Musim Semi dan Sungai Thames [Part 2]

About me and my introverted mind.
Gue nggak komplain terlahir dan kemudian tumbuh besar (meski belum berkembang biak) menjadi seorang introvert. Justru gue bersyukur. Masing-masing orang tentu saja punya pribadi yang berbeda-beda dan gue yakin banyak orang juga nyaman dengan kondisi mereka yang ekstrovert misalnya. Gue sendiri selalu kagum dengan mereka yang ekstrovert. Karena mereka tahu bagaimana memposisikan diri mereka di tengah kerumunan orang. Mereka tahu bagaimana bersikap dan bergaul dengan banyak orang, entah apakah mereka baru ketemu di lokasi atau sudah berteman lama. Mereka bisa masuk ke celah-celah pergaulan yang gue bahkan nggak menyadari bahwa itu ada. Kalaupun gue sadar akan keberadaan celah itu, jiwa introvert gue mungkin akan berbisik kalau gue pasti nggak akan pernah bisa masuk ke sana sekeras apapun gue mencoba. Menjadi orang yang sibuk dengan dunianya sendiri memang nggak gampang, karena ketika mereka dihadapkan dengan dunia nyata kadang-kadang panik. “Gue harus gimana ya?” itu adalah pertanyaan yang sering muncul di kepala gue. Bagaimana orang-orang di sekitar gue bergaul kadang-kadang membuat gue sangat terpukau gitu. “Bisa ya ada orang supel kayak gini?” Meanwhile gue sadar kalau gue hanyalah seonggok daging yang nggak akan memulai pembicaraan kalau nggak perlu dan kalau nggak diajak ngomong duluan. But wait until I feel comfort around you, I’ll be that crazy guy you’ve never met before.

Di hari-hari pertama gue di kantor setahun yang lalu gue pernah tanpa sengaja bilang ke salah satu rekan kerja kalau gue sangat kagum sama temen satu divisi gue yang sudah lama kerja di situ. Ketika dia tanya kenapa (dengan tatapan nge-judge yang gue hapal banget maksudnya apa—she thoughts I like that guy hahaha shit) gue jawab “Karena dia bisa jadi orang yang dipercaya semua orang di sini dan jadi orang yang kayaknya bisa bergaul sama siapa aja di sini.” Walaupun gue sebenarnya lupa satu hal: dia kan sudah lama di sini, jadi wajar aja kalau dia bisa bergaul sama siapa saja. Kalau gue diberikan kesempatan untuk lama di sini mungkin juga gua akan kayak gitu.

Atau mungkin juga enggak.

Butuh waktu lama buat gue untuk menunggu “aslinya gue keluar” ketika memasuki sebuah lingkungan baru. Di sini gue butuh kurang lebih enam bulan.

Introvert kadang-kadang membuat orang lain berpikir kalau mereka menarik diri dari pergaulan. Padahal sebenarnya enggak. Dalam kepala seorang introvert pada saat itu sebenarnya sedang terjadi perdebatan apakah mereka harus membaur atau menikmati kesendirian aja. 90% pasti akan memilih menikmati kesendirian karena kami, para introvert, sangat menghargai waktu-waktu sendiri itu. Mungkin buat orang lain akan terdengar menyedihkan tapi sebenarnya enggak sama sekali. Menikmati waktu sendiri buat introvert adalah hal yang sangat sangat sangat sangat menyenangkan. Apalagi kalau mereka sudah tahu apa yang akan mereka lakukan (dan biasanya sih memang sudan terencana). Kayak “Gue mau ke perpustakaan, mau duduk dan baca sampai sore.” Atau “Gue mau ke cafe mau duduk dan baca sampai malem.” Atau kayak gue, “Gue mau ke McDonald’s Kemang, mau duduk minum kopi sambil memasang headset di telinga tanpa memutar musik sama sekali dan mendengarkan obrolan semua orang yang ada di sekitar gue sambil pura-pura (atau memang sedang) nge-blog.” Buat gue, kesendirian berarti produktif. Sesuatu yang nggak mungkin gue lakukan di tengah-tengah orang banyak yang gue kenal. Kecuali untuk urusan pekerjaan.

Yang gue nggak suka dari menjadi seorang introvert adalah overthinking dan panikan. Dan fakta bahwa gue sangat butuh ngomong sama orang as soon as possible ketika kepanikan itu melanda gue juga jadi sesuatu yang nggak gue sukai.

Ketika perintah untuk ke London itu datang, pikiran gue mulai carut-marut dengan segala kemungkinan-kemungkinan dan rencana lama yang bisa jadi nggak akan berjalan lancar.

Sepanjang jalan ke rumah karaoke keluarga yang bangunannya nyelip di belakang area perkantoran dan apartemen mewah di kawasan Jakarta Selatan setelah gue menerima kabar kalau gue akan berangkat ke London malam itu membuat pikiran gue dipenuhi oleh kekhawatiran-kekhawatiran yang berlebihan. Soal keribetan yang mau nggak mau harus gue hadapi walaupun sebenarnya gue nggak mau. Saat itu gue sedang berada dalam situasi yang nggak bisa gue pilih salah satu. Gue harus (dan ingin) ke London tapi juga gue harus pulang ke Lombok. Jadwalnya nggak bentrok, tapi proses menuju London itu yang akan bentrok dengan jadwal pulang gue ke Lombok.

Lombok adalah sebuah keharusan karena rencana ini sudah lama dibuat dan tiket sudah dibeli. Sementara London pada saat itu posisinya masih nggak jelas. Masih nggak pasti. Tapi harus dipikirkan. Ngerti kan kenapa nyebelin?

“Nggak bisa Ron, lo nggak bisa ngebatalin rencana ke Lombok!” gue ngomong sendiri ketika gue mengendarai Daniel putar balik di jalan HR Rasuna Said yang malam itu macetnya masih dalam kondisi wajar. Dengan hati-hati gue melewati jalanan utama di Jakarta Selatan yang anehnya banyak lobangnya itu. Lobang-lobang yang setiap hari gue hapalin posisinya di mana aja tapi selalu aja lupa dan selalu aja gue jatuh di lobang yang sama. Anjir. Ini dalem sih kalo dipikir-pikir. “Kalau rencana liburan musim dingin di Korea Selatan tahun 2017 ke 2018 aja bisa terlaksana setelah dua tahun direncanakan, masa rencana yang direncanakan setahun yang lalu ini malah nggak bisa dilakukan sih?” kata gue lagi. Gue baru saja menarik tuas rem kiri Daniel karena ada bus TransJakarta yang lewat dari sebelah kanan di jalur cepat di depan Gedung Cyber 2.

Gue akan pulang ke Lombok rencananya 1 Mei. Kepulangan tahun ini sangat penting mengingat ada banyak hal yang harus gue lakukan di sana. Belum lama ini gue baru beli rumah dan belum pernah sama sekali ngeliat kondisinya kayak gimana. Hanya mendengar laporan-laporan dari kakak gue doang. Jadi gue ingin melihat langsung rumah hasil tabungan selama mengabdi kepada bos-bos Ibukota itu. Yang kedua, gue juga harus menyelesaikan urusan Daniel yang BPKB-nya belum gue pegang sampai saat ini karena pelayanan crappy dari dealer motor tempat gue beli dia. Juga karena proses mengambil BPKB tidak bisa diwakilkan katanya. Yang ketiga mungkin karena gue sedikit rindu dengan suasana rumah, walaupun sudah tidak lagi familiar. Gue sedang berantem sama Abang gue hahahaha. Gue juga sedikit rindu sama nyokap karena setahun gue nggak balik dan tahun lalu gue dengan semena-mena melewatkan Idul Fitri di Seoul alih-alih di rumah. Gue inget bagaimana ekspresi orang-orang di rumah ketika gue mengumumkan kalau gue akan Lebaran di Korea dengan heboh. Ponakan gue takut sampai nangis karena gue teriak kekencengan sementara nyokap, meski ada raut kecewa di wajahnya, berusaha buat terlihat baik-baik saja.

“Ya dia masih bujangan, terserahlah mau Lebaran di mana. Kecuali dia sudah punya anak nanti nggak akan bisa ke mana-mana,” kata nyokap ke kakak ipar gue yang kebetulan lagi ada di dapur hari itu.

Nyokap tahu gue suka banget sama hal-hal berbau Korea ini. Bahkan dengan sukarela dia menyumbangkan ide untuk membuat logo EXO di tempat duduk-duduk di depan rumah baru gue itu, di atas semen, dengan menggunakan batu-batu putih dan hitam. Dia juga cukup supportive untuk masalah fandom ini. Walaupun mungkin sebenarnya keki juga karena gue kadang lebih memilih buat nonton konser daripada pulang kampung. Nyokap sih nggak pernah yang terlalu memaksa untuk pulang secara rutin gitu. Kadang-kadang dia malah yang bilang “Ngapain juga di rumah, mending uangnya ditabung aja.” sehingga gue pun lebih suka diam di Jakarta kalau libur agak panjang gitu. Dia juga sangat membebaskan gue untuk melakukan apapun. Peraturannya cuma satu: jangan lupa salat. Nggak pernah ngelarang gue mau kerja apa dan nggak pernah menuntut apapun. Termasuk soal pasangan. Gue bersyukur sih nyokap tidak mencatat agenda soal pernikahan gue di catatan pribadinya dan totally menyerahkan semuanya ke gue. Pernah suatu haru gue bicara dengan nada serius ke dia kalau gue baru akan merencanakan untuk menikah di usia 35. Dia nggak komentar apapun selain ngangguk dan mengiyakan sambil senyum. “Nikmati aja dulu kesendirian kamu.” Katanya. But anyway, yang jelas kali ini gue merasa harus pulang. Selain karena memang hal-hal yang sudah gue jelaskan di atas, juga karena gue harus ketemu nyokap. Mengingat belakangan ini obrolan kita di telepon nggak pernah intens dan hanya sekedar basa-basi.


Pikiran-pikiran berlebihan tentang London dan Lombok sudah mulai menguasai pikiran gue. Sebagian besar karena masalah uang tiket yang sudah gue beli dan kemungkinan akan adanya panggilan terkait Visa di tengah-tengah rencana pulang gue. Gue berniat untuk ada di rumah dari tanggal 1 Mei sampai 6 Mei. Gue sudah ambil cuti 3 hari juga dan sudah di-approve sama bos. Kondisinya saat itu kurang lebih kayak gini:

1. Gue udah beli tiket pulang dengan rencana yang sudah fix;

2. Sampai saat itu rencana ke London ini baru sekedar wacana, kenapa? Karena walaupun semuanya disponsori, tiket juga sudah ada, tapi selama Visa belum keluar berarti nggak akan ada kepastian untuk berangkat. Apa gunanya semua itu tanpa Visa?

3. Gue harus standby di Jakarta untuk mengurus Visa. Bisa jadi, di antara tanggal kepulangan gue itu gue dipanggil untuk foto dan pengambilan sidik jari terkait Visa. Itu pun tanggalnya belum pasti kapan. Bahkan belum pasti juga proses pemanggilan itu terjadi di antara tanggal kepulangan gue! “Gimana kalo misalnya gue udah mutusin untuk nggak pulang, eh malah dipanggil buat Visa-nya tanggal 7 Mei? Lendir lintah!” ada yang sedang berantem di kepala gue saat ini.
Gue turun dari motor yang baru saja gue parkir di depan lokasi karaoke dan entah gimana gue sudah mendapat pencerahan. Tapi gue butuh diyakinkan. Gue butuh diskusi walaupun gue sudah tahu jawabannya. Gue harus ngomong sama orang lain untuk bertukar pikiran dan meminta pendapat walaupun gue tahu pada akhirnya yang akan menang adalah pendapat gue. Oke, gue akan nelepon nyokap untuk mencari solusi. Nggak. Untuk meyakinkan diri gue bahwa solusi yang baru saja muncul di kepala gue itu bisa dilakukan dan benar-benar akan jadi penyelesaian dari masalah ini. Gue tahu sebenarnya gue orang yang jarang diskusi sama nyokap dalam mengambil banyak keputusan dalam hidup selama beberapa tahun terakhir. Tapi ini beda. Ini istimewa. Ini London! Dan pulang juga bukan hal yang biasa-biasa aja mengingat gue adalah anak yang jarang pulang. Jadi dua-duanya, sekali lagi gue tekankan, penting. Yang satu karena memang sudah direncanakan sejak lama, yang satu karena memang tuntutan pekerjaan. Tuntutan pekerjaan yang nggak mungkin diabaikan dan pastinya akan sangat menyenangkan. Tuntutan pekerjaan yang mau nggak mau harus jadi prioritas karena gue hidup karena pekerjaan itu. Kalau gue nggak merasa dua-duanya penting kan gue nggak mungkin galau.

“Kotoran kudanil! Terkutuk kau, introvert yang suka overthinking!” gue mencaci diri gue sendiri sambil menaiki undakan tangga kecil-kecil menuju tempat karaoke.

Kalau lo baca ulang kalimat sebelum gue ngumpat di atas sebenarnya lo sudah bisa menilai kalau gue sudah menemukan solusi dari masalah ini. Tapi sekali lagi gue hanya butuh diyakinkan saja.

Anak-anak JYP Nation belum datang, kali ya? Gue membantin sambil merogoh kantong celana berwarna mirip celana Pramuka yang gue beli di Uniqlo beberapa minggu lalu, mengeluarkan Jeno yang sudah kepanasan di dalam sana karena sejak tadi gue jalan sambil menyalakan pemutar musik yang bahkan nggak benar-benar gue dengarkan. Nggak ada notifikasi dari grup chat. Mungkin mereka sedang dalam perjalanan, pikir gue. JYP Nation ini adalah grup chat di WhatsApp yang awalnya hanya berisi gue, Dedy, dan Riris. Dedy adalah satu dari beberapa teman kampus yang masih kontak sama gue sampai sekarang karena sejak pertama kali masuk UI kita selalu bareng. Gue kenal Dedy dari Facebook setelah mencari-cari nama mereka yang lulus PPKB (jalur masuk UI lewat undangan dan hanya menyetor raport SMA ke pihak penerimaan mahasiswa baru, gue salah satu yang beruntung masuk UI tanpa ikut tes waktu itu). Setelah kenalan sama Dedy lewat Facebook dan SMS, kita jadi makin nyambung karena sama-sama suka Cinta Fitri. Hahahaha! Dedy pernah kuliah di Korea selama beberapa tahun dan kembali ke Jakarta untuk bekerja di sini sebelum, kayaknya sih, dia melanjutkan S3. Waktu pertama kali ke UI kita ngekos di tempat yang sama. Waktu memutuskan untuk pindah kosan ke daerah yang lebih pinggir jalan pun kita pindah bareng. Sementara Riris adalah teman Dedy, anak FMIPA-Kimia UI yang ternyata suka Kpop juga. Gue dan Riris anaknya SM banget sementara Dedy anaknya YG banget. Lalu kenapa grup ini dikasih nama JYP Nation? Karena nggak ada dari kita yang benar-benar ngefans artis-artis JYP. Beberapa bulan terakhir kita kedatangan member baru bernama Endah, teman satu kantor Riris yang suka Kpop juga. Sejak Endah bergabung, kita jadi punya satu lagu kebangsaan kalau karaoke: ‘Good Luck’-nya AOA.

“Kudanil Koreng!” gue mengumpat ketika gue sadar gue dari tadi nyanyi lagu ‘Good Luck’ di kepala. Dari sekian banyak lagu yang sering dinyanyikan pas karaoke, kenapa lagu ini yang kepikiran di saat galau kayak gini sih? Gue mendadak lapar. Gue tahu di dekat situ ada jual ketoprak dan gue sudah ngiler membayangkan bumbu kacang yang selalu nggak pernah gagal bikin gue jadi rada kalem dikit. Setidaknya di bagian perut. Ketika gue sedang makan, salah satu teman kantor yang ngurusin perjalanan ke London ini menghubungi gue via WhatsApp untuk meminta detail data diri dan nomor paspor. Katanya untuk urusan pemesanan tiket pesawat dan hotel selama di sana. Jujur aja sampai saat gue menyuap empat lontong dan toge yang dicampur bumbu kacang itu gue masih merasa semua ini nggak nyata. Gue masih merasa tawaran bos gue di kantor tadi cuma mimpi. Gue masih berpikir perjalanan ke London ini hanyalah mengada-ada dan hanya sebuah anomali. Tapi toh gue isi juga data yang dibutuhkan meski jiwa pesimis gue mendadak mendominasi. “Kalau Visa belum kelar ya berarti belum jadi berangkat. Mau tiket pesawat udah dibeli juga kalau nggak ada Visa ya buat apa?” kata gue ke diri gue sendiri. Saat itu keyakinan gue untuk berangkat ke London hanya 30%. Means tidak perlu dipikirkan apalagi diharapkan.

Gue hanya butuh waktu 10 menit untuk menghabiskan sepiring ketoprak itu dan kembali lagi ke undakan di depan rumah karaoke keluarga. Sempat terpikir untuk masuk ke kafe kosong yang ada di sebelahnya, sudah lama sekali gue memperhatikan kafe itu dan penasaran ingin mencoba kopinya sekaligus melengkapi koleksi #30DaysCoffeeShopChallenge gue. Biasanya kopi akan selalu bisa membantu gue. Tapi entahlah hari itu rasanya ingin tiduran saja dan pura-pura mati. Tanpa gue sadar Jeno sudah menempel di telinga gue dan nomor nyokap sudah tersambung.

“Halo?”


Semua perasaan mendadak ngumpul di dada dan gue bisa merasakan napas gue agak sesak. Gue bisa aja meledak dan menangis. Gue inget dulu pernah nangis di telepon pas lagi ngomong sama nyokap. Ada masa-masa di mana dulu gue sangat sial banget sama yang namanya gadget. Apapun yang gue punya mau itu handphone atau laptop, pasti umurnya nggak pernah tahan lama. Pasti bermasalah. Nggak speaker-nya mati lah. Nggak motherboard-nya rusak lah. Nggak LCD-nya mendadak nggak mau nyala lah. Macem-macem. Dan itu sudah terjadi sejak gue SMA kelas 3 sampai memasuki tahun kedua gue sebagai wartawan Kpop dulu. Dalam kurun waktu lima tahun itu gue sudah ganti laptop tiga kali dan tiga-tiganya rusak dalam waktu yang lama setelah gue beli. Gimana coba gue nggak stres? Gue ngeluh ke nyokap sambil nangis dan drama banget pokoknya waktu itu. “KENAPA SIH SELALU AJA SAYA YANG NGALAMIN HAL KAYAK GINI? INI NGGAK CUMA SEKALI LHO! INI UDAH BERKALI-KALI DAN MASALAHNYA SELALU AJA SAMA! LAPTOP LAGI LAPTOP LAGI!” gue sambil jambak-jambak rambut karena stres. Waktu itu laptop gue rusak padahal belum setahun gue beli mendadak mati terus dan gue bawa ke Asus Service Center yang supersucks pelayanannya menjijikan itu. Mengingat gue beli laptopnya dengan uang gue sendiri makanya gue jadi kayak membenci kenyataan bahwa tabungan gue menguap sia-sia karena laptop rusak itu. Gue memang cengeng sih pada dasarnya.

“Mom, ape tegaweq?”

Gue manggil nyokap ‘Mom’ entah sejak kapan dan gue selalu bicara sama dia dalam Bahasa Sasak kalau di telepon. ‘Ape tegaweq?’ itu artinya ‘Sedang apa?’. Selanjutnya dialog kami gue tulis dalam Bahasa Indonesia aja supaya mudah dimengerti.

“Baru balik dari masjid, ada apa?”

“Aku lagi bingung nih. Aku disuruh ke London,” kata gue.

“Oh ya? Liputan apa?”

Nada bicara nyokap flat aja gitu. Berbeda dari reaksinya ketika gue pertama kali disuruh liputan ke New York dan Korea di tahun 2015 dulu. Mungkin ini efek dari karena gue sudah terlalu sering terbang ke negara lain jadi bukan sesuatu yang menarik dan wow lagi buat dia. Walaupun tetap saja buat gue London adalah sesuatu yang sebenarnya patut untuk dihebohkan. Gue sendiri malu mengakuinya malam itu kalau gue berharap nyokap akan bereaksi lebay. Terakhir dia bereaksi superhappy adalah ketika gue menawarkan umroh bareng. Tapi ekspektasi tidak sesuai dengan kenyataan. Gue menjelaskan tujuan liputannya kali ini dan menyampaikan semua keluh kesah yang gue rasakan hari itu. Belum sampai ke penjelasan masalah kegalauan dan kebutuhan akan solusinya, keyakinan mendadak muncul dalam diri gue.

“Kenapa juga sih Ron, lo harus terlalu banyak berpikir soal ini? Gue rasa ini nggak penting-penting banget gitu lho untuk dipikirkan. Karena yang pertama, lo sebenarnya masih bisa pulang dan yah paling rugi berapa ratus ribu. Tapi kan akhirnya lo akan ke London tanpa mengeluarkan apapun untuk pesawat dan hotel. Apa artinya sih beberapa ratus ribu kalau dibandingkan dengan the whole trip? Lo jangan jadi orang yang nggak bersyukur deh!”

Begitu kata gue ke diri gue sendiri sebelum nyokap akhirnya bilang di telepon,

“Gak usah terlalu dipikirin. Syukurin aja. Ikhlas aja. Kalau memang rejeki nggak akan ke mana. Kalau memang rejekinya pulang ya pulang. Kalau memang rejekinya ke London ya ke London. Kalau memang rejekinya pulang dan ke London ya bagus dong berarti.”

Gue langsung mengumpat diri gue sendiri karena sudah terlalu banyak mikirin hal-hal nggak penting sampai-sampai gue lupa untuk bersyukur. Lagipula kan gue sendiri yang bilang kalau rejeki nggak ke mana dan Hakuna Matata. Kenapa sekarang gue malah jadi galau berlebihan gini? Gue ngumpat kesal lagi sebelum akhirnya istigfar. Hahaha ngumpat dulu baru istigfar aja udah nggak beres. Kepala gue sedang tidak bisa berpikir jernih. Tapi gue mendapatkan solusi itu pada akhirnya.

“Tapi bisa jadi aku nggak jadi pulang,” kata gue ke nyokap. “Padahal kan ini sudah lama direncanain. Aku mau ulang tahun di rumah. Aku mau ngurusin banyak hal juga,” gue mengatur napas. Sekarang posisi gue duduk di undakan tangga menuju tempat karaoke. Di depan gue ada segerombolan mbak-mbak berjilbab baru abis karaoke juga dan sekarang mereka sedang membahas lagu-lagu yang tadi mereka nyanyikan di dalam. Lagi-lagi lagu AOA itu muncul di kepala gue. “Good luck giri giri you like me. Good luck giri-giri I like you.”

“Ya kan pulang bisa kapan-kapan. Nggak usah terlalu khawatir dengan apa yang akan datang. Ikhlasin aja. Bukannya kamu memang suka kejutan? Ya anggap aja apa yang akan datang nanti sebagai sebuah kejutan dalam hidup. Sebuah cerita lain yang mungkin akan bisa jadi bahan tulisan menarik nantinya. Udah, bismillah aja, kalau rejeki ke London ya berangkat. Nanti bisa ketemu Harry Potter,” kata nyokap lagi. Senyum mengembang di wajah gue. Gue lupa nyokap juga tahu gue suka Harry Potter. Tentu saja. Dia pernah beliin gue The Deathly Hallows berbahasa Inggris dulu ketika dia lagi tugas dinas di Bali beberapa hari (di Lombok waktu itu belum ada Gramedia). Dia juga pernah beliin gue mug dan bantal Harry Potter waktu gue SD. I love her moreeeeeee for supporting my fandom life!

Ketika telepon ditutup, sebuah rencana sudah fix di kepala gue. Gue akan tetap pulang, tapi menunggu kabar dari orang yang ngebantuin untuk ngurus Visa ini dulu soal kapan gue harus datang untuk foto dan scan sidik jari. Kalau pun nanti tanggal pemanggilannya akan terjadi tengah-tengah tanggal kepulangan gue itu yaudah gue akan kembali ke Jakarta sesegera mungkin. Nggak masalah deh mau rugi berapa ratus ribu karena gue tahu ini mau nggak mau akan terjadi. Tapi yang harus gue lakukan sekarang adalah mencari kepastian kapan tanggal pemanggilan untuk foto itu. Entah bagaimana gue punya feeling kalau tanggalnya pasti akan bentrok dengan tanggal kepulangan gue. Parah-parahnya ya gue harus mengundur tanggalnya dan ambil cuti lebih banyak. Semoga bos gue mengizinkan deh. Malam ini mending karaoke dulu aja. Sudah nggak sabar untuk buang-buang tisu sebagai pengganti glitter yang dilempar Bora pas nyanyi ‘Give It To Me’ atau sekedar lebar-lebar ngangkat niruin dance ‘Cherry Bomb’-nya NCT. Anak-anak JYP Nation sudah datang.

***

Beberapa teman kantor sempat ber-ciye ria keesokan harinya. Gue hanya menanggapinya dengan bercanda dan bilang “Belum juga pasti berangkat. Visa aja belom tentu keluar.” Kantor punya langganan travel agent untuk mengurus Visa ini dan gue sudah mulai repot untuk mengumpulkan berkas-berkas keesokan harinya. Karena ini sudah mepet banget, proses pengumpulan berkasnya jadi nggak seperti pengajuan Visa pada umumnya. Kali ini berkasnya harus di-scan semua dan dikirim via email untuk segera didaftarkan dulu ke VFS Global, perusahaan yang mengurusi pembuatan Visa UK di Indonesia. Kekhawatiran gue soal waktu yang sempit buat Visa ini sebenarnya masih mengganggu. Tapi mengingat kerugian gue sejauh ini paling banter hanyalah tiket pesawat pulang ke Lombok yang harus di-reschedule, gue memilih untuk tidak ambil pusing lagi soal itu. Kehilangan sejumlah uang selalu gue anggap sebagai pengganti sedekah yang mungkin selama ini memang kurang gue lakukan. So, sekali lagi, Hakuna Matata. Selama beberapa jam di kantor gue nggak ngurusin pekerjaan tapi sibuk men-scan paspor dan dokumen-dokumen lainnya. Bakalan bisa nggak nih approve dan jadi Visa-nya sebelum keberangkatan tanggal 14 Mei? Sementara sekarang sudah tanggal 24 April. Dengan banyaknya tanggal merah di depan, hanya ada beberapa hari kerja untuk pengurusan Visa ini. Bakalan selesai tepat waktu nggak ya? Gue berusaha untuk menyembunyikan excitement gue soal London sebelum Visa-nya keluar. Gue nggak mau heboh-heboh terus nggak jadi. Karena berdasarkan pengalaman selama ini, kalau gue heboh biasanya akan jelek ujungnya. Gue juga menutup cerita soal undangan liputan ke London ini dari semua teman-teman di luar teman kantor. Kecuali dua orang. Setelah semua dokumen-dokumen terkumpul dan dikirim ke pihak travel agent, gue hanya tinggal menunggu. Beberapa kali Mas Fajar, orang travel, menelepon gue untuk memberitahukan soal dokumen-dokumen itu. Gue juga mencoba untuk memastikan tanggal proses foto dan scan sidik jari itu.

“Tanggalnya belum tahu kapan ya mas?” tanya gue sambil mengklik-klik mouse randomly.

“Iya mas belum tahu,” kata dia.

“Tapi nggak akan berkali-kali kan mas prosesnya? Maksud saya, kalau misalnya saya disuruh ke VFS-nya tanggal 2, saya nggak akan disuruh dateng lagi kan di tanggal 5, gitu?”

“Iya biasanya cuma sekali mas. Jarang ada kasus yang sampai dua kali gitu. Tapi karena ini memang sangat buru-buru yah, jadi kayaknya sih akan tanggal 2 sih mas. Nanti saya kabari lagi deh ya pastinya tanggal berapa. Yang pasti standby aja dulu,” 

Stand by. Itu yang sedang gue galaukan dari kemarin.

“Saya tuh sebenarnya mau pulang ke Lombok mas. Makanya kalau bisa selesai di tanggal 2 sih saya seneng banget. Jadi tiket saya yang harusnya tanggal 1 bisa saya undur ke tanggal 2 aja,”

“Oke saya kabari segera kalau sudah dapat tanggal ya mas. Ini kan dokumen-dokumennya masuk ke list priority, jadi harusnya bisa cepet sih. Kita pake jalur VIP soalnya,”

DANG IT! GUE LUPA KALAU ADA JALUR-JALUR KHUSUS KAYAK GITU UNTUK KONDISI YANG KAYAK GINI! GUE TERLALU LAMA HIDUP SEBAGAI RAKYAT JELATA! TAHU GITU KENAPA GUE HARUS PANIK DAN KEPIKIRAN DARI KEMARIN?! KALAU KAYAK GINI KAN BISA DIBILANG VISA SEBENARNYA SUDAH 90% AKAN KELUAR?! WAH MAK LAMPIR KECEBUR DI KUBANGAN DOSA!

Entah kenapa gue jadi merasa sedikit lebih tenang hari itu. Sekarang PR-nya cuma satu, mengikhlaskan uang tiket pesawat pulang yang di-cancel.

Ketika Mas Fajar telepon lagi di tanggal 30 April untuk memberitahu gue bahwa fix gue akan ke VFS Global-nya tanggal 2 Mei, gue hari itu langsung panik (lagi) untuk re-schedule tiket pulang. Juga minta izin ke bos gue untuk tuker jadwal cuti. Alhamdulillah semuanya lancar, tinggal ikhlasin satu juta rupiahnya saja. Bye bye uangku. Hiks. London di depan mata. Semuanya akan terbayar pokoknya. Bismillah!

***


Gue menghabiskan seharian untuk tidur di tanggal 1 Mei dan bangun dengan agak deg-degan di tanggal 2 Mei. Barang-barang gue sudah dimasukin ke koper pinjeman dari Ambar sejak beberapa hari yang lalu. Jadi hari ini, 2 Mei 2018, gue akan ke kantor pakai bus TransJakarta sambil bawa koper karena nanti malam gue akan terbang ke Lombok. Gue berangkat pagi-pagi sekali hari itu sambil ngos-ngosan ngegeret koper kecil itu lewat di jalanan nggak rata di geng-gang antara kosan gue dan halte bus TransJakarta. Gue jarang olahraga banget makanya jalan sambil geret koper yang beratnya nggak sampai 7 kilo itu aja udah bikin gue ngos-ngosan parah. Salahnya lagi pagi itu gue pakai jaket hoodie yang agak tebal. Jadinya setelah sampai di halte bagian belakang baju gue udah basah oleh keringat. Gue benar-benar lupa kalau TransJakarta di pagi-pagi buta itu sudah pasti ramai. Karena gue udah beberapa bulan terakhir selalu bawa motor ke kantor dan jarang naik bus lagi. Gue sudah bisa membayangkan bagaimana ribetnya pegangan di bus sambil megang koper itu supaya nggak tergelincir jauh. Belum lagi kalau orang-orang pada mau gerak di bus akan jadi lebih sulit karena koper gue ada di lorong. Memang kondisi bus TransJakarta ini nggak ramah sama orang yang bawa koper. Beda sama bus di Singapura atau di Seoul. Lorongnya agak luas jadi masih ada space buat orang lewat meski ada koper berdiri di sana.

Seperti yang gue duga kondisi TransJakarta koridor enam pagi itu padat banget. Gue nyelip di antara beberapa orang dan langsung menuju ke tengah-tengah bus, berdiri di antara ibu-ibu yang pura-pura tidur dan bapak tua yang batuk nggak berhenti-berhenti dan dia nggak pake masker. Gue membenarkan posisi masker gue dan pelan-pelan agak bergeser menjauh, takut ketularan, karena bapaknya kayaknya bukan batuk yang karena keselek atau karena tenggorokannya gatel gitu, tapi batuk berdahak karena virus yang sekarang gue yakin sudah menyebar ke pegangan kursi yang ada di depannya.

Naik bus lagi setelah sekian lama memberikan sensasi nostalgik yang sebenarnya nggak mau gue ulang-ulang lagi karena sekarang gue sudah nyaman naik motor. Dulu, gue pernah kejebak macet di Mampang Prapatan menuju Kuningan selama empat jam. Normalnya dari halte dekat kosan gue menuju halte dekat kantor tuh cuma butuh 20 menit. Tapi hari itu empat jam. Bikin gue mau marah. Untungnya lagi puasa jadi agak kalem dikit. Mampang Prapatan memang bukan jalur yang menyenangkan buat berkendara karena selalu macet. Tapi sejak terowongannya sudah selesai di bangun, TransJakarta jadi nggak lagi lama. Tapi kendaraan lain tetap saja macet kayak sembelit yang nggak sembuh-sembuh. Dulu gue suka banget naik TransJakarta karena di situ gue bisa melihat banyak jenis orang. Mulai dari mereka yang suka pura-pura tidur, sampai yang nonton drama Korea dan senyum-senyum sendiri. Pernah di satu hari gue berdiri di depan sepasang suami istri. Istrinya sedang menyimak layar ponsel dengan serius dan pakai headset sebelah sementara suaminya berdiri di space kosong di samping kursi sang istri, melirik ke arah ponsel dengan penasaran. Gue juga ikut penasaran dan akhirnya tahu kalau mbak-mbak itu lagi nonton drama Korea. Terus setelah kursi di sebelah mbak-mbaknya kosong, suaminya duduk dan mereka berbagi headset terus nonton bareng. Gue senyum-senyum sendiri waktu melihat adegan itu.

Hari itu gue sama sekali nggak berminat untuk mendengarkan musik lewat headset. Soalnya ransel gue udah ribet dan ini koper juga udah makan tempat. Gue nggak mau disibukkan dengan kabel headset yang akan bikin pergerakan gue jadi susah. Lagipula agak sulit mengontrol ponsel sambil memegang gagang koper di dalam bus seperti ini. Jadi yaudahlah. Sebentar lagi juga akan sampai ke kantor.

Gue menggotong koper keluar bus di halte Departemen Kesehatan dan menggeretnya sepanjang jalan ke kantor, diikuti dengan suara gesekan berisik antara roda koper dengan jalan raya. Agak mengganggu juga sebenarnya di kuping tapi mau gimana lagi. Sesekali gue gotong kopernya ketika melewati trotoar yang nggak rata. Melihat kondisi jalan agak sepi pagi itu gue memutuskan untuk jalan di aspal aja sambil menggeret koper. Keringat kembali terasa mengalir dari punggung ke pinggang. Nggak nyaman banget rasanya. Setelah sampai di kantor dan menyimpan koper itu di belakang meja satpam, gue masuk menuju meja, membuka jaket dan menyalakan kipas angin Sekai yang ada di atas meja untuk mengademkan badan gue yang sekarang makin keringetan karena sudah nggak bergerak lagi. Sambil gue menyiapkan beberapa berkas yang sekiranya dibutuhkan untuk proses verifikasi data Visa nanti siang.

Gue menggunakan kemeja kotak-kotak berwarna abu-abu hari itu. Kemeja yang sama yang gue gunakan untuk foto paspor di tahun 2013 dulu. Kemeja itu warisan Abang gue dan sudah gue pakai sejak kuliah semester satu. Sampai sekarang ukurannya nggak berubah, nggak pernah kekecilan. Bukti bahwa dari dulu badan gue nggak membesar sama sekali. Sebuah fakta yang sangat mengenaskan mengingat gue termasuk orang yang makannya banyak. Gue merasa agak deg-degan hari itu tapi deg-degannya positif. Gue akan pulang ke Lombok malam ini dan akan merayakan ulang tahun bareng sama temen-temen deket gue besok malam. Gue harus menyelesaikan urusan Visa ini dengan segera.

Nggak nyangka sama sekali kalau gue sekali lagi harus dihadapkan dengan drama soal Visa. Gue inget banget waktu ngurus Visa Amerika untuk liputan ke New York dulu. Mulai dari survey bagaimana prosesnya sampai naik Gojek pagi-pagi ke Jalan Medan Merdeka Timur buat wawancara Visa. Bareng sama orang-orang yang kerja di kapal pesiar. Gue hari itu terlihat sangat kaku dan nggak tahu apa-apa karena memang gue nggak tahu apa-apa dan ini adalah kali pertama gue wawancara Visa Amerika. Dari informasi yang gue baca, wawancara Visa Amerika ini terbilang untung-untungan. Tergantung kita dapetnya wawancara sama petugas yang kayak gimana. Tapi mostly mereka memang tegas gitu. Waktu gue duduk di bawah rel kereta tempat orang-orang sedang menunggu proses antre ke Embassy Amerika Serikat hari itu, gue diajak ngobrol sama mas-mas sebelah gue yang menyangka gue adalah salah satu orang yang bekerja di kapal pesiar juga.

“Saya mau liputan,” kata gue.

“Oh kirain mas kerja di kapal pesiar. Baru pertama ya mas?”

“Iya,” kata gue. Kelihatan banget kok gue baru pertama.

“Kata temen saya, nanti kalau mas ditanya pake Bahasa Inggris di dalem, jawabnya pakai Bahasa Indonesia aja mas. Jangan dijawab pakai Bahasa Inggris. Nanti diajak ngobrol yang susah-susah,” katanya.

“Oh gitu?” gue agak nggak percaya sebenarnya. Walaupun ketika di dalem hal itu gue lakukan juga.

Yang gue suka dari proses mengurus Visa Amerika itu adalah gue melakukannya sendiri. Gue suka melakukan apapun sendiri jadi gue tahu prosesnya dan gue bisa cerita di blog dari pengalaman pribadi gue. Gue bersyukur sih, Visa UK ini dibantuin sama travel tempat kerja Mas Fajar. Tapi di sisi lain gue jadi nggak tahu proses yang sebenarnya. Gue jadi bergantung sama Mas Fajar dan jalur VIP itu. Gue jadi nggak punya banyak cerita yang harus dijelaskan mengenai proses pembuatan Visa-nya. Cuma yah karena memang sudah mepet banget kan mau gimana lagi? Yang jelas, dari pengalaman temen-temen gue waktu masih jadi wartawan dulu, ngurus Visa ke UK itu susah banget. Selain memang banyak berkas yang harus disiapkan, uang di rekening juga harus mumpuni. Kata Mas Fajar minimal harus Rp 50 juta. Buset. Itu uang? ITU UANG?! IYA ITU UANG! DAN MASALAHNYA ITU UANG NGGAK ADA DI REKENING GUE!

Selain rekening koran gue yang saldonya nggak seberapa itu nggak nampak ketika di-print dan gue harus bolak-balik dari VFS Global ke bank terdekat untuk cetak versi bagusnya, nggak ada drama lain lagi. Oh, paling macet-macetan di Pancoran ketika gue sedang dalam perjalanan mencetak foto untuk keperluan dokumen. Foto yang sama dengan foto yang gue gunakan untuk Visa ke Korea bulan Desember kemaren. Gue hanya tinggal menunggu.


Mas Fajar cerita banyak hal tentang pengalamannya bikin Visa mendadak atas request dari Bu Angel dari KASKUS. “Dia selalu kalo request tuh mendadak banget. Ya kan saya jadi buru-buru juga panik ngurusinnya,” katanya. Gue hanya ketawa sambil meyakinkan dia bahwa gue bisa relate ke cerita itu karena gue sendiri panik kemarin ketika perjalanan ke London ini dikasih tahu ke gue. Ketika sudah waktunya gue masuk ke ruang tunggu untuk proses foto dan pengambilan data biometrik, gue makin deg-degan. Deg-degan yang nggak guna sebenarnya.

Prosesnya cepet banget. Mungkin karena VIP. Ruangannya dibedakan dengan mereka yang menggunakan jalur reguler. Ruang tunggu VIP dilengkapi dengan televisi layar besar dan cemilan di atas meja. Gue nggak makan cemilan itu tapi Mas Fajar ngotot supaya gue makan. “Soalnya kalo di luar nggak ada mas. Sayang banget lho!” katanya. Setelah berhasil meyakinkan dia gue nggak laper dan hanya butuh minum (sambil membuka botol air mineral dari atas meja), dia bilang lagi “Yaudah kalau gitu saya aja yang makan hehe,” lalu mencomot beberapa biskuit dari atas meja.

Gue duduk di sofa sebelah pintu masuk ruang tunggu VIP. Di sofa seberang tempat duduk gue ada bapak-bapak sedang menunggu panggilan juga. Kelihatan dari style-nya dia orang kaya. Dia ditemani oleh seorang mas-mas yang kayaknya perwakilan dari travel agent juga. Nggak jauh dari tempat duduk bapak itu ada meja lain yang di sisi kirinya ada setumpuk berkas pengajuan Visa. Bisa jadi berkas gue ada di situ juga. Di balik meja itu ada mbak-mbak berambut panjang dengan dandanan rapi khas customer service bank. Di sebelah meja itu, di sisi lain dari berkas yang menumpuk, ada pintu yang tiba-tiba terbuka dan gue sempat mengintip ada apa di dalam. Mas-mas kurus sedang mengintip ke luar pintu mengambil setumpuk berkas dari mbak-mbak berambut panjang itu. Di ruangan tempat mas-mas itu terlihat seperti ruang praktik dokter tanpa aroma khas rumah sakit yang nggak pernah gue sukai. Sebentar lagi gue akan masuk ke sana.

“Santai aja mas,” kata Mas Fajar yang tiba-tiba muncul lagi. “Nggak akan ditanya macem-macem kok. Kalau UK nggak ada wawancara apalagi VIP. Cuma difoto dan diambil sidik jari aja. Gausah tegang gitu,” katanya.

Nggak lama setelah itu nama gue dipanggil dan gue berjalan pelan ke ruangan yang mirip ruang praktek dokter itu. Mas-mas berperawakan kurus yang ada di dalam nggak komunikatif sama sekali. Gue duduk di bangku tinggi dengan dudukan bundar yang langsung bergerak memutar setelah gue duduki. Gue mencoba untuk membenarkan posisinya tapi tetap aja bangku itu bergerak memutar sendiri. Mas-mas berperawakan kurus itu mempersiapkan kamera dan mengisyaratkan gue untuk melihat ke kamera. Gue mencoba untuk membenarkan posisi bangku itu dan berusaha bilang ke dia kalau bangkunya gerak sendiri. Tapi belum sempat gue buka mulut, dia sudah mulai berhitung, lalu, jepret. Gue yakin fotonya jelek banget karena gue belum siap sama sekali, rambut gue kebetulan juga sedang agak panjang dan berantakan, dan posisi duduk gue agak menyimpang dari lurus karena kursi itu bergerak sendiri. Dia nggak menawarkan untuk foto ulang karena kayaknya dia sedang buru-buru mau makan siang atau apa gitu. Tadi sebelum masuk gue sempat melihat dia mengeluh ke mbak-mbak berambut lurus yang ada di luar.

“Ya mas, tolong empat jari sebelah kirinya, semua kecuali jempol,” katanya dengan mata melirik ke mesin scanner sidik jari yang mengeluarkan cahaya berwarna hijau yang ada di depan gue. “Ya sekarang empat jari sebelah kanan,” katanya lagi. Di setiap jeda dia mengklik sesuatu di layar komputer. “Ya sekarang dua-duanya jempol,” katanya lagi lalu terdengar suara klik-klik dari mouse. “Oke, udah. Makasih ya mas. Nanti akan dikabari kalau sudah selesai Visa-nya,” dia mengakhiri sesi itu dengan terburu-buru. Sementara gue masih duduk dan sekarang posisi gue sedang agak serong kanan karena kursinya berputar sendiri lagi.

“Hah? Udah gitu aja mas?”

“Iya mas. Gitu aja,” jawab dia.

“Nggak ada wawancara?”

“Nggak ada mas,” dia senyum tapi kelihatan maksa. Senyuman yang sebenarnya mengisyaratkan kalau dia nggak mau gue banyak tanya karena dia mau makan siang.

Gue keluar dari ruangan itu dengan perasaan lega. Nggak ada wawancara? Serius?

Waktu Visa Amerika dulu, keputusan approved atau rejected dilakukan di depan mata lo. Isi perut lo bisa keluar semua di tempat kalau aja Visa lo ditolak. Gue inget ada keluarga (bapak, ibu, anak) yang semua Visanya ditolak ditempat hari itu. Mereka berdiri persis di depan gue, sebelum giliran gue tiba. Gimana gue nggak deg-degan? Tapi ini udah cuma gitu aja dan nggak ada proses wawancara sama sekali. Wah gila sih. Segala overthinking gue selama beberapa hari terakhir sama sekali nggak guna. Gue dimudahkan banget. Alhamdulillah.

Apakah ini artinya gue akan berangkat ke London?

Sekali lagi kalau Visa belum keluar berarti belum pasti. Yang penting Lombok dulu malam ini. Udah kangen makan sambel buatan nyokap. Gue keluar dari ruangan dengan perasaan lega dan kembali ke kantor dengan langkah yang ringan. Tanpa tahu kalau malam itu penerbangan gue ke Lombok delay satu jam setengah dan gue yang harusnya sampai Lombok jam 10:30 malem jadi molor ke jam setengah 1 pagi di tanggal 3 Mei. Sial, gue melewatkan hari ulang tahun gue di atas pesawat sambil tidur.

Eek Tapir kau, Lion Air!

 
Follow Me/KaosKakiBau in everywhere!
Watch my #vlog on YouTube: KaosKakiBauTV (#vron #vlognyaron)
Twitter: ronzzykevin
Instagram: ronzstagram / roninredconverse / roningrayscale
Line@: @kaoskakibau (di search pake @ jangan lupa)
Photos from personal library.

Share:

0 komentar