Musim Semi dan Sungai Thames [Part 3]

My ruined plan and my luck.
Salah satu hal yang paling menyebalkan di dunia ini selain diem-dieman dan tebak-menebak perasaan adalah rencana yang nggak berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan. Gue meninggalkan kantor lebih awal hari itu, 2 Mei 2018, untuk mengejar pesawat pulang ke Lombok yang seharusnya berangkat 20:00 WIB. Tapi yah, maskapai sampah ini memang nggak pernah beres. Padahal gue sudah berencana, kalau landing di Lombok tepat waktu, gue masih punya waktu untuk woro-woro di rumah menunggu pergantian hari. Besok gue ulang tahun dan beberapa jam sebelum tengah malam gue masih duduk di bandara, scrolling Instagram sampai baterai ponsel gue nyaris habis. Kondisi ruang tunggu bandara itu udah luar biasa sumpek. Dan kondisinya sekarang diperparah karena gue kelaperan. Gue duduk di bangku yang salah malam itu, di samping satu keluarga yang juga akan terbang ke Lombok bareng gue (gue tahu mereka orang Lombok karena logatnya), yang buka bekal dari rumah. ASTAGFIRULLAH. Aromanya luar biasa menyiksa. Gue cuma bisa mengunyah roti berminyak yang gue beli setelah check in tadi dan menelan sebanyak mungkin air putih supaya gue bisa merasa kenyang. Yang akan gue lakukan setelah naik pesawat nanti adalah tidur jadi gue nggak perlu merasa lapar berlebihan. Gue mendarat di Lombok sekitar jam setengah satu pagi dan sampai di rumah sekitar jam dua subuh.

“Happy birthday, ya!” kata kakak perempuan gue sambil memberikan sebuah kotak kado yang dibungkus sederhana dengan kertas koran. Gue udah nggak punya semangat untuk senyum malam itu tapi tulisan di depannya bikin senyum gue merekah juga. Ada ucapan dari dia, suaminya, dan dua keponakan gue Nada dan Salman. Tulisan Salman hanya berupa garis-garis berantakan mirip cacing. “Dibuka sekarang atau nanti?” katanya. Makanan sudah tersedia di depan gue sekarang. Nasi hangat dengan beberapa lauk buatan nyokap dan kakak gue yang nggak bisa lagi gue tunda untuk dilahap.

“Nanti aja,” kata gue karena sibuk memikirkan bagaimana nasi dan lauk-lauk itu akan masuk ke mulut, dikunyah, lalu masuk ke perut. “Makan dulu.”

“Kamu tuh belum lahir. Masih beberapa jam lagi,” nyokap nimbrung ketika dia ingat hari ini tanggal berapa. “Sekarang sih belum,” katanya.

Gue sendiri nggak pernah benar-benar tahu jam berapa persisnya gue dilahirkan. Gue nggak pernah benar-benar membaca akte kelahiran gue. Gue bahkan nggak tahu apakah di akte klahiran itu sebenarnya jam lahir juga dicantumkan atau tidak. Tapi kata-kata nyokap tadi membuat gue flashback ke beberapa tahun yang lalu. Di suatu malam, ketika gue mengucapkan selamat ulang tahun ke, yah... hahahahahaha... lo tahulah siapa, dengan sangat bersemangat dan menggebu-gebu. Sudah dari Maghrib gue mikirin kata-katanya, nyiap-nyiapin diri supaya nggak terlalu deg-degan, sudah minum dua cangkir kopi supaya tidak ketiduran. Balasannya ternyata tidak terlalu menyenangkan. Memang salah banget kita berharap pada manusia tuh. Berharap tuh memang harusnya hanya pada Allah SWT, Tuhan YME. Dia bilang, “Jam segini aku tuh belum lahir. Aku lahirnya menjelang sore.” Ingin sekali gue balas “OH KIRAIN LAHIRNYA PAS MATAHARI TERBENAM KAYAK DAJJAL.” Walaupun gue nggak pernah tahu di waktu apa Dajjal dilahirkan. Lagipula gue nggak mungkin berani ngomong kayak gitu ke dia walaupun hanya lewat chat. Gue terlalu sayang sama dia. Dulu. Sekarang sih ya masih tapi dikit. Tapi setidaknya lo makasih kek gitu karena gue sudah repot-repot menyiapkan kata-kata paling menjijikkan dalam hidup gue malam itu buat ngucapin selama untuk lo. “Makasih ya, Ron!” gitu aja sebenarnya udah cukup kok. Lo nggak perlu bilang apa-apa lagi.

Flashback itu mendadak bikin gue jadi kesel lagi. Padahal tadi sudah baik-baik aja. Kesal yang tadi karena pesawat delay mendadak merasuki gue lagi. Jadinya dini hari itu gue makan banyak banget dan selesai setelah benar-benar begah. Gue buru-buru masuk kamar buat tidur walaupun nggak benar-benar langsung tertidur. Pikiran gue melayang ke rencana-rencana yang akan gue lakukan selama beberapa hari di Lombok. Walaupun.... yah... berakhir hanya tinggal rencana.

Sebelum pulang gue sempat bikin to-do list di notes ponsel dan sayangnya ada banyak banget poin harus dicoret karena sesuatu yang lain hal. Akhirnya hal-hal receh namun menyenangkan batal gue lakukan dan hanya menyelesaikan apa-apa saja yang penting. Urusan motor dan urusan rumah sudah kelar dalam satu hari saja. Tapi dari semua rencana sebenarnya yang paling gue sayangkan adalah rencana pesta ulang tahun itu. Sebelumnya gue berniat untuk mengundang teman-teman terdekat dan beberapa orang sepupu untuk datang ke rumah baru yang belum ada apa-apanya itu. Untuk sekedar kumpul-kumpul dan ngasih update soal kehidupan mereka sekarang. Hampir semua sepupu gue dari pihak nyokap sudah menikah dan bahkan ada yang sudah punya anak. Dan nggak satupun dari pernikahan itu gue hadiri hahahahahahaha. Makanya itu, niatnya kan mau kenalan lebih ke pasangan mereka dan juga anak-anaknya. Well, rencana gue ternyata nggak semulus keberuntungan gue (AMINKAN!). Jadinya gue hanya mengundang beberapa teman dekat saja untuk makan soto di rumah dan tiup lilin. Teman-teman Kpop yang selalu gue temui setiap kali gue pulang. Karena rencana di Day 1 aja sudah gagal gue jadi kehilangan motivasi untuk meneruskan poin-poin di to-do list itu di hari-hari berikutnya. Walaupun sebenarnya masih ingin pergi ke pantai dan menikmati berenang (walaupun gue nggak bisa) di air asin selama beberapa jam saja. Satu hari sebelum balik ke Jakarta, perjalanan ke pantai ini akhirnya kejadian juga, meski lagi-lagi nggak sesuai rencana. Sebenarnya niatnya hari itu gue mau eksplor pantai di kawasan Lombok Tengah mulai dari Selong Belanak, Mawun, dan berakhir dengan menyaksikan matahari terbenam dari atas Bukit Merese. Tapi nyokap bukan tipe orang yang suka jalan-jalan gitu jadi setiap ada kesempatan dia pasti mengajukan pertanyaan retoris yang intinya. Intinya nyokap pengin cepat-cepat pulang sementara gue masih mau jalan. Yaudah gue rela bete daripada jadi anak durhaka. Akhirnya rencana melihat sunset di Bukit Merese batal dan kami harus terjebak di kemacetan jalan pulang karena ada banyak banget acara Nyongkol hari itu. Nyongkol adalah salah satu rangkaian acara pernikahan adat Lombok di mana mempelai laki-laki dan mempelai perempuan berjalan diiringi oleh segerombolan orang dengan pakaian adat dan musik tradisional, dari rumah mempelai laki-laki ke rumah mempelai perempuan. Sore itu akhirnya dihabiskan dengan cemberut (gue, sambil mendengarkan lagu-lagu dari playlist 90-an di Spotify) dan menikmati sunset di jalan.

Pantai Selong Belanak, Lombok.
Gue sama sekali nggak kepikiran sama business trip ke London itu sampai hari kelima gue di rumah. Sama sekali nggak. Beberapa kali kakak gue sempat nanyain progress-nya gimana. Nyokap juga sempat menyinggung akhirnya gimana jadi berangkat atau nggak. Dua pertanyaan itu gue jawab dengan jawaban yang sama: nunggu Visa keluar. Gue sendiri sebenarnya sebelum mereka nanya soal itu nggak inget kalau gue tuh masih akan terbang ke London tengah bulan nanti. Perjalanan mendadak yang agak drama ini. Setelah urusan Visa gue tinggalin kemarin, gue hanya tinggal menunggu kabar dari Mas Fajar dan Bu Angel. Which is nggak akan mungkin ke LINE atau ke WhatsApp. Satu-satunya cara untuk tahu adalah buka email kantor. Tapi buka email kantor pas lagi cuti tuh paling males deh. Dominiko, teman kantor gue, pernah cuti suatu hari dan minta tolong untuk menyelesaikan sesuatu terkait pekerjaan, dia japri gue lewat WhatsApp. Pas gue bilang “Kenapa lo nggak bales aja emailnya Nik?” ke dia maksudnya buat mengkonfirmasi bahwa lo sudah melakukan pekerjaan lo (meski sedang cuti) dia malah membalas dengan big NO. “Nanti kalau gue balas, gue dikira standby di depan email dan ujung-ujungnya kerja juga. Males ah! Hahahaha...” katanya. Ada benernya juga sih. Selama beberapa hari ini makanya gue mengikuti cara Dominiko. Tapi malam itu, gue iseng aja buka Gmail karena memang gue lagi nggak ada kerjaan di rumah. Pas banget email yang paling atas adalah email dengan subject yang sama dengan yang waktu itu.

‘re: [URGENT] Permohonan Pembuatan Visa Inggris’

From: Angel
To: ronzzy, content, sales, Han.

Dear all,

Visanya sudah keluar ya.

Thanks.
Gue ingat rasanya ketika pertama kali apply Visa ke Korea dengan usaha sendiri tanpa surat sponsor apapun tahun lalu. Waktu itu gue apply multiple Visa karena melihat dari jumlah perjalanan gue ke Korea gue sudah memenuhi persyaratan. Sempat deg-degan juga waktu nunggu kabar Visa-nya approve atau nggak. Setelah approved gue bahagia minta ampun. Tapi keluarnya Visa UK gue ini punya sensasi yang beda. Nggak kayak waktu nunggu approval Visa multiple ke Korea itu. Rasanya persis seperti suatu malam di November 2017, ketika gue bilang ke orang yang gue suka kalau gue suka sama dia dan dia bilang ke gue kalau dia nggak suka sama gue dan nggak mau kalau gue suka sama dia. Sesak. Lega tapi sesak. Membaca email soal Visa UK malam itu secara aneh punya sensasi rasa yang sama. Lega tapi sesak. Sesaknya kali ini lebih karena gue nggak tahu harus mengekspresikan kebahagiaan dan kegembiraan gue seperti apa dan kepada siapa. Dulu, waktu gue disuruh liputan ke New York, gue inget banget ceritanya langsung ke orang itu. Nggak pake babibu. Dia orang terdekat gue kala itu dan gue bisa selalu open ke dia. Sekarang gue kayak cuma heboh-heboh sendiri doang. Mengingat nggak ada satu pun temen yang tahu soal perjalanan ini. Gue sudah niatin nggak akan heboh-heboh soalnya. Akhirnya malam itu gue mengunci bibir dan teriak dengan mulut tertutup. Kalau aja itu siang mungkin gue udah kabur ke lapangan badminton yang ada di sebelah rumah dan teriak kenceng-kenceng. Tapi itu sudah malem, hampir jam sembilan malam. Kalau gue teriak di sana mungkin gue akan dikira orang gila atau dikira sedang meneriaki maling. Ini bukan Warung Buncit. Ini Karang Kelok. Kampung yang kalau sedikit aja ada kehebohan terdengar bisa jadi omongan semua orang. Kalau di Warung Buncit mah ya gue bodo amat kenal juga nggak sama masyarakat. Gue hanya teriak dengan mulut tertutup kemudian tersenyum lebar banget. Lebar banget sampai lo nggak akan bisa membayangkannya. Lebar banget sampai Salman mungkin akan takut melihat wajah gue. Tangan gue untungnya nggak terlalu gemeteran tapi kepala gue muter-muter rasanya. Muter-muter karena bahagia.

“Visanya keluar,” kata gue ke nyokap yang duduk di depan gue dan kakak perempuan gue yang ada di samping kanan. “Aku jadi ke London.”

Hal pertama yang nyokap bilang setelah gue menyampaikan kabar itu adalah jangan lupa salat. Itu aja. Yang lain kayaknya juga dia bodo amat. Mau gue jungkir balik di pinggir Sungai Thames atau KoKoBop Challenge di Tower Bridge dia mungkin nggak akan peduli. Sebelum gue lupa karena terlalu seneng, gue membalas email itu singkat:

‘re: [URGENT] Permohonan Pembuatan Visa Inggris’

From: ronzzy
To: Angel, content, sales, Han.

Dear Bu Angel,

Terima kasih atas bantuannya.
Gue balik ke kamar dan mengenyakkan diri di atas kasur. Membuka notes di ponsel lalu berpikir. Apa yang harus gue lakukan abis ini? Ngitung budget atau nyusun itinerary? (Gue menulis poin 1 untuk budget dan poin 2 untuk itinerary). Untuk perjalanan dinas seperti ini memang ada budget yang diberikan dari kantor. Tapi tentu saja itu untuk hal-hal yang terkait pekerjaan. Bukan untuk makan gue atau buat gue jalan-jalan. Impossible banget sih kalau jalan-jalan ekstra di sela-sela pekerjaannya dibayarin kantor. Gue iseng-iseng ngecek berapa rate Poundsterling di minggu ini dan terkejut luar biasa ketika melihat rate satu Poundsterling sama dengan nyaris 20 ribu Rupiah. Rasanya mau nangis darah. Negara ini semahal itu. KAMBING KUDISAN! Tapi ya nggak ada pilihan lain sih. Gue juga langsung ngecek rekening sehari-hari gue dan berusaha sekeras mungkin untuk tidak mengutip sepeser pun uang dari rekening tabungan pernikahan dan rumah masa depan di rekening yang satunya. Untuk sekedar hidup selama di sana sih masih cukup uangnya. Tapi untuk memorabilia London dan Harry Potter-nya... gimana? Mata gue tertuju ke dompet yang tergeletak sekitar tiga puluh sentimeter dari posisi gue dan posisinya terbuka. Ada dua kartu kredit di sana. Gue menghela napas berat.

“Abis ini melarat selama beberapa bulan deh. Ikhlasin aja ya? Kapan lagi kan ke sana. Belum tentu bisa ke sana lagi. Ikhlasin aja.” kata gue ke diri sendiri lalu menepuk-nepuk pundak sendiri. Membelai-belai kepala sendiri. Ya Allah. Mendadak haus belaian gini.

Baru aja gue mau beralih memikirkan itinerary dan ber-“Shit! Gue sama sekali nggak pernah browsing apapun soal tourist destination di London!”, gue mendadak ingat sesuatu. Beberapa hari yang lalu, nggak lama setelah email liputan ke London itu masuk ke inbox Gmail gue dan kegalauan-kegalauan minggu lalu yang masih mendominasi atmosfer kehidupan seorang Ron yang giginya tidak rata karena malas ke dokter gigi waktu kecil ini, gue sempat tuker-tukeran DM di Instagram dengan Agista. Agista adalah salah satu pembaca KaosKakiBau yang sekarang, menurut info yang gue dapatkan dari dia beberapa bulan sebelumnya, sedang melanjutkan kuliah Master di London. Gue selalu cinta deh sama kebetulan-kebetulan kayak gini! Selalu! Ini tuh semacam kemenangan banget. Dia bisa jadi guide gue selama gue di sana! Kalau dia mau dan kalau dia ada waktu. Gur buru-buru search nama akunnya yang kebetulan gue hapal (ya gue hapal akun-akun yang pernah chat gue di Instagram ataupun di Twitter hehe) dan mengiriminya pesan singkat sok akrab: Gist, aku akan mendarat di London tanggal 14 Mei. Ketemu yuk!

Gue harus menggarisbawahi kata “sok akrab” di sini karena sebenarnya gue sama Gista juga nggak pernah ketemu sebelumnya. Gue tahu dia pembaca blog gue karena setiap kali gue mengirim broadcast message di LINE@ dia salah satu dari beberapa orang yang selalu nanggepin. Beberapa kali juga sering bales-balesin tweet gue. Juga sering meninggalkan komentar di posting-an foto di Instagram. Suatu hari dia kirim DM di Instagram dan gue iseng nanya itu profile picture-nya lagi di mana. Apakah lagi di Qatar. Tapi dia bilang bulan Qatar, itu lagi di Inggris. Gue tanya lagi apakah dia lagi liburan atau kuliah di sana, dia jawab kuliah. Gue wow banget deh sama orang-orang pinter yang masih punya kemauan untuk kuliah dan bisa mengejar beasiswa ke luar negeri gitu. Karena gue sendiri merasa kemampuan gue belum sampai situ. Walaupun sekarang sudah dalam proses planning sih, mohon doanya. Gue juga ingat sebelum ini Gista sempat cerita ke gue kalau dia pernah jadi wartawan dan berkantor di Tangerang (kalau gue nggak salah inget). Selama obrolan-obrolan yang tidak intens dan putus-putus di LINE@ itu kita sama sekali nggak pernah ketemu langsing. Jadi nanti, kalau dia punya waktu pas gue ke London, itu akan jadi pertemuan pertama kita. Superrandom but I feel glad to know her. I feel blessed.

Gista menanggapi pesan gue dengan bersemangat dan bilang kalau dia harus memastikan lagi di tanggal-tanggal yang gue sebutkan tadi, agar tidak bentrok dengan kegiatannya. Dia setuju untuk ketemu dan ngajak gue keliling London selama beberapa hari di luar hari kerja gue. AH SENENG BANGET! JADI PUNYA TOUR GUIDE! At least walaupun gue nggak sempat browsing-browsing, dia akan tahu spot-spot yang gue ingin tuju dan yang biasanya turis tuju. Paling nggak gue juga nggak jalan-jalan sendirian. Paling penting lagi gue akan punya foto yang setidaknya proper, nggak sekedar selfie. Hahaha.

“Pokoknya hari pertama aku mau ke Platform 9¾ di King’s Cross ya Gist!” kata gue. Setelah itu gue pun nanya-nanya soal local SIM Card dan juga Oyster Card untuk transportasi lokal di sana. (Mendadak ada yang berbisik di kuping gue, bisa nggak kali ini cuekin aja soal budget? Gue sempat berantem dengan diri gue sendiri selama beberapa saat. Teringat dulu waktu gue pertama kali ke Korea, semuanya bener-bener gue hitung dengan sangat hati-hati. Berapa makan untuk sehari. Berapa transport untuk sehari. Apa yang harus dibeli dan apa yang nggak boleh dibeli. Setelah gue menulis poin nomor 1 di notes gue tadi soal budget, sekarang bisikan ini meminta gue untuk cuekin aja dan menghapus poin itu. Katanya, “Udahlah, takabur aja dikit. Kan tabungan juga pasti cukup orang cuma empat hari. Cuekin ajalah. Coba pikir deh, lo pasti akan jadi lebih tertekan soal kalau lo membatasi budget lo di kunjungan pertama lo ke negara yang sejak kecil sudah lo mimpi-mimpikan. Mana bisa enjoy jalan-jalannya! Ini London, bukan kota yang bisa lo datangi setahun dua kali!") Setan memang ya. SETAN MEMANG YA. So I decided to enjoy everything and not think about anything but fun for few days. Yes, you can do it, Ron!. setelah mencoret nomor 1, gue menulis poin 3: Local SIM Card.

Obrolan soal Platform 9¾ itu menyentil otak gue. Bentar... gue masih punya waktu nggak nih buat ke Leavesden Studio? Ke Warner Bros Studio Tour di Watford? KE HARRY POTTER STUDIO TOUR?!?!?!?! Gue buka lagi jadwal perjalanan gue dan menemukan ada satu hari yang sepenuhnya kosong karena hanya tinggal menunggu penerbangan pulang. Kalau gue berangkat ke Watford pagi-pagi sekali gue masih bisa kembali ke London sebelum sore dan nggak akan ketinggalan untuk... sebentar... apa gue bisa extend sehari? Ide kurang ajar itu tiba-tiba muncul tapi gue selalu nggak mau berharap lebih. Jadi gue memutuskan untuk mengasumsikan bahwa gue akan ke Watford di hari terakhir gue di London dan mencari keberangkatan ke sana sepagi mungkin.

Sialnya ketika gue cek situs resmi Warner Bros Studio London, tiket untuk berkunjung di tanggal yang gue inginkan sudah sold out. In fact, tiket untuk bulan Mei sudah terjual habis dan yang tersisa adalah di bulan Juni. Perasaan gue campur aduk. Di satu sisi gue ingin banget ke Harry Potter Studio Tour (mengingat gue sudah jadi Potterhead sejak dahulu kala), di sisi lain gue bersyukur uang gue nggak kepakai untuk itu. Walaupun kalau misalnya uang gue harus habis untuk Potter sih sebenarnya gue ikhlas. Tangan gue otomatis mengetik poin 4: Harry Potter Studio Tour(?). Ya, lengkap dengan tanda tanya di belakangnya karena belum bisa memastikan apakah jadi atau nggak.

“Gimana dong, Ron?” Gue bertanya ke diri sendiri dengan suara cukup keras. Sambil terus bolak balik refresh situs penjualan tiketnya kalau-kalau ada yang khilaf dan refund (padahal sudah jelas ada tulisannya tiket nggak bisa di-refund). Setelah lima menit gue menyerah dan memaksa otak gue untuk beralih memikirkan yang lain. Local SIM Card yang ada di poin 3 dulu deh karena gue pasti akan butuh itu untuk update pekerjaan. Gue inget waktu ke Singapura buat Elyxion Maret lalu gue menggunakan aplikasi Klook untuk beli Local SIM Card. Mungkin untuk UK juga available di aplikasi itu? Gue menutup Chrome dan membuka aplikasi Klook, mengetik United Kingdom di kolom pencarian dan beberapa pilihan muncul. Pilihan pertama menawarkan pick up di bandara di Hong Kong. Which is nggak mungkin karena gue nggak terbang lewat Hong Kong. Pilihan kedua menawarkan pick up di bandara di Thailand. Which is nggak mungkin juga karena gue juga nggak terbang lewat Thailand. Pilihan ketiga awalnya terasa memungkinkan karena pick up-nya di Singapura. Gue akan terbang lewat Singapura. Ketika gue klik, ternyata bukan diambil di Changi Airport, melainkan di store di pusat kota Singapura-nya. Yang pada akhirnya menjadikan pilihan ketiga juga tidak mungkin untuk dilakukan karena gue hanya transit tiga jam saja di Changi. Nggak akan ada waktu untuk ke kota. Lagipula gue sampai di Changi malam. Store itu nggak akan buka sampai malam.

Oke. Pilihan terakhir adalah pakai paket roaming dari provider yang gue gunakan sekarang. Itu yang paling memungkinkan. Gue mencentang poin 3 dan menambahkan dalam tanda kurung “roaming provider aja”. Ketika gue mengetik tutup kurung itulah gue baru ingat sesuatu: aplikasi Klook itu nggak cuma menawarkan pembelian SIM Card tapi juga tourist attaractions! Semangat gue kembali tumbuh dan gue balik ke aplikasi Klook dan langsung mengetik “Harry Potter Studio Tour” di sana. JENG JENG JENG JENG! MASIH ADA YANG JUAL TIKETNYA!

“Eh tapi ini tiket di tanggal yang gue mau nggak nih?” gue ngomong sendiri. Pas gue klik dan lihat available dates-nya, gue sumringah. Gue nyaris teriak.

ADA!

ADA!

ADA!!!!!!

Tapi pas gue lihat harganya... hahah. HAHAH. HAHAHAHAH AHAHAHAH AHAHAHAH AHAHAHAHAH YA ALLAH. Gue langsung close aplikasi itu dan membatin “Coba cari uang dulu untuk itu ya masih ada beberapa hari. Masih ada waktu.” Sambil mengelus dada. Gue yang tadinya nggak mau berpikir banyak soal budget jadi otomatis harus memikirkannya sekarang. Gue bisa comot berapa uang dari tabungan gue dan bagaimana gue bisa menggantinya bulan depan. Agak kesel juga sebenarnya karena kok bisa gue nggak pernah perhitungan untuk mengeluarkan uang ke orang yang gue suka (ya orang yang sama yang bilang dia nggak suka sama gue itu) tanpa pernah memperhitungkan apapun tapi justru jadi sangat perhitungan ketika uangnya justru untuk kesenangan diri sendiri. KAMBING KUDISAN! Gue mengumpat karena mendadak ingat lagi penolakan itu. Hati gue masih nyeri.

Di situs ticketing resmi Warner Bros Studio Tour itu, harga satu tiket masuk dewasa adalah 41 Poundsterling. Kalau dikonversikan ke Rupiah sekitar 780 ribuan lah saat itu. Kenapa gue sampai mikir dua kali ketika menemukan tiket available di Klook? Soalnya harga di Klook nyaris dua kali lipat harga tiket aslinya itu. No, bahkan lebih dari dua kali lipat! Ini bener-bener harga calo yang luar biasa sih. Kayak harga-harga tiket di StubHub anjir. Cuma setelah gue cek-cek lagi, ternyata harga calo itu sudah termasuk dengan bus bolak balik dari London ke Watford. Yang mana mungkin sebenarnya nggak sampai semahal itu sih kalau berangkat sendiri. Masalahnya sekarang, gue nggak ada pilihan lain. Lo ambil atau nggak nih Ron, itu aja. Karena nggak akan ada harga lebih murah dari itu. Setan-setan ini berbisik kenceng banget di kuping gue. Tapi karena gue belum menyelesaikan urusan budget, jadi gue tahan dulu keinginan untuk membeli tiket itu sampai gue kembali ke Jakarta besok. Termasuk rencana untuk extend itu.

Gue menghubungi pihak penyelenggara lewat WhatsApp dan dengan tidak tahu malu gue bilang, “Can I change the flight schedule for my return?”

Ya Allah maafkan aku karena greedy.


Gue kembali ke Jakarta 9 Mei dan menghabiskan tiga hari di kantor dengan sangat tidak fokus. Banyak kerjaan yang keteteran karena gue cuti dan banyak juga yang harus dikejar sebelum berangkat tanggal 13 Mei nanti. Termasuk apa saja yang harus dilakukan, berapa artikel yang harus ditulis, dan harus koordinasi dengan siapa selama di sana. Gue biasanya bukan orang yang sangat prepare untuk urusan kayak gini, tapi mungkin karena efek sudah usia 27. Hahaha setidaknyambung-tidaknyambungnya itu dengan umur gue, entah kenapa ketika gue balik ke kantor di pekan itu gue merasa every little thing matters. Bolak-balik juga gue menghitung budget secara sembunyi-sembunyi di antara pekerjaan gue seraya (BUSET, SERAYA!) berharap semoga ada kelebihan yang berarti sehingga gue bisa menggunakan kelebihan itu untuk beli tiket Harry Potter Studio Tour dari Klook. Gue nggak ngecek lagi sih apakah tiketnya masih available atau enggak. Enggak juga yang kepikiran banget kalau-kalau tiketnya habis atau gimana. Soalnya ya memang gue nggak mau yang terlalu memaksakan apapun deh. Sebisanya aja. Ikhlasin aja. Gak boleh greedy.

Sudah dua hari berselang sejak gue mengecek Klook terakhir kali dan gue belum juga bisa menentukan budget gue untuk perjalanan ini. Sampai di hari terakhir masuk kantor, ketika gue sudah harus ke money changer untuk menukarkan uang (sekaligus uang jalan dari kantor), barulah gue yakin kalau mungkin sudah saatnya untuk memesan tiket itu dengan salah satu kartu ajaib yang ada di dompet. Sepulang kantor malamnya gue mampir ke McDonald’s Kemang untuk menikmati secangkir kopi dan menguping obrolan-obrolan seru dari pasangan-pasangan bergelora yang ada di sebelah kiri dan kanan meja gue, lalu dengan internet superngebut yang mereka tawarkan membuka Klook dari PC dan dalam satu klik saja, tiket ke Harry Potter Studio Tour itu terpesan. Dalam satu klik saja, lebih dari satu setengah juta rupiah sudah terpotong dari kartu kredit gue.

YA ALLAH MAAFKAN AKU YANG SUDAH MENJADI MANUSIA BOROS. YA ALLAH MAAFKAN YANG SUDAH BUANG-BUANG UANG UNTUK SESUATU YANG TIDAK ADA FAEDAHNYA DI AKHIRAT.

Jadi begini rasanya jadi Dobby. Setelah memberi tahu Harry bahwa ada rencana jahat untuknya di Hogwarts, dia harus membentur-benturkan kepalanya di lemari karena menyesal. Hari itu ingin rasanya gue juga membentur-benturkan kepala gue ke meja sebelah yang diisi oleh pasangan muda-mudi yang sedang mabuk cinta (yang dari tadi nyuri-nyuri kesempatan buat nempel dan pegangan tangan anjir sebel banget gue) karena tiket yang sudah terpesan itu. Gue benar-benar nggak siap melihat tagihan kartu kredit gue bulan depan.

Dua hari sebelum keberangkatan gue masih sempat beli online koper ukuran kabin dulu (yang ini sudah ada budget-nya) dan sengaja memilih warna merah karena akan sangat klop dengan sepatu gue dan baju Overdose merah yang rencananya akan gue pakai di hari keberangkatan. Gue seneng banget ketika koper itu sampai di kantor karena setelah lama menunda-nunda, mengingat gue sering juga melakukan perjalanan-perjalanan random tanpa bagasi gitu, akhirnya jadi juga gue beli koper ini. Sebelumnya alasan kenapa gue menunda mungkin karena khawatir nanti di kosan bakalan ditaroh di mana karena kosan gue udah padet banget. Tapi karena sekarang nyaris separo isi kosan udah gue sumbangkan dan agak lebih lega, gue jadi nggak khawatir lagi soal space untuk menyimpan koper itu. Gue baru sempat packing satu hari sebelum berangkat berbekal panduan dari internet soal cuaca di London selama beberapa hari gue di sana nanti. Juga sudah siap kalau semisal gue akan melewati puasa hari pertama di sana.

Belajar dari pengalaman perjalanan sebelumnya, kali ini gue bener-bener keep everything minimalist banget. Kebiasaan gue ketika melakukan perjalanan dinas adalah membawa barang-barang yang gue pikir gue butuh padahal sebenarnya gue nggak butuh sama sekali yang akhirnya berujung pada kerepotan sendiri ngegeret kopernya. Tahun lalu misalnya waktu gue ke Seoul, gue bawa koper besar yang isinya kebanyakan baju yang gue bahkan nggak pakai sama sekali. Waktu pindah dari Koreana Hotel ke hostel murah di kawasan Sungkyunkwan, gue kerepotan naik turunin itu koper di stasiun subway karena ternyata jalur itu stasiun subway-nya nggak selalu ada eskalator dan gue pun tidak sedang berpikir kreatif untuk menggunakan lift. Akhirnya masuk stasiun rapi, keluar sudah berantakan karena berkeringat. Kali ini gue hanya bawa tiga baju (satu baju resmi, dua t-shirt biasa), sepasang heattech karena cuacanya berangin, dua celana panjang (satu dipakai dari Indonesia, satu disimpan di koper untuk dipakai di sana waktu hari kerja dan pulang), satu jaket hoodie, satu sweater dan beberapa celana dalam (penting!). Semuanya muat di satu sisi koper dan satu sisi lainnya bisa dibilang nyaris kosong. Kabel-kabel charger semua gue satukan di kantung terpisah. Begitu juga dengan peralatan mandi dan sabun muka. Bisa dibilang sekarang gue jadi lebih jago soal packing. Bener-bener efisien dan koper itu sama sekali nggak berat. Nggak tahu deh nanti pas pulang kondisinya akan gimana. Biasanya akan membengkak karena hal-hal yang tidak penting yang gue sendiri nggak tahu itu munculnya dari mana. Gue menghindari terlalu banyak barang di ransel gue karena males pegel pas bergeraknya. Jadi ransel gue isinya cuma kamera, laptop, sama tas pinggang yang isinya paspor, powerbank, charger handphone, Jeno, pulpen, dan dompet. Semua benda yang kira-kira gue butuhkan selama di pesawat sudah ada di satu tas kecil itu. Beberapa jam sebelum berangkat gue cek-cek lagi apakah semua kebutuhan sudah masuk di sana dan apakah ada yang belum gue masukin. Gue juga kembali mengecek Visa gue yang fotonya terlihat sangat gembel banget. Gegara kursi yang muter sendiri waktu itu. Posisinya beneran nyamping dan wajah gue kayak lagi ngemis minta dikasih(sayangin)ani.

Setelah semua beres, tinggal siap-siap ke bandara. Siap-siap menyongsong 1 jam 45 menit dari Jakarta ke Singapura, leyeh-leyeh di Changi 3 jam, sebelum akhirnya terbang 12 jam dari Singapura ke London.


Lo inget nggak dulu gue pernah cerita tentang mitos ari-ari? Gue pernah cerita soal itu di-posting-an perjalanan ke New York:

“Di antara kepercayaan-kepercayaan yang tidak masuk akal seperti misalnya di baju anak baru lahir harus diberi "jimat" berupa bawang merah yang ditusuk ke peniti untuk menghalau makhluk halus yang suka goda-godain anak bayi, ada sebuah kepercayaan yang juga berhubungan dengan anak bayi, tapi ini lebih ke ari-ari mereka. Konon katanya, apa yang akan terjadi pada si anak di masa depan mereka berhubungan erat dengan apa yang orangtua si anak lakukan dengan ari-ari tersebut. Kalau ari-ari si anak ditanam di rumah, maka anak itu bisa jadi akan tetap tinggal di rumah itu sampai dia dewasa dan berkeluarga. Kalau ari-ari si anak dimakan oleh binatang malam seperti sebut saja anjing (dan memang di daerah tempat tinggal gue kalau malem sering ada anjing berkeliaran cari makan) maka bisa jadi dia akan jadi orang yang sensitif terhadap hal-hal gaib dan supranatural (and in someways kasar dan galak). Kalau ari-ari anak itu dihanyutkan ke laut, maka bisa jadi nanti si anak bakalan berkelana dan merantau.”
Gue orangnya setidakpercaya itu sama takhyul, tapi gue masih percaya sama yang satu ini. Gue harap ari-ari gue akan lama nyangkut di London dan di Eropa. Jadi setelah ini gue masih punya kesempatan untuk mampir dan solo traveling ke sana. Tapi sebelum itu ya, kerja dulu deh. Dan menyongsong 12 jam penerbangan menuju London dengan Singapore Airlines yang luar biasa nyaman ini. 


 
Follow Me/KaosKakiBau in everywhere!
Watch my #vlog on YouTube: KaosKakiBauTV (#vron #vlognyaron)
Twitter: ronzzykevin
Instagram: ronzstagram / roninredconverse / roningrayscale
Line@: @kaoskakibau (di search pake @ jangan lupa)
Photos from personal library.

Share:

0 komentar