• Home
  • Explore Blog
    • K-Pop
    • EXO
    • Concert Experience
    • GMMTV's The Shipper Recap
    • Film
    • Self Reflection
    • My Trips!
      • New York Trip
      • Seoul Trip
      • Bangkok Trip
      • London Trip
  • Social Media
    • YouTube
    • Twitter
    • Instagram
    • Facebook
    • Email Me
  • My Podcasts
    • Podcast KEKOREAAN
    • Podcast ngedrakor!
  • NEW SERIES: 30 and Still Struggling
kaoskakibau.com - by ron
Well, hari ini keadaan gue lebih baik. Hahaha... walaupun masih dengan gondok yang teramat sangat ( dan mungkin juga mereka ke gue ) tapi sudahlah... gue nggak begitu memikirkan apapun soal itu lagi. Like what I said, cuek is in the house. Gue sekarang lebih mikirin hasil UTS MPS gue yang nilainya D. Ya Allah... jelek banget deh. Nggak lulus deh nilai UTS gue sementara yang lain mungkin ( pasti ) lulus. Gue akan berusaha untuk UAS agar lebih baik lagi. Semoga mas Wisnu memberikan soal yang gampang dan gue bisa jawab dan semua yang dikeluarkan di UAS gue bisa mengerti. Semoga Allah memberikan kemudahan. Amin...

Hari ini gue telat parah ke kampus, jam setengah sembilan baru dateng dan itu sudah ada dosen pula. Untuk pertama kalinya di semester ini gue duduk paling depan mata kuliah MPS. Menggila deh. Mana perasaan gue nggak enak banget karena akan ada presentasi. Dan dang! Benar-benar terpilih lah kelompok gue buat presentasi. Hahaha... Nggak ada persiapan sama sekali soalnya malemnya gue malah sibuk nonton Premiere Harry Potter and the Deathly Hallows di Ustream. Jadinya tadi gue cuma opening dan membacakan beberapa definisi dan nggak sampe tiga menit, gue kasih Ryan yang melanjutkan. Kkkk~

Setelah itu, biasa, diskusi masalah tugas yang bener-bener menumpuk di akhir-akhir semester ini. Entahlah... apakah semuanya akan terkejar ataukah jalan ditempat. Dan hey! Gue bahkan lupa kalau ada tugas MSTV?! Baru inget pas ngetik ini... ( buru-buru ambil ponsel, SMS Necha dulu ) Dan setelah mengerjakan beberapa diskusi tugas, gue sama Ryan dan Abim sholat jumat di MUI.

Entah kenapa hari ini gue kok rasanya pengen banget duduk di meja sebuah Cafe, menikmati secangkir kopi panas dengan vanila krim dan susu, sambil membuka laptop dan menulis. Tapi gue nggak bisa menemukan tempat itu dan kalaupun ada, gue terhalang sama Eci yang nggak punya baterai. Oh Eci... Malang nian nasibmu. Akhirnya gue hanya bisa mengkhayal saja... Hari ini rasanya pengen banget menyendiri. Dimana gue bisa berpikir lebih tenang dan lebih bisa untuk berkhayal tentang Siwon, Yoona, Donghae dan jalan cerita untuk novel terbaru gue. Akhirnya, setelah sholat Jumat, gue berencana buat stay di MUI dan mengheningkan cipta di sana. Cuma sayangnya, nggak ada lokasi strategis untuk menyendiri, menulis dan menggunakan listrik untuk hidup Eci. Akhirnya gue mengurungkan niat gue dan duduklah bersandar di sebuah pilar. Dan, hujan pun turun.

Ternyata masjid UI pas hujan sangat sejuk dan menenangkan :) Lumayan bisa buat menenangkan otak sejenak dari rutinitas sehari-hari dan masalah. Meskipun gue nggak berhasil ngopi dan berkarya, tapi gue mendapatkan hal-hal yang unik di sini. Masjid yang biasanya buat sholat dan ibadah itu, ternyata nyaman juga buat nongkrong, santai, tidur-tiduran, menyendiri, merenung. Tenang banget rasanya. Harusnya tadi gue bawa Quran ya? Jadi bisa ngaji. Hehehe...

Ini beberapa gambar yang gue temukan tadi di MUI. Di sebelah kiri ini, yah, wajar lah kalau Masjid dijadikan tempat untuk membaca Al Quran. Hehehe... Keren banget deh, kalau setiap kemana-mana bawa Quran kecil, kalau ada waktu di baca. Hmmm... Kapan ya bisa kayak gitu? Dulu pernah denger cerita tentang orang yang kemana-mana bawa Quran kecil dan di baca di bus, halte, dan tempat-tempat yang dia anggap bisa untuk membaca. Gue juga pernah nyoba pas puasa tahun lalu. Cuma ujung-ujungnya malah nggak kebaca. Astagfirullah... hehehe

MUI juga asik banget sebenarnya buat laptop-an. Apalagi MUI kan terbuka, angin sepoi-sepoi dari segala arah dan segala sisi. Ditambah lagi tadi hujan dan suasananya pas banget buat nulis. Cuma sayang tadi nggak nemu colokan jadi nggak bisa berbuat apa-apa. Dan salah satu yang gue temui ini adalah orang yang sepertinya lagi fesbukan, atau lagi nonton? Nggak tahu deh... Tapi kayaknya dia serius banget dan begitu tenggelam dalam dunianya. Hahaha... jadi penasaran sebenarnya dia tadi itu ngeliat apa di laptopnya. kkkk~

Seperti kebanyakan manusia yang sudah tergantung dengan teknologi, ponsel adalah salah satu barang wajib yang akan dipegang selama menunggu. Kalau buat gue pribadi, ponsel adalah sahabat di kala suka dan duka. Ponsel juga bisa jadi satu alasan untuk tetap menunduk, ataupun tameng untuk menghindar dari tatapan orang banyak. Gue biasanya ngeliat ponsel kalau gue lagi salah tingkah atau sedang berada di antara orang-orang yang nggak gue kenal. Dan ponsel memang teman paling setia karena selalu ada di dekat kita dan selalu bisa bikin kita merasa nyaman. Setidaknya di dunia kita sendiri.

Salah satu hal yang paling enak dilakukan di MUI selain ibadah adalah melamun. Well, bener-bener tempat yang sangat enak buat berpikir jauh menerawang menembus cakrawala. kkkk~ Suasanya yang sejuk dan adem bikin kita gampang berpikir tenang. Sama seperti yang tadi gue lakukan, kayaknya abang-abang berbatik ini juga sedang memikirkan sebuah masalah dan berusaha mencari jalan keluarnya. Semoga bisa menemukan jalan yang terbaik ya Bang untuk kehidupan dunia dan kesejahteraan akhirat. Hehehe... Amin...

Nah... kalau yang ini kayaknya memang wajib deh. Selain asik buat ngelamun, MUI juga asik banget buat tiduran kayak gini. Lantainya memang sejuk dan dingin. Nggak bakalan gerah deh di jamin. Gue aja tadi tergoda buat tidur, cuma ada banyak barang berharga jadi nggak berani. Dulu sih pernah, waktu jamannya jadi mahasiswa baru. Gue sama Yoga bolos paduan suara karena ngantuk abis begadang malemnya dan akhirnya tiduran di MUI. Nyenyak banget plus pules karena udaranya maknyos dah buat tiduran. Hahaha... Mungkin karena memang hawa-hawa malaikat ya masjid, jadi tenang dan menenangkan gitu. Besok-besok kalau memang capek di kampus, coba aja buat tiduran di MUI, tapi inget, barang berharga disimpan baik-baik supaya nggak hilang.

Keinginan gue hari ini kayaknya belum bisa terkabul. Kemaren rencananya pengen jalan-jalan di weekend ini karena bosan di kamar terus. Tapi orang yang mau diajakin jalan sedang ada acara, sedangkan gue nggak mungkin jalan sendiri karena nggak tahu jalan. Hahaha... Pengen makan di pizza, minum kopi sama makan es krim. Wuiiiih~ kapan yaa???
Wow... dan malam ini pukul 07.00 WIB waktu LG GW 300 gue, gue sedang dalam keadaan seperti berada di tengah-tengah orang-orang baru. Rasanya seperti ketika pertama kali masuk SMP, SMA, dan Kuliah. Rasanya seperti semua mata sedang menghadap ke gue dan menganggap gue aneh. Rasanya seperti semua orang memandang gue dengan curiga karena sesuatu hal yang tidak gue ketahui. Rasanya jantung ini seperti berdebar lebih kencang seperti gendang orang-orang mau kawinan. Rasanya nggak jelas. Lidah gue asam dan hambar kayak nggak pernah makan berhari-hari dan otak gue panas. Semuanya bercampur jadi satu di malam ini. Di mana gue sepertinya memang sudah menantikan kejadian ini. Berhari-hari yang lalu, perasaan gue nggak tenang, itu pasti karena ini. Beberapa hari yang lalu gue mimpi buruk, itu pasti karena ini.

Sekali lagi gue salah mempersepsikan sesuatu. Tapi, apa benar itu salah? Salah dari sudut pandang siapa? Gue bahkan nggak tahu dan tidak bisa menjawab itu. Spekulasi-spekulasi gue salah. Kenapa? Karena gue memang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Gue memang tidak tahu alasan apa yang membuat ini terjadi. Gue memang tidak tahu kenapa ini semua bisa terjadi. Hmmm...

Kalau memang gue salah, kenapa tidak bicara saja dan katakan di mana salah gue? Kalau memang gue kurang ajar, kenapa tidak bicara saja dan tonjok muka gue? Bukankah dengan begitu gue bisa langsung dapat pelajaran dari apa yang telah gue lakukan? Bukankah dengan begitu gue bisa belajar jadi kesalahan yang telah gue lakukan? Lalu kenapa harus diam? Jangan bilang karena gue yang salah jadi gue harus memulai duluan. Kalau gue tidak memulai duluan bagaimana? Itu karena gue nggak tahu gue salah dimana. Kasi tahu gue salah gue di mana, jadi gue bisa merubah dan memperbaikinya.

Malam ini gue merinding. Bayangan akan kehilangan beberapa teman baik sudah ada di depan mata. Malam ini gue merinding, sehabis solat maghrib gue berdoa, supaya teman-teman gue ini mau maafin kesalahan gue. Malam ini gue merinding, heran, terkejut, sebegitu nggak bisakah gue menceritakan kisah gue?

Gue salah... memang gue salah. Tapi kalau gue sudah minta maaf, lalu tidak ada respon, apakah gue harus bersujud? Apakah gue harus menyembah? Tidak... Hanya Tuhan yang patut disembah. Gue sudah meminta maaf, bahkan sejak pertama kali konflik ini muncul, kan? Kalau lupa, berarti takdir.

Malam ini gue merinding. Ternyata mimpi buruk gue terwujud dengan sangat buruk. Besok presentasi MPS dan gue nggak tahu gue harus bagaimana.

Malam ini gue merinding. Takut. Akan kehilangan lagi... Setelah ayah gue pergi, masa iya teman-teman gue juga bakalan pergi?

Malam ini gue merinding. Gemetar. Dingin. Semuanya takkan sama seperti dulu lagi. Semuanya takkan seperti dulu lagi. Ya... semuanya takkan seperti dulu lagi.

Malam ini gue merinding.

Satu,

Dua,

Tiga,

Sebentar lagi Lucifer akan menjemput gue...
Oke guys,  ini adalah text pidato Obama waktu di UI kemarin pagi. Baca, pelajari, perhatikan. Hehehe...  Thanks to my friend Lydia Luhur for the notes you posted on Facebook :) 

Enjoy!

Jakarta, Indonesia. Thank you for this wonderful welcome. Thank you to the people of Jakarta. And thank you to the people of Indonesia.

I am so glad that I made it to Indonesia, and that Michelle was able to join me. We had a couple of false starts this year, but I was determined to visit a country that has meant so much to me. Unfortunately, it’s a fairly quick visit, but I look forward to coming back a year from now, when Indonesia hosts the East Asia Summit.

Before I go any further, I want to say that our thoughts and prayers are with all of those Indonesians affected by the recent tsunami and volcanic eruptions – particularly those who have lost loved ones, and those who have been displaced. As always, the United States stands with Indonesia in responding to this natural disaster, and we are pleased to be able to help as needed. As neighbors help neighbors and families take in the displaced, I know that the strength and resilience of the Indonesian people will pull you through once more.  

Let me begin with a simple statement: Indonesia is a part of me. I first came to this country when my mother married an Indonesian man named Lolo Soetoro. As a young boy, I was coming to a different world. But the people of Indonesia quickly made me feel at home.

Jakarta looked very different in those days. The city was filled with buildings that were no more than a few stories tall. The Hotel Indonesia was one of the few high rises, and there was just one brand new shopping center called Sarinah. Betchaks outnumbered automobiles in those days, and the highway quickly gave way to unpaved roads and kampongs.

We moved to Menteng Dalam, where we lived in a small house with a mango tree out front. I learned to love Indonesia while flying kites, running along paddy fields, catching dragonflies, and buying satay and baso from the street vendors. Most of all, I remember the people – the old men and women who welcomed us with smiles; the children who made a foreigner feel like a neighbor; and the teachers who helped me learn about the wider world.

Because Indonesia is made up of thousands of islands, hundreds of languages, and people from scores of regions and ethnic groups, my times here helped me appreciate the common humanity of all people. And while my stepfather, like most Indonesians, was raised a Muslim, he firmly believed that all religions were worthy of respect. In this way, he reflected the spirit of religious tolerance that is enshrined in Indonesia’s Constitution, and that remains one of this country’s defining and inspiring characteristics.

I stayed here for four years – a time that helped shape my childhood; a time that saw the birth of my wonderful sister, Maya; and a time that made such an impression on my mother that she kept returning to Indonesia over the next twenty years to live, work and travel – pursuing her passion of promoting opportunity in Indonesia’s villages, particularly for women and girls. For her entire life, my mother held this place and its people close to her heart.

So much has changed in the four decades since I boarded a plane to move back to Hawaii. If you asked me – or any of my schoolmates who knew me back then – I don’t think any of us could have anticipated that I would one day come back to Jakarta as President of the United States. And few could have anticipated the remarkable story of Indonesia over these last four decades.

The Jakarta that I once knew has grown to a teeming city of nearly ten million, with skyscrapers that dwarf the Hotel Indonesia, and thriving centers of culture and commerce. While my Indonesian friends and I used to run in fields with water buffalo and goats, a new generation of Indonesians is among the most wired in the world – connected through cell phones and social networks. And while Indonesia as a young nation focused inward, a growing Indonesia now plays a key role in the Asia Pacific and the global economy.

This change extends to politics. When my step-father was a boy, he watched his own father and older brother leave home to fight and die in the struggle for Indonesian independence. I’m happy to be here on Heroes Day to honor the memory of so many Indonesians who have sacrificed on behalf of this great country.  

When I moved to Jakarta, it was 1967, a time that followed great suffering and conflict in parts of this country. Even though my step-father had served in the Army, the violence and killing during that time of political upheaval was largely unknown to me because it was unspoken by my Indonesian family and friends. In my household, like so many others across Indonesia, it was an invisible presence. Indonesians had their independence, but fear was not far away.  

In the years since then, Indonesia has charted its own course through an extraordinary democratic transformation – from the rule of an iron fist to the rule of the people. In recent years, the world has watched with hope and admiration, as Indonesians embraced the peaceful transfer of power and the direct election of leaders. And just as your democracy is symbolized by your elected President and legislature, your democracy is sustained and fortified by its checks and balances: a dynamic civil society; political parties and unions; a vibrant media and engaged citizens who have ensured that – in Indonesia -- there will be no turning back.

But even as this land of my youth has changed in so many ways, those things that I learned to love about Indonesia – that spirit of tolerance that is written into your Constitution; symbolized in your mosques and churches and temples; and embodied in your people – still lives on. Bhinneka Tunggal Ika – unity in diversity. This is the foundation of Indonesia’s example to the world, and this is why Indonesia will play such an important role in the 21st century.

So today, I return to Indonesia as a friend, but also as a President who seeks a deep and enduring partnership between our two countries. Because as vast and diverse countries; as neighbors on either side of the Pacific; and above all as democracies – the United States and Indonesia are bound together by shared interests and shared values.

Yesterday, President Yudhoyono and I announced a new, Comprehensive Partnership between the United States and Indonesia. We are increasing ties between our governments in many different areas, and – just as importantly – we are increasing ties among our people. This is a partnership of equals, grounded in mutual interests and mutual respect.

With the rest of my time today, I’d like to talk about why the story I just told – the story of Indonesia since the days when I lived here – is so important to the United States, and to the world. I will focus on three areas that are closely related, and fundamental to human progress – development, democracy, and religion.

First, the friendship between the United States and Indonesia can advance our mutual interest in development.

When I moved to Indonesia, it would have been hard to imagine a future in which the prosperity of families in Chicago and Jakarta would be connected. But our economies are now global, and Indonesians have experienced both the promise and perils of globalization: from the shock of the Asian financial crisis in the 1990s to the millions lifted out of poverty. What that means – and what we learned in the recent economic crisis – is that we have a stake in each other’s success.

America has a stake in an Indonesia that is growing, with prosperity that is broadly shared among the Indonesian people – because a rising middle class here means new markets for our goods, just as America is a market for yours. And so we are investing more in Indonesia, our exports have grown by nearly 50 percent, and we are opening doors for Americans and Indonesians to do business with one another.  

America has a stake in an Indonesia that plays its rightful role in shaping the global economy. Gone are the days when seven or eight countries could come together to determine the direction of global markets. That is why the G-20 is now the center of international economic cooperation, so that emerging economies like Indonesia have a greater voice and bear greater responsibility. And through its leadership of the G-20’s anti-corruption group, Indonesia should lead on the world stage and by example in embracing transparency and accountability.

America has a stake in an Indonesia that pursues sustainable development, because the way we grow will determine the quality of our lives and the health of our planet. That is why we are developing clean energy technologies that can power industry and preserve Indonesia’s precious natural resources – and America welcomes your country’s strong leadership in the global effort to combat climate change.  

Above all, America has a stake in the success of the Indonesian people. Underneath the headlines of the day, we must build bridges between our peoples, because our future security and prosperity is shared. That is exactly what we are doing – by increased collaboration among our scientists and researchers, and by working together to foster entrepreneurship. And I am especially pleased that we have committed to double the number of American and Indonesian students studying in our respective countries – we want more Indonesian students in our schools, and more American students to come study in this country, so that we can forge new ties that last well into this young century.

These are the issues that really matter in our daily lives. Development, after all, is not simply about growth rates and numbers on a balance sheet. It’s about whether a child can learn the skills they need to make it in a changing world. It’s about whether a good idea is allowed to grow into a business, and not be suffocated by corruption. It’s about whether those forces that have transformed the Jakarta that I once knew –technology and trade and the flow of people and goods – translate into a better life for human beings, a life marked by dignity and opportunity.

This kind of development is inseparable from the role of democracy.

Today, we sometimes hear that democracy stands in the way of economic progress. This is not a new argument. Particularly in times of change and economic uncertainty, some will say that it is easier to take a shortcut to development by trading away the rights of human beings for the power of the state. But that is not what I saw on my trip to India, and that is not what I see in Indonesia. Your achievements demonstrate that democracy and development reinforce one another.  

Like any democracy, you have known setbacks along the way. America is no different. Our own Constitution spoke of the effort to forge a “more perfect union,” and that is a journey we have travelled ever since, enduring Civil War and struggles to extend rights to all of our citizens. But it is precisely this effort that has allowed us to become stronger and more prosperous, while also becoming a more just and free society.

Like other countries that emerged from colonial rule in the last century, Indonesia struggled and sacrificed for the right to determine your destiny. That is what Heroes Day is all about – an Indonesia that belongs to Indonesians. But you also ultimately decided that freedom cannot mean replacing the strong hand of a colonizer with a strongman of your own.

Of course, democracy is messy. Not everyone likes the results of every election. You go through ups and downs. But the journey is worthwhile, and it goes beyond casting a ballot. It takes strong institutions to check the concentration of power. It takes open markets that allow individuals to thrive. It takes a free press and an independent justice system to root out abuse and excess, and to insist upon accountability. It takes open society and active citizens to reject inequality and injustice.

These are the forces that will propel Indonesia forward. And it will require a refusal to tolerate the corruption that stands in the way of opportunity; a commitment to transparency that gives every Indonesian a stake in their government; and a belief that the freedom that Indonesians have fought for is what holds this great nation together.

That is the message of the Indonesians who have advanced this democratic story – from those who fought in the Battle of Surabaya 55 years ago today; to the students who marched peacefully for democracy in the 1990s, to leaders who have embraced the peaceful transition of power in this young century. Because ultimately, it will be the rights of citizens that will stitch together this remarkable Nusantara that stretches from Sabang to Merauke – an insistence that every child born in this country should be treated equally, whether they come from Java or Aceh; Bali or Papua.

That effort extends to the example that Indonesia sets abroad. Indonesia took the initiative to establish the Bali Democracy Forum, an open forum for countries to share their experiences and best practices in fostering democracy. Indonesia has also been at the forefront of pushing for more attention to human rights within ASEAN.  The nations of Southeast Asia must have the right to determine their own destiny, and the United States will strongly support that right. But the people of Southeast Asia must have the right to determine their own destiny as well. That is why we condemned elections in Burma that were neither free nor fair. That is why we are supporting your vibrant civil society in working with counterparts across this region. Because there is no reason why respect for human rights should stop at the border of any country.

Hand in hand, that is what development and democracy are about – the notion that certain values are universal. Prosperity without freedom is just another form of poverty. Because there are aspirations that human beings share – the liberty of knowing that your leader is accountable to you, and that you won’t be locked up for disagreeing with them; the opportunity to get an education and to work with dignity; the freedom to practice your faith without fear or restriction.

Religion is the final topic that I want to address today, and – like democracy and development – it is fundamental to the Indonesian story.

Like the other Asian nations that I am visiting on this trip, Indonesia is steeped in spirituality – a place where people worship God in many different ways.  Along with this rich diversity, it is also home to the world’s largest Muslim population – a truth that I came to know as a boy when I heard the call to prayer across Jakarta.

Just as individuals are not defined solely by their faith, Indonesia is defined by more than its Muslim population. But we also know that relations between the United States and Muslim communities have frayed over many years. As President, I have made it a priority to begin to repair these relations. As a part of that effort, I went to Cairo last June, and called for a new beginning between the United States and Muslims around the world – one that creates a path for us to move beyond our differences.

I said then, and I will repeat now, that no single speech can eradicate years of mistrust. But I believed then, and I believe today, that we have a choice. We can choose to be defined by our differences, and give in to a future of suspicion and mistrust. Or we can choose to do the hard work of forging common ground, and commit ourselves to the steady pursuit of progress. And I can promise you – no matter what setbacks may come, the United States is committed to human progress. That is who we are. That is what we have done. That is what we will do.

We know well the issues that have caused tensions for many years – issues that I addressed in Cairo. In the 17 months that have passed we have made some progress, but much more work remains to be done.

Innocent civilians in America, Indonesia, and across the world are still targeted by violent extremists. I have made it clear that America is not, and never will be, at war with Islam. Instead, all of us must defeat al Qaeda and its affiliates, who have no claim to be leaders of any religion – certainly not a great, world religion like Islam. But those who want to build must not cede ground to terrorists who seek to destroy. This is not a task for America alone. Indeed, here in Indonesia, you have made progress in rooting out terrorists and combating violent extremism.

In Afghanistan, we continue to work with a coalition of nations to build the capacity of the Afghan government to secure its future. Our shared interest is in building peace in a war-torn land – a peace that provides no safe-haven for violent extremists, and that provides hope for the Afghan people. 

Meanwhile, we have made progress on one of our core commitments — our effort to end the war in Iraq. 100,000 American troops have left Iraq. Iraqis have taken full responsibility for their security. And we will continue to support Iraq as it forms an inclusive government and we bring all of our troops home.

In the Middle East, we have faced false starts and setbacks, but we have been persistent in our pursuit of peace. Israelis and Palestinians restarted direct talks, but enormous obstacles remain. There should be no illusions that peace and security will come easy. But let there be no doubt: we will spare no effort in working for the outcome that is just, and that is in the interest of all the parties involved: two states, Israel and Palestine, living side by side in peace and security. 

The stakes are high in resolving these issues, and the others I have spoken about today. For our world has grown smaller and while those forces that connect us have unleashed opportunity, they also empower those who seek to derail progress. One bomb in a marketplace can obliterate the bustle of daily commerce. One whispered rumor can obscure the truth, and set off violence between communities that once lived in peace. In an age of rapid change and colliding cultures, what we share as human beings can be lost.

But I believe that the history of both America and Indonesia gives us hope. It’s a story written into our national mottos. E pluribus unum – out of many, one. Bhinneka Tunggal Ika – unity in diversity. We are two nations, which have travelled different paths. Yet our nations show that hundreds of millions who hold different beliefs can be united in freedom under one flag. And we are now building on that shared humanity – through the young people who will study in each other’s schools; through the entrepreneurs forging ties that can lead to prosperity; and through our embrace of fundamental democratic values and human aspirations..

Earlier today, I visited the Istiqlal mosque – a place of worship that was still under construction when I lived in Jakarta. I admired its soaring minaret, imposing dome, and welcoming space. But its name and history also speak to what makes Indonesia great. Istiqlal means independence, and its construction was in part a testament to the nation’s struggle for freedom. Moreover, this house of worship for many thousands of Muslims was designed by a Christian architect.

Such is Indonesia’s spirit. Such is the message of Indonesia’s inclusive philosophy, Pancasila. Across an archipelago that contains some of God’s most beautiful creations, islands rising above an ocean named for peace, people choose to worship God as they please. Islam flourishes, but so do other faiths. Development is strengthened by an emerging democracy. Ancient traditions endure, even as a rising power is on the move.

That is not to say that Indonesia is without imperfections. No country is. But here can be found the ability to bridge divides of race and region and religion – that ability to see yourself in all individuals. As a child of a different race coming from a distant country, I found this spirit in the greeting that I received upon moving here: Selamat Datang. As a Christian visiting a mosque on this visit, I found it in the words of a leader who was asked about my visit and said, “Muslims are also allowed in churches. We are all God’s followers.”

That spark of the divine lies within each of us. We cannot give in to doubt or cynicism or despair. The stories of Indonesia and America tell us that history is on the side of human progress; that unity is more powerful than division; and that the people of this world can live together in peace. May our two nations work together, with faith and determination, to share these truths with all mankind.

(from : www.thejakartaglobe.com)

Whoaaa~ merinding deh bacanya. Betul kata Om Obama, menghormati sesama umat beragama. Kayaknya itu susah banget sih kita dapetin di Indonesia. Terutama sebagai seorang Muslim, saya kecewa sekali dengan pengrusakan yang dilakukan FPI itu. Aah... mereka cuma bikin kekacauan. Nggak ada bedanya sama para Anti-Fans yang bikin nama Indonesia jelek di mata orang luar. Walaupun kedatangan Obama ini mengalahkan hingar-bingar hari Pahlawan, tapi setidaknya ada banyak pelajaran kan yang bisa di dapat dari dia? Pluralisme paling tidak kalau kata orang-orang cerdas. Bagaimana kita bisa hidup rukun berdampingan satu sama lain dengan para umat yang beda agama dengan kita. Kalau ingat itu, jadi ingat dialog di film My Name Is Khan: Tuhan hanya menciptakan dua jenis orang di dunia ini: orang baik dan orang jahat. Sebagai orang baik, maka kita harus saling menghormati tanpa ada kekerasan. Karena kekerasan adalah tipe orang jahat sejati.

Daebak buat om Obama! Semoga nanti saya bisa kuliah di Amerika ya Om! Nanti saya bawakan sate sama bakso.
Seperti yang semua orang ketahui, dari TV, koran dan berbagai social network kalau hari ini Obama dijadwalkan memberikan kuliah umum di kampus tercinta saya. Whoaaa... Sebagai salah satu mahasiswa UI, seneng banget dong rasanya Obama, seorang presiden kharismatik yang TOP itu bisa dateng ke Indonesia dan mampir UI buat ngasih kuliah umum. Walaupun saya nggak bisa hadir ke kuliah umumnya, tapi rasa bangga itu tetap ada karena saya adalah salah satu mahasiswa UI. Well, beberapa temen-temen saya mungkin hadir di sana, sedangkan saya hari ini bangun jam 12 siang. Jadi hanya bisa menyaksikan bapak Presiden via YouTube dan beberapa update-an status dari temen-temen.

Walaupun kontroversial, tetapi kunjungan ini mau nggak mau memang bikin semua orang heboh dan ribut. Disatu sisi Obama dateng banyak yang seneng, di sisi lain banyak orang-orang termasuk mahasiswa yang menolak kedatangan Obama. Hari ini juga ada demo yah? Demo hari pahlawan sih, bukan demo Obama. Hahaha... Tapi sebagai orang yang berpikiran dangkal ( dan saya bangga? oh please... ) saya rasa kita memang harus mengapresiasi kedatangan Obama sebagai bentuk kerja sama Indonesia dan Amerika. Benar kan? Hehehe... yang saya heran, kenapa kalau berhubungan sama Amerika gampang banget ada demo yah? Kalau Korea kok tenang-tenang aja. Kkkkk~

Sekelompok mahasiswa UI tolak Obama

dari BBC Indonesia ( klik judul untuk link ke BBC Indonesia )
Demo anti Obama

Meski disambut besar-besaran hingga meliburkan kegiatan perkuliahan dua hari terakhir, kegiatan Presiden Barack Obama di Universitas Indonesia juga banyak disambut protes. Beberapa kelompok kegiatan mahasiwa UI melakukan aksi protes yang baru nampak setelah pidato Obama selesai karena dijaga ketat polisi dan tentara.

"Kami menolak Obama karena hubungan Indonesia-Amerika Serikat terbukti tidak menguntungkan rakyat Indonesia,"seru juru orasi Kelompok Forum Aksi Mahasiswa UI.

Aksi demo dengan puluhan mahasiswa ini bahkan sempat menimbulkan bentrok dengan petugas pengamanan dalam kampus karena diikuti dengan aksi merobek dan membakar foto Presiden Obama di halaman stasiun Kereta Api kampus UI, Depok.

"Kedatangan Obama dikawal dengan pengamanan super ketat dari Brimob hingga tentara, sementara kami mahasiswa malah dipukuli aparat," protes seorang mahasiswi.

Sementara Kelompok Dakwah Kampus Nasional UI dengan ratusan peserta menggelar demo dengan menggunakan kendaraan bak terbuka dan pengeras suara, menyuarakan protes akibat kebijakan pemerintah AS dikawasan Timur Tengah yang dinilai merugikan masyarakat Islam.

"Mana janji Obama untuk memperbaiki hubungan dengan dunia Islam?" kata juru demo kelompok ini, yang disambut sorak-sorai peserta aksi.

Sambutan meriah

Namun aksi demonstrasi hampir tak terendus liputan media massa karena ketatnya pengamanan aparat. Lingkar dalam seputar kampus sudah dinyatakan steril dan ditutup dari lalu lintas bahkan warga kampus, sejak pukul 07.00 WIB.
Demo anti Obama
Kebijakan AS di Timur Tengah menjadi salah satu tema protes aksi demo. Jajaran tank, meriam air, dan polisi anti huru hara memagari kawasan kampus UI hingga radius beberapa kilometer.
Hasilnya, agenda pidato Presiden Barack Obama berjalan nyaris tanpa hambatan. Beberapa bagia pidatonya juga dihujani tepuk tangan dan sambutan meriah para hadirin, sekitar 10.000 undangan dan mahasiswa yang mengantongi undangan khusus di Balairung UI.

"Bagian paling menyentuh adalah pengakuan Presiden Obama yang menyebut bagaimana masyarakat Indonesia yang majemuk ternyata justru merupakan masyarakat yang memiliki toleransi besar terhadap eprbedaan agama," kata Indra Mukti , mahasiswa Fakultas Teknik. Sementara Ade Ariantika menilai janji Obama untuk memperbaiki hubungan ekonomi dan pendidikan merupakan bagian pidatonya yang paling penting.

"Itu menunjukkan bukan kunjungan (seremonial) saja, tapi ada manfaat lain," tambahnya.
Dalam pidatonya Persiden Obama banyak memuji masyarakat Indonesia terkait praktek toleransi beragama, janji membuka kesempatan lebih luas untuk mahasiswa Indonesia belajar ke AS, serta menjelaskan posisi negaranya terkait kebijakan di Timur Tengah.

Dengan fasih Obama juga menyebutkan sejumlah kata dan kalimat dalam bahasa Indonesia, yang disambut gemuruh tepuk-tangan hadirin.
Dari pagi saya menerima banyak SMS dari keluarga saya dan teman-teman saya yang tidak berdomisili di Depok dan Jakarta. Mereka iri karena saya bisa bertemu Obama. Saya cuma tertawa sendiri karena saya pun tidak tahu bagaimana cara mendapatkan tiket untuk menyaksikan kuliah umum itu. Dan saya juga punya pengalaman buruk masalah tiket ( SHINee tentunya ) hahaha... Jadi saya katakan bahwa saya tidak datang ke Kuliah Umum nya karena memang saya tidak punya tiket. Hahaha... kenyataan pahit.

Kuliah Terbuka Obama, Sejak Subuh Ribuan Mahasiswa UI Antre

Rabu, 10 November 2010, 05:56 WIB
   
Musiron/Republika
 Kuliah Terbuka Obama, Sejak Subuh Ribuan Mahasiswa UI Antre
Kampus UI

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK--Ribuan mahasiswa Universitas Indonesia (UI) yang akan mengikuti kuliah terbuka bersama Presiden Amerika Serikat (AS), Barrack Obama, berkumpul di depan Stasiun UI, Rabu (10/11) pagi. Mereka berkumpul untuk mendapatkan undangan kuliah terbuka tersebut yang akan dilaksanakan di Balairung UI, pukul 09.45 WIB nanti.

"Memang disuruh kumpul di depan Stasiun UI oleh pihak Dekanat Fakultas pukul 05.30 WIB," ujar Dewi, mahasiswi dari Fakultas Psikologi UI, yang ditemui Republika di depan Stasiun UI Depok, Rabu pagi.

Senada diucapkan Reno, mahasiswa Fakultas Teknik UI. Bahkan Reno telah datang ke lokasi berkumpul sejak pukul 04.30 WIB.

"Saya takut kehabisan tiket. Lebih cepat saya sampai dan dapat tiket, lebih tenang," ucap mahasiswa yang tinggal di bilangan Pondok Indah, Jakarta Selatan ini.

Pihak Rektorat UI sendiri menyediakan 2.000 tiket untuk mahasiswa dan dosen. Setiap fakultas dari 12 fakultas dan 1 fakultas pascasarjana, memiliki jatah masing-masing 100 orang. Sisanya untuk dosen-dosen berprestasi dan alumni-alumni UI.

Obama sendiri rencananya akan memberikan kuliah terbuka di Balairung UI pukul 09.45 WIB. Ia akan memberikan pidatonya dengan tema 'Demokrasi, Pembangunan, Pluralisme, dan Toleransi Beragama'.

Tadi sempet buka satu blog yang lagi hit banget di twitter, dan dia ngasih link YouTube dimana di video itu opening pidatonya Obama di UI. Walaupun sebenarnya biasa saja, tapi mendengar presiden itu berbahasa Indonesia jadi Wow juga...




Haha... Beberapa kali mendengar Obama menggunakan bahasa Indonesia, beberapa kali itu juga merinding. Keren banget nih presiden. Setidaknya dia menghargai masa lalunya yang dulu pernah tinggal di Indonesia.

Meskipun kedatangan Obama ke UI adalah suatu hal yang Wow, tetapi ada juga nih imbasnya buat yang lain. Negatif atau positif ya? Kalau yang satu ini kayaknya negatif deh. Jadi hari Senin tanggal 8 November kemarin, kayaknya persiapan buat hari Rabu ini sudah dimulai. Jadi UI harus disterilkan sejak jam 6 sore. Nah, isu-isunya adalah, kedatangan Obama akan menyebabkan beberapa hal: Kereta yang melintas di stasiun UI tidak akan ada, sinyal ponsel akan di Jam dan tidak akan ada sinyal selama Obama datang, dan semua pintu masuk ke UI akan ditutup kecuali Gerbatama. Nah, kalau masalah kereta dan pintu masuk, mungkin nggak masalah, tapi sinyal ponsel? Waduh... sebegitu mengganggunyakah sinyal ponsel? Bisa mati kalau satu hari nggak SMSan dan internetan. Hahaha... Tapi ternyata cuma hoax kayaknya karena dari pagi SMSan bisa-bisa aja tuh... Cuma kasian nih baca berita yang satu ini:

Obama ke UI, Angkot Males Narik 
Niken Widya Yunita - detikNews


Jakarta - Kunjungan Presiden AS Barack Obama ke Universitas Indonesia menyebabkan kemacetan luar biasa di ruas Jl Raya Bogor arah Jakarta. Bahkan angkot-angkot yang melintas di jalan tersebut tidak mau mengangkut penumpang.

Pantauan detikcom, Rabu (10/11/2010), di ruas Jl Raya Bogor sekitar RS Sentra Medika, angkot 37 (Bojong Gede-Rambutan) dan 41 (Citeureup-Kp Rambutan) tidak mau mengangkut penumpang dengan alasan tidak menjanjikan bisa mengantar sampai tujuan.

Sebagian angkot memilih memutar balik ke Jl Raya Bogor arah Bogor.

Sementara itu, para penumpang yang terlanjur naik, terlihat bengong dan pasrah di dalam angkot. Sebagian ada yang memilih turun dan mencari tempat peristirahatan. Para penumpang adalah kaum pekerja atau pun komuter yang hendak berangkat mencari rezeki.

(lrn/nrl)

Agak gimana gitu rasanya kalau harus mengorbankan orang banyak. Ya nggak sih? Kasian juga kalau hari ini bapak-bapak sopir angkot dapet duit sedikit. Semoga rejeki bapak-bapak angkot bisa lebih di besok hari ya... hari ini mungkin memang dikasi cobaan seperti itu. Nanti kita tagih janji Obama bersama-sama.

Kayaknya hari ini Obama jadi Trending Topic semua masyarakat deh, nggak cuma di TV, Koran, dan media massa lain, tapi social network juga kayaknya.Oke lah, saya bercinta-cita ingin melanjutkan kuliah di Amerika suatu saat nanti. Semoga hubungan Indonesia Amerika sudah membaik ketika saya melanjutkan kuliah di sana.

Aja aja fighting, Obama!
Kalau ngomongin soal masa kecil, wah pasti akan ada banyak kisah yang bisa terungkap. Mulai dari hal-hal yang lucu se lucu lucu nya, sampai masalah yang najis se najis najis nya. Hahaha... Selama perjalanan hidup kita, pasti ada kisah yang menarik di sana. Kalau menurut versi gue, setiap kisah ada baunya.

Ini adalah sebuah notes yang gue copas dari notes temen gue di FB. Temen gila-gilaan waktu pelajaran EPS. Temen foto-foto labil. Hahaha... Temen gue itu bernama Rini Ayuningtias atau lebih gue kenal dengan Cinta Laura gadungan :p hahahaha.

Waktu aku kecil, aku rajin sekali menabung setiap hari di celengan (kadang celengan beruang, kadang ayam, kadang kucing hihihi). Dan setiap kali tanteku menggodaku untuk membagi isi celenganku jika sudah penuh nanti, aku selalu menolak sambil berkata “ini kan sengaja aku persiapkan kalau aku sudah besar nanti. Kalau uangku sudah banyak, nanti aku mau jalan-jalan keliling dunia. Aku mau keluar negeri pake uang di celenganku ini” begitu jawabku dengan polosnya. Ya, dari kecil aku memang bercita-cita bahwa suatu saat nanti aku pasti akan berkeliling dunia, waktu kecil aku ingin sekali jalan-jalan ke Paris dan melihat menara eiffel. Padahal waktu itu aku masih duduk di bangku taman kanak-kanak, tapi entah mengapa aku sudah punya angan-angan seperti itu jika sudah besar nanti.

Sampai aku duduk di bangku sekolah menengah atas, cita-citaku masih belum berubah. Aku tidak mengerti mengapa teman-temanku dapat dengan mudahnya mengatakan, aku ingin menjadi penulis, aku ingin menjadi guru, aku ingin menjadi dokter. Mereka sudah menemukan cita-cita mereka, sedangkan aku masih belum tahu mau jadi apa aku ketika besar nanti. Teman-temanku hanya tertawa begitu mendengar cita-citaku ingin jalan-jalan keliling dunia. Menurut mereka, ceritaku konyol. Mereka juga mengatakan, kalau punya cita-cita ya yang realistis lah, misalnya kamu mau jadi apa, profesi apa yang akan kamu geluti nanti..kalau cita-cita kamu itu sih lebih tepatnya sebuah khayalan, iya sih itu mungkin saja tujuan yang ingin kamu capai ketika kamu sudah punya cukup uang, tapi kan uangnya dari hasil pekerjaanmu..kecuali kalo kamu menang undian atau pake uang ortu kamu..jadi, apa pekerjaan yang mau kamu lakukan di masa depan itulah yang harus kamu pikirkan dari sekarang. Memang awalnya  mungkin sulit banget nemu yang cocok..tapi coba kamu gali lebih dalam apa minat dan bakatmu, barangkali salah satunya bisa kamu pertimbangkan loh buat ke depannya. Hm..benar juga ya kata-kata mereka itu. Biar kadang-kadang mereka keliatannya suka sok tau, tapi ternyata mereka bisa juga ngomong serius. Wah, kalau itu sih aku tahu jawabannya. Aku suka sekali nonton berita, sebenarnya bukan beritanya yang aku suka banget, tapi aku suka cara ngomong pembawa beritanya. Aku jadi berpikir, kayaknya seru juga ya jadi pembawa berita di televisi..udah cantik, kalo yang cowok ganteng, wawasannya luas, bahasa inggrisnya lancar lagi...wuuuih. cool banget. Kira-kira begitulah pemikiranku pada saat duduk di kelas satu SMA. Mendadak aku langsung menemukan cita-citaku. Ya, aku akan menjadi news anchor! Itu impianku, ya itu impian yang kemungkinan bisa dicapai lewat kerja keras. Dengan menjadi news anchor yang handal,aku punya kesempatan dikirim ke luar negeri..aku bisa jalan-jalan keliling dunia dengan caraku sendiri! Ih, hebat. Aku jadi nggak sabar, ingin cepat-cepat lulus dan kuliah.

Sejak itu..aku pengen banget kuliah komunikasi, terus aku berniat mengambil program penyiaran. Untungnya, jalanku mewujudkan mimpi itu menjadi sungguhan sedikit demi sedikit mulai terbuka..aku diterima di jurusan komunikasi UI lewat jalur simak. AAAH SENANGNYA..ketika pembagian prodi, aku pun menjatukan pilihanku kepada Jurnal. Mudah-mudahan mimpiku dari kecil itu akan tercapai..aku pun serius belajar, belajar, dan belajar. Meski banyak sekali cobaan yang aku lalui, aku berusaha untuk tetap tersenyum dan berpikir semua akan baik2 saja..aku bisa melaluinya..aku bisa aku bisa.

TERUS..MAKSUDNYA NOTE INI TUH APA YA? LANGSUNG AJA DEH GAN.. Sebenernya, ini motivasi yang terekam di otak dan hati gue yang selalu mucul dengan sendirinya..motivasi ini tiba2 mucul gitu aja..dia berperan ngebangkitin semangat gue setiap kali gue ngedown di Jurnal.. kadang2 gue suka mikir apa gue salah ambil prodi ya..? haha. kadang gue mikir ada aja yang menyulitkan langkah gue dalam kegiatan perkuliahan..apapun itu..misalnya yang paling ekstrem tuh yaa.. nilai gue bener2 nggak sesuai yg diharapkan, padahal gue tuh ngerasa banget udah pol-polan. Pokoknya paling bete banget kalo cost yang gue keluarin tuh nggak sesuai sama reward yang gue dapet!!!! Huh. Tapi..gue jadi merenung..kalo gue flashback lagi ke cita-cita gue semasa kecil..gue suka nggak tega nginget-nginget muka gue waktu bocah pas lagi bilang pengen banget jalan2 keliling dunia sambil ngoyang2in celengan (ngecek udah penuh apa belom). Gue juga nggak mau lagi putus asa di tengah jalan kalo inget2 masa sma gue yang ngotot banget pengen ngejalanin ini semua. Dan ketika kesempatan itu datang, kenapa gue malah banyak ngeluh sih? Jadinya gue baru sadar kalo selama ini gue tuh kurang bersyukur, padahal ini langkah yang tepat banget buat masa depan gue,tapi kadang2 gue suka mau lari dari itu semua..intinya,gue akan serius belajar di jurnal..demi mewujudkan mimpi gue yang satu itu. Gue nggak akan banyak ngeluh lagi..gue janji!!!! gue harus melakukan apa yang harus gue lakukan, ya apa yang baik2 untuk masa depan gue lah. Dan gue juga mau bilang makasih buat temen2 yang gue tag di notes ini..hehe. tanpa kalian, gue ga mungkin bisa semangat lagi setiap kali gue tertiban masalah, kalian adalah penghibur yang hebat (emangnya pelawak). Gue yakin ini belum seberapa, ini baru awal. Ya nggak? Haha.

Dan gue, mulai detik ini, nggak akan terlalu banyak galau..gue akan menyongsong masa depan gue dengan semangat n ceria. Dan sekali lagi..makasih banyak teman2 yang udah sabar mendengar/membaca/menyaksikan kegalauan gue selama saling kenal, kalian ibarat secercah cahaya dalam hidupku yang menerangiku di saat gelap zzzzzzzzz (ceritanya pengen unyu2an), terutama di saat2 gue sedang labil. Hehehehe ^_^

Anak kecil, dimana-mana memang selalu bermimpi untuk memiliki sesuatu, meraih sesuatu, mendapatkan sesuatu. Dulu, mimpi gue adalah pengen jadi insinyur pertanian karena gue suka nonton Petualangan Sherina dimana disitu bokapnya Sherina bekerja sebagai insinyur pertanian. Tapi setelah gue naik kelas ke kelas empat SD, gue bermimpi untuk menjadi seorang penyihir. Karena waktu itu gue suka banget sama Harry Potter. Level berikutnya, gue bermimpi untuk menjadi penulis karena gue mulai suka nulis cerita-cerita dan juga cerpen-cerpen. Dan sepertinya itu mimpi yang harus gue kejar sampai sekarang. Gue selalu ingin menyelesaikan novel yang sudah sejak lama gue rancang jalan ceritanya itu. Tapi belakangan ini benar-benar ada aja yang bikin gue nggak jadi nulis. Oh Tuhan... Impian yang lain, yang sampai sekarang ketika kuliah masih ingin dicapai selain menulis adalah bekerja di stasiun TV. Kalau Rini pengen jadi news anchor, maka gue pengen jadi kamera person. Selain itu gue pengen jadi sutradara film dan penulis skenario. Hahaha... Amin... Semoga Allah mengabulkannya.

Yang bisa gue ambil dari notes punya Rini adalah bagaimana caranya agar impian itu bisa memotivasi kita untuk meraihnya. Wah... semoga bener-bener bisa tercapai dan bisa memotivasi diri sendiri untuk terus berkarya.

Ah, ada satu mimpi lagi yang sampai sekarang pengen gue wujudkan: menjadi seorang ayah. Dang!
Kita nggak pernah tahu jalan kehidupan kita bakalan kayak gimana ke depannya. Apakah kita akan mengalami kemajuan, atau mungkin kita akan mengalami kemunduran. Apakah kita akan menjadi lebih baik atau bahkan kita akan menjadi lebih buruk. Apakah kita akan bisa memaafkan ataukah kita hanya bisa bertahan. Kita semua tahu, hidup ini seperti roda yang berputar. Kadang kita di atas, kadang kita di bawah. Tapi begitu menyakitkannya kalau posisi kita selalu saja ada di bawah tanpa pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi seseorang yang berada di atas.

Tuhan sudah merencanakan hidup kita seperti ini. Tuhan sudah menuliskan takdir kita akan seperti apa. Apa yang bisa kita usahakan, maka akan merubah takdir kita. Tapi apa yang diluar daya kemampuan kita, maka itulah yang menjadi takdir kita yang abadi. Sekali lagi, kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah kita masih bisa bernapas atau kita sudah terhimpit papan dan tanah. Bisa saja kemarin seseorang mencintai kita, namun besok dia sudah benci pada kita. Bisa saja kemarin seseorang masih menjadi teman kita, tapi besok dia sudah menjadi musuh kita.

Dunia ini hanya sekedar persinggahan dimana kita harus berusaha untuk melakukan yang terbaik untuk kehidupan kita yang selanjutnya. Itu artinya, kita harus tetap bangkit untuk maju dalam perubahan menuju kebaikan, walaupun kita selalu berada di bawah, walaupun kita tak lagi punya teman dan walaupun kita tak lagi punya seseorang untuk kita cintai. Kita harus bisa menerima takdir yang sudah dituliskan untuk kita, apalagi kalau takdir itu berubah karena kesalahan kita sendiri. Ingat, jika seseorang yang pernah hadir dalam hidupmu, yang pernah membutuhkanmu, yang pernah menjadi bagian dari hidupmu hilang dan pergi karena sesuatu yang tak kau mengerti, maka percayalah, walaupun dia pergi dan tak mungkin kembali lagi, tapi dia tetap akan menjadi orang itu, menjadi orang yang ada dalam hidupmu, menjadi orang yang membutuhkanmu, dan menjadi bagian dari hidupmu. Tak akan ada yang bisa merubah itu, walau bagaimanapun kau mengingkarinya. Apa yang telah kita lalui bersama dia, apa yang telah terjadi diantara kita dan dia adalah sesuatu yang akan tertanam dalam hati kita dan akan sulit sekali untuk dilepaskan. Walau bagaimanapun cara kita untuk melupakan masa lalu kita dengannya, tetap saja, kenangan itu akan selalu melekat dalam diri kita dan seakan menjadi bayangan yang tak bisa jauh dari kita. Dia mungkin sekarang membencimu, tapi suatu saat dia pasti akan kembali seperti asalnya dulu, membutuhkanmu dan mencintaimu.

Percayalah, sesuatu yang pergi darimu, akan kembali dengan lebih baik dan lebih sempurna. Apa yang telah hilang darimu, akan kembali dengan kebahagiaan yang dulu pernah dibawanya, bahkan akan lebih dari itu. Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi besok, karena kita hidup di hari ini. Kita hanya bisa tahu apa yang akan terjadi besok jika kita berani menghadapinya. Karena jika kita hanya diam dan tak berbuat sesuatu, maka hari esok tidak akan ada buat kita.

What that I wanna say is, face your sorrow like you face your happiness.
Hadapi keterpurukanmu seperti kau menghadapi kebahagiaanmu.

-if you need to scream, then scream-


10 FILM TERBAIK PILIHAN JURI

setelah selesai penjurian @subtitle Darmawangsa Square
(dari kiri ke kanan)Armantono, Jajang C Noer, Sheila Timothy, Iman Brotoseno
Setelah menimbang dan menilai film pendek dari seluruh peserta, para juri (Jajang C Noer, Sheila Timothy, Iman Brotoseno, Armantono) sepakat memilih 10 film pendek yang disebutkan dibawah sebagai 10 film pendek terbaik dari seluruh peserta dan masuk ke final. Selamat ya!!

10 Judul  Film pendek yang lolos final  adalah :

1. Harmoni
2. Jendral Sudirman Kalah Strategi
3. Makan Aja kok Repot
4. Plural
5. Aku Cinta Manchester United dan Jilbabku
6. Sama, Bukan Cerita Cinta
7. Aku, Sahabatku, Indonesiaku
8, Bedug
9. Meily
10. Jalan Sempit

10 Film tersebut akan diputar pada,


Tanggal : 10 November 2010
Tempat : Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia-Depok
Waktu : 09.30 - 17.00

PENGUMUMAN JUARA 1, 2, dan 3, akan diumumkan diakhir acara. Penyerahan hadiah kepada para pemenang akan diserahkan langsung oleh para Juri :)

Sekali lagi kami ucapkan selamat kepada 10 finalis, siapakah yang akan menang? penasaran? ayo datang! ACARA GRATTIISSS


( copas dari http://lombafilmpendekuifest.blogspot.com/2010/11/10-film-terbaik-pilihan-juri.html )
Rasanya seperti melayang di udara tanpa ada beban. Ya, ketika aku melihatmu ada di depanku, itulah yang aku rasakan. Setiap hari bisa melihat wajahmu, senyummu, dan setiap gerak-gerikmu membuatku merasa tenang. Setidaknya aku tak perlu mengkhawatirkanmu karena kau dekat. Hanya saja jika akhir minggu datang, aku mulai galau dan labil. Aku tak bisa bertemu denganmu selama dua hari dan itu menyiksa. Sungguh... berjalanpun rasanya gontai tak karuan. Aku hanya memikirkan dirimu. Senyummu. Wajahmu. Gerak-gerikmu. Andai kau tak ada, aku tak tahu apa jadinya aku.

Mungkin kau tidak merasakannya karena kau tak tahu bagaimana perasaanku, benar kan? Andai saja aku bisa memberitahukannya. Andai saja aku bisa mengungkapkannya. Andai saja tidak ada seseorang yang kau sebut pacar sedang bersamamu saat ini. Aku pasti sudah jadi milikmu. Tidak... kau yang menjadi milikku. Namun, akankah itu terjadi? Bilamana?

Aku tak bisa berhenti berpikir bahwa aku adalah orang yang bodoh. Mencintaimu sampai sejauh ini namun tak sekalipun berani mengungkapkannya. Aku adalah orang yang munafik. Selalu memberitahukan pada teman-temanku bahwa mereka harus jujur pada perasaan mereka sendiri. Tidak perlu menyembunyikan perasaan mereka pada orang yang mereka sayang. Tidak usah membuang-buang waktu sebelum terlambat. Munafik. Aku bahkan tak berani menatap lurus ke mata hitam berlian itu saat kau ada di depanku. Aku tak punya keberanian apapun. Aku lemah. Seketika.

Perasaan ini kuat, namun tak boleh begini terus. Aku bukan tak mau mengatakannya, tapi aku menghormati duniamu, dan dunia kekasihmu. Klise... tapi aku benar-benar tidak ingin merusak apapun jika itu menyangkut kebahagiaanmu. Menyimpan perasaan ini memang benar menyakitkan. Tapi terkadang perasaan seperti ini membuatku nyaman dan aku mulai menikmatinya. Ya... menikmati menatapmu dalam diam, menikmati euforia kesenangan jika bersamamu dalam diam, menikmati kecemburuan dalam diam, menikmati setiap senyumanmu dalam diam, menikmati bisikanmu dalam diam, menikmati ayat-ayat yang kau bacakan dalam diam, menikmati indahnya ciptaan Tuhan yang ada padamu dalam diam.

Suatu saat nanti, ketika bumi sudah berputar secara normal, ketika matahari kembali memanas, ketika gunung-gunung tenang tanpa letusan yang menyeramkan, ketika angin berhembus ke arah utara, ketika langit biru tanpa awan, ketika hujan turun ditengah gelapnya malam, ketika aku sudah ada keberanian itu... pasti akan kukatakan...
Sepenting apa kencan pertama menurut lo? Apakah lebih penting dari makan, tidur atau main facebook dan twitter? Untuk sebagian orang mungkin penting, tapi tidak untuk sebagian yang lain. Tapi bagaimanapun juga, seseorang yang sudah jatuh cinta dan suka sama cewek atau cowok, pasti pengen yang namanya punya kencan pertama. Bisa jadi kencan pertama itu sebagai pengingat bahwa si cowok dan si cewek ( atau cewek dan cewek atau cowok dan cowok, whatever ) sekarang sedang menjalin sebuah hubungan yang disebut pacaran. Bisa jadi juga, kencan pertama sebagai sebuah ajang unjuk kekayaan dari seorang cowok yaitu dengan mentraktir ceweknya makan, minum, nonton, belanja, dan sebagainya. Bisa jadi...

Menurut gue, kencan pertama tidaklah begitu penting. Gue lebih memilih untuk menjalani hari-hari biasa bersama dengan orang yang gue sayang di kampus, sekolah, dan dimana aja gue bisa bareng dia dibandingkan gue harus memilih untuk mengajaknya jalan-jalan satu malam penuh dan menghabiskan uang. Hahaha... pelit? Mungkin iya. Gue bukan orang yang banyak uang jadi wajar kalau pelit. Gue juga belum kerja dan belum punya penghasilan sendiri. Hehehe... Tapi buat gue, kencan pertama itu tidaklah begitu spesial lagi karena setiap hari bertemu dengan dia adalah hal yang spesial dan gue lebih memilih itu. Maksudnya begini, entah kenapa gue lebih suka kalau kita bareng-bareng di tempat dimana kita bisa menunjukkan siapa diri kita yang sebenarnya daripada harus duduk berdua di satu meja dan saling tatap dan saling jaim-jaiman. Rasanya ada yang aneh gitu. Jadi kencan pertama disini mungkin bisa gue sebut sebagai jalan-jalan biasa.

Cuma... nggak bisa dipungkiri lagi kalau cewek suka diajak keluar. Gue pernah baca satu buku di mana kebanyakan cewek pasti seneng kalau diajak makan malem romantis, dikasi bunga atau cokelat, diajak nonton, dipegang tangannya, dicium keningnya, dirangkul, dan sebagainya. Bener nggak sih? Kalau gue perhatiin mungkin nggak semua cewek suka sama hal-hal seperti itu. Tapi kebanyakan, iya. Cewek punya segudang impian yang disimpan dalam memori di otaknya. Impian tentang punya seorang pacar yang mau mengajaknya jalan-jalan ke sebuah tempat yang bagus, yang bisa ngajak makan dan minum yang enak setiap kali kencan, dan bisa memberikan fasilitas yang menarik seperti misalnya tumpangan. Dan yang harus bertanggung jawab atas semua itu adalah si cowok.

Gue pernah denger cerita dari seorang temen bahwa ada kalanya cewek yang membayar semua makan malam, ada kalanya cewek yang membayar tiket bioskop, ada kalanya cewek yang melakukan sesuatu lebih dibandingkan cowok. Kala itu adalah ketika si cowok kehabisan uang. Hmmm... Beruntungnya temen gue itu dapet seorang cewek yang baik dan mau menanggung segalanya ketika dia kehabisan uang. Hahaha... Dan entah kenapa itu adalah hal paling romantis yang gue denger dari dia.

Sebagai anak yang berteman dengan laptop dan ide cerita drama mellow, gue menikmati hidup gue yang tidak punyca pacar. Setidaknya gue bisa menghemat pengeluaran setiap malam minggu. Pikiran yang polos dan naif sih, tapi yah, sendiri itu lebih baik untuk saat ini. Kenapa harus bingung memikirkan pacar kalau memang sudah ada seseorang yang diciptakan untuk kita? Hahahaha... *sok*
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Hey, It's Me!



kpop blogger, kpop podcaster, social media enthusiast, himself


Author's Pick

Bucin Usia 30

Satu hal yang gue sadari belakangan ini seiring dengan pertambahan usia adalah kenyataan bahwa gue mulai merasakan perasaan-perasaan yang ng...

More from My Life Stories

  • ▼  2024 (5)
    • ▼  Maret (2)
      • Menjadi Dewasa yang Sebenarnya
      • I Know..., But I Dont Know!
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2023 (4)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2022 (12)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (2)
  • ►  2021 (16)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (9)
    • ►  April (1)
    • ►  Februari (2)
  • ►  2020 (49)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (6)
    • ►  Juli (20)
    • ►  Juni (4)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (2)
  • ►  2019 (22)
    • ►  Desember (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (4)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2018 (23)
    • ►  Desember (1)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2017 (20)
    • ►  Desember (2)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Juli (4)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2016 (36)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (6)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (9)
  • ►  2015 (44)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (6)
    • ►  Oktober (5)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (4)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (5)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2014 (34)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (5)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (5)
    • ►  Januari (8)
  • ►  2013 (48)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (6)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (5)
    • ►  Januari (7)
  • ►  2012 (98)
    • ►  Desember (7)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (6)
    • ►  Agustus (6)
    • ►  Juli (5)
    • ►  Juni (8)
    • ►  Mei (10)
    • ►  April (10)
    • ►  Maret (19)
    • ►  Februari (12)
    • ►  Januari (9)
  • ►  2011 (101)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (10)
    • ►  September (7)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (8)
    • ►  Juni (6)
    • ►  Mei (7)
    • ►  April (9)
    • ►  Maret (25)
    • ►  Februari (13)
    • ►  Januari (5)
  • ►  2010 (53)
    • ►  Desember (14)
    • ►  November (17)
    • ►  Oktober (5)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (6)
    • ►  Juli (7)

Podcast ngedrakor!

Podcast KEKOREAAN

#ISTANEXO

My Readers Love These

  • 'Sexy, Free & Single' Music Video: Review Saya!
  • Are You Ready for Your SM Global Audition Jakarta?
  • EXO CHEN! Siapa Member Lainnya?
  • EXO MAMA MV: Review Saya! [PART 1]
  • Crazy Little Thing Called Love: REVIEW
@ronzzyyy | EXO-L banner background courtesy of NASA. Diberdayakan oleh Blogger.

Smellker

Instagram

#vlognyaron on YouTube

I Support IU!

Copyright © 2015 kaoskakibau.com - by ron. Designed by OddThemes