-Pop mulai melelahkan secara industri tapi tetap menyenangkan secara lagu dan konten) gue mau sedikit cerita soal pengalaman gue di KWANGYA@JAKARTA.

Sejak awal dinding toko di Lotte Shopping Avenue itu ditutup poster, gue udah bersemangat buat ini. Ada ekspektasi besar yang gue bikin (dan seharusnya nggak gue bikin karena semua ekspektasi yang tidak kejadian akan berujung kecewa, dan gue nggak suka kecewa) sampai-sampai rasanya seperti kembali ke masa-masa awal usia 20 tahunan dulu dalam hal. Gue riset soal lokasi ini, gue bikin tag location-nya di Google Maps, waktu dapat kesempatan liputan ke sana pas opening day, gue pun kepo banyak hal soal isi dari KWANGYA@JAKARTA.

Mungkin gue perlu kali ya menjelaskan soal ekspektasi yang gue tulis di atas.


Gue nggak mau kepedean tapi gue harus bangga pada diri gue sendiri: gue udah mulai bisa membentengi hati dari kebucinan. WKWKWKWKKW. Lucu banget rasanya ngomong gini seolah-olah nggak akan ada apapun di dunia ini yang akan bikin gue bucin sepanjang sisa hidup gue. Tapi karena sekarang gue sedang fokus menjalani ‘hari ini’ jadi gue juga akan fokus untuk menghargai pencapaian gue ‘hari ini’. Di beberapa tulisan sebelumnnya, gue pernah cerita soal bagaimana gue bucin di usia 30. Sekarang, dua tahun berselang dari tulisan itu (kayaknya, atau mungkin udah tiga tahun), gue bisa dengan percaya diri bilang kalau gue sudah move on dari perasaan-perasaan bucin itu. Semua berawal dari seonggok daging hidup yang kita sebut saja namanya Max.

Gue sama sekali nggak kenal siapa Max sebelumnya. Tiba-tiba aja sosok ini masuk ke dalam hidup gue dalam kelebatan-kelebatan di lorong, di lift, di antara kubikel-kubikel meja kerja. Bahkan gue sama sekali nggak tahu siapa namanya ketika pertama kali lihat dan tertarik. Gue menyebutnya sebagai ‘si itu’ ketika bicara soal dia ke temen gue lewat chat.

“Hari ini si itu pake baju item.”

“Hari ini dia potong rambut.”

“Kayaknya baru minggu lalu deh dia potong rambut tapi hari ini rambutnya udah potong lagi?”

“Hari ini dia pake sweater coklat.”

“Hari ini dia makan gorengan di meja kayak kocak banget deh.”


Oh hai, selamat tahun baru! Gimana kabar lo? Masih sibuk memikirkan resolusi meski udah mau seminggu sejak pergantian tahun, atau sekarang udah yakin untuk menjalani hidup dengan ‘yaudah ikuti ke mana angin berembus saja’? Kalau lo masih stuck di mencari resolusi, gue berharap lo bisa menemukan apapun yang ingin lo capai tahun ini dan benar-benar mencapainya. Tapi kalaupun tidak, kalaupun lo memutuskan untuk mengikuti ke mana angin berembus, gue berharap angin akan membawa lo ke tempat-tempat yang indah dan membuat hati lo damai. Kalau kata drama Korea (Reply 1988 kalau nggak salah), lo juga perlu beli sepatu baru supaya sepatu itu bisa membawa lo ke tempat-tempat yang menakjubkan sepanjang tahun ini.


Gue menutup pintu kamar hotel itu dengan perasaan seperti mengambang. Gue tidak merasakan kaki gue menjejak di lantai sama sekali. Tentu saja, aslinya nggak gitu. Aslinya tetap menjejak. Gue kan bukan hantu dan nggak punya kekuatan levitasi sama sekali. Tapi indera perasa yang ada di telapak kaki gue seperti mati sesaat. Tadi lantai itu dingin. Dingin sekali. Tapi sekarang rasanya seperti kosong. Badan gue mendadak terasa sangat lelah. Obrolan yang lebih dari dua jam itu ternyata jauh lebih melelahkan daripada setengah jam yoga. Energi gue seperti terkuras habis, seperti yang gue prediksi, dan kelelahan seperti menguasai diri. Gue seolah nggak bisa lagi berpikir meski sebenarnya masih banyak hal yang harus gue pikirkan. Masih banyak hal dari obrolan gue malam itu yang perlu gue olah dan pilah. Tapi malam ini gue capek. Besok gue harus kembali ke Jakarta dan gue nggak mau membawa pulang perasaan aneh seperti ini.

Tarik napas. Embuskan. Tarik lagi. Embuskan. 

Gue mengulangi mantra ini sejak siang karena beberapa hal. Sebenarnya kondisi hati gue hari ini nggak terlalu yang gimana-gimana banget. Sedikit excited sih, karena gue mau ketemu sama beberapa orang. Satu adalah orang yang gue kenal online dan berharap bisa ada sesuatu di antara kami walaupun kalau boleh jujur percakapan kita di chat semuanya flat dan one liner tapi gue memutuskan untuk tidak nge-judge sampai kita benar-benar ketemu dan ngobrol. Yang satu lagi... wah ini panjang ceritanya. Tapi long story short, pertemuan dengan orang yang kedua ini sudah melewati waktu berpikir yang sangat panjang. Banyak orang menyarankan gue untuk tidak melakukannya, tapi gue memilih untuk mendengarkan diri gue saja tidak mendengarkan orang lain. Maaf ya teman-teman baikku. Aku beneran penasaran sama akhir ceritanya, makanya aku bandel. Wkwkwkwkwkwkw...

Gue sedang dalam perjalanan pulang dari rumah sakit menuju kosan di suatu hari Rabu, dengan kondisi mata dan kepala yang berat banget karena ngantuk dan perut yang mules entah karena belum sarapan atau belum ngopi. Seharusnya semalam gue tidur lebih cepat karena paginya ada jadwal kunjungan ke dokter. Tapi gue benar-benar lupa karena malamnya gue nonton Avatar (re-release) di IMAX dan memesan tiket jam 8 lebih 40 malam waktu Jakarta. Film selesai sekitar tengah malam dan gue sampai kosan setengah satu pagi apa deh. Tapi gue nggak langsung tidur malah main Genshin Impact sampai jam setengah dua. Di situlah gue baru sadar kalau paginya gue harus ke rumah sakit. Kalau kata Piko ini fucked up banget sih. Gue nggak mungkin membatalkan kunjungan ini karena obat gue juga udah abis, jadi gue buru-buru tidur dan berharap bisa bangun sepagi mungkin.

Kalau gue bukan pasien BPJS mungkin gue nggak perlu repot-repot melakukan ini. Gue bisa ke rumah sakit kapan aja sesuai perasaan hati. Tapi karena iuran BPJS nggak semahal asuransi swasta jadi gue memilih menggunakan fasilitas ini buat berobat. Jadi pagi itu, as expected, gue berangkat terlambat ke rumah sakit. Rencananya gue mau berangkat jam 7 kurang biar sampai di sana pas jam 7 jadi gue bisa masuk ke ruang konsultasi lebih cepat. Tapi gue telat satu jam dan itu bikin gue dapat giliran konsultasi jam 10 pagi. Dua jam nunggu dan kondisi gue udah nggak jelas banget. Ngantuk, laper, capek, pengin berbaring, tapi juga pengin dapet obat lebih cepat. Gue nggak mau repot-repot nunggu obatnya karena bisa diambil sore, jadi gue langsung pulang ke kosan sehabis konsultasi.

Seperti biasa gue selalu memutar musik kalau lagi di atas motor. Meski terdengar tidak aman, tapi ini mengurangi keinginan gue buat marah-marah dengan suara motor di sekitar, apalagi kalau ada orang pake knalpot yang gede banget lubangnya itu dan suka nyemprot angin ke muka gue kalau tiba-tiba dia ada di depan motor gue. Gue sumpahin orang-orang ini kentutnya bau banget sampai orang-orang di sekitarnya nggak nyaman dan pergi dari hidupnya. Maaf jahat tapi gue tulus kok ini mendoakannya. Biasanya gue nggak memutar lagu dalam kondisi shuffled. Agak ngeselin, gue punya kecenderungan menjadi sangat perfeksionis untuk hal-hal yang tidak perlu seperti misalnya kalau lagu di playlist gue nggak keputer sesuai urutan. Misalnya gue lagi dengerin album Purpose-nya Taeyeon yang selalu gue mulai dengan Here I Am dan berakhir di Gravity lalu kembali lagi ke Here I Am. Dari track 1 sampai track terakhir, meski gue tidak hapal kalau disuruh ngurutin daftar track-nya, tapi gue sudah hapal dan ingat abis lagu A pasti lagu B. Kalau tiba-tiba ke-shuffle ke lagu F, gue pasti gemeter tuh di atas motor dan bisa melipir dulu ke pinggir buat set itu tombol shuffle biar dimatiin.

Gue sefrik itu sih asli.


Gue merasa sangat aneh beberapa minggu terakhir ini. Gue kehilangan semangat untuk melakukan banyak hal, gue kehilangan mood untuk melakukan segala hal. Rasanya seperti kembali ke masa-masa terpuruk gue beberapa bulan lalu ketika semua perasaan menyerbu di saat yang sama dan gue nggak punya pertahanan yang cukup kuat untuk menghalau mereka satu per satu. Rasanya seperti ada yang aneh. Semua tembok baja yang belakangan berdiri kuat di setiap sudut hati dan sudut kepala gue, yang akan menghadang semua pikiran-pikiran dan perasaan negatif, seperti pelan-pelan ambruk tanpa sebab yang jelas. Satu hal yang paling gue nggak sukai dari hidup adalah ketika gue berada dalam posisi gue nggak tahu sedang merasakan apa. Apakah ini sedih? Apakah ini kecewa? Apakah ini marah? Perasaan apa sih yang sedang gue rasakan ini? Apakah ini campuran dari dua perasaan pertama? Ketiganya? Atau malah bukan tiga-tiganya? Akan lebih mudah untuk mencari solusi dari sebuah permasalahan kalau kita tahu masalahnya apa. Akan lebih mudah untuk mencari pengalihan perhatian dari sebuah perasaan kalau kita tahu apa yang kita rasakan. Tapi kondisi gue di beberapa minggu terakhir ini bener-bener campur aduk, atau dalam bahasa gue: begajulan.

I feel exhausted. Even when I’m not busy at all.


Pernah ada teman gue yang datang dari Lombok dan menginap di salah satu hotel di pinggiran Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, dan dia mengaku diganggu sama makhluk halus. Lampu kamarnya tiba-tiba mati-nyala-mati-nyala, bahkan ketika teman sekamarnya lagi mandi, lampu kamar mandi mendadak mati. Ketika dia cerita ke gue, gue cuma bisa ketawa karena memang ceritanya (atau mungkin cara dia menceritakannya yang membuat itu jadi) lucu (walaupun menurut dia itu teror menyeramkan), di situ gue baru menyadari satu hal: selama hampir 10 tahun gue di Jakarta, gue nggak pernah lagi merasakan takut pada makhluk-makhluk halus atau yang biasa kalian sebut hantu (pakai suara Prilly Latuconsina di trailer Danur 1). Akhirnya gue bilang ke temen gue,


Sekitar tahun 2014 atau 2015, ketika gue belum jadi pengendara motor di Jakarta, gue pernah pinjam motor teman gue untuk pergi ke daerah Blok M. Niatnya sore itu di sela-sela jam kerja yang nggak terlalu padat gue mau ke money changer. Kalau nggak salah inget waktu itu gue baru pulang dari liputan di Korea atau New York gitu deh dan ada sisa uang yang perlu gue tuker balik ke Rupiah. Karena gue sedang malas naik Metro Mini ke kawasan Blok M (ya, dulu masih ada Metro Mini) karena jurusan Blok M – Pasar Minggu – Blok M itu Metro Mini-nya luar biasa melelahkan kala itu (kalau nggak salah jalan layang buat TransJakarta dari Tendean ke... mana tuh, Tangsel? Belum jadi dan macetnya di situ minta ampun deh kalo di jam-jam sibuk) gue pun memutuskan untuk pinjem motor aja. Gue awam sama jalanan Jakarta di jalur pemotor kala itu karena memang selama ini selalu menggunakan angkutan umum. Tapi kurang lebih gue tahu jalannya karena sering naik angkutan umum.

Ketika gue pinjem motor itu gue nggak nanya motornya apa (atau sebenarnya gue nanya tapi gue nggak pernah ngeh brand dan bentukan tipe motor tertentu, yang gue tahu cuma Mio, atau Honda Beat, dan semacam itu. Brand di luar itu gue cuma bisa hah heh hoh doang), temen gue ngasih STNK dan gue pikir itu sudah cukup buat memberitahu gue motornya yang mana. Gue toh bisa lihat nomor kendaraannya di STNK dan mencari motor itu di parkiran. Permasalahannya adalah gue nggak pernah parkir motor di situ dan nggak tahu flow parkiran kantor kayak gimana. Maksud gue... kalo parkiran Mal kan udah jelas ya jalan masuknya di mana keluarnya di mana. Kalau di kantor gue waktu itu agak... berantakan.

Sesampainya gue di parkiran, gue agak bingung dan muter-muter selama lima sampai sepuluh menit nyari motor itu. Tapi gue nggak mau menyerah dan gue terus berusaha buat ngecek motor itu di posisi yang temen gue kasih tahu. Tetep aja motor itu nggak ketemu juga. Sampai akhirnya satpam yang nungguin parkiran nyamperin gue, dengan wajah dan nada bicara yang agak kesal.


Jauh sebelum pandemi, ketika gue masih tinggal di kosan yang udah gue tempati selama sekitar empat atau lima tahun di pinggiran Jakarta Selatan (yang sebenarnya nggak ideal-ideal banget buat ditempati tapi cukup membuat gue nyaman karena harganya murah banget), gue nggak pernah melewatkan waktu untuk cari tempat duduk sambil nulis. Gue mungkin udah beberapa kali nyebut soal bagaimana gue sangat suka nongkrong di McDonald’s Kemang dari malam sampai jelang subuh cuma buat nge-blog di sana. Walaupun gue nggak terlalu suka keramaian ketika sedang nulis karena terkadang tempat yang terlalu ramai bisa sangat membuyarkan imajinasi dan pikiran, tapi keramaian di tempat itu terbilang... inspiratif. Biasanya gue akan memutar musik di laptop atau handphone dan mendengarkan lewat headphone sambil nulis supaya gue nggak mendengar berisiknya orang-orang yang ada di sekitar, lalu bisa fokus ke hal yang ingin gue tulis. Tapi kadang-kadang gue pakai headphone tanpa memutar musik sama sekali jadi gue bisa tetap mendengarkan obrolan orang yang ada di meja sebelah gue sambil terus menulis. Kadang-kadang hal ini juga cukup banyak memberikan gue inspirasi. Mungkin nggak langsung bisa gue tulis hari itu, tapi bisa jadi di kemudian hari. Seperti hari ini misalnya.


Gue sedang menunggu Lola, Ayu dan suaminya, Awent, di suatu sore jelang buka puasa di sebuah hotel di Mataram. Kami hari ini berencana buat buka puasa bareng setelah beberapa tahun nggak ketemu dan melakukan ini. Sebenarnya ada dua orang lagi di geng ini tapi mereka berhalangan hadir jadilah kami hanya bertiga plus Awent sebagai penggembira. Mengatur sebuah acara buka puasa memang bukan perkara mudah, gue tahu. Tapi gue kira itu hanya terjadi buat orang-orang yang mengurus buka puasa buat 40 orang atau satu angkatan SMA atau kuliah. Tapi ternyata ngurus geng yang isinya lima orang ini aja ribet banget. Dan gue kira, dramanya sudah selesai sehabis dua orang tidak bisa datang dan hanya tiga orang yang konfirmasi. Ternyata sesampainya di lokasi, masih ada drama lain: meja kami nggak ada.


Gue tiba-tiba ingat satu doa yang gue panjatkan di sebuah masa, setiap selesai salat, ketika gue merasa gue butuh seseorang untuk dipegang tangannya, untuk ditelepon sebelum tidur, ketika gue merasa gue menyukai seseorang dan ingin dia jadi bagian dari hari-hari gue, paling tidak sampai kami merasa kami masih saling membutuhkan. 

Gue sedang duduk di salah satu kafe di pinggiran Mataram, tempat yang sebelumnya diperkenalkan oleh Lola. Gue memutuskan buat mampir ke sini di Sabtu sore jelang maghrib karena gue sedang tidak baik-baik saja. 

Gue sedang berada dalam fase-fase bingung dan kosong dan nggak tahu sedang ingin apa. Gue duduk di kursi dekat jendela, kursi untuk empat orang tapi gue tempati sendirian, mendengarkan lagu Orla Gartland yang judulnya Why Am I Like This? yang anehnya mood-nya sangat pas dengan gue hari ini. Gue sebenarnya sedang kenapa sih?

"I got my mistakes on loop inside my head..."


“Malam ini ke mana? Keluar yuk, bosen nih.”

Gue kirim pesan itu ke Lola, teman karib gue sejak SMA. Gue lagi di Lombok by the way, lagi libur Lebaran setelah dua tahun terakhir gue Lebaran di kosan sendirian aja karena pandemi. Sekarang setelah tiga kali vaksin gue rasanya lebih berani pulang-pergi ke kampung halaman. Di 2022 ini aja gue udah tiga kali pulang saking beraninya.

Hari itu Sabtu. Gue sejak beberapa hari terakhir cuma tidur-tiduran saja di rumah karena menikmati waktu kosong tanpa bekerja dan nulis artikel. Ada beberapa artikel yang harus gue kerjakan Sabtu ini tapi gue akan free di malam harinya. Jadi gue pikir sepertinya akan menarik kalau gue ngajak Lola buat pergi-pergi. Dia bukan orang yang ribet buat diajak pergi-pergi dan selalu mau.

Geng SMA gue ada lima orang termasuk gue. Empat yang lainnya perempuan dan tiga di antara mereka sudah nikah. Lola masih sendiri dan gue selalu sendiri karena memang gue tidak ada keinginan sama sekali buat berumah tangga. Jadilah gue sama Lola sering banget main bareng kalau gue lagi pulang kampung. Sudah cukup lama juga kita nggak ketemu karena pandemi. Jadi mumpung gue lagi di rumah, gue jadi agak clingy sama dia dan ngajak-ngajak dia terus seolah-olah dia nggak punya kerjaan lain. WKWKWKWKWKKW. Gue nggak bisa ngajak temen-temen segeng gue yang lain karena sudah berkeluarga. Tahu diri aja gue nggak mungkin ngajak ibu-ibu nongkrong di kafe sementara anaknya dibiarin sama suami kan. Di titik ini gue sedang merasa bahwa gue tidak bisa seperti mereka yang mengemban tanggung jawab sebesar itu. Jadi gue lebih menikmati waktu sendiri gue saja bersama orang-orang yang sendirian juga seperti Lola.

Tapi malam itu rupanya Lola nggak sedang sendirian.

Sial.


Satu hal yang gue sadari belakangan ini seiring dengan pertambahan usia adalah kenyataan bahwa gue mulai merasakan perasaan-perasaan yang nggak pernah gue rasakan sebelumnya. Bayangin lo dalam kondisi bucin di usia 15 tahun, dan ketika lo masuk usia 30 kebucinan lo bukannya semakin berkurang tapi jadi dua kali lipat. Bahkan mungkin lebih, tergantung situasi dan kondisi lo saat itu. Kabar baiknya adalah ketika lo bucin di usia 30, lo akan lebih mengerti bagaimana menghadapinya. Lo bisa mengatasi perasaan meledak-ledak lo, lo bisa lebih mengontrol emosi, bisa berusaha meredam, bisa mengerti bahwa semua perasaan ini nggak akan ada gunanya kalau tidak diutarakan, dan ketika lo sudah siap mengutarakannya lo sudah harus siap juga menerima hal terburuk yang mungkin akan terjadi di hidup lo saat itu. Tapi itu bukan yang terakhir karena siklusnya akan berulang, lagi, dan lagi.


Simpel. Renyah. Ringan.

Tiga kata ini yang pertama kali kepikiran ketika gue selesai nonton 8 episode Semantic Error. Sebuah serial pendek-pendek yang nggak perlu mikir panjang untuk memulainya (karena semua orang kayaknya ngomongin ini dan gue sebagai masyarakat yang gampang terbawa arus pergaulan juga harus mencoba menyaksikannya agar jadi relevan), juga nggak perlu menunda-nunda buat menyelesaikannya. Durasi yang singkat per episode membuat Semantic Error terasa sangat enak buat ditelan mentah-mentah tanpa harus berspekulasi banyak hal tentang karakternya atau cari tahu lebih banyak kenapa si ‘ini’ begini dan kenapa si ‘itu’ begitu. Kapan terakhir lo nonton drama Korea tanpa benar-benar berpikir? Terima kasih Twenty-Five Twenty-One yang sudah mengeruk isi kepala gue selama beberapa pekan lalu mengacaukan semuanya dengan ending yang paling tidak menyenangkan sepanjang sejarah Hallyu di Indonesia.


Sebulan terakhir ini hidup gue terasa seperti “neraka”. Agak lebay sebenarnya menyebut deretan kejadian yang gue alami sebagai “neraka” tapi masing-masing orang punya standar tertentu terhadap sesuatu, kan? Atau ini gue hanya terdengar mencari pembenaran aja?

Anyway, setahun lebih yang lalu gue memutuskan untuk menjadi pelanggan sebuah provider wifi. Ini adalah sebuah keputusan yang besar dalam hidup gue karena gue belum pernah melakukan ini sebelumnya dan hal ini membutuhkan sebuah komitmen. Tapi karena momen WFH gue rasa akan sangat masuk akal kalau gue pasang wifi instead of gue pakai paket data di handphone lalu tethering ke laptop untuk kerja. Kantor gue harusnya memfasilitasi internet sih karena internetnya digunakan buat bekerja tapi yah itu tidak terjadi dan gue menjalankan komitmen ini sendiri.

Jujur gue nggak pernah punya masalah sama koneksi internetnya. Dibandingkan dengan provider lain, internet yang gue pakai ini nggak pernah terasa lemot atau gimana. Setidaknya ketika gue butuh, dia selalu ada.

Di awal-awal sih begitu.


Pada dasarnya gue memang suka nulis dan terbiasa menuliskan apa yang gue rasakan untuk sekedar membuat pikiran gue sedikit lega. Kebiasaan yang cukup membahayakan buat gue karena gue pun juga sangat aktif di media sosial. Tapi sekarang mulai bisa ngurang-ngurangin sih. Ehehe... Mereka yang berteman dengan gue di semua media sosial sejak lama pasti pernah menangkap sinyal-sinyal curhatan lebay soal banyak hal, atau kalimat-kalimat ambigu dan berada di wilayah abu-abu tentang beberapa hal (atau mungkin beberapa orang). Gue bersyukur banyak dari orang-orang itu nggak peduli dan kalaupun ada yang peduli dan langsung tanya ke gue, mereka bukan orang yang membuat gue tidak nyaman. Kebiasaan ini kadang-kadang bikin ketergantungan. Setiap kali sedang mengalami guncangan emosi, karena nggak ada manusia langsung yang bisa diajak berbincang, kadang-kadang secara otomatis otak gue akan memerintah tangan buat ambil hanphone, jempol nge-tap Twitter, lalu menulis semua yang ingin gue tuliskan.

Di posisi gue mungkin itu terasa sangat wajar.

“Ya kan akun-akun gue. Perasaan juga perasaan gue!”

Tapi di posisi orang yang baca tweet itu, “Apaan sih lu?”


Kenapa ya, setiap ada sesuatu hal mengecewakan terjadi, ujung-ujungnya gue selalu merasa kalau gue sedikit banyak juga berkontribusi pada hal tersebut?


Nungguin tanggal 27 Mei 2021 adalah hal ketiga yang paling mendebarkan sepanjang satu bulan kemarin. Sebelum kita masuk ke situ, mungkin ada baiknya gue kasih tahu dulu apa hal pertama dan keduanya. Walaupun nanti pas lo udah tahu hal ketiganya apa, lo pasti akan kayak, “Anjing! APAAN SIH LU RON?!” gitu deh gue yakin. Kata “anjing”-nya boleh disensor kalau lo adalah penganut paham aku-tidak-boleh-mengumpat-sebelum-karena-itu-dosa.

Hal pertama yang paling mendebarkan buat gue sepanjang Mei 2021 adalah tanggal 3 karena itu adalah hari ulang tahun gue. Gue nggak tahu kenapa tapi setiap tahun rasanya selalu berdebar menunggu pergantian dari tanggal 2 Mei ke tanggal 3 Mei. Mau bagaimana pun gue berusaha untuk mengabaikan dan tidak menghiraukannya, gue tahu hari itu tanggal 2 Mei dan gue tahu besok tanggal 3, jadi gue tetap deg-degan. Yang lebih mendebarkan lagi sebenarnya karena tahun ini gue genap berusia 30. Aneh banget rasanya... jujur, mungkin ini adalah awal dekade paling aneh dalam hidup gue. Jelas gue nggak inget apa yang terjadi ketika gue berulang tahun yang ke-10, dan gue samar-samar mengingat hari ulang tahun gue yang ke-20. Memasuki usia 30 tuh antara penasaran sama apa yang akan terjadi dan tidak ingin itu benar-benar terjadi. Semacem gue pengin terjebak aja di usia 24 atau 25 gitu so I’ll be forever young. Tapi gue kemudian sadar betapa menyebalkannya hidup gue di usia itu dengan segala kegalauan dan tetek bengek soal kasih tak sampai (HALAH AHHAHAHAHA) jadi gue pikir, oke, gue akan menyambut 30 seperti gue menyambut 20 saja.


Gue terkesan banget sama episode 1 SM Culture Universe (SMCU) di comeback aespa kemaren. Walaupun gue nggak suka lagu Next Level (jujur wkwkwkwk) tapi setidaknya ada hal positif dari comeback aespa ini yang bikin gue semangat. Nggak cuma semangat menunggu apa lagi nih yang bakal ditampilkan SM ke aespa berikutnya, tapi bagaimana SM bakal mengembangkan SMCU ini.

Gara-gara episode 1 SMCU yang Black Mamba itu, ada beberapa pertanyaan yang cukup mengganggu gue. Mau sampe kapan ini konsep akan dilakukan? Siapa aja nih grup yang bakal masuk ke universe ini? Grup senior masuk nggak nih? aespa jadi pembuka doang kan, berarti ada kemungkinan juga dong comeback EXO berikutnya bakalan masuk sini juga?


Gue setuju banget sama tulisan yang berseliweran di media sosial yang bilang “Anak muda merasa nggak keren kalo tidur cepet dan ingin stay up all night. Tapi nanti ketika lo udah masuk ke usia-usia dewasa lo akan sadar betapa tidur itu sangat menyenangkan dan lo butuhkan.”

Pernah ada di satu masa gue sangat suka banget begadang. Bukan party-party tapi ya WKKWKWKW biasanya gue begadang kalau lagi nulis, ngeblog, atau nyiapin project buat konser gitu (karena dulu sering bikin fan support buat beberapa grup yang gue datengin konsernya). Tidur bukanlah sesuatu yang gue prioritaskan di awal usia 20 gue. Kayak... begadang is cool! Tapi setelah dua atau tiga tahun di dunia kerja gue kemudian merasa bahwa tidur itu adalah sesuatu yang mahal banget. Terutama tidur nyenyak.

Karena sibuk dengan urusan kantor kadang-kadang gue suka mengorbankan jam tidur untuk bekerja. Sampai akhirnya gue tiba di satu titik di mana setiap weekend gue selalu tepar blasssssss tidur seharian dan bangun tengah hari bolong gitu cuma buat ke kamar mandi dan salat zuhur lalu kemudian tidur lagi sampai asar. Since gue juga bukan morning person (gue nggak tahu ini sejak kapan kebiasaan ini terbentuk) barulah setelah asar atau jelang maghrib gue bisa 100% sadar. Sampai akhirnya gue akan terbangun sampai tengah malam atau dini hari dan baru tidur di jam-jam yang seharusnya gue bangun buat memulai hari sepagi mungkin.

Begitulah lingkaran setan.


Gue baru pulang kantor dan lagi main Genshin Impact sambil teleponan sama beberapa temen malam itu. Kita kebetulan lagi ngumpul random buat ngegosip soal Aurel dan KD. Sesi gosip seru yang seharusnya emang lebih sering kita lakukan karena siapa sangka gosip-gosip lokal kayak gini bikin pertemanan jadi lebih erat. Lalu salah satu dari temen gue ngomong.

“KAK KAK KAK EXO RILIS TEASER!”

Gue awalnya nggak percaya karena kayak dari kemarin gue udah ngeluh-ngeluh sendiri soal teaser yang nggak keluar-keluar sejak video spoiler itu. Tapi gue agak panik juga. Gue lepas stik PS4 gue dan ambil handphone terus buka Twitter.

“NGGAK ADA DI TWITTER!”

“ADA ITU KAMU REFRESH AJA BARU GANTI AVATAR!”

Dan ternyata bener. Admin @weareoneEXO memang kalau urusan EXO sangat gercep sesuai timeline agensi sementara kalau urusan promosiin album solo atau perilisan single solo Lay lelet banget kayak siput penyakitan.


Pertama-tama, istigfar dulu karena gue sudah sampai sejauh ini di universe GMMTV jalur 2gether The Series. 

Astagfirullahaladzim 99x. 

Di saat teman-teman gue yang tahun lalu, waktu di awal-awal pandemi, ramai bahas Sarawatine; kini sudah nggak lagi menyinggung tontonan setiap Jumat malam ini, gue malah sejak itu ngikutin terus sampai sekarang. 

Astagfirullahaladzim 99x. 

Memang nasib manusia nggak ada yang bisa nebak.

Buat yang udah sempat baca blog ini beberapa lama mungkin tahu gue suka banget sama The Shipper. Menurut gue itu adalah series terkocak, terbaik, termenyenangkan, terseru, teranjir-kok-jadi-gitu-akhirnya, dan termengoyak hati. Karena gue belum banyak nonton series serupa dari GMMTV (dan malas buat menyaksikan judul-judul lain yang sudah tayang dulu-dulu kecuali Sotus dan Sotus S), sejauh ini The Shipper masih over the top. Belum ada yang bisa ngalahin.

Lalu datang Fish Upon the Sky.

Sejak pertama kali Baekhyun rilis album solo, gue nggak merasa cocok dengan genre musik yang dia nyanyikan. Gue yang selalu berharap Baekhyun rilis album solo dengan lagu-lagu pop-rock atau ballad dikasih lagu yang berat banget R&B gitu jadi pusing. Memang sih gue nggak bilang gue nggak suka genre R&B karena kayaknya cukup banyak lagu di genre ini yang bisa gue nikmati. Beberapa tahun belakangan misalnya gue suka banget sama lagu No Scrubs-nya TLC. Gue nggak yakin ada yang tahu lagu ini sekarang karena ini lagu tua banget sik.


Sejak awal bulan puasa ini, doa gue cuma satu: semoga gue nggak lagi jadi orang yang insecure. Tapi gue nggak yakin insecure bisa mewakili banyak sekali hal yang sebenarnya gue inginkan tahun ini. Kayak semisal gue nggak pengin lagi jadi orang yang nggak percaya diri, gue nggak pengin lagi jadi orang yang selalu merasa diri nggak layak, gue nggak pengin lagi jadi orang yang selalu merasa jelek, dan gue nggak lagi jadi orang yang nggak bisa jadi dirinya sendiri.


Terakhir kali gue nulis soal EXO adalah curhatan tentang fans yang... yeah, well, lo bisa baca sendiri. WKWKKWKW. Tapi izinkan gue sekali lagi memberikan sebuah permakluman(?): tulisan itu dibuat dalam kondisi emosi yang tidak stabil, tulisan tengah malam, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi perasaan penulis. Yang bisa gue pastikan adalah pendapat gue tidak berubah sih, paling nggak untuk saat ini. Tapi di tulisan kali ini gue nggak mau membahas soal itu karena yah biarkanlah itu jadi satu realita di fandom yang memang akan sulit diubah dan nggak akan hilang dengan segera. Jadi ya sekarang ngefans masing-masing aja.


Kalau boleh jujur nih (YA BOLEHLAH! WKWKWKKW ORANG BLOG SENDIRI), gue tuh orangnya sangatlah bucin. Kayak, gue pikir gue bakal bucin cuma sama idol K-Pop doang atau bintang film yang baru kemarin gue tonton, atau berharap ada film lain yang diperankan oleh Ryan Gosling dan Emma Stone (SOALNYA GUE SUKA BANGET LA LA LAND). Gue pikir gue bakalan bucin sama hal-hal halu semacem itu doang. Walaupun memang gue akui di area itu gue juga bisa jadi sangat bucin sih (kayak gue akan nggak segan-segan print foto bias gue buat ditaroh di dompet misalnya) tapi in real life ternyata gue bisa sebucin itu sama manusia.

It’s not that I just realized this now... soalnya kalau temen-temen gue baca ini mereka bakal bilang “YA EMANG! LO KEMANA AJA SELAMA INI?!” padahal ini kan hidup gue ya, ya gue di sini-sini aja gak sih WKWKWKWKWK. Tapi mungkin lebih karena udah cukup lama gue rehat(?) dari perasaan-perasaan bucin itu.

Gue baru sadar satu hal lain dari diri gue. Sesuatu yang sebelumnya nggak pernah gue perhatiin atau gue terlalu pikirin. Ya memang belakangan ini semua hal gue pikirin banget. Wkwkkwkw. Takut kalau tweet gue yang tadi akan menyakiti, takut kalau chat gue ke si anu bakal dianggep macem-macem, takut kalau update-an story gue di Instagram malah jadi gimana gitu. Sebenarnya kalau boleh jujur, gue nggak suka nih sama kebiasaan yang kayak gini. Walaupun di satu sisi memang gue jadi lebih harus hati-hati dalam bertindak, tapi di sisi lain melelahkan juga kalau semuanya harus dipikirin. Bahkan hal-hal kecil pun harus disesali juga. Ya tapi gue sedang berusaha untuk mengatasi itu.

Orang yang kenal gue atau pernah ketemu gue pasti tahu kalau gue ini orangnya banyak bicara banget. Kadang-kadang, dipertemuan pertama, gue saking salah tingkahnya jadi suka sok akrab dengan cara membeberkan hal-hal yang lebay. Semacem TMI banget gitu deh. Kayak yang tadi gue bilang di awal, gue dulunya nggak pernah menyadari ini atau mempermasalahkan ini. Tapi belakangan gue benar-benar kepikiran dan membuat gue jadi suka mengutuk diri gue sendiri atas apa yang tadi sudah gue lakukan.

Kayak, “duh harusnya gue nggak ngomong gitu!”, atau, “ih apaan sih, ngapain juga bahas hal itu!” Kalau ada hal yang paling gue sukai di dunia ini adalah bicara dengan diri sendiri, dan kalau ada hal yang paling nggak gue sukai di dunia ini adalah bicara dengan diri sendiri dan menyesali apa yang sudah gue lakukan sejam yang lalu, sehari yang lalu, seminggu yang lalu, bahkan bertahun-tahun yang lalu.

It sucks.


Gila udah berapa lama gue nggak nulis di blog ini? Setelah ulang tahun blog ini yang ke-10, padahal gue udah niat banget mau kembali rajin dan rutin menulis lagi meski pendek-pendek. Tapi yah.... memang namanya manusia cuma bisa berencana. Pada akhirnya yang menentukan adalah mood dan deretan drama Korea yang menunggu buat ditonton.


Kalau lo tahu dua minggu lagi dunia akan kiamat, apa yang akan pertama kali lo lakukan?

Hihihi... ketika gue nulis kalimat di atas gue juga jadi mikir. Apa yang akan gue lakukan ya? Di umur sekarang masih banyak hal yang ingin gue kejar (meski capek juga sih ngejer terus, kapan gue yang dikejar? #ea #apanih) dan masih banyak juga yang ingin dicapai. Tapi kalau cuma punya waktu dua minggu untuk hidup, sebagai masyarakat Asia dengan budaya ketimurannya (hihihi) pastilah gue akan pulang kampung dan bertemu Mama. Tapi masalahnya adalah kalau semua orang tahu dua minggu lagi akan kiamat, pastilah semua orang akan panik, bahkan kiamat belum kejadian saja udah kiamat duluan karena panik.

Tapi apa jadinya setelah kepanikan itu, lo kemudian mendengar kabar terbaru bahwa pemberitahuan soal kiamat itu hoax. Lo sudah ketipu.

Wah... WAH GILA SIH. WAH WAH WAH WAH...

Bahkan membayangkannya aja gue sudah dendam. Apalagi benar-benar merasakannya. Nggak sanggup deh gue untuk menahan sakit hati. Rasanya beneran pengin ngedorong itu orang yang nyebarin hoax ke dalam sumur, terus sumurnya dikasih gas beracun, terus ditutup lubang sumurnya agar abadi di alam baka.

(anjir ini pikiran gue jahat banget ya)

(astagfirullah)

(ampuni aq ya Allah)

Tapi kurang lebih itu yang terjadi sama Kim, karakter yang diperankan Maisie Williams, di serial 6 episode berjudul Two Weeks To Live ini. Selama ini dia hidup dalam pengasingan yang sebenarnya disengaja tapi dia sama sekali nggak pernah diberitahukan alasan yang sebenarnya. Yang dia dengar selama ini dari Tina, ibunya, adalah kebohongan demi kebohongan. Kim beneran hidup jauh dari keramaian. Di sebuah pondok terpencil dengan pencahayaan yang seadanya (tetap ada listrik sih) tapi nggak pernah terlalu kenal teknologi. Tina sengaja mengisolasi dirinya dan Kim dari kehidupan luar karena sebuah alasan yang dia sendiri nggak bisa jelaskan kebenarannya ke Kim. Tapi Kim yang beranjak dewasa punya rasa penasaran yang besar banget. Dia bahkan punya satu buku yang berisi bucket list, hal-hal yang ingin dia lakukan di kehidupan nyata. Siapa sangka salah satu poin dalam bucket list itu adalah balas dendam.

Setelah nulis sebuah surat ke Ibunya, Kim kabur dari rumah untuk mulai mencoret satu per satu daftar di bucket list itu. Termasuk ya balas dendam itu tadi. Tapi sebelum itu terjadi, dia masuk ke sebuah pub dan bertemu dengan Nicky dan Jay, kakak-beradik yang sedang ngerumpi soal kehidupan. Jay nantangin Nicky buat mendekati Kim yang hari itu pertama kali ke pub buat mengenang kencan pertama Ibu dan Ayahnya dulu. Setelah obrolan lucu di bar (dan sumpah sih banyak banget kejadian kocak di situ kayak misalnya Kim yang sama sekali nggak pernah pakai high heels atau menggunakan alat pengering tangan di kamar mandi karena selama ini dia hidup kayak hermit) mereka lanjut ke rumah Jay. Di sanalah semuanya berawal: sebuah becandaan yang kemudian jadi rumit.



Gue ketakutan. Rasanya seperti berada di tengah-tengah dunia yang gue nggak kenal, dikelilingi oleh orang asing yang bisa saja berbuat jahat kapan saja. Gue dipaksa untuk melepas keyakinan gue akan Tuhan dengan ancaman-ancaman keselamatan. Sementara gue hanya bisa menangis. Sampai ada seorang laki-laki, yang gue yakini dia adalah salah satu anggota dari keluarga besar gue, datang menghampiri dan memeluk gue.

“Saya takut,” kata gue ke dia.

Air mata gue udah nggak bisa ketahan.

“Nggak usah takut. Kamu ikutin aja orang-orang ini. Mereka nggak jahat kok,” katanya dalam nada bicara yang dingin, kejam, dan nggak ingin gue dengar lagi untuk kedua kalinya.

Gue berada di antara dua pilihan yang nggak pernah ingin gue pilih: mati atau ikut aliran sesat orang-orang ini.

Ini adalah mimpi paling buruk yang pernah gue alami sejak awal tahun.

--


Sebenarnya gue tuh takut banget deh buka DM belakangan ini. Hihihi... Sejak posting-an soal satu fandom di blog gue beberapa bulan yang lalu, gue jadi suka ngeri kalau lihat notifikasi ada DM masuk. Di saat yang sama gue tuh juga orangnya nggak bisa kalo liat notifikasi numpuk. Harus dibuka dan harus dihilangkan supaya nggak bikin gagal fokus. Tapi setelah ramai posting-an “toksik” waktu itu, udah, gue nggak berani lagi liat DM. 


2020 sudah hampir abis dan gue tadinya berpikir kalau nggak akan ada lagu lain yang mengalahkan most played mingguan gue di Spotify selain Wine-nya Taeyeon. Tapi gue salah. BENER-BENER SALAH! Memang sejatinya tidak boleh terlalu kepedean tentang sesuatu yang belum pasti dan bisa berubah, seperti masa depan; atau perasaannya padaku. 

WKWKWKWKWK 

 


yaudah guys itu dulu nanti review blogpost menyusul
(hehe)

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Hey, It's Me!



kpop blogger, kpop podcaster, social media enthusiast, himself


Author's Pick

Bucin Usia 30

Satu hal yang gue sadari belakangan ini seiring dengan pertambahan usia adalah kenyataan bahwa gue mulai merasakan perasaan-perasaan yang ng...

More from My Life Stories

  • ▼  2024 (5)
    • ▼  Maret (2)
      • Menjadi Dewasa yang Sebenarnya
      • I Know..., But I Dont Know!
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2023 (4)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2022 (12)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (2)
  • ►  2021 (16)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (9)
    • ►  April (1)
    • ►  Februari (2)
  • ►  2020 (49)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (6)
    • ►  Juli (20)
    • ►  Juni (4)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (2)
  • ►  2019 (22)
    • ►  Desember (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (4)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2018 (23)
    • ►  Desember (1)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2017 (20)
    • ►  Desember (2)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Juli (4)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2016 (36)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (6)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (9)
  • ►  2015 (44)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (6)
    • ►  Oktober (5)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (4)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (5)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2014 (34)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (5)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (5)
    • ►  Januari (8)
  • ►  2013 (48)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (6)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (5)
    • ►  Januari (7)
  • ►  2012 (98)
    • ►  Desember (7)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (6)
    • ►  Agustus (6)
    • ►  Juli (5)
    • ►  Juni (8)
    • ►  Mei (10)
    • ►  April (10)
    • ►  Maret (19)
    • ►  Februari (12)
    • ►  Januari (9)
  • ►  2011 (101)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (10)
    • ►  September (7)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (8)
    • ►  Juni (6)
    • ►  Mei (7)
    • ►  April (9)
    • ►  Maret (25)
    • ►  Februari (13)
    • ►  Januari (5)
  • ►  2010 (53)
    • ►  Desember (14)
    • ►  November (17)
    • ►  Oktober (5)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (6)
    • ►  Juli (7)

Podcast ngedrakor!

Podcast KEKOREAAN

#ISTANEXO

My Readers Love These

  • Final Destination 5: REVIEW!
  • Mimpi, Mimpi, Mimpi
  • Awkward itu...
  • EXO 'WOLF' Drama Version MV_1 Review [PART2--END]
  • Menjadi Dewasa yang Sebenarnya
@ronzzyyy | EXO-L banner background courtesy of NASA. Diberdayakan oleh Blogger.

Smellker

Instagram

#vlognyaron on YouTube

I Support IU!

Copyright © 2015 kaoskakibau.com - by ron. Designed by OddThemes