
Kalau lo adalah orang yang kayak gue, lo pasti ngerti gimana susahnya jadi fans artis-artis SMTOWN. Oke sih nggak semua artisnya tapi mostly boygroup sama girlgroup mereka. Kenal Kpop pertama kali dari manajemen yang bersangkutan kemudian keterusan kecemplung di dunia fana yang nggak berujung tapi menyenangkan ini bikin gue nggak bisa lepas dari SM Entertainment. Dulu waktu masa-masa suka Super Junior, agak malu nyebut diri ELF karena beli CD aja nggak pernah. Pas akhirnya mutusin buat komitmen beli CD, eh udah nggak sesuka itu lagi sama mereka. Walaupun sebenarnya waktu itu beli CD-nya pun sebagai “persembahan terakhir” karena curiga mereka akan bubar setelah 2011. LMAO. Akhirnya mereka malah ke Indonesia 2012 dan ke sini terus sampai 2015.
Persembahan terakhir paledut.
Di masa-masa gue suka Super Junior gue juga dengerin SNSD. Tapi nggak pernah berani menyebut diri Sone. Bahkan walaupun SHINee yang memperkenalkan gue ke Kpop sejak 2008 dan gue sudah mendengarkan mereka sejak debut, gue nggak pernah mau sok-sokan menyebut diri gue Shawol. Dulu buat gue identitas fandom itu nggak terlalu penting. Apalagi kalau misalnya itu akan membatasi lo untuk suka atau mendengarkan grup-grup lain. Dulu, ada masanya ketika multi-fandom itu dianggap sebagai sesuatu yang najis dan hina.
“Lo kan ELF, kok lo dengerin SNSD sih! Mereka kan musuhnya SJ! Mereka tuh ngambil daesang-nya SJ tauk!”
Ya lo makan deh tuh daesang.
Kalau ngomongin tentang film Indonesia favorit di era tahun 2000-an, mungkin akan ada beberapa film yang muncul pertama kali di kepala gue. Tiga di antaranya gue tonton berulang-ulang dan tidak pernah bosan. Yang pertama adalah 'Petualangan Sherina' dan yang kedua 'Ada Apa Dengan Cinta'. Ini adalah tontonan wajib semua anak dan remaja di era itu selain mereka selalu dicekoki dengan Warkop DKI dan film setan Suzanna di TV. Buat mereka yang seumuran gue alias millennials, dua film ini semacem teman masa sekolah banget. Waktu SD gandrung banget sama Sherina dan Sadam lalu ketika SMP gue pun mulai mengenal Cinta dan Rangga. Kalau gue dikasih tantangan buat mengucapkan dialog-dialog dalam dua film ini gue percaya diri pasti menang. Saking seringnya gue nonton 'Petualangan Sherina' dan 'Ada Apa Dengan Cinta' gue pun hapal dialog di setiap adegan.
Gue memang freak. Sorry not sorry. But anyway, thanks.
Di sebuah petang di bulan Puasa tahun 2012 sedang turun hujan deras sekali. Seolah-olah sengaja menemani Bapak, Ragil, Adek, Raga dan pacarnya yang bernama Sukma, yang sedang buka puasa bersama di rumah tua milik Bapak. Walaupun tidak pernah diberitahukan berapa usia rumah itu tapi dari penampilannya saja bisa ketahuan kalau rumah itu sudah tua sekali. Setidaknya sudah tiga puluh atau empat puluh tahun. Tidak terlihat sosok Mama di rumah itu karena ternyata Bapak dan Mama sudah berpisah sejak lama. Mama tinggal bersama Adek di rumah yang berbeda, Raga dan Sukma tinggal bareng meski belum menikah (juga di rumah yang berbeda yang lebih modern), sementara Bapak tinggal bersama Ragil di rumah tua yang tidak mau direnovasi oleh Bapak karena katanya sudah nyaman.
Bapak, Adek, Ragil, Raga dan Sukma sempat memainkan sebuah permainan anak-anak asal Korea Selatan sebelum akhirnya acara buka puasa selesai. Ketika mengantar Raga dan Sukma ke pintu depan, Bapak nyeletuk misterius soal nama Raga dan Sukma. "Nama kalian cocok." katanya. Sukma (perempuan ini adalah sosok yang cerdas tapi sangat 'receh' kalau sudah menyangkut hal-hal cinta dan hubungan asmaranya dengan Raga) penasaran dengan celetukan Bapak dan meminta Raga menjelaskannya. Di dalam mobil kemudian Raga mulai menceritakan apa yang dimaksud Bapak.
Dan sampai di situ, gue masih nggak ngerti sebenarnya ini film tentang apa.
WAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAAHAHAHHAHAHAHAHAH
Gue agak menyesal buru-buru buka DM ketika Jeno (nama handphone gue) memberitahu ada notifikasi dari Instagram. Kalau isinya cuma kayak gitu mending gue swipe kiri aja terus dibaca nanti-nanti. Gue bukan tipe orang yang suka ngebiarin notifikasi numpuk sampai puluhan baru dibaca kecuali kalau kondisinya sangat sibuk banget. Gue mungkin orang yang paling fast response di seluruh dunia bahkan ngalahin online shop kesayangan lo. Tapi ya kadang-kadang agak kesel aja kalau misalnya udah buru-buru dibuka terus isinya cuma komentar pendek yang terkesan sok tahu.
Mungkin gue terdengar agak nyolot di bagian “sok tahu” tapi memang begitu adanya. Dan mungkin lo agak bingung kenapa tiba-tiba gue kayaknya marah-marah dibilang galau di DM Instagram. Sebenarnya ini mau ngomongin apa sih? Sebenarnya siapa sih yang ngatain gue galau? Sebenarnya posting-an kali ini tentang apa sih?
Hai... Kau baik-baik saja?
Ah... pertanyaan bodoh. Pasti kau tidak baik-baik saja. Tentu saja tidak baik-baik saja. Kalau kau baik-baik saja, aku tidak akan mendengar apapun yang aku dengar dari teman-temanku petang ini. Kalau kau baik-baik saja aku tidak mungkin membaca semua yang aku baca di internet jelang malam ini.
Jadi, bagaimana kabarmu? Hidup belakangan ini terlalu berat ya?
Ada berapa perpisahan dan selamat tinggal yang kalian alami selama setahun terakhir?
Mungkin ada dari kalian yang akan menjawab satu atau dua, ada juga yang mungkin menjawab pertanyaan di atas dengan “nggak ada”. Ya, bisa dimaklumi banget sih karena kan kehidupan masing-masing individu di universe dan di alternate universe ini beda-beda. Ketika lo sedang duduk-duduk menikmati susu pisang sambil mikirin mau nulis apa di blog lo akhir pekan ini mungkin di saat yang sama ada orang yang sedang bergelut dengan perasaannya karena mereka akan ditinggal pergi oleh orang terdekat. Tapi pertanyaan gue di awal posting-an ini adalah pertanyaan yang serius. Jadi silakan dijawab dalam hati atau kalau memang kalian mau berbaik hati dan repot-repot silakan meninggalkan komentar di disqus di bawah posting-an ini. Kalau kalian mau melakukan itu gue akan sangat berbahagia.
Pertanyaan gue selanjutnya, apakah setelah mengalami perpisahan itu kalian jadi beneran sedih parah yang sesedih itu? Yang sampai gloomy banget sepanjang hari ketika mengalaminya?
Kehilangan banget kah sosok itu ketika dia pergi? Atau mungkin di kepala kalian mendadak malah muncul pikiran-pikran tentang kesendirian, kesepian, dan semacem “wah gue akan sama siapa nih kalau dia nggak ada? Apakah masih ada yang lain yang bisa sedeket itu sama gue selain dia?” setelah itu?
Ataukah mungkin sampai kalian merasa dada kalian sesak dan sampai mau nangis? Atau bahkan mungkin kalian sama sekali nggak terlalu mikirin banget karena kalian tipe orang yang “ah yaudah namanya juga hidup kan ada pertemuan ada perpisahan”?
Gue nggak mau terus-terusan bertanya sebenarnya tapi gue beneran penasaran. Kalau kalian memang penganut statement terakhir gue di paragraf sebelumnya dan termasuk orang yang “yaudah yang pergi memang udah waktunya pergi”, gimana sih cara kalian membuat diri kalian baik-baik aja setelah itu? Gimana sih kalian bisa tetap kalem dan tenang dan seolah tidak terjadi apa-apa dalam hidup kalian dan tidak ada perpisahan sama sekali? Baaimana kalian menghadapi situasi itu dan me-maintain hati kalian untuk nggak terlalu merasakan kesedihan berlebih? Apakah memang semudah itu ya? Apa cuma gue yang terlalu drama dan merasa kalau apapun yang sudah menyangkut perpisahan dan mengucapkan selamat tinggal pasti akan jadi sesuatu yang berat?
Gue mau jujur sama kalian karena kalian adalah pembaca setia blog ini dan gue merasa punya kedekatan dengan kalian semua: gue ini orang aneh.
Eh... itu sih nggak bukan rahasia ya? Ahahahaha

“Sori, tadi kesasar makanya lama. Sebel banget padahal cuma dari Blok M doang ke sini tuh kayak tinggal belok kanan. Tapi maps-nya kok jadi kayak muter-muter!”
Nggak ada kesan kesal dalam keluhan gue itu. Lebih ke malu sebenarnya. Gue baru beberapa hari naik motor di Jakarta dan sedang senang mengeksplor tujuan-tujuan baru selain kosan ke kantor dan kantor ke kosan. Makanya ketika temen gue, sebut saja namanya Dewa, ngajak gue ke Masjid Agung Al Azhar untuk menghadiri sebuah kajian di suatu hari Rabu beberapa waktu lalu langsung gue iyakan. Bukan hanya karena gue pengen sekali-sekali berkendara dari kantor ke tempat lain untuk memperluas wawasan gue soal jalanan Jakarta, tapi juga karena gue tertarik dengan pembahasan kajiannya hari itu. Dan kebetulan gue butuh ke Blok M untuk beli bubble wrap untuk kirim hadiah giveaway sekaligus mampir ke Gramedia buat beli buku titipan temen. Wah banyak ya alasannya. Dan ketika kita berdua mutusin buat keluar dari masjid di akhir acara lalu melipir untuk makan nasi goreng di pinggiran kampus Al Azhar, gue langsung cerita pengalaman gue naik motor ke daerah ini untuk pertama kalinya.