Lagu, Pelarian, Kyungsoo, dan Kenangan-kenangan


"Life is kinda hard these days. Kenapa ya?"

Di suatu pagi yang macet di jalan menuju ke kantor, gue sedang mengendarai Daniel ketika pertanyaan itu gue ajukan ke diri gue sendiri. Setiap berangkat ke kantor gue biasanya akan memutar playlist yang sesuai dengan mood gue pagi itu. Cuma ada beberapa playlist yang ada di pemutar musik-nya Jeno (nama handphone gue) dan beberapa playlist itu adalah NCT, EXO, f(x), SNSD, dan Taeyeon. Kalau mood gue lagi bagus biasanya gue akan dengerin lagu-lagu dari empat playlist yang gue sebutkan pertama. Mostly karena isinya adalah lagu-lagu up-beat yang akan membantu membuat gue feel better sepanjang perjalanan ke kantor. At least ketika gue sudah sampai parkiran kantor, gue udah nggak bad mood lagi. Biasanya mood gue akan membaik setelah momen karaoke di atas motor yang selalu gue lakukan setiap pagi.

Tapi kalau mood gue lagi nggak jelas, seperti ketika pertanyaan "Kenapa sih hidup belakangan ini kok kayaknya berat banget?" itu muncul, gue akan mendengarkan lagu-lagu di playlist Taeyeon. Walaupun ada beberapa lagu yang memang up-beat, tapi kebanyakan lagu-lagu di album My Voice itu kan temanya putus cinta. Walaupun kondisi mood gue nggak ada hubungannya sama putus cinta tapi lagu-lagunya ngena aja sama kondisi hati saat itu. Dan kalau mood gue di pagi hari nggak ada yang match sama playlist-playlist itu, gue selalu kabur ke Spotify dan mendengarkan satu album lagu Evanescene yang Fallen. Serius deh, album yang isinya lagu pop-rock emo itu sangat membantu membuat gue feel better.

Hanya saja meski kadang-kadang gue sudah berusaha untuk memperbaiki mood gue sepanjang jalan, belum tentu usaha gue berhasil. Kadang-kadang momen karaoke di atas motor bisa berubah jadi momen obrolan kaku dengan diri gue sendiri. Mendadak teringat sama kejadian-kejadian seminggu yang lalu, sebulan yang lalu, setahun yang lalu. Keputusan-keputusan bodoh yang gue ambil dulu. Dan teringat kalau semua keputusan bodoh yang gue ambil itu ada konsekuensinya. Mungkin konsekuensi itu yang saat ini sedang gue jalani makanya hidup rasanya kok kayak berat banget.

Biasanya "kami" (dalam hal ini gue dan kepribadian gue yang lain, atau gue dan suara-suara yang selalu muncul di kepala gue yang gue sendiri enggak tahu datengnya dari mana) nggak pernah awkward kalau sudah mulai membahas tentang hal-hal serius. Kalau sedang dalam mode kontemplasi dan introspeksi. Tapi entah kenapa hari itu, ketika pertanyaan penting soal hidup itu mencuat ke permukaan, rasanya kayak gue bahkan sedang nggak ingin ngobrol dengan diri gue sendiri. Awkward banget kayak gue dan teman mantan sekamar gue dulu.

Di situlah gue semakin sadar bahwa sekarang gue sedang down. Gue sedang butuh teman bicara yang lain. Bukan bicara dengan diri gue sendiri.

Manusiawi kan? Gue yakin lo pasti pernah merasakan hal yang sama. Merasa down banget dalam hidup tapi nggak punya teman bicara.


Belakangan gue sering merasa kayak gitu. Bukan karena gue nggak punya teman untuk bicara sih. Mungkin karena gue yang nggak tahu bagaimana memulai membicarakan masalah gue atau isi kepala gue atau apapun yang sedang gue rasakan saat itu ke orang lain. Terkadang juga ada rasa takut di-judge. Dijauhi. Walaupun kesannya itu kayak jahat banget sih, jatohnya malah nge-judge duluan bahkan sebelum mulai ngobrol. Cuma... ya gitu deh. Memulai membicarakan sesuatu yang serius dengan orang lain itu agak susah. Lo ngerti kan, maksud gue? Lo tuh sebenarnya sedang berada di titik yang udah jenuh banget, semua yang lo rasakan dan ingin katakan udah numpuk banget di dada, tapi pas mau diomongin eh malah nggak ada yang bisa keluar dari mulut lo. Ujung-ujungnya harus ditelen sendiri karena keraguan dan ketakutan yang mendadak muncul. Yaudah deh, numpuk aja di dalam situ enggak tahu sampai kapan. Bisa jadi selamanya.

Di momen itulah yang membuat gue kadang-kadang benci menjadi seorang yang introvert kayak gini.

Gue seringkali bingung dan tidak tahu bagaimana cara memulai obrolan serius dengan orang lain tentang apa yang terjadi dalam hidup gue dalam beberapa minggu terakhir. Dan di saat-saat seperti ini biasanya pikiran gue akan melantur.

Ada kalanya ketika lo merasa lo butuh bicara dengan seseorang, tapi enggak ada yang bisa mendengarkan (atau lo berpikir tidak ada yang mau mendengarkan) pada saat itu, otak lo mulai memikirkan skenario-skenario yang sebenarnya (mungkin) enggak terjadi. Pas kondisi kayak gini nih sering banget pertanyaan-pertanyaan self-destructive mulai muncul di kepala lo.

"Kenapa sih gue kesepian banget?"

Padahal sebenarnya enggak.

"Kok kayaknya nggak ada yang mau ngertiin gue sih?"

Padahal sebenarnya lo sendiri nggak pernah cerita apapun ke siapapun, bagaimana lo mau dingertiin?

"Apa temen-temen gue sesibuk itu ya sampai-sampai nggak punya waktu untuk sekedar dengerin gue?"

Bisa jadi. Kenapa enggak bertanya? Mana lo tahu mereka sibuk atau nggak kalau lo nggak nanya? Memangnya mereka semua bisa baca pikiran lo?

"Apa mereka marah ya sama gue, sampai-sampai nggak mau dengerin curhatan gue?"

Udah nggak wajar nih pikiran lo udah bener-bener melantur.

"Apa gue pernah bikin salah ke mereka yang akhirnya bikin mereka kesel sama gue?"

Shut the f*ck up!

Semua pertanyaan itu muncul karena lo overthinking. Sekali lagi, ya mana mereka tahu lo punya masalah kalau misalnya lo sendiri nggak mencoba untuk terbuka ke mereka?

"Jangan berharap gue akan tahu masalah lo apa dan menebak-nebak situasi dan kondisi lo sekarang. Gue bukan orang yang bisa membaca pikiran!"

Gue inget banget pernah dimarahin sama mantan temen sekamar gue dulu kayak gitu. Dia benar. Dia selalu benar. Dan gue benci kenyataan itu.

Ahahahaha


Gue pribadi kalau sedang berada dalam momen seperti ini pasti mencari "pelarian". Sesuatu yang paling nggak bisa mengalihkan perhatian dan pikiran gue ke hal lain yang bikin gue tidak lagi merasa tertekan, tidak lagi berpikir berlebihan akan sesuatu. Sesuatu yang bisa bikin gue ketawa meski sesaat. Meski sedikit. Sesuatu yang bisa bikin gue senyum. Keluar sebentar aja dari semua ketakutan, kekhawatiran, masalah-masalah yang gue rasain selama berhari-hari kemarin. Ya walaupun nggak semua pelarian selalu berhasil membuat lo lebih baik secara permanen. Namanya juga pelarian kan. Ya kalau udah capek lari pasti perasaan-perasaannya akan balik lagi.

Dalam kondisi seperti ini gue biasanya akan tidur dalam waktu yang luar biasa lama. Nggak cuma sekedar delapan jam tapi bisa belasan jam. Di saat gue merasa dunia sedang tidak bersahabat atau gue merasa kesepian banget gitu misalnya, gue bisa menghabiskan akhir pekan dengan percuma. Berbaring seperti orang mati di atas kasur. Bangun ketika waktunya salat dan kemudian tidur lagi. Kalau laper ya gue akan makan, kalau enggak yaudah simpen aja lapernya sampai kebangun lagi nanti. Biasanya tidur sangat membantu. Kalaupun tidak, pasti gue akan mencari pelarian yang lain kayak musik atau film.

Kpop will always help. Kpop will always be my remedy.

Well, sebenarnya musik apapun sih. Karena buktinya gue sendiri kan nggak selalu dan nggak melulu mendengarkan Kpop. Gue mendengarkan banyak genre musik dari banyak penyanyi. Walaupun sebenarnya gue bisa bilang kalau gue dalam kondisi yang terjebak dengan lagu-lagu yang sering gue dengarkan ketika gue SD, SMP dan SMA. Gue bukan orang yang mau mencoba mendengarkan lagu-lagu baru (di luar Kpop) kecuali kalau lagu itu memang sepopuler itu sampai masyarakat seluruh Indonesia memutarnya di mana-mana. Paling males kalau udah masuk McDonald's terus yang keputer (berulang-ulang, shit!) adalah lagunya Ed Sheeran yang Shape of You. Its not that I am an anti-fan but this song is overrated. Sampai mual dengernya. Maafin. Tapi ini jujur.

Gue pengin cerita deh. Sesuatu yang magis soal musik yang sering gue rasakan. Ketika gue memutuskan untuk menulis ini, gue sendiri agak susah bagaimana mendeskripsikan perasaannya.


Ada sesuatu yang soothing, calming, dan bikin happy walaupun sesaat ketika gue mendengarkan lagu tertentu. Gue nggak tahu apakah semua orang bisa merasakan efek kayak gitu ketika mendengarkan lagu yang mereka suka atau lagu yang punya kenangan khusus buat mereka. Dan gue nggak bisa guarantee ini terjadi ke semua orang. Tapi buat gue, musik bisa banget jadi solusi sementara dari semua masalah-masalah yang ada. Sesuatu yang akan bikin gue feel better even for a while. Even for 3 minutes and 30 seconds. Tiga menit aja keluar dari semua pikiran-pikiran berlebihan itu. Tiga menit aja keluar dari semua hal yang membuat hati risau itu. Tiga menit aja keluar dari semua masalah yang rasanya kayak menghimpit itu. Pas lagunya udah kelar, puter lagi, ulangi lagi. Siapa tahu rasa free-nya bisa lebih lama lagi.

For me personally, this always works. Meski ya ujung-ujungnya kalau memang udah parah banget, lagu itu bisa jadi malah bikin tambah gloomy. Malah berujung galau. But you know what? Anehnya gue kadang menikmati kegalauan itu. Menikmati bagaimana hati lo seperti diremas-remas ketika mendengarkan sebuah lagu sedih. It was like celebrating your sorrow. Seperti merayakan semua rasa gundah dan perasaan sedih yang membuncah dalam hati dan kepala lo.

Gue suka sama lagu bukan cuma karena, misalnya, lagu tersebut easy listening atau sesuai dengan selera musik gue. Kadang ada juga lagu yang genre-nya agak nggak masuk nih ke daftar lagu kesukaan gue, tapi gue akan mendengarkan lagu itu berulang-ulang karena jatuh cinta. Di luar Kpop misalnya gue belakangan sedang suka banget sama lagu 'Lovesick'-nya Midnight Fusic. Gue sendiri awalnya nggak pernah tahu ada grup band bernama Midnight Fusic dari Malaysia ini. Sampai pada suatu hari bos gue di Creative Disc nanya apakah gue available untuk mewawancarai mereka di sebuah sore yang mendung di Plaza Senayan. Gue bilang aja gue bisa, karena gue butuh pengalaman wawancara lagi setelah sekian lama berhenti jadi jurnalis beneran. Sore itu gue dateng ke Plaza Senayan sama Jeni, salah satu reporter dari Creative Disc juga dan dia sedikit cerita tentang band ini ke gue.

"Lagunya indie gitu sih memang," kata Jeni.

Oke. Gue sendiri enggak pernah benar-benar mendengarkan lagu indie kecuali Fauzi, temen sekantor gue yang memang generasinya kekinian, memutar lagu ini di kantor atau memasang lagu ini di salah satu posting-an Instagram-nya. Dan ketika wawancara berlangsung, gue makin penasaran dengan lagu berjudul 'Lovesick' itu. Sepulang dari Plaza Senayan gue mendengarkan lagunya sepanjang perjalanan menuju kosan sambil mengendarai Daniel. Dan wow. Gue suka. Banget. SHIT. KOK BAGUS BANGET?!



Di Kpop gue paling anti banget sama lagu-lagu bergenre EDM. Shit. Kenapa sih genre ini harus masuk ke Kpop seperti racun yang menjalar? UGHHHHH. Gue kira dubstep udah racun yang paling ngerusak esensi musik pop Korea yang sebenarnya. Tapi pas EDM masuk ini makin UGGGHHHHH. Jangan harap deh lagu-lagu macam itu akan gue nikmati. Sampai akhirnya The 7th Sense-nya NCT U dirilis tahun 2016, gue semacam menelan liur gue sendiri. Gue, orang yang anti EDM, bisa menikmati lagu The 7th Sense yang bergenre Future Bass yang mana which is adalah musik turunan EDM. SEBEL BANGET! Ini totally bias ke NCT banget pada awalnya. Tapi seiring berjalannya waktu, lagu nyamuk makanin kancing ini sangat bisa gue telan mentah-mentah. Contoh lain, tapi bukan karena genre tapi karena artisnya aja, gue sama sekali bukan penggemar lagu-lagu Bigbang dan para member. Gue juga bukan orang yang fanatik banget sama 2NE1. Tapi belakangan gue suka banget sama lagu 'Eyes, Nose, Lips'-nya Taeyang. Iya gue tahu ini telat banget. Tapi dulu ketika lagu ini dirilis, gue merasa ini sangat overrated. Makanya baru sukanya sekarang.

Dari pengalaman ini gue bisa menyimpulkan bahwa apapun lagunya, mau ballad atau lagu yang grabak-grubuk sekalian, atau lagu nyamuk ngantuk makanin kancing kayak The 7th Sense gitu, kalau udah kena ke hati, gue pasti akan suka. Gue pasti akan mendengarkannya lagi dan lagi. Lagu itu pasti akan berujung masuk ke playlist favorit gue.

Ngena ke hati ini yang kayak gimana?

Hmm.. kalau gue biasanya kejadiannya tuh, ketika gue mendengarkan lagu tertentu, gue akan ingat sama satu kejadian dalam hidup gue. Kejadian ini bisa terjadi kemarin. Bisa dua tahun yang lalu. Bisa bertahun-tahun yang lalu. Ada lagu-lagu yang ketika gue dengarkan, kenangan yang udah kekubur lama banget di pikiran bawah sadar gue, di perpustakaan long-term memory gue, mendadak muncul lagi ke permukaan. Ketika mendengarkan lagu itu gue akan mengingat kenangan tadi seolah-olah baru terjadi kemarin. Teringat jelas banget sampai ke detail-detailnya. Warna langit hari itu, baju yang gue pakai saat itu, aroma tanah saat hujan di hari itu, perasaan menggebu-gebu gue saat itu, bahkan mungkin sedih dan patah hati yang gue rasakan saat itu. Jalan berkelok yang gue lalui ketika gue duduk di depan bpkap ketika naik motor melewati jalan beraspal di pinggir sawah yang luas belasan tahun lalu, dinginnya udara Ciwidey dan angin lembut yang menerpa wajah gue dalam sebuah perjalanan ke kebun teh nyaris setahun yang lalu, perasaan berdebar ketika gue memberikan sepucuk surat yang berisi pengakuan soal perasaan gue ke seseorang...

Lagu-lagu kayak gitu biasanya nggak akan pernah bosan gue dengarkan. Walaupun ya nggak melulu gue mendengarkan itu selama satu minggu penuh misalnya. Tapi ada kalanya setiap kali lagu itu ke-shuffle di handphone, gue pasti akan dibawa kembali masuk ke kenangan-kenangan lama tadi. Tanpa aba-aba. Secara tiba-tiba. Seperti tersedut vacuum cleaner raksasa yang isinya cerita-cerita masa lalu. Seperti jatuh ke dalam pensieve dan randomly nyentuh satu kepulan kenangan yang kemudian terputar bagaikan film empat dimensi. Kadang ini bisa bikin senyum dan happy. Tapi kadang juga sebaliknya.

Ada lagu-lagu yang mungkin malah lo nggak suka karena lagu itu bisa membuat lo ingat pada sesuatu yang menyebalkan. Yang bikin marah. Menyentil lagi sakit yang pernah lo rasakan dan memunculkan kembali dendam masa lalu yang sebenarnya nggak penting juga untuk diingat. Perasaan iri dan benci dan perasaan-perasaan negatif lainnya. Ingatan-ingatan yang sialnya malah bikin lo makin down dan emosi. Lagu-lagu kayak ini yang lo nggak berharap banget keputer secara shuffle ketika lo lagi meras down. Tapi malah dengan bangsatnya (maaf) handphone lo seperti berkonspirasi dengan dunia dan memutar lagu itu. Buru-buru deh pencet Next sebelum memori-memori lama yang menyebalkan itu justru menguasai lo. Hihihi...


Gue pernah baca artikel soal ini beberapa waktu lalu dan memang katanya musik dan memori itu punya keterkaitan yang "misterius". Tapi secara sains, otak kita memang sangat mudah bereaksi mengingat sesuatu lewat musik. Seperti yang ditulis salah satu wartawan BBC:

Hippocampus dan frontal cortex adalah dua area besar di otak yang diasosiasikan dengan memori dan mereka punya andil besar dalam setiap informasi yang kita dapatkan setiap menit. Memanggil kembali memori nggak selalu gampang. Memori nggak bisa datang begitu saja kapanpun lo memanggilnya. Musik membantu (proses pemanggilan memori tersebut) karena (dalam musik terdapat) ritme dan rima dan terkadang aliterasi (alliteration) yang membantu membuka kunci dari informasi (yang sudah tersimpan lama) dengan tanda atau isyarat. Struktur dari sebuah lagulah yang membantu kita untuk mengingat (memori-memori lama tersebut), pancingan juga datang dari melodi dan penggambaran dari kata-kata (dalam lagu tersebut)."

Dalam artikel yang sama, Robert Snyder, seorang komposer dan dosen di Art Institute of Chicago menjelaskan bahwa memori itu ada dua: eksplisit dan implisit.

Memori eksplisit adalah kenangan-kenangan yang secara sadar kita panggil dari masa lalu ke dalam kepala kita. Biasanya memori ini bisa dipancing lewat pertanyaan-pertanyaan kayak "Waktu itu gue pergi sama siapa ya?" atau "Lebaran tahun lalu gue di mana ya?"

Memori implisit adalah memori yang lebih reaktif dan punya bentuk yang random, juga datang secara tidak sengaja. Memori ini berasal dari alam bawah sadar kita dan bisa dikatakan sangat emosional dan bertahan di ingatan dalam waktu yang lama.

Nah, momen yang gue jelasin di atas tadi, yang terkadang gue rasakan, dalam ilmu psikologi namanya 'reminiscence bump'. Kenapa musik bisa mendadak membawa kita ke kenangan-kenangan lama itu karena mungkin secara tidak sadar kita menjadikan itu sebagai sebuah momen penting dalam hidup kita. Momen di mana kita merasa sangat bahagia. Momen di mana kita mengalami sebuah kejadian untuk pertama kalinya. Momen yang memberi banyak arti dalam hidup kita. Yang mungkin dalam beberapa tahun ke depan akan hilang seiring berjalannya waktu. Perasaan-perasaannya akan pudar. Tapi karena otak menilai itu penting, dia akan menyimpan semua excitement itu ke alam bawah sadar. Dan ketika lo nemu lagu yang pas, lagu yang ngena banget, memori-memori itu bisa muncul lagi ke permukaan dan semua deskripsi gue di atas soal perasaan-perasaan yang muncul itu akan balik lagi.

Yang paling gampang diiyakan kayaknya sih pendapat Cretien van Campen, penulis 'The Proust Effect: The Senses as Doorways to Lost Memories' yang juga mempelajari tentang otak. Kenapa musik selalu bisa membuat kita mengingat hal-hal yang sudah lalu adalah karena musik itu udah jadi bagian dari hidup kita, bagian dari waktu yang kita habiskan dengan orang lain, dengan significant others, yang membuat kenangan-kenangan yang terjadi kala itu jadi makin berharga. Dan yang pas banget sama kondisi down yang gue ceritakan di bagian awal posting-an ini, walaupun nggak 100% sih, adalah statement dia bahwa "music cannot cure, but perhaps it can help heal".


Di Winter Trip gue ke Seoul Desember 2017 lalu, Rizka ngajakin gue, Ambar dan Ais buat main ice skating di Seoul City Hall. Ini adalah salah satu agenda yang gue tunggu-tunggu karena gue suka banget ice skating walaupun nggak jago-jago amat. Pertama kali gue ice skating kalau nggak salah inget adalah waktu semester 4 kuliah bareng sama beberapa temen kampus, di Mall Taman Anggrek. Sejak saat itu gue jatuh cinta. Walaupun agak mahal main di tempat itu, tapi kalau ada yang ajak gue pasti mau. Cuma ya nggak selalu ada yang ngajak sih. Gue ke sana buat main ice skating juga kayak cuma dua atau tiga kali. Tapi beneran deh kalau dulu perjalanan dari Depok ke Jakarta Barat nggak sejauh dan sepanas itu karena naik bus kota non AC, gue pasti bela-belain buat dateng ke situ setiap kali ada waktu luang. Terakhir gue ice skating adalah di PVJ tahun 2014 kalau nggak salah. Karena udah lama banget enggak meluncur di atas es lagi makanya gue excited banget waktu Rizka ngajakin ke Seoul City Hall malam itu.

Ice skating di Seoul City Hall nggak terlalu mahal bayarannya. Kalau nggak salah KRW 1000 atau KRW 2000 gitu. Tapi tiketnya harus pesan online. Karena Rizka dan beberapa teman Korea-nya yang ngurusin jadi gue dan anak-anak cuma terima jadi aja. Setelah pakai sepatu dan helm, gue pun memasuki ice rink sambil senyum. Hehe. Bahkan saat gue memasuki ice rink gue tidak mendengarkan lagu apapun tapi langsung dihujani banyak kenangan-kenangan pas pertama kali main ice skating di Jakarta dan Bandung.

Satu atau dua malam sebelum hari itu, EXO baru aja merilis album 'Universe'. Gue sempat ngebatin ketika pertama kali meluncur di atas es di Seoul City Hall malam itu, "Ini bakalan seru banget sih kalau tiba-tiba speaker-nya muter lagu EXO." kata gue dalam hati. Karena waktu gue masuk ke ice rink gue baru ngeh kalau ternyata ada speaker yang memutar lagu-lagu Kpop selain membacakan pengumuman-pengumuman yang mengingatkan para pengunjung soal batasan jam meluncur. Enggak terlalu lama jedanya setelah gue ngebatin kata-kata itu (dan lagu Bantan Sonyondan sedang diputar lewat speaker itu), mendadak kuping gue menangkap musik yang familiar. Agak kabur memang diingatan gue, tapi familiar. Kayaknya lagu ini gue kenal. Coba gue ingat-ingat dulu di mana gue pernah mendengarkannya...

Gue tadinya meluncur agak cepat mendadak menurunkan kecepatan karena sedang berpikir. Takut nabrak orang karena konsentrasi udah kepecah. SHIT KOK GUE NGGAK INGET SIH LAGU INI LAGU APA? TAPI KOK FAMILIAR?

Dan ketika reff-nya keputer, gue baru ngeh dan langsung, "WHOOOOAAAAAAAAA!!!!! SHIT! SHIT! SHIT! AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAK!!!!!" teriak sambil terus meluncur. Gue belum hapal lagu itu karena gue baru dengerin dua atau tiga kali kemarin. Cuma memang bagian reff-nya yang paling nempel di kepala gue.

"I'll search the universe. 널 다시 찾을 때까지. 놓지 않을 거야 티끌 같은 기억도~"
("I’ll search the universe. Until I can find you again. I won’t let go, even the smallest memories~")

In that short moment, I feel warm. I feel like flying. Weird. But it happened.


Dalam tiga bait lagu itu, gue seperti sedang berada di salah satu kejadian dalam hidup gue bertahun-tahun yang lalu. Gue ngeliat bokap, nyokap, kemudian berganti ke orang lain yang gue nggak bisa sebutin namanya karena nanti takut baper, kemudian berganti lagi temen-temen SMP dan SMA gue, sampai akhirnya gue sampai ke kejadian dua hari yang lalu, ketika gue pertama kali mendengarkan lagu 'Universe' itu di atas kasur di guest house tempat kami menginap. Memeluk lutut sendiri sambil pelan-pelan terbaring dan bertumpu pada tubuh sebelah kiri. Enggak sampai mengeluarkan air mata. Enggak. Cuma sampai situ aja lalu gue sadar kalau sekarang gue sedang meluncur di atas es di Seoul City Hall. Sedang menjalani satu mimpi yang sudah digadang-gadang sejak lama: Winter in Seoul.

Dan sejak hari itu, sekarang setiap kali gue denger 'Universe' gue pasti akan ingat ice skating di Seoul City Hall. That's how my version of 'reminiscence bump' happened.


Ada satu lagu lain dari EXO yang memberikan efek 'reminiscence bump' yang sama. Tapi yang ini menurut gue agak complicated. Kalau beberapa lagu lain bisa membawa gue ke that exact moment of my life, lagu ini paling bisa bikin hati gue diacak-acak sampai nggak ada bentuknya lagi: For Life. This might be the most beautiful winter song from EXO after Miracles in December. Ini lagu yang kalau gue dengarkan, semua emosi-emosi lama numpuk jadi satu. Langsung ngumpul di dada dan (maaf) bangsat sih, bisa bikin gue sesek sampai mau nangis. Belum pernah sampai nangis beneran tapi nyeseknya beneran.

Gue inget banget waktu gue nonton Elyxion di Singapura bulan Maret kemarin, setelah berjibaku dengan para fansite menyebalkan yang bener-bener merasa eksklusif dan merasa cuma mereka yang punya lahan di depan panggung itu (boleh nggak gue sumpah serapah lagi? [Maaf.] BANGSAT!) gue mendadak terdiam, mematung, nggak bergerak sama sekali (selain memang karena desek-desekan dan susah banget geraknya). Itu terjadi ketika Do Kyungsoo nyanyiin lagu For Life ini dalam versi bahasa Inggris. There's something magical about this song. Sekali lagi, yang muncul ke permukaan nggak cuma kenangan-kenangan manis, tapi juga kenangan-kenangan pahit yang gue sendiri bahkan udah lupa sebenarnya, tapi lagu itu dan suara Kyungsoo mendadak menenggelamkan gue lagi ke rasa sakitnya. Di sebelah gue, Queen (temen gue dari Filipina yang gue kenal dari event Asian Cultural Young Leaders' Camp 2017), hapal lirik lagu bahasa Inggris itu dan nyanyi sepenuh hati. Sementara gue cuma bisa diam. Pertama karena gue nggak hapal lirik bahasa Inggrisnya dan cuma hapal bahasa Koreanya aja, jadi gue nyanyi dalam hati dan dalam diam dalam bahasa Korea. Kedua karena gue lagi terperosok ke jurang kenangan yang dalam.

"(Maaf) BANGSAT KAU KYUNGSOO!" gue ngumpat beneran tapi bisik-bisik aja. Tapi kenceng. Tapi bisik-bisik. Ngerti kan maksud gue. Kalau nggak ngerti yaudah nggak apa-apa.

Mata gue udah berkaca-kaca. Tadinya bakalan nangis beneran itu kalau aja gerombolan fansite yang ada di situ nggak mengganggu dengan suara jepretan kameranya dan lensa kameranya yang ngena-ngenain kepala orang.

BANGSAT! (MAAF LAGI) MERUSAK SUASANA ANJIR!

Ketika gue kembali fokus ke Kyungsoo (dan oke, Chanyeol juga karena dia yang main piano), meski tadi suasana sempat agak rusak dikit karena fansite, tapi suara Kyungsoo kembali menyapu pikiran dan hati gue dan lagi-lagi gue terbawa jauh ke dalam jurang kenangan-kenangan lama itu. Dalam momen yang nggak terlalu lama, gue mencoba menganalisa kenapa kemudian gue merasa tertohok banget ketika mendengarkan lagu itu.

Apakah gue selama ini memang sedang merasa kesepian?

Apakah selama ini memang nggak ada yang mau ngertiin gue?

Apakah memang nggak ada orang yang mau mendengarkan cerita gue?

Dan dalam momen yang singkat itu, sesaat sebelum Kyungsoo (dan oke Chanyeol) menutup penampilan mereka, gue menyadari satu hal penting. Satu hal yang sering banget gue baca di quote-quote yang berseliweran di timeline semua media sosial yang gue gunakan. Quote yang seharusnya selalu gue ingat dan jadi pegangan karena ini sebenarnya ini adalah jawaban dari semua pertanyaan-pertanyaan yang gue tulis dalam posting-an kali ini: kalau nggak ada pundak untuk bersandar, kan masih ada lantai untuk bersujud.

Dan gue beneran nangis.

 
Follow Me/KaosKakiBau in everywhere!
Watch my #vlog on YouTube: KaosKakiBauTV (#vron #vlognyaron)
Twitter: ronzzykevin
Facebook: fb.com/kaoskakibau
Instagram: ronzstagram / roninredconverse / roningrayscale
Line@: @kaoskakibau (di search pake @ jangan lupa)
Photos by Pexels.com and my personal library.

Share:

0 komentar