“Malam ini ke mana? Keluar yuk, bosen nih.”
Gue kirim pesan itu ke Lola, teman karib gue sejak SMA. Gue lagi di Lombok by the way, lagi libur Lebaran setelah dua tahun terakhir gue Lebaran di kosan sendirian aja karena pandemi. Sekarang setelah tiga kali vaksin gue rasanya lebih berani pulang-pergi ke kampung halaman. Di 2022 ini aja gue udah tiga kali pulang saking beraninya.
Hari itu Sabtu. Gue sejak beberapa hari terakhir cuma tidur-tiduran saja di rumah karena menikmati waktu kosong tanpa bekerja dan nulis artikel. Ada beberapa artikel yang harus gue kerjakan Sabtu ini tapi gue akan free di malam harinya. Jadi gue pikir sepertinya akan menarik kalau gue ngajak Lola buat pergi-pergi. Dia bukan orang yang ribet buat diajak pergi-pergi dan selalu mau.
Geng SMA gue ada lima orang termasuk gue. Empat yang lainnya perempuan dan tiga di antara mereka sudah nikah. Lola masih sendiri dan gue selalu sendiri karena memang gue tidak ada keinginan sama sekali buat berumah tangga. Jadilah gue sama Lola sering banget main bareng kalau gue lagi pulang kampung. Sudah cukup lama juga kita nggak ketemu karena pandemi. Jadi mumpung gue lagi di rumah, gue jadi agak clingy sama dia dan ngajak-ngajak dia terus seolah-olah dia nggak punya kerjaan lain. WKWKWKWKWKKW. Gue nggak bisa ngajak temen-temen segeng gue yang lain karena sudah berkeluarga. Tahu diri aja gue nggak mungkin ngajak ibu-ibu nongkrong di kafe sementara anaknya dibiarin sama suami kan. Di titik ini gue sedang merasa bahwa gue tidak bisa seperti mereka yang mengemban tanggung jawab sebesar itu. Jadi gue lebih menikmati waktu sendiri gue saja bersama orang-orang yang sendirian juga seperti Lola.
Tapi malam itu rupanya Lola nggak sedang sendirian.
Sial.
Satu hal yang gue sadari belakangan ini seiring dengan pertambahan usia adalah kenyataan bahwa gue mulai merasakan perasaan-perasaan yang nggak pernah gue rasakan sebelumnya. Bayangin lo dalam kondisi bucin di usia 15 tahun, dan ketika lo masuk usia 30 kebucinan lo bukannya semakin berkurang tapi jadi dua kali lipat. Bahkan mungkin lebih, tergantung situasi dan kondisi lo saat itu. Kabar baiknya adalah ketika lo bucin di usia 30, lo akan lebih mengerti bagaimana menghadapinya. Lo bisa mengatasi perasaan meledak-ledak lo, lo bisa lebih mengontrol emosi, bisa berusaha meredam, bisa mengerti bahwa semua perasaan ini nggak akan ada gunanya kalau tidak diutarakan, dan ketika lo sudah siap mengutarakannya lo sudah harus siap juga menerima hal terburuk yang mungkin akan terjadi di hidup lo saat itu. Tapi itu bukan yang terakhir karena siklusnya akan berulang, lagi, dan lagi.
Simpel. Renyah. Ringan.
Tiga kata ini yang pertama kali kepikiran ketika gue selesai nonton 8 episode Semantic Error. Sebuah serial pendek-pendek yang nggak perlu mikir panjang untuk memulainya (karena semua orang kayaknya ngomongin ini dan gue sebagai masyarakat yang gampang terbawa arus pergaulan juga harus mencoba menyaksikannya agar jadi relevan), juga nggak perlu menunda-nunda buat menyelesaikannya. Durasi yang singkat per episode membuat Semantic Error terasa sangat enak buat ditelan mentah-mentah tanpa harus berspekulasi banyak hal tentang karakternya atau cari tahu lebih banyak kenapa si ‘ini’ begini dan kenapa si ‘itu’ begitu. Kapan terakhir lo nonton drama Korea tanpa benar-benar berpikir? Terima kasih Twenty-Five Twenty-One yang sudah mengeruk isi kepala gue selama beberapa pekan lalu mengacaukan semuanya dengan ending yang paling tidak menyenangkan sepanjang sejarah Hallyu di Indonesia.