Gila udah
berapa lama gue nggak nulis di blog ini? Setelah ulang tahun blog ini yang
ke-10, padahal gue udah niat banget mau kembali rajin dan rutin menulis lagi
meski pendek-pendek. Tapi yah.... memang namanya manusia cuma bisa berencana. Pada
akhirnya yang menentukan adalah mood dan deretan drama Korea yang menunggu buat
ditonton.
Kalau lo tahu dua minggu lagi dunia akan kiamat, apa yang akan pertama kali lo lakukan?
Hihihi... ketika gue nulis kalimat di atas gue juga jadi mikir. Apa yang akan gue lakukan ya? Di umur sekarang masih banyak hal yang ingin gue kejar (meski capek juga sih ngejer terus, kapan gue yang dikejar? #ea #apanih) dan masih banyak juga yang ingin dicapai. Tapi kalau cuma punya waktu dua minggu untuk hidup, sebagai masyarakat Asia dengan budaya ketimurannya (hihihi) pastilah gue akan pulang kampung dan bertemu Mama. Tapi masalahnya adalah kalau semua orang tahu dua minggu lagi akan kiamat, pastilah semua orang akan panik, bahkan kiamat belum kejadian saja udah kiamat duluan karena panik.
Tapi apa jadinya setelah kepanikan itu, lo kemudian mendengar kabar terbaru bahwa pemberitahuan soal kiamat itu hoax. Lo sudah ketipu.
Wah... WAH GILA SIH. WAH WAH WAH WAH...
Bahkan membayangkannya aja gue sudah dendam. Apalagi benar-benar merasakannya. Nggak sanggup deh gue untuk menahan sakit hati. Rasanya beneran pengin ngedorong itu orang yang nyebarin hoax ke dalam sumur, terus sumurnya dikasih gas beracun, terus ditutup lubang sumurnya agar abadi di alam baka.
(anjir ini pikiran gue jahat banget ya)
(astagfirullah)
(ampuni aq ya Allah)
Tapi kurang lebih itu yang terjadi sama Kim, karakter yang diperankan Maisie Williams, di serial 6 episode berjudul Two Weeks To Live ini. Selama ini dia hidup dalam pengasingan yang sebenarnya disengaja tapi dia sama sekali nggak pernah diberitahukan alasan yang sebenarnya. Yang dia dengar selama ini dari Tina, ibunya, adalah kebohongan demi kebohongan. Kim beneran hidup jauh dari keramaian. Di sebuah pondok terpencil dengan pencahayaan yang seadanya (tetap ada listrik sih) tapi nggak pernah terlalu kenal teknologi. Tina sengaja mengisolasi dirinya dan Kim dari kehidupan luar karena sebuah alasan yang dia sendiri nggak bisa jelaskan kebenarannya ke Kim. Tapi Kim yang beranjak dewasa punya rasa penasaran yang besar banget. Dia bahkan punya satu buku yang berisi bucket list, hal-hal yang ingin dia lakukan di kehidupan nyata. Siapa sangka salah satu poin dalam bucket list itu adalah balas dendam.
Setelah nulis sebuah surat ke Ibunya, Kim kabur dari rumah untuk mulai mencoret satu per satu daftar di bucket list itu. Termasuk ya balas dendam itu tadi. Tapi sebelum itu terjadi, dia masuk ke sebuah pub dan bertemu dengan Nicky dan Jay, kakak-beradik yang sedang ngerumpi soal kehidupan. Jay nantangin Nicky buat mendekati Kim yang hari itu pertama kali ke pub buat mengenang kencan pertama Ibu dan Ayahnya dulu. Setelah obrolan lucu di bar (dan sumpah sih banyak banget kejadian kocak di situ kayak misalnya Kim yang sama sekali nggak pernah pakai high heels atau menggunakan alat pengering tangan di kamar mandi karena selama ini dia hidup kayak hermit) mereka lanjut ke rumah Jay. Di sanalah semuanya berawal: sebuah becandaan yang kemudian jadi rumit.
Gue ketakutan. Rasanya seperti berada di tengah-tengah dunia yang gue nggak kenal, dikelilingi oleh orang asing yang bisa saja berbuat jahat kapan saja. Gue dipaksa untuk melepas keyakinan gue akan Tuhan dengan ancaman-ancaman keselamatan. Sementara gue hanya bisa menangis. Sampai ada seorang laki-laki, yang gue yakini dia adalah salah satu anggota dari keluarga besar gue, datang menghampiri dan memeluk gue.
“Saya takut,” kata gue ke dia.
Air mata gue udah nggak bisa ketahan.
“Nggak usah takut. Kamu ikutin aja orang-orang ini. Mereka nggak jahat kok,” katanya dalam nada bicara yang dingin, kejam, dan nggak ingin gue dengar lagi untuk kedua kalinya.
Gue berada di antara dua pilihan yang nggak pernah ingin gue pilih: mati atau ikut aliran sesat orang-orang ini.
Ini adalah mimpi paling buruk yang pernah gue alami sejak awal tahun.
--