• Home
  • Explore Blog
    • K-Pop
    • EXO
    • Concert Experience
    • GMMTV's The Shipper Recap
    • Film
    • Self Reflection
    • My Trips!
      • New York Trip
      • Seoul Trip
      • Bangkok Trip
      • London Trip
  • Social Media
    • YouTube
    • Twitter
    • Instagram
    • Facebook
    • Email Me
  • My Podcasts
    • Podcast KEKOREAAN
    • Podcast ngedrakor!
  • NEW SERIES: 30 and Still Struggling
kaoskakibau.com - by ron

Salah satu teman gue (identitasnya dirahasiakan demi privasi tapi ya sebut saja namanya Agus. Kalau mau dibalik jadi Suga juga boleh katanya) belum pernah ke luar negeri dan dia baru bikin paspor. Ketika gue bilang ke dia "perawanin" aja dulu paspornya iseng-iseng jalan ke negara tetangga, dia bilang mau cari momen yang pas jadi biar nggak mubazir. Saat momen yang pas itu datang (dia mau nonton konser U2 di Singapore National Stadium), dia malah minta gue buat ikut karena dia nggak bisa pergi sendirian.

Nggak bisa pergi sendirian karena ini pengalaman pertama dia ke luar negeri. Sekaligus juga pengalaman pertama dia nonton konser di luar negeri, khususnya di Singapura. Gue sebagai teman yang baik (WKWKWKWKW) dan sudah berpengalaman nonton konser di sana (WKWKWKWKWKW) agak nggak enak ngebiarin dia terlantar sendirian. Akhirnya gue setuju buat nemenin dia ke Singapura.

Sebelum akhirnya dia jadi demanding.

Inget nggak gimana rasanya ketemu sama orang yang lo taksir? Ketika pertama kali kalian berdua ngobrol dan akhirnya merasa nyambung. Ketika awalnya lo biasa aja, nggak ada perasaan apa-apa karena itu bukan cinta pada pandangan pertama kayak yang biasa ada di serial-serial drama televisi Korea. Lalu kalian ngobrol karena punya satu topik yang suka dibahas. Entah buku, entah film, entah musik, entah Kpop. Dari obrolan yang cuma beberapa menit itu kok rasanya nyaman ya? Kok rasanya enak nih kalau misalnya kita ketemu lagi dan ngobrol lagi. Akhirnya kalian mulai tukar-tukaran nomor ponsel dan mulai ngobrol di chat. Masih nggak ada rasa apa-apa. Murni karena kalian cuma ingin memperluas pertemanan aja. Nggak ada salahnya dong punya teman baru. Tapi pelan-pelan dari obrolan-obrolan soal buku, film, musik, dan Kpop itu berubah jadi obrolan-obrolan yang serius. Tiba-tiba di suatu hari dia chat dan nanya hal penting ke lo. Rupanya ada masalah keluarga. Lo mulai mendengarkan curhatan-curhatan dia. Lo mulai khawatir. Lo mulai menjadikan diri lo selalu available untuk dia kalau memang dia lagi butuh cerita. Lalu rasa biasa-biasa aja dalam diri lo itu berubah jadi perhatian. Lo jadi sering nanya dia lagi ngapain, kapan bisa ketemu, mau nonton ini nggak, gue ada tiket konser nih mau pergi bareng nggak. Dan lo sampai di satu titik kalau lo ternyata suka sama dia. Dia nggak tahu. Lo sendiri sebenarnya juga masih ragu sama perasaan lo. Tapi lo tetap memberikan perhatian itu. Dia tetap menerima perhatian itu. Kemudian lo masuk ke fase cinta diam-diam karena lo nggak mau hubungan kalian jadi renggang setelah lo ngungkapin perasaan lo ke dia. Inget nggak gimana rasa berbunga-bunga setiap kali dia balas chat lo?

Happy, kan? Meski diam-diam lo curi-curi pandang ketika dia nggak memerhatikan, tapi lo happy, kan?

Tapi perasaan happy itu nggak cuma akan terjadi hanya karena dan ketika lo ketemu sama orang yang lo taksir. Ketemu sama orang yang nyambung pada obrolan pertama juga buat gue memberikan efek happy yang sama. Gue punya temen namanya Ais, gue lupa sebenarnya awalnya kita bisa kenal kayak gimana tapi kayaknya sih gara-gara dia admin salah satu fanbase EXO dulu dan pada masa-masa itu gue lagi gila-gilanya nge-tweet soal EXO. Kita kenal di Twitter dan kemudian ketemu beberapa kali karena fanbase yang bersangkutan ada event dan gue dateng. Tapi momen ketemu kita yang paling gue ingat adalah di satu hari di akhir bulan Maret 2013 ketika ada event cover dance di Gandaria City. Setelah itu kita akhirnya jadi sering ketemuan dan jalan bareng. Sampai sekarang, dia jadi temen jalan-jalan gue kalau di Bandung.


“Galau terus!”

Gue agak menyesal buru-buru buka DM ketika Jeno (nama handphone gue) memberitahu ada notifikasi dari Instagram. Kalau isinya cuma kayak gitu mending gue swipe kiri aja terus dibaca nanti-nanti. Gue bukan tipe orang yang suka ngebiarin notifikasi numpuk sampai puluhan baru dibaca kecuali kalau kondisinya sangat sibuk banget. Gue mungkin orang yang paling fast response di seluruh dunia bahkan ngalahin online shop kesayangan lo. Tapi ya kadang-kadang agak kesel aja kalau misalnya udah buru-buru dibuka terus isinya cuma komentar pendek yang terkesan sok tahu.

Mungkin gue terdengar agak nyolot di bagian “sok tahu” tapi memang begitu adanya. Dan mungkin lo agak bingung kenapa tiba-tiba gue kayaknya marah-marah dibilang galau di DM Instagram. Sebenarnya ini mau ngomongin apa sih? Sebenarnya siapa sih yang ngatain gue galau? Sebenarnya posting-an kali ini tentang apa sih?
Happy new year! 



Boleh nggak sih kalau gue bilang waktu berganti so damn fast like crazy karena mendadak 2017 udah lewat gini aja? Kemudian 2018 datang dengan semua tantangan dan kemungkinan-kemungkinan yang pasti nggak akan pernah kita sangka-sangka. Bagaimana kabar kalian? Masih bahagia? Atau masih memikirkan dia yang sudah lama pergi tapi masih melekat di pikiran dan hati?

Ah. Lemah! Sama saja kalian kayak gue!


Ada berapa perpisahan dan selamat tinggal yang kalian alami selama setahun terakhir?

Mungkin ada dari kalian yang akan menjawab satu atau dua, ada juga yang mungkin menjawab pertanyaan di atas dengan “nggak ada”. Ya, bisa dimaklumi banget sih karena kan kehidupan masing-masing individu di universe dan di alternate universe ini beda-beda. Ketika lo sedang duduk-duduk menikmati susu pisang sambil mikirin mau nulis apa di blog lo akhir pekan ini mungkin di saat yang sama ada orang yang sedang bergelut dengan perasaannya karena mereka akan ditinggal pergi oleh orang terdekat. Tapi pertanyaan gue di awal posting-an ini adalah pertanyaan yang serius. Jadi silakan dijawab dalam hati atau kalau memang kalian mau berbaik hati dan repot-repot silakan meninggalkan komentar di disqus di bawah posting-an ini. Kalau kalian mau melakukan itu gue akan sangat berbahagia.

Pertanyaan gue selanjutnya, apakah setelah mengalami perpisahan itu kalian jadi beneran sedih parah yang sesedih itu? Yang sampai gloomy banget sepanjang hari ketika mengalaminya?

Kehilangan banget kah sosok itu ketika dia pergi? Atau mungkin di kepala kalian mendadak malah muncul pikiran-pikran tentang kesendirian, kesepian, dan semacem “wah gue akan sama siapa nih kalau dia nggak ada? Apakah masih ada yang lain yang bisa sedeket itu sama gue selain dia?” setelah itu?

Ataukah mungkin sampai kalian merasa dada kalian sesak dan sampai mau nangis? Atau bahkan mungkin kalian sama sekali nggak terlalu mikirin banget karena kalian tipe orang yang “ah yaudah namanya juga hidup kan ada pertemuan ada perpisahan”?

Gue nggak mau terus-terusan bertanya sebenarnya tapi gue beneran penasaran. Kalau kalian memang penganut statement terakhir gue di paragraf sebelumnya dan termasuk orang yang “yaudah yang pergi memang udah waktunya pergi”, gimana sih cara kalian membuat diri kalian baik-baik aja setelah itu? Gimana sih kalian bisa tetap kalem dan tenang dan seolah tidak terjadi apa-apa dalam hidup kalian dan tidak ada perpisahan sama sekali? Baaimana kalian menghadapi situasi itu dan me-maintain hati kalian untuk nggak terlalu merasakan kesedihan berlebih? Apakah memang semudah itu ya? Apa cuma gue yang terlalu drama dan merasa kalau apapun yang sudah menyangkut perpisahan dan mengucapkan selamat tinggal pasti akan jadi sesuatu yang berat?

Gue mau jujur sama kalian karena kalian adalah pembaca setia blog ini dan gue merasa punya kedekatan dengan kalian semua: gue ini orang aneh.

Eh... itu sih nggak bukan rahasia ya? Ahahahaha



“Sori, tadi kesasar makanya lama. Sebel banget padahal cuma dari Blok M doang ke sini tuh kayak tinggal belok kanan. Tapi maps-nya kok jadi kayak muter-muter!”

Nggak ada kesan kesal dalam keluhan gue itu. Lebih ke malu sebenarnya. Gue baru beberapa hari naik motor di Jakarta dan sedang senang mengeksplor tujuan-tujuan baru selain kosan ke kantor dan kantor ke kosan. Makanya ketika temen gue, sebut saja namanya Dewa, ngajak gue ke Masjid Agung Al Azhar untuk menghadiri sebuah kajian di suatu hari Rabu beberapa waktu lalu langsung gue iyakan. Bukan hanya karena gue pengen sekali-sekali berkendara dari kantor ke tempat lain untuk memperluas wawasan gue soal jalanan Jakarta, tapi juga karena gue tertarik dengan pembahasan kajiannya hari itu. Dan kebetulan gue butuh ke Blok M untuk beli bubble wrap untuk kirim hadiah giveaway sekaligus mampir ke Gramedia buat beli buku titipan temen. Wah banyak ya alasannya. Dan ketika kita berdua mutusin buat keluar dari masjid di akhir acara lalu melipir untuk makan nasi goreng di pinggiran kampus Al Azhar, gue langsung cerita pengalaman gue naik motor ke daerah ini untuk pertama kalinya.


Nggak kerasa tahun ini gue udah resmi jadi anak kosan selama delapan tahun berturut-turut. Sejak 2009 gue pertama kali pindah dari Mataram ke Depok untuk kuliah di UI sampai 2017 ini gue jadi salah satu pegawai rumah produksi di Jakarta. Yang mana, sepertinya akan gue tinggalkan dalam waktu dekat, mohon doanya. Wah, selama delapan tahun ini gue udah hapal banget deh naik dan turunnya hidup sendiri tanpa keluarga. Jauh dari masakan Mama. Nggak pernah bisa ketemu tiap hari sama temen-temen SMP dan SMA (meanwhile mereka di grup LINE tengah merencanakan untuk kumpul-kumpul) (dan membicarakan pernikahan).

Selama delapan tahun ini gue belajar banyak hal banget tentang kesendirian. Masak sendiri, makan masakan sendiri. Tidur sendiri, beresin tempat tidur sendiri. Perbaiki keran kamar mandi yang rusak juga harus sendiri sampai masang kawat di ventilasi kamar mandi supaya nggak masuk tokek kayak kejadian di Depok tahun 2010 dulu. Karena nggak mau manja (ceileh) gue juga belajar nyuci seprai dan selimut sendiri. Dua hal ini kayaknya sih jangan dilakukan setiap minggu. Karena mijetnya sampai jari-jari gue mau patah. Selama delapan tahun terakhir gue banyak melakukan hal-hal yang nggak pengen gue lakukan sendiri, tapi gue nggak punya pilihan.

Sebagai anak rantau sebenarnya ada sih, opsi untuk tinggal bareng temen. Setidaknya jadi nggak merasa sendiri terus. Tapi gue tuh orangnya ribet sendiri dan terlalu labil. Apalagi pas baru lulus SMA dulu. Kalau diinget-inget rasanya pengen pecut diri sendiri pake rotan. Kelabilan gue itulah yang bikin gue belum siap untuk bisa berbagi apapun dengan Dia-Yang-Disebut-Teman-Sekamar. Lagipula, gue juga selalu menganggap diri gue sebagai alien. Orang aneh. Yang kesukaannya bisa jadi nggak sama dengan kebanyakan orang saat itu (bahkan saat ini). Ya rasanya belum siap aja berada di satu kamar dengan orang yang belum lama gue kenal. Berbagi bau keringat sampai kentut.

Waktu itu gue mikir gini, gue baru lulus SMA, pindah ke Depok sendiri dan menjalani hari-hari sebagai mahasiswa baru yang selama dua minggu pertama sudah muak dan stres dengar teriakan senior yang nggak ada faedahnya itu: “THINK FAST DONG DEK! KREATIF DONG DEK! BISA LEBIH CEPET GAK DEK LARINYA?!” najis. Gue kira UI nggak ada gini-ginian ternyata ada juga. Hal-hal kayak gitu, termasuk kehidupan mahasiswa baru yang terombang-ambing nggak jelas di kampus bikin gue males mikir macem-macem yang ujung-ujungnya bikin kepala gue sakit. Ya, gue emang gampang banget stres. Manajemen emosi gue waktu itu masih kacau banget. Makanya gue pikir wajar kalau waktu itu gue nggak mau dibebani dengan keharusan untuk berbagi bau kentut dengan manusia lain.

Seiring waktu berganti, gue jadi lebih dewasa dalam hal ini. Jadi lebih wise—ahelah—gitu. Malah gue jadi penasaran. Semacem bisul yang gatel tapi nggak boleh digaruk. Nggak tahu hubungannya apa. Lulus kuliah dan nggak lagi dibebani dengan hal-hal kampus, sudah punya penghasilan sendiri dan mulai bisa menabung membuat gue jadi less-stress than before. Gue pun penasaran gimana rasanya punya roommate ya? Apalagi sehabis nonton variety show flop Korea yang judulnya ‘Roommate’ itu, gue jadi makin pengen tahu rasanya.

“Seru kali ya? Bisa punya temen makan. Temen ngobrol sebelum tidur gitu?”

Katanya udah dewasa tapi pikirannya kayak anak SMP. 




Pernah nggak, kalian suatu hari duduk di sebuah kursi kayu, di teras rumah yang halamannya luas banget, ngeliatin cahaya matahari pelan-pelan menghilang dan tenggelam di sebelah barat, sambil menghirup aroma teh mint hangat dari meja kecil yang ada di sebelah kanan kalian, dan memikirkan soal apa saja yang sudah terjadi selama tiga tahun terakhir?

Gue nggak pernah. Karena di teras rumah gue nggak ada kursi kayu, tapi adanya sofa tua yang udah bau dan berdebu. Halaman rumah gue juga nggak luas-luas banget. Cuma dua kali lompat kodok juga kebentur tembok. Dan cahaya matahari jelang terbenam nggak pernah terlihat jelas dari sana karena kehalang sama tembok rumah-rumah lain. Tapi kadang-kadang cahayanya bagus juga. Cuma, di jelang akhir kalimat paragraf pertama sih gue pernah. Ya nggak sambil duduk minum teh mint juga.

Belakangan ini gue sering banget memikirkan “the good old days”. Seolah nggak mau menerima kenyataan bahwa setiap individu yang ada di sekitar gue pasti berubah. Sekecil apapun itu. Perubahan-perubahan yang tanpa kita sadari bikin hubungan pertemanan jadi merenggang dan pelan-pelan semakin menjauh. Kenyataan itu kemudian bikin kerinduan akan masa-masa pas bareng dulu makin berasa.

Kalau lo termasuk pembaca setia blog ini, lo pasti tahu kalau gue nggak terlalu punya banyak teman. Sebagai perantau yang kehidupan masa kecil dan masa remajanya dihabiskan di Mataram, Lombok, membuat gue nggak terlalu punya hubungan yang sangat dekat dengan teman-teman sekolah gue dulu. Teman waktu kuliah dulu juga sekarang sedang giat-giatnya bekerja, jadi beneran jarang banget bisa ketemu dan menghabiskan waktu berkualitas. Jadilah teman-teman yang sering kontak dan komunikasi sama gue sekarang adalah mereka yang memang punya satu kesanaam: sama-sama suka KPop.


“Introvert itu nggak sama dengan pemalu.”

Itu yang gue baca di artikel sebuah media online beberapa waktu lalu. Semakin gue cermati, semakin gue berpendapat sama dengan tulisan itu. Semakin juga gue punya pandangan yang jelas tentang sifat alami gue yang memang introvert, tapi bukan pemalu.

Mana ada pemalu yang mau membungkus dirinya dengan konfeti dan joget-joget nggak jelas di lokasi konser demi untuk di-notice sama Lee Jin Ki.

Melanjutkan tulisan di artikel tadi, introvert adalah orang yang lebih menyukai kesendirian kadang-kadang, meski mereka ada di tengah keramaian. Dan gue kembali mengamini tulisan itu. Belakangan ini gue sering merasakan hal ini. Belakangan ini gue sering merasa ingin sendiri. Entah kenapa apapun yang dilakukan oleh orang-orang di sekitar gue, walaupun itu lingkaran pertemanan gue sendiri, jadi nggak seru lagi. Gue merasa semangat gue untuk berinteraksi dan beramah-tamah dengan sekitar mendadak hilang. Dan ini adalah sebuah masalah besar.

Ke orang-orang yang sudah lama gue kenal (atau sudah lama kenal gue) pastilah gue akan banyak ngomong dan ngoceh tentang banyak hal. Di satu momen gue bisa jadi sangat menyebalkan karena kebanyakan ngomong. Sering banget gue menyinggung roommate gue karena gue terlalu banyak omong. Walaupun dia mungkin nggak teriak “ANJING LO, GUE TERSINGGUNG!” tapi gue bisa melihat itu dari mimik wajah dan perubahan sikapnya yang mendadak dingin kayak Arandelle waktu Elsa masih labil.

Karena keberisikan gue yang to the max inilah pernah suatu hari salah satu temen kantor, namanya Nabila, nanya ke gue. “Lo lagi sakit ya?” cuma karena gue hari itu nggak sebanyak omong biasanya. Nggak seberisik biasanya.

Nggak. Gue nggak sedang sakit. Gue sedang pengen sendiri dan diem.

Tapi nggak bisa mengeluarkan kalimat seperti itu. Gue hanya bisa faking smile dan “Nggak Bilaaaa gue lagi pusing nih. Biasalah anak muda. Labil.” Dan pembicaraan itu akan terputus saat itu juga dan semuanya akan memaklumi. Karena kadang dalam kondisi seperti ini, kejujuran itu bisa dinilai berbeda. Kalau gue bilang, “Tolong, gue lagi pengen sendiri.” Bisa-bisa ditanggepin “Yaudah sana ke toilet. Lebih private.” Kan nggak enak.


Gue sedang berusaha untuk menyelesaikan laporan mingguan gue di kantor hari ini ketika gue iseng (sebenarnya dulu kegiatan ini gue jadwalkan setiap harinya) nge-search ‘kaoskakibau’ di Twitter. Dulu setiap kali gue mem-posting artikel baru (mostly tentang EXO atau review MV) gue selalu melakukan ini untuk nge-RT-in orang-orang yang nge-share artikel gue. Belakangan emang agak jarang karena konten gue yang tentang KPop sudah makin berkurang.

“Selamat datang di real life!” begitu kata gue pada diri gue setiap kali gue sadar tentang kenyataan bahwa spazzing sekarang bukanlah hal yang bisa gue lakukan setiap saat lagi, nggak seperti beberapa bulan yang lalu.

Lalu gue menemukan sebuah posting-an dari salah satu akun Twitter. Posting-an yang membawa gue tenggelam dalam ke pikiran-pikiran serius tentang kehidupan. Posting-an yang gue baca itu sebenarnya adalah “timehop” dari si pemilik akun yang ternyata 2013 lalu pernah nulis status di Facebook mengutip tulisan gue di blog.

“Pas bukain postingan lama di facebook, trus nemu ini, postingan thn 2013 ngutip dr kaoskakibau.” Tulis @nnMonti. Dia memotret posting-an Facebook-nya 2013 lalu dan mengunggahnya ke Twitter. Waktu gue baca isi posting-an itu, gue terdiam cukup lama. Emang gue pernah nulis kayak gitu?

Buru-buru gue menekan CTRL+T di browser dan mengetik ulang kalimat pertama di posting-an itu lalu menambahkan “, kaoskakibau” setelahnya. Kemudian gue menekan ENTER dan Google menempatkan kaoskakibau.com di urutan teratas pencarian. Lengkap dengan kutipan kalimat yang persis sama dengan yang ditulis @nnMonti.


Saya selalu bertanya-tanya kapan saya bisa ke Seoul sejak pertama kali jadi fans KPop. Ketika kesempatan itu datang, saya hanya bisa alay bukan kepalang. Posting-an ini adalah bagian kedua dari 'Finally, Seoul!', catatan perjalanan pertama saya ke Seoul, Korea Selatan. Sebelum melanjutkan baca bagian ini, silakan baca dulu bagian pertama di sini.

Gue nggak sempat menikmati bagaimana mewah dan meriahnya Bandara Incheon ketika gue mendarat di Seoul, Minggu (29/11/2015). Beberapa hal yang mendadak terjadi karena gue kelamaan tidur di pesawat jadi penyebabnya.

Pertama, gue belum isi kartu pendatang yang harus diserahkan di imigrasi. Kedua, gue nggak prepare pulpen untuk mengisi kartu itu jadi gue harus minjem pulpen dari Mbak Dian, PR dari Oh!K Channel yang mengundang gue ke Korea. Ketiga, karena minjem pulpen dan mengambil kartu isian pendatang yang baru itu gue harus memulai antre dari belakang lagi, padahal tadi udah kayak hampir maju ke loket imigrasi-nya. Sial aja ketika gue selesai ngisi, semua orang kayaknya baru mendarat dan udah antre aja di sana. Sebel.

Ternyata proses imigrasi di Korea nggak deg-degan kayak di Amerika. Ini pasti nih Amerika karena efek 'My Name Is Khan'. Jadi kan takut kalo tiba-tiba digrebek cuma karena bawa tolak angin. Alhamdulillah Korea kayaknya gwencana sarangiya.

But anyway, sekeluarnya dari pintu kedatangan bandara dengan alay dan ber "HAH!" "HAH!" ria seperti anak kampung yang nggak tahu kalau nafasnya ternyata bau, gue akhirnya bisa merasakan udara dingin Seoul yang sebelumnya sama sekali nggak kebayang itu.


Hey there! Hehe... jadi bingung mau manggil apa ke kalian yang sudah setia membaca blog ini dengan tulisan-tulisan absurd-nya. Apakah ini artinya aku harus mencari sebutan untuk pembaca blog ini?

(Gak usah banyak gaya deh).

This post is not gonna be that typical very long post that I always made on this blog. Tapi ini hanya sekedar curhatan pendek yang akan gue tulis soal pengalaman gue masuk ke ruang jumpa pers dua konser Infinite di Jakarta di tahun 2013 dan 2015.

Gue nulis ini dari sudut pandang diri gue sebagai seorang fans tentu saja, di luar dunia profesional dan pekerjaan. Walaupun pembatas antara pekerjaan dan kehidupan spazzing gue sangat tipis, tapi semoga tidak berbenturan dan berjalan di track-nya masing-masing.

(Apa deh).

Oke, singkat cerita kemaren gue dapat tugas untuk datang ke preskon konser 'Infinite Effect' di Jakarta. Lokasinya di salah satu hotel di kawasan Thamrin. Hotelnya cukup terkenal. Walaupun gue tadi sempat Googling juga pas sebelum berangkat untuk memastikan apakah di hotel ini ada mushola atau nggak. Yang gue dapatkan adalah informasi bahwa di toilet hotel ini ternyata nggak ada semprotan buat cebok pas lagi boker.

Alhamdulillah gue tadi udah buang hajat di kantor sebelum berangkat jadi gue aman.

Masalah besar datang ketika gue sedang nunggu kopaja dan gue lupa kalau gue belum minum setelah makan siang. Ya gimana sih rasanya kalo ati ampela masih nempel di kerongkongan. Alhasil gue menahan haus (sambil berkali-kali menelan ludah) sepanjang perjalanan. Tapi efeknya tidak baik. Ternyata tidak minum membuat kepala gue agak pusing. Ini mungkin karena efek kebanyakan tidur dan bangun yang dipaksakan sebelum berangkat.

Lagian... kenapa sih Infinite harus preskon hari Sabtu.

Ini tuh weekend.

(Tidak terpikir sebelumnya kalo "YA KAPAN LAGI LO MALEM MINGGUAN SAMA INFINITE!" walaupun dalam konteks yang benar-benar berbeda).
*
Gue bukan tipikal orang yang suka nonton drama atau film yang happy ending. Kadang-kadang menurut gue, film yang happy ending itu klise. Dibuat seolah-olah dunia ini hanya berisi kebahagiaan. Dibuat seolah-olah semuanya akan baik-baik saja. Bagus sih, punya pola pikir seperti itu. Positif dan selalu menyenangkan. Tapi kadang-kadang ini jadi nggak realistis ketika akhirnya kita menjalani sendiri kehidupan dan merasakan berbagai macam penolakan dan kekecewaan. Walau sekecil apapun.

Gue suka nulis cerpen dan beberapa kali nulis fanfiction juga sejak kenal KPop (sila cek di sini). Menentukan ending bisa jadi adalah yang paling sulit buat gue. Mungkin gue emang masih amatir, tapi gue denger-denger bahkan penulis besar pun katanya agak sulit menentukan bagaimana ia harus mengakhiri kisah yang sudah dia bangun dengan penuh kasih sayang itu.

Maka sulit juga buat gue untuk mengakhiri cerita perjalanan ke New York ini, walaupun perjalanannya harus berakhir juga bagaimanapun. Kecuali gue tiba-tiba diadopsi sama orangtua kaya raya di New York dan diajak pindah kewarganegaraan dan disekolahkan dan bla bla bla bla.... yang akhirnya nggak mungkin kejadian.

Walaupun di beberapa kondisi gue sebenarnya lebih suka ending yang menggantung, tragis, atau mungkin open ending, tapi untuk kehidupan nyata ini, gue tentu ingin ending yang bahagia dari perjalanan gue di New York. Yah... mau nggak mau hukum alam itu terjadi. Semua yang berawal pasti akan berakhir.

Mari berbahagia!!!!

Gue bertekad untuk mengakhiri jam-jam terakhir gue di New York sebisa mungkin membahagiakan dan mengesankan. Kecuali bagian masuk toko oleh-oleh mungkin. Karena itu nggak akan gue ceritakan panjang lebar di tulisan ini, gue hanya bisa menyimpulkan bahwa membeli oleh-oleh adalah hal paling membosankan, membingungkan, menyebalkan, dan semua kata-kata negatif bisa ditulis di sini.

Hari terakhir di New York rasanya sangat aneh. Badan gue bener-bener kecapekan setelah perjalanan ke Central Park malam harinya. Mungkin ini juga karena efek kurang tidur yang sudah sangat berlebihan sejak berangkat dari Doha. Mungkin ini yang dinamakan jet lag tapi gue nggak menyadarinya. Tapi gue meyakinkan setiap sel tubuh gue agar jangan tumbang dulu. Karena masih ada sekitar 20 jam yang masih bisa dinikmati sebelum kembali ke Doha dan terbang lagi ke Jakarta.

Gue tidur cukup cepat malam itu. Padahal keinginan gue untuk begadang dan mem-posting foto-foto yang gue potret di Instagram sangat besar. Tapi karena takut dibilang spamming jadi gue simpan saja untuk di-posting late post selama sebulan ke depan (DAN ITUPUN TERJADI). Sekitar jam sebelas malam gue tidur. Pulas. Tapi sebentar banget. Gue terbangun sekitar pukul dua atau tiga pagi karena ingat gue belum setor kerjaan ke kantor.

Akhirnya gue menghabiskan sekitar satu setengah sampai dua jam di depan laptop sebangunnya gue malam itu. Mengingat-ingat lagi apa yang terjadi sepanjang hari kemarin selama kunjungan di Carlo's Cake Factory, Carlo's Bake Shop, dan juga ketika wawancara langsung sama Randy Fenoli. Ada sekitar 15 artikel panjang yang harus di buat dari perjalanan 3 hari 2 malam ini. Beruntung tidak semuanya harus diselesaikan malam itu tapi bisa dicicil sampai November. Jadi gue masih bisa agak bersantai.

Setelah selesai ngetik dan mengirim email (SET SET SET WIFI HOTEL SUPERCEPET MAU NANGIS YA ALLAH), gue buru-buru mandi dan sembahyang subuh ketika sudah masuk waktunya. Karena Selasa (29/9/2015) itu adalah hari terakhir di New York yang penuh kebahagiaan ini, maka gue bertekad akan menghabiskannya dengan sebaik-baiknya. Setepar-teparnya. Sampai teler kalau bisa.

Gue masih penasaran dengan Central Park sebenarnya. Jadi hari itu, tujuan utama gue adalah Central Park. Kerjaan di hari terakhir dimulai sekitar jam setengah 10 pagi. Itu berarti dari jam enam gue punya sekitar tiga jam untuk mengarungi jalan dari hotel ke Central Park dan kembali lagi ke hotel. Karena siangnya akan wawancara Theresa Caputo di kawasan Broadway, jadi gue pikir itu sudah terhitung jalan-jalan. Senengnya lagi, hari itu kerjaan akan selesai jam 1 siang. Means, masih bisa jalan-jalan sekitaran kota.

"Oke, hari ini pokoknya gue mau random!" kata gue. Ketika mandi gue udah kebayang akan sarapan di McDonald (oke maafin gue tapi kemanapun gue pergi kayaknya gue mentok di fast food kesukaan gue ini) dan setelah itu membawa kopi berjalan dari McDonald sampai ke Central Park. Setelah itu, biar Tuhan yang menentukan. Pas mandi gue juga inget kalau ternyata gue belum sikat gigi dari gue mendarat di New York sampai hari ini.
*
*

Sama aja kayak Jakarta, New York di hari Senin pagi juga macet. Lebih-lebih lagi ruas jalan di kota ini sempit jadi kalo udah macet ya begitulah. Nggak bergerak. Enggak heran kalau orang-orang lebih milih naik Subway buat ke tempat kerja. I mean, come on, kalo nggak jalan di kota ini kayaknya belom sah jadi New York-er. Hahahaha

Di beberapa bagian kota juga gue perhatiin ada banyak gedung-gedung yang sengaja di bangun sebagai tempat parkir. Kalo gue pernah mengeluh soal ongkos parkir di Jakarta yang mahal, ternyata ongkos parkir di New York lebih mahal. Iyalah! Dolar!

Setelah sarapan dan nggak sengaja ketemu Scott di restauran hotel, gue buru-buru beresin barang-barang untuk persiapan liputan. Hari ini (lebih ke hari itu sih kayaknya ya, Senin, 28 September 2015) tujuan liputan pertama kami ke Carlo's Cake Factory yang ada di New Jersey. Waktu pertama kali denger kata New Jersey mungkin yang langsung kebayang di kepala gue adalah Ailee. Karena setiap kali ngetik berita Ailee pasti gue selipin kota tempat tinggalnya dulu itu.

Ke New Jersey kita naik bus yang disediain sama Discovery Networks International. Yes. Kesampaian juga akhirnya naik bus kota walaupun tujuannya bukan keliling New York. Tapi nggak apa-apa deh. Yang penting bisa ngerasain aja gimana rasanya naik bus di negara lain setelah selama ini mentok dengan Kopaja 602 dan MetroMini 75.

Busnya lucu. Kayak bus sekolah yang di film-film. Di dalamnya cukup mewah juga dengan televisi dan sebagainya. Di kursi bagian depan malah ada meja yang melingkar terus di setiap pegangan kursinya ada lubang buat naruh gelas kopi. Ngomong-ngomong soal kopi, pagi ini gue kayak minum banyak banget kopi mengingat gue tidak tidur dengan benar semalam. Menghindari ngantuk. Untung sepanjang perjalanan ke New Jersey, Gayle ngajakin ngobrol terus. Gue jadi seneng.

Secara nggak sengaja dalam perjalanan ke Carlo's Cake Factory itu, Gayle nanya Facebook, Twitter dan Instagram gue apa. Gue agak malu sebenarnya ngasih tahu ke dia soalnya akan ada banyak hal yang harus gue jelaskan.

"Loh kenapa Ron Kevin? Kenapa Twitter-nya Ronzzy Kevin?"

Ini bagian paling sulit. Nama gue bukan Kevin. Gue mungut nama itu sejak 2009 dan gue nggak ngerti kenapa sekarang gue nggak bisa lepas dari nama itu. Kalo kata temen-temen gue di Geng Gila EXO, nama Ronzzy Kevin sudah kayak brand tersendiri. Makanya setiap kali gue berniat ganti username di Twitter, mereka selalu marah-marah.

"Udah okelah Ronzzy Kevin! Gausah alay!"

Padahal sebenarnya ini udah nama teralay gue.

Gue mau ngejelasin ke Gayle kenapa gue pake nama Ronzzy Kevin. Tapi karena terlalu panjang, akhirnya gue singkat saja. "Itu kayak nickname gue di media sosial gitu loh. Ronzzy itu kayak semacem lucu aja," padahal sebenarnya penjelasannya enggak gitu.

Ronzzy itu diambil dari kata Ron dan Zzy (HUEK) (YA MENURUT LO). Ron itu nama belakang gue dan panggilan gue sejak SMP (sebelumnya dipanggilnya bukan Ron. Pas SD dipanggil Mikael), sementara 'Zzy' itu... hmm... setelah gue pikir-pikir mungkin terinspirasi dari kata 'Frenzy' yang artinya 'kegilaan'. Semacem image gila yang muncul di media sosial dari seorang Ron. Sementara Kevin itu... suka aja.

*

Gue adalah orang yang lemah. Mudah sekali merasa baper, kalo kata beberapa orang sih begitu. Mungkin itu kenapa gue selalu enak jadi bahan bashing di Twitter. Padahal cuma sekedar bilang "Loh kok D.O gemukan!" langsung di bash seluruh dunia.

(lebay)

Tapi itu beneran waktu itu yang nge-bash pake Bahasa Inggris dan menyeramkan juga ternyata komunitas EXO-L Worldwide ini yah. Gue bukan fans yang baru suka EXO kemaren. Becandaan gue ya emang kayak gitu. Lagipula D.O juga emang keliatan gemukan kok. Kata yang paling sederhana untuk menjelaskan kondisi badan dia waktu itu ya itu.

Kalo orang berubah dari kurus ke gemuk kan disebutnya gemukan.

Ya kemudian di bash kan heran juga.

#EA #PLAYINGVICTIM #WHATEVER

Kalo udah berurusan sama orang yang gue suka, gue pasti bakalan lebih baper dari apapun juga di dunia ini. Kayak misalnya waktu gue nggak bisa nonton Anonymous karena bentrok sama konser Super Junior bulan Mei lalu, rasanya kretek-kretek banget. #HIDUPANONYMOUS! Gue juga inget banget gimana rasanya iri hati sampai mau marah waktu dulu, tahun 2010 apa 2011, ketika orang-orang lagi ramai banget nonton Super Show 3 di Singapura, sementara gue hanya bisa nonton dari timeline Twitter doang.

Sedih.

Inget juga gimana irinya sama dua temen gue di Geng Gila EXO, kak Dianne dan Cel waktu mereka ngintilin EXO ke Thailand pas masa awal-awal debut. Bahkan sampe dapet banyak momen sama Kai karena Cel ngefans Kai. Huhuhuhu Padahal itu masa EXO lagi sepi-sepinya penggemar dan masih aman tentram sentausa tanpa adanya baper-baperan. Tapi malah gue yang baper liat update-an Cel.

Kalo ngeliat fans-fans yang sukses ini, gue langsung mikir, KENAPA SIHH GUE NGGAK BISA KAYAK MEREKA?

Pertanyaan itu kemudian terjawab seiring bergantinya waktu. Waktu juga menyadarkan dan mendewasakan gue. Gue akhirnya sadar bahwa semua orang, setiap individu di dunia ini, sudah ada bagian rejekinya masing-masing. Rejeki itu ya termasuk interaksi dengan bias. Semua sudah ada bagiannya. Entah itu karena memang usahanya sendiri atau mungkin karena memanfaatkan orang lain demi kepentingan dirinya sendiri.

#ehem

Salah satu hal yang bikin gue iri beberapa tahun lalu adalah para jurnalis yang bisa liputan KPop. Kok kayaknya asik banget sih, bisa kemana-mana gratisan, bisa nonton konser nggak bayar, bisa ketemu artisnya langsung. Geregetan banget sama pengalaman mereka yang pasti bener-bener menyenangkan. Apalagi kalau itu mereka lakukan karena mereka suka KPop juga.

Apa sih yang paling menyenangkan daripada mengerjakan hobi sendiri tapi dibayar?

Makanya itu setelah lulus kuliah gue merasa perlu untuk mengejar salah satu mimpi gue ini: jadi jurnalis KPop. GUE HARUS BISA JADI KAYAK MEREKA. Entah bagaimanapun caranya, yang jelas gue harus bisa menjadi salah satu dari mereka paling tidak. Hahahahaha Jurusan gue di kampus memang sih enggak nyambung sama jurnalis-jurnalisan, tapi masih ada di satu ranah yakni Komunikasi.

Dan ya, kalau punya mimpi dan mencari jalan untuk mewujudkannya, pasti akan terjadi. Terdengar cheesy dan Agnes Monica banget memang. Tapi beneran loh itu kejadian. Dan ini adalah salah satu momen paling nggak bisa gue lupain sepanjang gue kerja sebagai jurnalis KPop: ketemu Park Bo Young.
*
*
Hati, kepala dan pikiran gue masih dipenuhi dengan perasaan-perasaan tidak percaya ketika gue menjejakkan kaki di Times Square malam itu. Minggu, 27 September 2015. Gue nggak akan lupa sama tanggal itu. Tidak mau mengulangi sebodohan ketika jalan dari hotel ke lokasi makan malam sebelumnya yang hanya pake batik dan tanpa jaket sementara udara lagi dingin-dinginnya, gue malam itu sudah melapisi tubuh kurus ini dengan baju merah Oversode yang gue pake dari Jakarta (JOROK!) dan pake jaket merah bertuliskan huruf R di sebelah kirinya. Jaket ini gue dapatkan dari bos gue yang waktu itu lagi mempromosikan artis baru, namanya Rega. Sementara mbak Laila pake baju tertutup ala mbak-mbak berjilbab Malaysia dan bawa jaket panjang.

Kayaknya kebanyakan orang yang ada di Times Square itu turis. Keliatan soalnya, siapa yang heboh foto-foto dan terlihat alay, dan siapa yang berjalan kasual dan hanya melintas, lalu memilih untuk masuk ke restauran-restauran yang banyak di sekitar Broadway. Gue adalah salah satu yang alay dan tidak bisa menyembunyikan excitement gue berdiri di depan patung George M. Cohan 'Give My Regards to Broadway' dan berada di tengah-tengah Times Square untuk pertama kalinya.

Adegan di 'Glee' ketika mereka pertama kali di 'New York' dan nyanyi-nyanyi di undakan tangga yang ada di Times Square di season 2 itu langsung keputer di kepala gue. Persis seperti ketika Rachel Berry berdiri di tengah-tengah situ, gue juga melakukannya lalu berbisik: "BROADWAY!"
*
Waktu kecil, kita pasti punya cita-cita. Gue inget dulu gue sangat mengidolakan om gue yang sekarang sudah bergelar profesor dan dia pernah kuliah di luar negeri dan pindah-pindah dari satu negara ke negara lain. Bisa dibilang dia adalah role model gue dulu dan dia juga yang membuat gue bercita-cita jadi seorang ahli pertanian. Sebelum akhirnya gue ganti role model ke Harry Potter dan bercita-cita jadi penyihir.

Berat banget buat gue menerima kenyataan bahwa ternyata Hogwarts itu enggak nyata. Patah hatinya sama kayak misalnya pas salah satu orang yang lo anggap temen tapi ternyata lo dikira enggak nyata karena cuma bisa diajak chatting doang. Karena itulah akhirnya gue mengganti cita-cita gue ke sesuatu yang lebih real: jadi pedagang es krim dan burger.

Sayangnya hidup itu enggak selalu tentang apa yang kita mau, tapi seringkali apa yang kita butuhkan. Ketika gue sudah niatkan untuk mengabdi di kampung halaman, merelakan gelar sarjana gue buat jualan burger dan es krim, takdir justru menahan gue di perantauan. Dan di sinilah gue sekarang berada, enam tahun merantau, menikmati naik dan turunnya gejolak kehidupan sebagai Jakartarian. Tapi kalo enggak merantau mungkin gue enggak bisa nulis posting-an yang sedang kalian baca ini.
*

*
Sebagai penduduk asli Lombok, gue tumbuh dan besar dengan berbagai cerita-cerita dan kepercayaan lokal yang sebenarnya enggak masuk akal, tapi terjadi. Mau dibilang enggak sengaja atau kebetulan sebenarnya bisa aja, tapi sekali lagi enggak ada yang enggak sengaja atau kebetulan di dunia ini. Semua pasti terjadi karena maksud tertentu kan.

Apa lo masih percaya kalau EXO dan Super Junior kebetulan aja dari SM dan nasib member Tiongkok mereka kebetulan aja sama dengan Hangeng?

Di antara kepercayaan-kepercayaan yang tidak masuk akal seperti misalnya di baju anak baru lahir harus diberi "jimat" berupa bawang merah yang ditusuk ke peniti untuk menghalau makhluk halus yang suka goda-godain anak bayi, ada sebuah kepercayaan yang juga berhubungan dengan anak bayi, tapi ini lebih ke ari-ari mereka.

Konon katanya, apa yang akan terjadi pada si anak di masa depan mereka berhubungan erat dengan apa yang orangtua si anak lakukan dengan ari-ari tersebut.

Kalau ari-ari si anak ditanam di rumah, maka anak itu bisa jadi akan tetap tinggal di rumah itu sampai dia dewasa dan berkeluarga. Kalau ari-ari si anak dimakan oleh binatang malam seperti sebut saja anjing (dan memang di daerah tempat tinggal gue kalau malem sering ada anjing berkeliaran cari makan) maka bisa jadi dia akan jadi orang yang sensitif terhadap hal-hal gaib dan supranatural (and in someways kasar dan galak). Kalau ari-ari anak itu dihanyutkan ke laut, maka bisa jadi nanti si anak bakalan berkelana dan merantau.

Percaya tidak percaya, hal itu terjadi pada gue dan dua kakak gue.

Kakak gue yang pertama (perempuan) adalah contoh dari anak yang ari-arinya ditanam di rumah. Sekarang dia sudah berkeluarga dengan dua anak dan tinggal di rumah gue di Lombok. Kakak gue yang kedua (laki-laki) adalah contoh dari anak yang ari-arinya dimakan anjing dan dia memang sangat sensitif dengan dunia-dunia gaib (dia bisa liat setan, komunikasi dengan hantu dan segala drama dunia gaib dia pernah alami pas masa remaja). Dan ya, dia adalah orang paling galak dan cepet marah yang pernah hidup di dunia ini. Kalo ditanya gue lebih takut siapa Voldemort atau dia, gue pilih dia. Dan yang ketiga adalah gue, si anak yang ari-arinya dihanyutkan di laut.

Dan lihat ke mana si ari-ari membawa gue sekarang. Eh, akhir bulan lalu.
*
Enggak pernah kebayang sebelumnya untuk bisa melakukan perjalanan jauh ke New York dalam rangka kerjaan. Selama dua tahun lebih kerja di tempat yang sekarang, dikirim ke Singapura saja sudah Alhamdulillah. Men, siapa sih yang enggak mau ke luar negeri gratisan?!

Memang sih buat kerja, bukan liburan. Tapi kesempatan emas nggak datang dua kali! Setelah pekerjaan selesai kan berarti bisa sekalian liburan. Hidup seadil itu kok. Tuhan se-Bijaksana itu kok.

Kesempatan untuk terbang ke luar negeri gratisan itu tentu aja enggak datang tiap hari. Pernah kepikiran untuk jalan-jalan ke luar negeri dengan ongkos sendiri, tetapi ujung-ujungnya selalu jadi beban. Gue bukan tipikal orang yang rela buat ngabisin uang untuk liburan sebenarnya. Bahkan untuk beli baju aja gue masih mikir-mikir. Di Indonesia, liburan gue yang paling jauh ya Lombok. Pulang kampung. Kalo enggak ya paling gue kabur ke Bandung.

Hehehe. I'm in love with the city. Bandung I mean... too many memories. #baper

Gue juga tipikal orang yang enggak terlalu doyan menghabiskan uang untuk beli makanan. Kadang-kadang memang iya, gue akan beli makanan yang lucu-lucu dengan harga fantastis demi untuk mengikuti pergaulan. Kata orang sih biar hits. Ada banyak tempat makan baru di Jakarta yang menyajikan menu-menu kreatif. Menggiurkan buat di-Instagram. Padahal rasanya sebenarnya B aja.

Biasa aja maksudnya.

Karena itulah gue nggak berhenti mengucap syukur ketika gue akhirnya dikasih kesempatan untuk ke New York ini. Gue jadi bisa mencicipi berbagai jenis makanan yang enggak pernah gue makan sebelumnya. Soalnya, gue terbang dengan Business Class.

BUSINESS CLASS!

Buat anak kampung seperti gue, ini adalah pencapaian luar biasa. Waktu gue dikasih tiket sama penyelenggara acara (namanya Mbak Galih dan mbak Debora) via email, gue sempat bengong lama banget. Lama banget sampai-sampai matahari yang baru terbit tiba-tiba saja sudah terbenam (okelebay) karena gue sama sekali nggak paham sama tulisan yang ada di tiket itu kecuali tulisan Business Class-nya. Buset.... ke New York aja udah kayak mimpi jadi nyata, mana lagi naik pesawat kelas bisnis, gimana nggak mimpi jadi nyata dua kali.

Tapi sebenarnya mimpi naik business class gak pernah muncul di kepala sih.

"Perjalanan ke sana capek banget Ron! 20 jam lebih di pesawat itu yang bikin males," kata temen gue yang sebelumnya pernah liputan juga ke Amerika. "Ngatasin jetlag-nya ketika lo baru mendarat terus langsung kerja itu juga agak-agak bikin bete," lanjut dia.

First of all, gue nggak pernah ngerasain jetlag karena perjalanan dengan pesawat paling lama yang pernah gue lakukan adalah 2 jam setengah dari Jakarta ke Lombok (dan sebaliknya). Perbedaan waktu juga cuma satu jam jadi pasti enggak juga berasa jetlag. Ini kemudian membuat gue penasaran seperti apa jetlag itu. Gue berharap merasakannya ketika sampai New York nanti.

Tapi kemudian teman gue itu melanjutkan, kalau terbang 20 jam dia kemaren naik kelas ekonomi. Ketika dia denger gue naik kelas bisnis, dia jadi yang kayak, "Oh yaudah berarti enak lah santai banget bisa tidur." gitu. Sama sekali enggak kebayang. Soalnya gue cuma modal naik Lion Air ekonomi yang tempat duduknya nggak kalah sempit dari tempat duduk di metro mini 75 jurusan Pasar Minggu - Blok M. Wah ada banyak pengalaman baru di perjalanan ini berarti ya? Batin gue.

Belum lagi bos gue yang kemudian memberikan insight lain yang sangat membantu. SANGAT SANGAT MEMBANTU.

"Kalau lo di business class, lo bisa nunggu di Lounge. Di sana lo bisa makan sepuasnya."

Kalimat "lo bisa makan sepuasnya" itu sudah sangat membahagiakan. Sangat-sangat membahagiakan. Dude, makan gratisan kayak di kondangan itu adalah mimpi setiap anak kos! Ekspektasi gue akan perjalanan ini akhirnya setinggi-tingginya. Kemudian gue memutar lagu Peterpan - Khayalan Tingkat Tinggi.
*
Buat orang yang hidup di kota kecil selama 17 tahun dan kemudian pindah ke kota besar, gue bisa dibilang kampungan dengan berbagai kemewahan dunia yang dimiliki oleh kota besar. Gue masih inget banget ekspresi kagum ketika pertama kali sampai Depok (kota besar juga bukan, Depok?) tahun 2009 dulu pas pertama kali kuliah di UI dan melewati jalan Margonda dan Margo City.

"Wih... Ini mall besar banget ya!"

Padahal itu baru Margo City. Gue nggak tahu aja kalau ternyata masih ada yang namanya Grand Indonesia, dan di tahun 2012 ke atas di bangun Kota Kasablanka, Gandaria City dan Lotte Shopping Avenue. Di Mataram, Lombok, selama gue hidup di sana dari lahir sampai SMA, cuma ada satu mall yang beroperasi. Dan Mall ini nggak jauh beda sama ITC dan mirip-mirip Depok Town Square.

Enggak ada keren-kerennya.

Setelah empat tahun tinggal di Depok dan sekarang resmi dua setengah tahun menjadi "Jakartarian", gue tidak pernah merasa berubah menjadi sosok yang kekinian dan anak kota. Penampilan gue aja sebenarnya nggak mendukung untuk disebut anak kota. Dan kalau lo melihat jauh ke lubuk hati gue yang paling dalam (halah) gue masih anak kampung yang tetap amazed ngeliat kota besar. Ajak aja gue ke Bandung maka gue akan berurai air mata padahal cuma ke Masjid Agung semata.

(Minta banget diajak?)

Itulah kenapa ketika gue tiba-tiba dapat tugas kerja tiga hari dua malam di New York, gue masih deg-degan. Ini bukan Jakarta, bukan juga Bandung. Tapi ini New York!

Mungkin enggak banyak yang tahu kalau gue kerja di salah satu media online di Jakarta (ya, nggak penting juga sih sebenarnya orang-orang tahu gue kerja di mana) tapi di postingan ini, sepertinya informasi mengenai ini penting hihihi karena ya tanpa kerjaan ini gue nggak akan bisa melakukan perjalanan gue dari Jakarta ke New York.

Jadi, begini ceritanya...
Postingan Lama Beranda

Hey, It's Me!



kpop blogger, kpop podcaster, social media enthusiast, himself


Author's Pick

Bucin Usia 30

Satu hal yang gue sadari belakangan ini seiring dengan pertambahan usia adalah kenyataan bahwa gue mulai merasakan perasaan-perasaan yang ng...

More from My Life Stories

  • ▼  2024 (5)
    • ▼  Maret (2)
      • Menjadi Dewasa yang Sebenarnya
      • I Know..., But I Dont Know!
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2023 (4)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2022 (12)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (2)
  • ►  2021 (16)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (9)
    • ►  April (1)
    • ►  Februari (2)
  • ►  2020 (49)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (6)
    • ►  Juli (20)
    • ►  Juni (4)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (2)
  • ►  2019 (22)
    • ►  Desember (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (4)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2018 (23)
    • ►  Desember (1)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2017 (20)
    • ►  Desember (2)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Juli (4)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2016 (36)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (6)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (9)
  • ►  2015 (44)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (6)
    • ►  Oktober (5)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (4)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (5)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2014 (34)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (5)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (5)
    • ►  Januari (8)
  • ►  2013 (48)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (6)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (5)
    • ►  Januari (7)
  • ►  2012 (98)
    • ►  Desember (7)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (6)
    • ►  Agustus (6)
    • ►  Juli (5)
    • ►  Juni (8)
    • ►  Mei (10)
    • ►  April (10)
    • ►  Maret (19)
    • ►  Februari (12)
    • ►  Januari (9)
  • ►  2011 (101)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (10)
    • ►  September (7)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (8)
    • ►  Juni (6)
    • ►  Mei (7)
    • ►  April (9)
    • ►  Maret (25)
    • ►  Februari (13)
    • ►  Januari (5)
  • ►  2010 (53)
    • ►  Desember (14)
    • ►  November (17)
    • ►  Oktober (5)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (6)
    • ►  Juli (7)

Podcast ngedrakor!

Podcast KEKOREAAN

#ISTANEXO

My Readers Love These

  • Tutorial dan Cara Main Game Superstar SMTOWN
  • EXO MAMA MV: Review Saya! [PART 2]
  • Girls' Generation: "I Got A Boy" Music Video Review Saya!
  • Final Destination 5: REVIEW!
  • Superstar SMTOWN Tips & Trik: Jual Kartu yang Numpuk
@ronzzyyy | EXO-L banner background courtesy of NASA. Diberdayakan oleh Blogger.

Smellker

Instagram

#vlognyaron on YouTube

I Support IU!

Copyright © 2015 kaoskakibau.com - by ron. Designed by OddThemes