Januari 2020 ketika gue sedang dirawat di rumah sakit karena TB Tulang, temen kuliah gue namanya Nadya datang buat jenguk. Saat itu gue sudah memutuskan untuk resign dari kantor lama dan akan siap memulai hari-hari di kantor baru. Dalam kondisi lemah, rambut berantakan, sudah lupa kapan terakhir mandi, tidak ingat lagi kapan terakhir buang air besar, muka berminyak, dan tangan diinfus, gue ngomong ke Nadya.
“Nad, ayo kita bikin podcast drama Korea,”

Khet tahu kakaknya berubah tapi dia merasa kakaknya berubah jadi seseorang yang lebih dia sukai.
Pan mulai belajar untuk benar-benar jadi Kim. Dia harus mengimbangi diri buat belajar jadi sosok anak pintar di sekolah. Yang tentu saja sebenarnya nggak akan gampang. Sebuah plot hole lagi di sini. Mungkin lo akan mikir, masa sih seorang junior bisa secepat itu belajar semua hal yang dilakukan oleh murid senior? Mana dia senior yang terkenal juara di semua olimpiade pula! Ya tapi pada akhirnya lo akan tahu kalau itu semua nggak ada artinya. WKKWKWKWKW Maksud gue, karena fokusnya bukan soal Pan menjadi Kim untuk jadi bintang sekolah, jadi series ini nggak menitikberatkan ke situ.
Buat Pan, melakukan segala hal sebagai Kim adalah sebuah berkah dan anugerah yang nggak pernah akan bisa dia dapatkan kalau dia nggak bertukar badan dengan Kim. Di episode 3 ini, kepala Pan masih dipenuhi dengan kesenangan-kesenangan menjadi Kim. Sebelum akhirnya dia tahu kenyataan terpahit dan terburuk bahwa Kim yang dia kenal selama ini, bukanlah Kim yang sempurna. Kim yang aslinya penuh dengan rahasia dan misteri yang orang lain termasuk Pan bahkan nggak tahu.
Di episode 3 ini kita sebagai penonton mulai dikasih sedikit demi sedikit kenyataan soal Kim yang ternyata nggak sesempurna itu. Kita sebagai penonton diajak untuk melihat Kim dari sudut pandang Pan. Sebuah kenyataan pahit juga sih buat Pan yang selama ini mengidolakan Kim dan menganggapnya sempurna. Momen-momen di episode 3 ini tuh sama kayak ketika lo udah suka banget sama Idol K-Pop gitu, suka banget sampe yang wah dia adalah manusia sempurna, lalu kemudian beberapa foto dia sedang merokok serampangan dan foto dia pacaran kepotret Dispatch muncul di internet dan bikin semua imajinasi lo soal kesempurnaan itu ambyar.
Gue yakin nggak cuma gue yang mengeluhkan permasalahan hidup. Tentu saja semua orang punya masalah hidupnya masing-masing, begitu juga gue. Tapi anehnya, beberapa bulan terakhir ini, gue merasa hidup gue jauh lebih baik dari sepanjang 36 bulan yang lalu. Gue merasa agak aneh dan nggak terbiasa dengan ini.
Lha? WKWKKWKWKWKWKW
Kalau lo follow gue di Instagram (HAHAHA ASLI GUE KETAWA PAS NULIS INI), sepanjang 2017, 2018, dan 2019 lo pasti menangkap banyak sekali kegalauan di sana. Kegalauan-kegalauan yang ditulis dalam bentuk quote-quote yang gue upload ke Instagram Stories. Sekarang bahkan masih ada di Highlight gue dan jujur aja gue nggak mau buka-buka itu lagi karena masih merasa mual kalau ngebaca tulisan-tulisan itu. Tapi kalau lo mau, silakan liat dan baca. Sekalian follow juga boleh wkwkwkwkkwkw.
2017 – 2019 itu mungkin gue bisa bilang jadi masa-masa terburuk dan tergalau dalam hidup gue. Entah kenapa gue merasa berada di titik terendah banget di masa-masa itu. Kalau mau ditarik ke belakang lagi mungkin semuanya berawal sejak 2016. Ada banyak hal yang mungkin bisa jadi alasan kenapa gue ada di fase-fase terpuruk itu. Pindah kerja, penyesuaian diri di tempat baru, patah hati, anxiety (self-diagnoes which was not good), ketidakpastian hidup, tempat tinggal yang jelek, pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab, dan masih banyak lagi.
Tapi gue nggak bilang sepanjang tiga tahun itu semuanya buruk. Karena tentu saja di antara kegalauan-kegalauan itu (yang bahkan ada salah satu teman di Twitter yang bilang gue mungkin sudah masuk ke fase awal depresi) ada banyak sekali hal-hal positif yang terjadi. Hal-hal inilah yang membuat gue kemudian semakin yakin bahwa hidup itu emang seperti roda. Ada kalanya di atas, ada kalanya di bawah. Dan ketika lo di bawah, lo nggak akan selamanya ada di situ jadi jangan terlalu dipikirin dan jalani semuanya dengan sebaik-baiknya sambil lo belajar. Karena nanti ketika lo di atas, lo juga nggak akan selamanya ada di situ. Ada kalanya lo akan ke bawah lagi, tapi kali ini ketika lo ada di bawah lo sudah tahu kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Karena lo sudah pernah ada di posisi itu sebelumnya, jadi lo bisa mempersiapkan diri dan paling nggak karena lo sudah pernah ada di bawah, lo tahu bagaimana rasanya dan lo sudah belajar untuk menghadapi segala sesuatu, jadi sekarang you can do better than the last time.
Memasuki tahun 2020 gue digempur oleh banyak banget cobaan terutama masalah kesehatan. Untuk pertama kalinya dalam 28 tahun gue masuk rumah sakit dan dirawat sampai harus dioperasi. Sebelum sampai di ruang operasi gue bahkan sudah menderita berbulan-bulan karena sakit yang gue sendiri nggak tahu apa. Gue menghabiskan dua minggu pertama di tahun 2020 di dalam ruang rawat Rumah Sakit. Dan di situ banyak sekali hal yang terjadi bahkan sebulan setelah itu pun roller coaster hidup rasanya nggak berhenti mengguncang. Tapi kan katanya selalu ada matahari cerah setelah badai, ya? Dan sekarang gue merasa sudah melewati badai-badai itu.
Gue nggak bilang kalau gue sekarang sudah 100% bahagia karena nggak akan ada yang 100% dalam hidup ini. Tapi kalau boleh jujur, selama dua atau tiga bulan terakhir ini, gue berada dalam kondisi terbaik dalam hidup gue selama tiga tahun terakhir. Gue nggak pernah merasa sesehat ini, seproduktif ini, seseneng ini, setenang ini, sebahagia ini, secukup ini.
Gue merasa cukup.
Melihat kondisi fisik dan mental gue selama beberapa bulan ini, gue mungkin sekarang berani dan bisa bilang “I don’t want anything else. I want to live like this, forever.”