Musim Semi dan Sungai Thames [Part 1]


About the past, present, and future.
Mungkin kalian akan sangat lelah mendengarkan gue mengeluh soal penyesalan demi penyesalan. Gue pun begitu. Dalam hidup kita sering dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang seringkali nggak mudah. Walaupun kondisi “nggak mudah” itu sendiri sebenarnya datang dari keribetan kita sendiri. Contoh sederhana di pagi hari misalnya, ketika lo bingung harus pakai baju yang mana ke kantor. Padahal kondisinya kantor lo sangat membebaskan dalam hal pakaian asal sopan dan rapi. Peraturan yang seharusnya bisa mempermudah lo dalam mencari outfit of the day. Gue selalu bilang ke diri gue, “Selama lo bukan selebgram yang setiap hari hidupnya harus punya foto OOTD, gue nggak melihat alasan buat lo untuk bingung milih baju.” Toh orang-orang juga nggak ada yang pernah mengomentari baju yang lo pakai. Itulah yang gue sukai dari Jakarta. In some condition, people don’t give a shit with what you are wearing. They don’t give a shit with your life even. Karena mungkin deep down inside mereka juga punya masalah yang lebih penting untuk dipikirkan. Tapi sekali lagi, kecuali lo adalah selebgram yang harus posting foto OOTD setiap hari, mungkin people do give a shit about your damn looks. Tapi setiap kali gue misalnya, entah mungkin sekali dalam setahun, merasa sangat kepikiran soal baju yang harus gue pakai ke kantor itu dan lama memutuskan untuk memilih yang mana, gue akan ingat satu hal: bahwa ada orang yang mungkin selalu pakai baju yang sama karena mereka nggak terlalu punya banyak baju untuk dibingungin.

Sama halnya dengan pertanyaan “hari ini mau makan apa?”

Kalau lo udah ngekos selama bertahun-tahun dan bertahun-tahun juga bekerja dengan penghasilan pas-pasan mungkin lo nggak akan terlalu ribet soal makanan. Kalau sedang di kosan gitu ya, gue jarang banget mikirin hari ini mau makan apa. Karena gue adalah tipe orang yang setia pada satu menu sampai gue merasa gue harus menggantinya atau sampai menu itu nggak available lagi di warteg langganan gue. Dari zaman kuliah, menu gue selalu hanya 1 jenis lauk dan 1 jenis sayur. Pernah selama enam bulan penuh gue hanya makan telur dadar dan tumis kacang panjang. Pernah juga selama enam bulan berturut-turut menu gue ikan tongkol/ikan cuwek (yang gue sendiri tidak yakin penulisannya benar atau bahkan tahu apa bahasa Indonesia yang benar untuk jenis ikan itu) dan sayur sop. Setelah masuk ke dunia kerja, gado-gado jadi forever favorite gue. Karena apa sih yang bisa mengalahkan aroma khas bumbu kacang dan campuran sayur-sayuran murah meriah itu? Gue bisa makan gado-gado dua bulan penuh karena sangat affordable dan mengenyangkan. Belakangan ini gue lagi suka ketoprak. Bumbu kacang is my life.


Ketika gue sudah bisa afford makanan yang lebih mahal, gue jadi lebih fleksibel soal makanan. Kalau menu di kosan sih tetap paling itu lagi itu lagi. Tapi sekarang gue jadi lebih berani spend more untuk makan di luar kalau lagi jalan misalnya. Nggak lagi kepikiran “kalau gue beli ini, berarti besok gue nggak boleh makan mahal. Besok harus makan prihatin.” Karena dulu gue seperhitungan itu bahkan ke diri sendiri. Tapi gue pikir, mereka yang memulai semuanya dari gaji yang cuma Rp 2 juta sebulan sih pasti akan memiliki pola pikir yang sama. Kalaupun enggak juga nggak apa-apa sih. Mungkin itu cuma gue aja. Yang jelas semuanya harus disyukuri. Masih untung bisa mempertanyakan “hari ini mau makan apa?” sedangkan mungkin di luar sana banyak orang yang nggak punya pilihan sama sekali, kan?

Pilihan yang “nggak mudah” dalam hidup gue sih bukan soal makanan atau memilih baju. Yaitu menentukan jalan karier profesional di dunia kerja. Mau jadi apa gue? Mau ke mana gue? Apakah ini yang gue inginkan? Apakah ini yang benar-benar gue inginkan? Sekali lagi, apakah ini yang benar-benar gue inginkan? Yang gue butuhkan?

Pertanyaan itu menyerbu kepala ketika gue ditawarkan pekerjaan baru dan harus resign dari pekerjaan gue sebagai reporter Kpop. Because I know myself and I love that job so much at that time. Tapi kemudian gue pikir lagi, apa iya ini yang gue inginkan? Apa iya ini yang mau gue jadikan jalan hidup? Apa iya gue mau di sini di sini aja?

It was a very hard choice to make.

Tapi akhirnya gue mengambil keputusan untuk keluar dari pekerjaan itu.

Dan gue menyesalinya.

Sampai setahun yang lalu.

Pernah ada yang nanya ke gue, “Bagaimana sih lo bisa mengambil keputusan yang besar dalam hidup dan merasa itu adalah jalan yang terbaik buat lo?”

Hahahaha. Ketika dihadapkan dengan pertanyaan seperti itu, gue malah bingung bagaimana gue menjelaskan prosesnya. Jujur aja ketika gue memutuskan untuk berhenti menjadikan reporter Kpop sebagai pekerjaan utama gue, mualnya sampai berhari-hari. Semaleman gue nggak bisa berhenti memikirkan bagaimana gue tanpa pekerjaan yang gue sukai ini. Berhari-hari gue galau soal “kesukaan” dan “realita”. Tapi gue akhirnya menyerah pada “realita”. Padahal sebelumnya gue adalah orang yang sangat tidak mau menjadikan uang sebagai orientasi dalam bekerja. Yang pertama adalah suka. Yang kedua adalah nyaman. Yang ketiga adalah bekerja dengan senang hati. Yang keempat baru reward. Tapi saat ditawari pekerjaan di rumah produksi itu gue akui gue sangat greedy. I want something more from what I get in my previous job (in terms of money). And yeah, sadly, it’s all about money after all. Dan lihat kan, bagaimana ujungnya? I don’t even enjoying my everyday life. I’m faking a lot of things.

Gue sempat merasa kesal sampai benci sama diri gue sendiri waktu itu.

“Bodoh. Lo udah mengambil keputusan yang salah! Sekarang coba lihat apa yang terjadi? Mana bisa lo kembali ke situasi yang dulu?”

Gue menyesali keputusan gue itu.

Tiga bulan terakhir di tempat kerja itu gue udah kayak orang mati.

Tapi at least gue mendapatkan pelajaran: “Lihat kan, apa yang terjadi kalau lo hanya mengejar uang?”

Walaupun tentu saja, mengerjar uang itu membawa hal positif juga di beberapa sisi. Termasuk ketika mendapatkan pekerjaan setelahnya.

Ada momen di mana gue merasa down banget di awal tahun 2017 itu. Gue ingin lari. Gue ingin kabur dari semuanya. Gue ingin sendiri. Dalam periode itu gue jadi rajin nulis hal-hal yang serius. Gue jadi nggak pernah nonton drama Korea lagi. Gue hanya fokus ke bagaimana caranya supaya gue bisa mengembalikan semangat bekerja gue yang dulu. Kembali ke mindset “work hard, and you’ll be rewarded”. Jeleknya gue adalah gue selalu merasa tidak punya kontribusi apapun dalam tim. Gue tidak merasa melakukan apa-apa. Gue selalu merasa bahwa gue tidak dibutuhkan dan tidak berguna. Dan gue selalu merasa butuh dukungan verbal. Butuh feedback atas apa yang gue lakukan. Jadi gue tahu kalau gue salah. Dan gue juga tahu apakah gue melakukan sesuatu yang benar. Sisi jelek yang pada akhirnya malah membuat gue semakin terpuruk dalam sebuah keadaan yang nggak cuma merugikan gue secara psikologis, tapi membuat atmosfer tempat kerja jadi sangat nggak enak. Karena gue merasa gagal mengembalikan semangat bekerja gue dan merasa tidak mampu menghadapi tekanan-tekanan pada saat itu, akhirnya gue menyerah.

Gue keluar lagi dari pekerjaan yang padahal seharusnya bisa bikin gue gain something more if only I stayed. Tapi gue menyerah. I need a break. I need to starts everything from zero. Mulai dari awal lagi. Dan kali ini, gue janji, gue nggak akan pernah mengeluh soal pekerjaan lagi. Gue akan kembali jadi Ron yang dulu semangat banget nulis Kpop setiap hari. Yang semangat banget liputan dari konser satu ke konser yang lain. Walaupun gue nggak bisa lagi melakukan “pekerjaan yang sesuai hobi” itu, tapi paling nggak gue punya semangat untuk menjadikan pekerjaan gue yang baru ini sebagai sesuatu yang gue sukai. Bukan sesuatu yang membebani.

I fixed my mindset.

I’ve moved on.


Jadi gue pindah ke tempat kerja gue yang sekarang dengan pikiran yang lebih terbuka. Lebih wise, tentu saja. Menghadapi semua kemungkinan-kemungkinan dengan legowo tanpa terlalu parno yang nggak perlu. Bisa dibilang gue lebih berani mengambil risiko juga dan nggak takut lagi berada dalam situasi yang tertekan. Because hell yeah, 10 bulan yang lalu gue kurang tertekan apa lagi coba? Apa iya ada kondisi yang lebih menekan dari 10 bulan terakhir? Begitu pikir gue. Kalau dilihat sebelah mata mungkin memang kesannya kayak “Sok banget taik!” tapi ini adalah cara gue untuk meyakinkan diri gue bahwa gue bisa menghadapi semua yang akan datang di jalan kehidupan dan jalan karier yang baru ini. Karena gue tahu, nggak ada yang bisa memberikan gue motivasi yang sesuai dengan apa yang gue harapkan, selain diri gue sendiri.

Kalau nggak ada yang ngasih lo puk-puk, ya puk-puk lah diri lo sendiri. Kalau nggak ada yang menyemangati lo, semangati diri lo sendiri. Kalau nggak ada yang memberikan motivasi ke lo, motivasi diri lo sendiri. Kalau lo merasa nggak ada yang peduli sama lo, setidaknya kan lo harus peduli sama diri lo sendiri. Ini hidup lo. Kalau lo terpuruk kan lo yang harus menjalaninya juga. Orang lain mungkin akan bodo amat karena mereka pun mungkin terlalu sibuk dengan masalah-masalah mereka sendiri.

Lalu apakah gue suka pekerjaan gue sekarang?

Ya.

Apakah ini pekerjaan yang selama ini gue impikan?

Tidak, karena gue masih ingin jadi reporter Kpop (LMAO!).

Tapi yang perlu gue garisbawahi di sini adalah jawaban dari pertanyaan yang pertama. Terlepas dari apakah ini pekerjaan impian gue atau bukan, itu nggak masalah. Yang penting gue menyukai pekerjaannya. Itu yang pertama. Karena dari situ gue akan jadi orang yang paling nggak tidak akan mengeluh soal pekerjaan. Gue nggak tahu kalau orang lain, tapi gue mengharamkan diri gue untuk mengeluhkan apapun soal pekerjaan. Rasanya kayak nggak bersyukur kalau kayak gitu.

Lalu, apakah gue pada akhirnya akan pindah ke pekerjaan impian gue?

Ya. Kalau kesempatan itu ada.

Ke mana?

SM Entertainment.

WAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA. Let’s see. Maybe 10 years from now, gue akan jadi salah satu orang di balik sukses dari boyband/girlband SM Entertainment. Siapa tahu. Namanya juga PEKERJAAN IMPIAN.

Memulai lagi dari nol selalu jadi sesuatu yang nggak mudah. Begitu juga dengan gue. Pindah kerja berarti jadi anak baru lagi. Bersosialisasi dengan orang baru lagi. Harus menyesuaikan diri ulang dengan lingkungan. Harus memulai pencitraan lagi (eh hahahaha). Budaya kerja yang baru. Deadline-deadline baru yang mungkin akan muncul. Ritme kerja yang baru. Dan semua hal yang mungkin nggak pernah gue temukan di pekerjaan yang sebelumnya. Tapi sekali lagi, apakah ada yang lebih nggak menyenangkan dari tekanan-tekanan di kantor yang sebelumnya? Kalau gue bisa survive 10 bulan sebelumnya, kenapa gue nggak bisa survive sekarang?

Gue juga berada dalam posisi itu kok. Posisi di mana lo berpikir “apakah ini jalan yang tepat dan terbaik?”

Ternyata gue nggak perlu menunggu lama untuk tahu jawabannya.

Belum sebulan gue pindah kerja, gue dapat undangan ke Korea di bulan puasa tahun lalu. Undangan yang mungkin nggak akan bisa gue hadiri kalau gue nggak memutuskan untuk pindah. Well, bisa, tapi mungkin gue nggak akan enjoy menjalaninya.

Gue menemukan kesenangan-kesenangan lain yang belum pernah gue dapatkan sebelumnya. I mean, come on. Kalau kantor lo menyediakan sarapan buat lo setiap hari, kurang menyenangkan apa coba? Selain kesenangan mungkin juga ketenangan. Gue kembali merasakan bagaimana kantor itu seharusnya jadi tempat yang menyenangkan. And this is it, I am back. I am happy again. Seperti karakter-karakter di Beauty and the Beast ketika mereka bahagia karena Belle datang ke kastil itu, memberi harapan bahwa mereka akan jadi “human again”.

Apa yang harus gue keluhkan?

Gue sedang berada dalam kondisi yang paling menyenangkan dalam karier gue sepanjang setahun terakhir. Gue nggak berharap apapun lagi deh. Apalagi liputan ke luar negeri, yang sebelumnya sempat beberapa kali gue lakukan waktu masih jadi reporter.

Tapi memang, jodoh nggak akan ke mana. Jodoh pasti bertemu.

Ya kan, Afgan?

Sore itu gue sedang dilanda banyak sekali pikiran-pikiran nggak penting. Ada kalanya kalau lagi di kantor, setelah melakukan rutinitas pekerjaan seperti biasanya, gue akan merasa kosong gitu. Kayak nggak tahu mau ngapain. Gue selalu datang pagi-pagi ke kantor belakangan ini. Biasanya jam setengah tujuh gue udah nangkring di meja kerja dan buru-buru ke pantry di lantai 10 buat sarapan. Ya, kantor gue sekarang menyiapkan sarapan buat karyawannya. Setiap kali gue duduk di pantry buat makan sereal atau nasi uduk gue selalu update di Instagram Stories dengan hashtag #SarapanDiKASKUS. Lo bisa cek di Highlight Instagram gue ada tab khusus yang didedikasikan buat posting-an sarapan itu. Dan nggak cuma sereal dan nasi uduk aja, sarapannya tiap hari ganti-ganti. Kadang bakso, kadang ketoprak, kadang nasi tim, kadang spaghetti. Macem-macem. Dan karena gue selalu dateng pagi, seringkali pekerjaan gue sudah selesai di jam setengah tiga atau jam tiga sore. Dan gue harusnya bisa pulang jam 4 sore karena regulasi kantor kami adalah datang lebih awal, pulang lebih awal yang penting mencukupkan 9 jam kerja di kantor.


Ketika pikiran sedang melantur sebenarnya gue membebaskan otak gue untuk berimajinasi. Hanya saja belakangan ini gue jarang baca buku jadi nggak tahu mau mengimajinasikan apa. Berakhirlah dengan kedatangan mendadak kenangan-kenangan lama yang gue sendiri nggak mau ingat-ingat lagi. Paling sebel kalau udah ada di kondisi itu. Kalau lagi nggak mau baper terus kepikiran hal yang bikin baper terus jadi bergidik sendiri dan “IHH APA SIH!” gitu. Seringkali gue ber-“IH!! APA SIH!” dengan suara keras dan membuat teman di sekitar gue jadi kayak ngeliatin gue dengan heran gitu. Ketika pikiran-pikiran baper soal kenangan-kenangan lama tentang dia (ehe) udah nggak lagi berkumpul di kepala gue, mendadak gue jadi merasa berdosa karena belakangan gue suka kesiangan solat subuh. Awal Mei kemarin ketika gue pulang kampung dan ketahuan kesiangan solat subuh sama nyokap gue dimarahin nggak abis-abis. Diceramahin nggak kelar-kelar. Seneng sebenarnya karena udah lama nggak denger nyokap marah-marah. Dan gue baru sadar kalau memang ternyata bolong solat itu kalau di rumah gue adalah hal yang diharamkan banget. Jangankan berzina, bolong solat aja ceramahnya nggak berenti-berenti. But that’s what I miss from home and my mom. Karena gue pulangnya juga jarang jadi gue menikmati setiap omelan itu karena nanti kalau udah di Jakarta, siapa yang mau ngomelin?

Omelan nyokap sedikit banyak bikin gue jadi lebih memikirkan dosa juga sih. Dan kadang dosa-dosa yang lama ini suka hinggap pas jam-jam kosong di kantor. Nggak ada lagu yang enak buat didengarkan, bahkan playlist lagu India yang gue bikin di Spotify gue. Akhirnya gue memutuskan buat bersosialisasi dengan orang-orang di sekitar. Di belakang gue ada Fauzi, salah satu temen kantor yang masuknya paling terakhir. Lulusan Unpad jurusan Manajemen, tapi sekarang kerja sebagai editor video di tempat gue bekerja. Kalau nggak salah dia kelahiran 1995 atau 1996 gitu dan yang jelas dia paling muda di antara kami semua di divisi ini. Gue nggak akrab-akrab banget sama dia tapi karena hari itu cuma dia yang lagi standby di meja, jadi gue samperin dia aja. Ngeliatin dia lagi ngerjain apa. Gue bawa bantal leher warna pink yang gue dapat di Incheon tahun lalu dan tiduran di space kosong di sebelah laptop Fauzi. Di situlah gue kemudian mendengar mas Syarif, salah satu senior di divisi gue, datang dengan sebuah berita yang menggelitik kuping dan membuat hati gue mencelos.

“Ada yang mau ke London nggak guys?”

10 bulan kerja di rumah produksi tahun lalu dan nyaris setahun gue kerja di sini, perasaan-perasaan menggebu ketika ditawari dinas luar negeri nggak lagi muncul dalam hati gue. Gue inget banget perjalanan dinas luar negeri pertama gue dulu waktu masih jadi reporter, disuruh ngeliput Beach Party yang diadakan sebuah kapal pesiar terkenal Singapura, yang sedang mampir ke Pulau Langkawi di Malaysia. Walaupun gue hanya ngerti Kpop, tapi bos gue nyuruh gue berangkat liputan party yang isinya orang-orang mabuk dan musik EDM khas DJ itu. Bermodalkan pengetahuan minim yang gue dapat dari internet dan towel official EXO Overdose yang gue punya, gue berangkat ke Langkawi dengan beberapa reporter lain dari Creative Disc dan KapanLagi.com di tahun 2014. Pengalaman pertama selalu melekat di kepala gue. Aroma alkohol di pinggir pantai dan warna-warni bikini yang dipakai cewek-cewek yang ada di sana masih segar rasanya di kepala gue.

“Wah, London,” kata gue dalam hati. Diam-diam menguping pembicaraan di meja sebelah tanpa menaruh perhatian penuh. Posisi kepala gue sudah nyaman menyamping di atas meja beralaskan bantal pink itu. “Gue mau sih hehe. Tapi nggak maksa juga. Lagian bukan bagian gue kan, itu pasti undangan dari klien,” gue membatin.

“Seharusnya yang berangkat Mico, tapi dia ada mendadak nggak bisa gitu. Ini harus segera dicari siapa yang bisa. Ada yang punya Visa Inggris nggak?” tanya mas Syarif lagi. Anak-anak nggak ada yang memberi jawaban positif. Semuanya kayak membisu gitu dan cuma geleng-geleng kepala.

Kalau dulu tawaran ini datang ketika gue masih jadi reporter, gue pasti akan berebut sama temen-temen sedivisi. Kalau tawaran itu datang tanpa tanggapan selama 10 detik setelah bos mengumumkan liputannya, pasti gue akan langsung mengacungkan tangan dan bersemangat buat berangkat. Tapi sekarang kondisinya beda. Gue anak baru dan gue udah janji untuk nggak terlalu ngoyo untuk urusan liputan ke luar negeri di kantor yang bahkan gue belum genap setahun ini. Gue merasa nggak pantes aja gitu. Biarlah senior yang berangkat. Biarlah mereka yang memang punya kapasitas untuk itu yang berangkat.

Gue memperbaiki posisi kepala gue dan mendadak merasa nggak nyaman karena mungkin Fauzi juga nggak nyaman mengingat gue ujug-ujug datang ke meja dia dan tiduran di situ. Gue kembali ke meja gue dan browsing-browsing YouTube tanpa tujuan. Agak malu mengakuinya tapi tawaran ke London itu masih ada di pikiran gue.

Siapa sih yang nggak ingin ke London?

Mungkin keinginan gue untuk mengunjungi kota ini nggak pernah terucap selama beberapa tahun terakhir (mahal cuy!). Soalnya sekali lagi, dulu ketika masih jadi reporter, gue terbiasa mendahulukan senior untuk liputan-liputan di luar Asia Tenggara. Kalau keberuntungan memang sedang menghinggapi gue, ya gue akan dapat bagian ke negara di region lain. Toh akhirnya gue juga bisa liputan ke New York waktu itu. Keinginan gue ke London mungkin nggak selalu terucap seperti keinginan gue ke Korea Selatan. Percaya nggak percaya, gue dulu pernah sesumbar bilang kalau gue akan siap resign dari pekerjaan gue sebagai reporter setelah kantor mengirim gue untuk liputan ke Korea Selatan. Gue akan ikhlas. 

Sial. Itu kejadian. Nggak lama setelah gue ke Korea, gue pun resign. Tau gitu kan gue sesumbarnya ke Islandia aja!

Tapi ketika menyebut kata London, jiwa Potterhead gue langsung berkecamuk. London berarti Inggris. Inggris berarti Harry Potter.

“Pasti seru ya...” gue membatin lagi. Tapi abis itu gue nggak kepikiran lagi. Biarlah itu jadi sebuah mimpi yang akan gue wujudkan di tahun 2025, seperti sesumbar gue ketika membeli passport case lucu di toko bernama Indigo di Ssamzziegil di Seoul musim dingin 2017. Sekarang gue sedang fokus nonton Domestic Geek, salah satu channel masak-masak kesukaan gue di YouTube. Ketika gue nyaris tertidur (karena posisi menonton gue benar-benar nyaman banget buat terlelap), terdengar lagu ‘Palette’ milik IU dari atas meja gue. Jeno (nama handphone gue) berdering pelan dengan suara getaran yang lemah.

Telepon dari Bos gue.



Selama gue kerja, gue nggak pernah hubungan yang kaku dengan bos gue. Kecuali bos besar selevel CEO yang di kantor sebelumnya. Kaku banget kayak kanebo dari zaman pra-sejarah. Bos gue yang sebelum ini, Mas Fakhmi, udah kayak kakak sendiri. Sering gue marahin kalo udah kebanyakan makan Indomie dan gorengan. Dulu dia juga bos gue waktu masih jadi reporter dan dia juga yang ngajakin gue pindah ke rumah produksi itu. “Butuh orang yang bisa diandalkan,” katanya. Padahal yang gue tahu selain Kpop cuma makan dan tidur. Dialah yang bertanggung jawab atas gonjang-ganjing hidup gue yang gue ceritakan di atas. Well, atas persetujuan dan izin gue tentu saja. Bos gue di kantor yang sekarang juga dulu mantan bos gue waktu masih jadi reporter (kalau agak bingung, abaikan aja). Dia resign dari kantor berita itu setahun lebih dulu dari gue. Dan ketika gue sudah mentok di rumah produksi, dia ngajakin gue lagi buat jadi partner di kantor yang sekarang. Hubungan gue sama dia pun nggak sekaku dulu. Sekarang jadi lebih santai banget. I know him very well and I guess he knows me that well also.

“Ya mas?” gue menjawab telepon itu dengan mata yang masih terpejam sebelah dan posisi duduk gue sekarang condong ke meja dengan kepala bertumpu pada lengan yang sikunya menempel di permukaan meja. Kepala gue agak pusing efek bangun yang mendadak.

“Lo mau nggak ke London?”

Pertanyaan itu masuk ke kuping kanan gue dan stuck di kepala.

Gue nggak sedang mimpi, kan?

WHAT?!

Sepersekian detik otak gue membawa gue kembali ke bulan puasa tahun lalu, beberapa hari sebelum gue resign dari rumah produksi, ketika Adhan mengirim pesan lewat LINE ke gue (klik di sini untuk baca cerita lengkapnya), menawarkan gue untuk ikut seleksi ambassador perjalanan ke Korea yang disponsori oleh Ministry of Foreign Affair itu. Kejadiannya sama, gue sedang random dan nggak fokus, tiba-tiba menerima kabar yang bikin shock itu. What a surprise!

Jawaban dari pertanyaan bos gue itu sebenarnya sangat sederhana dan nggak butuh mikir lama. Gue punya cukup tabungan di rekening gue untuk melakukan beberapa hal sebelum keberangkatan dan ketika sudah di sana. Gue masih ada sisa USD dari Queen, uang pengganti bayaran tiket konser EXO di Singapura bulan Maret kemarin. Sisa SGD dari perjalanan itu juga masih ada untuk tambah-tambah modal untuk hidup beberapa hari di London. Kalau memang gue jadi berangkat. Gila. Pikiran gue sudah jauh ke situ aja padahal itu kan baru tawaran. Belum tentu fix juga kan. Gue masih diam dan belum memberikan jawaban.

“Ron?”

“Ya mas. Kalau pertanyaan lo kayak gitu, mau atau nggak, ya iyalah gue mau mas. Siapa yang nggak mau ditawarin ke London gratis,”
Lo bisa menilai hubungan gue dengan bos gue ini memang sudah kayak temen aja dari jawaban gue itu. Hahaha. Gue nggak punya hubungan yang formal sama dia. Beneran santai banget.

“Tapi Visa lo bayar sendiri ya?”

Gue diam sebentar.

“Visanya ngurus sendiri?”

“Iya.”

Setahu gue ngurus Visa ke Inggris nggak gampang. Nggak segampang Visa ke Korea Selatan yang jelas. Dan seribet-ribetnya Visa ke Amerika dulu, kayaknya akan lebih ribet Visa ke Inggris ini. Tapi kesempatan kayak gini nggak akan datang dua kali sih. Apa iya mau gue hajar aja dan coba aja, terlepas dari keribetan-keribetan itu?

“Sebentar dulu mas. Ini berangkatnya tanggal berapa ya?” tanya gue sambil melirik kalender meja kecil yang sedang menampilkan bulan April yang akan segera berakhir.

“Acaranya tanggal 14 Mei,” katanya.

Gue membalik kalender itu ke bulan Mei yang halamannya berwarna pink. Kenapa di bulan ulang tahun gue warna kalendernya harus pink ya? Gue membatin nggak penting. Pas gue liat tanggal 13 itu dan menghitung mundur ke tanggal hari itu, gue cuma punya waktu 10 hari kerja kurang lebih untuk mengurus Visa. Itupun belum dikurangi dengan hari libur dan, AH SHIT! GUE UDAH BELI TIKET PULANG KAMPUNG DI TANGGAL 1 MEI!

Kepala gue mulai pusing. Antara keinginan untuk ke London dan keinginan untuk pulang kampung beradu. Bukan masalah tanggalnya yang bentrok. Nggak bentrok sama sekali. Gue cuma pulang kampung beberapa hari dan akan ada di Jakarta lagi 7 Mei. Keberangkatan ke London baru tanggal 13 Mei. Masih minggu depannya. Tapi yang jadi masalah adalah, mengurus Visa kan nggak bisa sehari dua hari selesai. Bisa jadi gue akan diminta hadir ke Embassy untuk macem-macem di hari ketika gue sedang ada di Lombok. Itu yang akhirnya bikin gue jadi agak-agak merasa malas bergerak dan makin pusing. Tiket pulang ke Lombok belakangan ini mahal banget dari harga biasa. Dan kalau gue harus membatalkan tiket pulang itu untuk mengurus Visa yang mepet ini (yang kemudian gue merasa nggak akan approve karena ini udah semepet itu) gue nggak akan dapat apa-apa. Gue nggak akan dapat London. Gue nggak akan dapat Lombok.

“Mas itu mepet banget. Cuma 10 hari kerja buat ngurus Visanya. Memangnya bisa? Setahu gue Visa Inggris itu susah mas. Nggak bisa cuma 7 hari kerja kayak Visa Korea dan sudah dapat jaminan approve. Gue sih nggak masalah kalau harus ngeluarin uang Rp 2 juta buat Visa, tapi gue nggak mau ngeluarin uang terus gak jadi berangkat karena Visanya juga belum pasti keluar,” kata gue.

Bos gue diam sebentar, sepertinya sedang berpikir.

“Iya sih, lo bener juga. Yaudah kalau gitu gausah aja ya? Gue tolak aja tawarannya. Lain kali deh lo bisa berangkat, oke?”

Ada nada menyesal yang gue dengar dari kalimat bos gue itu. Termasuk nada menjanjikan kalau-kalau ada liputan luar negeri lainnya yang akan ditawarkan ke kantor kami di masa mendatang.

“Oke mas.”

Telepon ditutup.

Perasaan gue sekarang campur aduk.

Nggak sampai sejam yang lalu gue membatin soal “gue mau sih berangkat ke London hehe” dan barusan bos gue nelepon buat nawarin hal yang tadi gue curi-curi dengar dari Mas Syarif itu. Apa-apaan ini! Ah tapi nggak mungkin gue akan bisa berangkat. Sekali lagi Visa ke Inggris itu susah banget dan nggak akan bisa diurus dalam waktu mepet. Lagian gue kan udah punya tiket ke Lombok juga. Sudah berencana merayakan ulang tahun di sana sama temen-temen dan keluarga gue. Mimpi banget sih bisa ke London, hanya saja sekarang yang deket-deket aja dulu deh. Yang jauh nanti aja dipikirin. Bahkan kalau tidak ada kepastian nggak usah dipikirin dulu.

“Ya kalau jodoh nggak akan ke mana deh Ron.”

Gue menyemangati diri sendiri.

Baru gue akan menutup laptop gue untuk siap-siap solat maghrib di B1 dan pulang, bos gue nelepon lagi.

“Ya mas?”

“Visanya diurusin kantor. Dibayarin kantor. Lo jadi berangkat ya? Siap-siapin aja dulu dokumen-dokumennya. Nanti lo dihubungi sama anak sales buat detailnya kayak gimana. Trus nanti Bu Angel yang bantu buat ngurus Visa lo lewat travel agent langganan kantor. Lo lengkapin aja dokumennya segera jangan ditunda-tunda ya. Nama lo udah dicatet, sekarang lo cek email.”

LA ILAHAILALLAHU. LA HAULAWALA QUTAWA ILA BILLAH.

Gue mematung sebentar. Tangan gue refleks buka email dan ada email baru masuk yang sekarang ada di baris paling atas dengan subjek ‘[URGENT] Permohonan Pembuatan Visa Inggris’ yang isinya menjelaskan soal keberangkatan ke London pada 13 Mei dan yang berangkat adalah gue. Nama gue tertera di sana dengan sangat lengkap. Beberapa balasan sudah ada juga termasuk dari Bu Angel, yang bantuin ngurusin Visa-nya dari kantor, berisi permakluman untuk segera mengumpulkan dokumen dan list dokumen yang dibutuhkan akan diberitahukan segera.

Otak gue kosong mendadak. Dada gue berdebar. Gue nggak bisa bernapas dengan tenang. Gue mendadak keringetan dan langsung menyalakan kipas angin Sekai yang gue beli di Tokopedia beberapa waktu lalu, yang gue taruh di atas box Funko! Pop Viserion (karakter naga dari Game of Thrones) yang ada di meja gue. Angin segar dari kipas angin itu lumayan membantu.

Dokumen ya? Sebentar. Seinget gue semua dokumen yang dibutuhkan sudah ada di laci gue di bawah meja ini. Karena gue pernah ngurus Visa Korea beberapa bulan yang lalu dan semuanya gue tinggal di kantor. Beberapa yang dibutuhkan lainnya ada di kosan kayak KK dan Akte Kelahiran. Jadi sebenarnya ini udah nggak terlalu banyak PR di gue. Foto juga kayaknya masih bisa dipakai karena gue bikin Visa Korea-nya nggak sampai enam bulan yang lalu. Hanya tinggal melengkapi fotokopi paspor dan surat-surat dari sponsor dan juga dari kantor. Sebenarnya semua sudah lengkap kok. Hanya tinggal satu masalah aja yang harus gue bisa selesaikan (dan ikhlaskan): tiket pulang gue ke Lombok.

Rencana pulang ini sudah terlalu lama direncanakan dan akan terlalu sakit kalau misalnya batal. Kepulangan gue ke Lombok tahun ini menandakan satu tahun sejak gue resign dari rumah produksi tahun lalu dan satu tahun juga usia Daniel, motor Honda Beat yang gue beli dengan uang tabungan gue selama tiga tahun setelah sekian lama ditunda. Ada banyak urusan soal Daniel juga yang belum kelar sejak tahun lalu dan harus gue selesaikan sendiri di rumah. Selain itu yang paling penting adalah ulang tahun gue. Gue nggak mau lagi merayakan ulang tahun sendirian di kosan seperti tahun-tahun sebelumnya. Gue nggak mau lagi tenggelam dalam pikiran-pikiran nggak penting di tengah malam ketika gue menunggu hari pergantian usia gue. Gue mau merayakannya dengan sesuatu yang istimewa. Tahun ini Lombok cukup istimewa buat gue. Tahun depan gue bermimpi merayakannya di Vietnam atau Kanada.

Pikiran tentang rencana yang batal ini benar-benar sangat mengganggu. Belum lagi uang yang sudah dikeluarkan untuk membeli tiket. Gue udah beli tiket pulang sejak Februari dan sudah yakin bahwa tahun ini gue akan ulang tahun di rumah. Jadi gue nggak mau membatalkan itu. Dalam kondisi kayak gini, air muka gue nggak akan terlihat happy. Setelah solat maghrib hari itu gue cuma bisa diem aja mikirin soal uang tiket yang akan hangus. Rp 1,2 juta bukan jumlah yang sedikit. Ketika sudah kembali ke tempat duduk dan barang-barang gue semua sudah beres, satu notifikasi muncul di layar Jeno. Gue membaca sekilas dan langsung menepuk jidat. Gue lupa hari ini anak-anak JYP Nation ada agenda karaokean. Dan sekarang gue sudah nyaris terlambat untuk ke sana. Buru-buru gue nutup laptop dan lari ke parkiran motor. Masalah London dan Lombok ini nanti aja deh dipikirinnya. Gue butuh ketoprak untuk mengisi perut dan beberapa lagu Kpop untuk dinyanyikan.

Kalau memang rejekinya gue pulang, gue akan pulang.

Kalau memang rejekinya setelah itu gue ke London, gue akan ke London.

Hakuna Matata. 
 
Follow Me/KaosKakiBau in everywhere!
Watch my #vlog on YouTube: KaosKakiBauTV (#vron #vlognyaron)
Twitter: ronzzykevin
Facebook: fb.com/kaoskakibau
Instagram: ronzstagram / roninredconverse / roningrayscale
Line@: @kaoskakibau (di search pake @ jangan lupa)
Photos from personal library.

Share:

0 komentar