Pertemuan, Posesif, Perpisahan


Ada berapa perpisahan dan selamat tinggal yang kalian alami selama setahun terakhir?

Mungkin ada dari kalian yang akan menjawab satu atau dua, ada juga yang mungkin menjawab pertanyaan di atas dengan “nggak ada”. Ya, bisa dimaklumi banget sih karena kan kehidupan masing-masing individu di universe dan di alternate universe ini beda-beda. Ketika lo sedang duduk-duduk menikmati susu pisang sambil mikirin mau nulis apa di blog lo akhir pekan ini mungkin di saat yang sama ada orang yang sedang bergelut dengan perasaannya karena mereka akan ditinggal pergi oleh orang terdekat. Tapi pertanyaan gue di awal posting-an ini adalah pertanyaan yang serius. Jadi silakan dijawab dalam hati atau kalau memang kalian mau berbaik hati dan repot-repot silakan meninggalkan komentar di disqus di bawah posting-an ini. Kalau kalian mau melakukan itu gue akan sangat berbahagia.

Pertanyaan gue selanjutnya, apakah setelah mengalami perpisahan itu kalian jadi beneran sedih parah yang sesedih itu? Yang sampai gloomy banget sepanjang hari ketika mengalaminya?

Kehilangan banget kah sosok itu ketika dia pergi? Atau mungkin di kepala kalian mendadak malah muncul pikiran-pikran tentang kesendirian, kesepian, dan semacem “wah gue akan sama siapa nih kalau dia nggak ada? Apakah masih ada yang lain yang bisa sedeket itu sama gue selain dia?” setelah itu?

Ataukah mungkin sampai kalian merasa dada kalian sesak dan sampai mau nangis? Atau bahkan mungkin kalian sama sekali nggak terlalu mikirin banget karena kalian tipe orang yang “ah yaudah namanya juga hidup kan ada pertemuan ada perpisahan”?

Gue nggak mau terus-terusan bertanya sebenarnya tapi gue beneran penasaran. Kalau kalian memang penganut statement terakhir gue di paragraf sebelumnya dan termasuk orang yang “yaudah yang pergi memang udah waktunya pergi”, gimana sih cara kalian membuat diri kalian baik-baik aja setelah itu? Gimana sih kalian bisa tetap kalem dan tenang dan seolah tidak terjadi apa-apa dalam hidup kalian dan tidak ada perpisahan sama sekali? Baaimana kalian menghadapi situasi itu dan me-maintain hati kalian untuk nggak terlalu merasakan kesedihan berlebih? Apakah memang semudah itu ya? Apa cuma gue yang terlalu drama dan merasa kalau apapun yang sudah menyangkut perpisahan dan mengucapkan selamat tinggal pasti akan jadi sesuatu yang berat?

Gue mau jujur sama kalian karena kalian adalah pembaca setia blog ini dan gue merasa punya kedekatan dengan kalian semua: gue ini orang aneh.

Eh... itu sih nggak bukan rahasia ya? Ahahahaha

Aneh kayak gimana sih maksudnya? Dalam konteks ini yang gue deskripsikan sebagai aneh adalah gue bisa merasakan dua hal yang berlawanan dalam satu waktu. Gue orang yang pendiam, introvert, dan punya trust issue banget ke orang. Yang terakhir berarti gue nggak akan semudah itu percaya sama siapapun yang gue temui di internet atau di dunia nyata dengan menceritakan ke mereka cerita-cerita kehidupan gue atau masalah-masalah yang sedang gue rasain. Tapi di saat yang sama gue juga orangnya nggak bisa menahan perasaan. Kalau gue sudah merasa sesak dan butuh cerita, dan kalau nggak ada temen yang mendengarkan, maka gue bisa cerita sama siapa aja meski dia orang asing. Selain itu gue juga orangnya baperan dan drama.

Sounds weird enough, right?


Sebelum melanjutkan membaca posting-an ini sampai habis, tolong jawab semua pertanyaan gue di paragraf sebelumnya karena gue butuh masukan dan saran dari kalian soal perpisahan itu.

Ada tiga hal yang paling nggak suka gue ucapkan sepanjang gue hidup di dunia ini:

  1. Umpatan dalam Bahasa Sasak,
  2. Mengutarakan isi hati dan perasaan gue ke orang yang gue udah tahu dari lama nggak suka sama gue tapi toh tetep harus gue ungkapkan juga karena ya kalau nggak dicoba kan siapa yang tahu,
  3. Kata-kata perpisahan dan selamat tinggal.
Poin ketiga ini parah sih. Entah itu perpisahan yang kayak cuma sebentar aja semisal nih gue abis jalan ke Bandung dan ketemu beberapa temen terus kita jalan-jalan, ketawa dan tiba waktunya untuk gue pulang ke Jakarta, gue pasti baper. Sesimpel itu. Dan tentu saja perpisahan untuk selamanya. Buat gue pribadi perpisahan itu sangat menakutkan. Bahkan mungkin di beberapa kasus tertentu sampai di titik traumatis.

Gue bukan orang yang pandai mengucapkan kata-kata pisah. Apalagi move on dari perpisahannya.

#EA

Gue punya pengalaman pas SMA. Gue inget banget, sejak kelas 2 SMA (gue anak IPS, by the way, just in case you guys wondering) gue punya empat orang temen baik. Mereka bisa dibilang the only reason why I canceled my plan to move to another school. Sempat ada wacana gue mau pindah sekolah karena kelas Bahasa nggak dibuka di SMA gue saat itu dan gue ragu-ragu untuk pindah dari IPA ke IPS karena anak-anak IPS terkenal sebagai tukang bully, nakal, begajulan, dst dst dst. Masuk ke kelas IPS tuh kayak masuk ke lobang neraka. Tapi berkat empat orang ini, hidup gue tetap ada di neraka sih tapi kesurga-surgaan dikit. Selama dua tahun sejak kelas 2 SMA sampai lulus kita berempat nggak pernah duduk jauh-jauhan di kelas. Posisinya selalu di pojok kanan belakang dan gue duduk di kursi paling belakang.

Kita selalu belajar bareng dan berusaha untuk menyelesaikan PR (OMG UDAH BERAPA TAHUN GUE GAK PERNAH MENDENGAR SINGKATAN INI LAGI) bareng-bareng. Pokoknya semua kegiatan kita di sekolah selalu bareng. Bahkan ranking gue sama dua anak yang lain di geng ini selalu urut-urutan. Posisinya selalu gue di ranking 1 kemudian diikuti oleh kalau enggak si A ya si B.

Kita berlima sama-sama tahu kalau ketika SMA ini sudah selesai kita akan pisah. Karena gue sendiri sudah diterima di Universitas Indonesia bahkan sebelum Ujian Nasional. Tiket gue buat ke UI sudah digenggaman dan nggak mungkin gue lepasin. Ini adalah chance gue buat keluar kota dan kuliah di salah satu Universitas terbaik di Indonesia. Kita semua sama-sama tahu kalau perpisahan akan datang tapi kita semua nggak benar-benar memikirkannya sampai dia benar-benar datang. Terutama gue.

Makanya nggak heran kalau beberapa minggu sebelum acara perpisahan sekolah digelar di salah satu hotel langganan tempat perpisahan SMA di Mataram, gue sesumbar bilang ke mereka kalau gue nggak akan nangis.

“Sesedih apapun nanti suasana di acara perpisahan ini, sumpah gue nggak akan nangis,” dengan percaya diri dan congkak.

Ketika hari perpisahan datang, kita berlima duduk di kursi paling belakang dengan seragam biru-hitam yang selalu kita pakai setiap hari Rabu dan Kamis di sekolah (yang mirip dengan seragam petugas Bandara dan sopir Blue Bird), acara sudah mau selesai dan lihat siapa yang nangis duluan: RON.

Apakah gue pernah cerita ke kalian kalau gue juga adalah anak yang cengeng?

Hehe

Sorry not sorry.

Di antara kami berlima, gue yang pertama kali nangis dan kenceng banget anjir kayak anak kecil yang mainan mobil-mobilannya diambil karena sudah waktunya buat tidur siang dan nggak boleh main lagi. Gue nangis sejadi-jadinya dan on the back of my head, semua kejadian-kejadian di masa SMA keputer kayak slide show PowerPoint. Karena gue nangis semua jadi ikutan nangis. WWKWKKWKWKWKWK. Gue rasa yang bikin momen itu jadi sangat mengharukan buat kami berlima adalah fakta bahwa abis itu kita akan jarang banget ketemu. Gue akan pindah ke Depok dan the rest of them akan stay di Mataram. Tapi kan nggak ada yang bisa menjamin siapa yang akan stay di mana dan buat berapa lama? Nggak ada yang bisa menebak kan kalau tiba-tiba bisa aja salah satu dari mereka pindah dan nggak menetap lagi di Lombok? Dan itu kejadian. Salah satu dari mereka menikah dan ikut suaminya ke Surabaya. Sampai sekarang gue nggak pernah ketemu dia lagi.

Kita lulus SMA di 2009 dan sekarang sudah 2017. Tiga dari kami berlima sudah punya anak dan semuanya anak laki-laki. Sementara yang satu lagi sibuk mencari jati diri. Dan gue masih sibuk ngurusin akun anonim di Twitter yang sedang menggiring massa untuk nge-block akun gue karena gue dinilai dangkal dan sudah menghina boyband favorit mereka.

My life...

Ketika bokap gue mendadak pergi dan nggak pernah muncul lagi sejak 2011, gue percaya bahwa perpisahan dan kejutan-kejutan yang hidup berikan ke kita terkait dengan ucapan “selamat tinggal” itu adalah sesuatu yang undeniable. You can’t do anything about it. Ok maybe you can, but in some situations, like in my personal experiences, and in this particular situation on this paragraph, there is nothing you can do about it. Selain menerima kenyataan bahwa lo harus membiarkan seseorang yang penting dalam hidup lo untuk pergi. Bahkan tanpa mengucapkan selamat tinggal.

It’s not only hurt and make you suffocate. It feels like there are these hands, poisoned, squeezing your heart until you die.


Itu mungkin beberapa pengalaman soal selamat tinggal yang gue hadapi ketika gue masih berusia belasan. Dan karena itu gue mulai lebih wise dalam menghadapi mereka yang datang dan pergi dalam hidup. Makanya ketika lulus kuliah gue sama sekali nggak merasakan kebaperan berlebih. Karena tingkat kesedihannya nggak mengalahkan kesedihan dua cerita yang gue tulis di atas. Mungkin juga karena gue nggak terlalu punya rasa memiliki yang berlebihan sama dunia kampus. Atau mungkin karena gue tahu kalau one way or another kita pasti akan ketemu lagi. Mungkin karena kehidupan mahasiswa itu cukup bikin muak sampai-sampai nggak ada satupun hal yang gue rindukan secara berlebih kecuali internet perpus pusat yang kenceng banget itu dan masa-masa ketika gue bisa bangun siang dan tidur subuh di akhir semester tujuh.

Yang jelas sih masa-masa jadi mahasiswa adalah masa-masa pendewasaan. Mulai tahu dan ngerti kejamnya dunia tuh seperti apa dan bisa sampai ke taraf semenyakitkan apa. Mulai mengerti kalau kita nggak boleh take something for granted. Bahkan orang yang lo pikir nggak akan pernah pergi dari hidup lo dengan cara yang nggak pernah lo bayangkan sekalipun bisa ngilang gitu aja dan merusak kepercayaan yang sudah lo kasih ke dia. Karena hidup dan dunia ini memang kadang selucu itu.

Gue jadi lebih wise. Gue mulai melihat perpisahan sebagai sebuah awal yang baru. Sebagai sesuatu yang seharusnya nggak ditangisi, tapi justru disambut supaya lo jadi punya semangat untuk melanjutkan hidup dan nggak terjebak dalam pikiran-pikiran yang berhubungan dengan masa lalu dan hal-hal sebelum perpisahan itu terjadi. Gue nggak lagi menangisi perpisahan. Hanya saja sayangnya roda kehidupan yang berputar bikin pola pikir gue dan perasaan gue pun berubah.

Kedekatan-kedekatan emosi yang terjalin dengan beberapa inidvidu dalam proses perputaran roda itu bikin kekuatan gue yang sebelumnya 100% total dan berani dalam menghadapi perpisahan terkikis sedikti demi sedikit. Pelan-pelan gue mulai baper lagi. Gue mulai takut lagi. Gue mulai merasa insecure lagi.

Gue nangis kejer lagi ketika gue harus mengucapkan selamat tinggal ke temen-temen gue di detikHOT waktu gue memilih untuk resign di tahun 2016. Di situ gue seperti balik lagi ke masa-masa SMA dan harus mengucapkan selamat tinggal ke masing-masing orang yang ada di tim. Rasanya sama sekali nggak nyaman. Banyak banget orang yang gue respect di kantor itu dan harus gue pamitin satu-satu. Itu bikin gue jadi merasa makin tertekan. Gue nggak mau banget nangis di kantor karena gue harus bawa pulang barang-barang ke kosan dan nggak lucu kalo gue gotong tas dan kardus ke kosan dengan bercucuran air mata. Bisa jadi orang sepanjang jalan nyangka gue abis diusir dan diperlakukan tidak senonoh kemudian menangis drama.

Karena nggak mau nangis di kantor, malam terakhir itu gue memutuskan untuk buru-buru balik ke kosan dan bikin video perpisahan buat sekitar 15 orang yang deket sama gue di kantor. Dalam posisi tangan terjulur sambil megang handphone, gue mengenang masa-masa bekerja di sana dan nangis. Parah sih. Gue masih ingat sesenggukkannya.

“Gue paling nggak suka nih ngucapin perpisahan kayak gini,” kata gue dalam video itu.

Momen yang bikin gue langsung meneteskan air mata adalah ketika mengingat-ingat betapa semua orang yang ada di sana sudah berbuat banyak untuk gue. Sekecil apapun itu. Mereka sudah membantu gue untuk bisa berdiri di atas kaki sendiri selama tiga tahun gue kerja di sana. Terlalu banyak kenangan. Terlalu banyak hal-hal manis yang mungkin nggak akan bisa gue gapai kalau gue nggak diterima kerja di situ. Terlalu banyak cerita yang kalau ditulis bisa jadi tebel banget. Dan video perpisahan itu selesai gue rekam dengan isakan dan mata sembab.

Gue secengeng itu anjir.

Memang.

Kejutan-kejutan dalam hidup yang kita nggak pernah tahu justru bikin perpisahan jadi semakin terasa menusuk. Ketika teman sekamar gue memutuskan untuk bilang ke gue kalau dia mau pindah kosan danmemilih untuk nggak lagi tinggal sama gue, 24 jam sebelum dia benar-benar cabut, misalnya, menyakitkan. Ada momen di mana gue nggak bisa mencerna kata-kata yang keluar dari mulut dia setelah dia bilang “Gue mau pindah kosan”. Gue juga nggak bisa berpikir jernih dan nggak bisa bilang apa-apa karena shock. Sebenarnya gue sudah tahu kalau dia akan pindah cepat atau lambat. Tapi kenyamanan melihat ada orang lain di dalam ruangan yang biasanya gue huni sendiri itu nggak terbayarkan oleh apapun. Jadi aja gue denial sama kenyataan kalau orang ini bisa pindah kapan saja. Dan saat itu gue drama banget deh yang kayak “Hah? Secepat ini?!” Dan karena gue terlalu emosional dan baper dan cengeng dan semua sudah numpuk di dada rasanya ya gue langsung nangis.

Di Kota Kasablanka.

Hahahahha BANGS************T!!!! GUE TUH MAU LIPUTAN VIXX MALAH DIKASIH BERITA KAYAK GITU YA GIMANA GUE BISA ENJOY VIXX MALAM ITU?! BAGUS BANGET EMANG TIMING LO YA. JUARA! EEK!

Sekali lagi lo mungkin akan bilang kalau gue cengeng. Nggak apa-apa kok. Gue menerima cibiran itu dengan lapang dada. Gue juga mengakui hal itu. Kan accepting is relieving. Karena gue sudah tahu gue ini orang cengeng jadi ketika lo ngejek gue cengeng yaudah gue biasa aja. Gue nggak menyangkal apapun jadi silakan kata-katai gue sesuka hati. Yang gue bisa bilang adalah bahwa sejak 2016 itu, gue nggak pernah suka sama perpisahan dan mengucapkan selamat tinggal.

Dalam konteks teman kosan yang pindah ini, dia bilang ke gue “Ya kan tapi kita tetap bisa ketemu lagi abis ini!” Tapi ya tentu saja pada akhirnya semua akan jadi beda.

Beberapa bulan yang lalu gue sama beberapa teman dekat di kampus liburan ke Lembang dan gue curhat sama temen gue ini, namanya Deasy. Dari cerita gue tentang perpisahan-perpisahan ini dia langsung bilang kalau gue adalah orang yang posesif. Tuduhan itu masuk akal sih karena mungkin kalau gue nggak posesif akan mudah buat gue mengucapkan selamat tinggal ke siapapun. Ke apapun. Karena percaya atau nggak, gue juga pernah nangis semaleman pas SMA cuma karena handphone gue rusak dan harus diganti. Saking sayangnya gue sama si handphone Nokia 5200 itu gue nangis. Memang hidupku sangat najis mugaladoh.

Selama setahun terakhir ini, perpisahan paling membekas buat gue mungkin adalah ketika temen kosan gue cabut dari kamar gue sekarang. Kalau gue inget-inget lagi itu hari di mana gue harusnya happy-happy nonton fanmeeting VIXX di Kokas tapi malah berujung nangis kayak bocah. Di tempat makan di tengah-tengah mall rame. Kayak orang yang baru nerima kabar kalau dia dipecat dari perusahaan tempatnya bekerja karena terlalu banyak download drama Korea dan ngabisin bandwidth kantor. Dada gue masih suka sesek kalau memikirkan perpisahan hari itu. Setelah sekian tahun gue jadi anak kosan dan akhirnya punya teman sekamar tapi nggak bertahan lama. Nyesel sih. Nyesek juga. Tapi ya mau gimana.

Dalam kondisi seperti ini biasanya gue akan menyalahkan diri sendiri. Mungkin gue bukan teman sekamar yang baik dan semacamnya. Ya gue bisa menerima itu. Tapi perpisahannya... rasanya kayak selama dua tahun lo dibahagiakan oleh EXO dengan comeback-comeback mereka sejak 2012 ke 2014 lalu tiba-tiba Kris bilang dia mau keluar dari grup. Nyeseknya sama kayak gitu.

Ya temen gue bener banget. Gue terlalu posesif.

Gue rasa sih perasaan memiliki ini yang jadi faktor penting kenapa kemudian gue jadi baper parah dan nangis ketika menghadapi sebuah perpisahan. Ketidaksiapan gue untuk menerima sebuah perubahan yang tiba-tiba. Kenyamanan yang mendadak direnggut. Perasaan yang seperti dipermainkan oleh dunia (WAKAKAKAKAKAKA BGST NAJIS). Mungkin gue sudah take it for granted ketika gue seharusnya nggak begitu.

Gue sedang berusaha untuk me-maintain ulang hati gue. Mengubah pola pikir gue tentang pertemuan, perpisahan, dan posesif. Karena kan sangat bijak tuh katanya kalau kita belajar dari pengalaman dan jadi orang yang lebih baik daripada diri kita yang kemarin. Dan dalam perjalanan menuju perubahan itu gue menyadari bahwa gue seharusnya nggak takut dengan perpisahan. Sedih memang. Pasti. Tapi harus dihadapi. Karena kalau kita takut dengan perpisahan, kita mungkin juga akan enggan untuk memulai sebuah pertemuan. Enggan memulai menjalin hubungan baru dengan yang lain. Kita akan terperangkap dalam pikiran-pikiran tentang sepi dan kesepian.

Dan bicara tentang perpisahan, satu perpisahan lain menutup tahun 2017.

Kabar baiknya: tanpa air mata.



Follow Me/KaosKakiBau in everywhere!
Watch my #vlog on YouTube: KaosKakiBauTV (#vron #vlognyaron)
Twitter: ronzzykevin
Facebook: fb.com/kaoskakibau
Instagram: ronzstagram
LIVE SETIAP SENIN JAM 8 MALAM 'GLOOMY MONDAY!'
Instagram lain: kaoskakibaudotcom
Line@: @kaoskakibau (di search pake @ jangan lupa)
photos on this post is from pexels.com

Share:

0 komentar