Bandung; tentang Kenyamanan dan Perasaan


Mungkin beberapa di antara kalian yang sejak lama mengikuti tulisan gue di blog ini sudah tahu kalau gue berasal dari Lombok. Buat yang belum tahu dan merasa butuh tahu, ya itu sekarang kalian sudah tahu. Hehehe. 

Gue mulai menjadi anak rantau di tahun 2009, di tahun yang sama juga nama gue dipanggil oleh wali kelas di SMA dan diberitahu kalau gue diterima di Universitas Indonesia lewat jalur PPKB waktu itu. Gue ingat hari itu hari Kamis dan gue sedang ada di kelas Geografi ketika wali kelas gue (yang beberapa tahun lalu meninggal dunia) menyerahkan surat dari UI dalam amplop putih. Buat orang lain mungkin ini adalah kabar yang ditunggu-tunggu. Tapi buat gue saat itu rasanya gue nggak mau surat ini datang. Gue sudah diterima di Universitas Mataram di jalur yang sepertinya akan menyenangkan, Pendidikan Bahasa Inggris, dan gue akan tetap berada di Lombok dengan teman-teman dekat gue di SMA. Selama beberapa minggu gue sudah lupa kalau gue pernah diam-diam mengirim aplikasi pendaftaran ke UI, pakai pas foto yang gue edit di photoshop pakai badan Daniel Radcliffe (ini beneran, gue gak bercanda gais lmao), membayar uang pendaftaran dengan uang bulanan gue yang waktu itu hanya Rp 100 ribu per bulan. Gue nggak ngasih tahu nyokap gue, gue nggak ngasih tahu bokap gue. Mereka tahunya di hari yang sama dengan gue menerima surat itu. Sempat terjadi perdebatan di antara kami bertiga sampai akhirnya diambil sebuah keputusan: gue berangkat ke UI. 

Yang namanya anak rantau, di awal-awal pasti berat banget dong. Apalagi itu pertama kalinya gue harus tinggal jauh dari orangtua. Dari nyokap. Harus melakukan semuanya sendiri dan untuk pertama kalinya juga gue nggak pulang saat hari Lebaran karena masalah tiket yang sangat mahal pada saat itu. Butuh satu tahun untuk bisa membiasakan diri dengan ritme kehidupan yang baru. Bangun pagi tanpa suara nyokap dan makan makanan warteg setiap hari karena hanya itu makanan paling affordable yang mengenyangkan yang bisa gue makan saat itu. Ya sesekali makan di Mall kalau ada uang lebih. Seiring waktu berjalan gue akhirnya bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitar, walaupun, yah, gue akan tetap jadi gue. 

Alien. 

Yang diketawain karena wallpaper laptopnya artis Korea. 

Ugh. 
Di awal-awal kuliah gue kenal dengan beberapa orang teman dari fakultas berbeda. Kita sering main bareng dan jalan-jalan bareng. Menjelajah Detos/Margo City sampai ITC Depok. Keluar masuk gang Stasiun Pondok Cina dan merasakan bagaimana susahnya nyebrang jalan di Margonda. Dan suatu hari ketika sedang menunggu kerendahan hati manusia-manusia berkendaraan yang tidak juga menampakkan keinginan untuk melaju pelan-pelan padahal sudah jelas-jelas segerombolan orang sedang ingin menyebrang jalan, gue melihat sebuah bus biru jurusan Depok – Bandung. 

Bandung. 

Gue seperti membeku sesaat. 

Kota itu terasa sangat familiar tapi juga terasa sangat asing. Seorang Bibi ada yang pernah tinggal di Bandung. Bekerja di rumah sebuah keluarga yang dulu sempat juga tinggal di Lombok dan pindah ke Bandung di sekitar tahun 90-an, lalu Bibi gue ini diajak untuk ikut pindah ke Bandung. Nama kota ini sudah sering disebut-sebut sejak gue kecil. Makanya gue bilang gue sangat familiar dengan kota ini. Kenapa kemudian Bandung terasa asing karena gue sama sekali nggak pernah ke sana. Walaupun gue sangat ingin ke sana. 
“Pacar gue kuliah di Bandung,” cerita salah satu teman di kampus di suatu hari kita bubaran kelas MPKT. Waktu itu kelas MPKT gue di Fakultas Psikologi, walaupun gue anak FISIP.
“Oh ya? Udah berapa lama kalian LDR?” gue berjalan di sebelah teman gue ini: perempuan berambut bergelombang panjang melebihi bahu dengan tahi lalat di bagian dagu kirinya. Ketika menulis paragraf ini, gue bisa membayangkan penampilan gue pas kuliah dulu: celana jins gombrong yang kepanjangan jadi bagian bawahnya dilipat beberapa kali dan baju garis-garis kodian dari Tanah Abang yang gue beli sebulan sebelum gue pindah ke Depok.
“Ya sejak kita sama-sama kuliah. Gue dari Padang ke Depok, dia dari Padang ke Bandung,” katanya. “Tapi gue sering ke Bandung buat nyamperin dia. Dia kadang-kadang juga ke Depok buat ketemu gue. Ya giliran lah,” katanya lagi. 
Gue nggak pernah berani bertanya bagaimana caranya ke Bandung dari Depok dan gue iri banget sama dia karena dia sudah pernah ke Bandung. Sudah sering ke Bandung. Sementara gue belum pernah sama sekali. 

Ketika gue melihat bus itu melintas di hadapan gue di Jalan Margonda, gue berkesimpulan bahwa bus itulah salah satu cara untuk menuju Bandung. 

Walaupun akhirnya sampai gue lulus dan dapat kerja gue nggak pernah sama sekali mencoba untuk pergi ke Bandung dan naik bus itu. Gue yang dulu belum berani untuk pergi jauh-jauh sendirian. Belum percaya diri untuk melakukan solo traveling. Perjalanan terjauh yang gue lakukan ketika gue tinggal di Depok adalah MEIS Ancol buat konser Super Junior di tahun 2012. Selain itu nggak pernah sama sekali. Sampai akhirnya di tahun 2013 gue kenal beberapa orang dari Bandung. Karena keberanian dan kepercayaan diri gue sudah meningkat beberapa level dari sejak awal gue pindah ke Depok, akhirnya gue pun berani untuk pergi ke Bandung sendirian. 

Waktu itu gue belum melek kereta jadi perjalanan pertama gue ke Bandung pakai travel. Agak deg-degan juga karena gue belum pernah ke Bandung sebelumnya dan ini adalah pertama kalinya gue naik travel. Gue nggak tahu sampai di sana nanti gue harus gimana. Gue hanya menerima arahan via SMS dari seorang teman. Yang membuat gue berani melawan ketakutan-ketakutan gue untuk ke Bandung sendirian. Dan sejak saat itu, Bandung selalu punya tempat spesial di hati gue. 

Karena dia. 


Ada banyak banget momen liburan akhir pekan setelah gue mulai bekerja di Jakarta Selatan di pertengahan tahun 2013 yang gue habiskan di Bandung. Gue pun akhirnya kenal dengan beberapa orang di tahun itu dan masih berteman sampai sekarang. Beberapa ada yang jadi teman dekat banget, ada juga yang—yah—semacam teman tapi tidak teman tapi teman tapi ya kok nggak kayak teman-teman banget tapi ya gitu deh pokoknya. Seringkali di circle teman kuliah yang sampai sekarang masih sering kontak-kontakan, gue dikatain karena selalu berusaha mengajak mereka untuk pergi ke Bandung di akhir pekan. 
“Ngapain sih ke Bandung terus!” kata Deasy, salah satu teman gue yang paling sarkas kalau ngomong.
“Ya seneng aja,” kata gue.
“Tapi gue bosen ke Bandung. Kayak setahun terakhir gue hampir tiap bulan ke Bandung ke rumah kakak gue. Males ah!” 
Ya tapi Deasy lupa kalau gue kan bukan dia. Gue kan nggak punya kakak di Bandung. Gue juga nggak setiap akhir bulan ke Bandung untuk mengunjungi saudara atau relasi. Jadi wajar dong kalau gue ngajak lo. Ah sebel. 

Dari sekian banyak ajakan ke Bandung gue dari tahun 2013, Deasy baru setuju buat ikut di tahun 2017. Waktu itu gue baru pindah dari kantor ketiga gue menuju ke kantor keempat dan kita segeng ramai-ramai menginap di salah satu tempat lucu di Lembang. Tapi jauh sebelum tahun 2017 itu, Bandung sudah meninggalkan kesan yang sangat mendalam buat gue. Bagaimana gue menjelaskan ini ya? 

Ada banyak sekali momen di sepanjang tahun 2014 misalnya yang berkesan dan terjadi di Bandung. Gue inget banget di tahun itu, gue kalau mampir ke Bandung pasti akan dijemput oleh Linda. Gue dan Linda sudah temenan sejak kita nonton konser Super Junior di MEIS tahun 2012 itu. Dan sejak itu, kalau gue ke Bandung dia pasti akan jemput gue di manapun kendaraan yang gue gunakan berhenti. Dia akan boncengin gue naik motor dan kita akan keliling Bandung sampai puas. Dari Tangkuban Perahu ke Kawah Putih. Dari sisi teramai pusat kota sampai pinggiran-pinggiran kota. Perjalanan-perjalanan yang entah kenapa punya arti yang lebih buat gue. Bukan hanya karena gue sedang sama Linda yang selalu mau nganterin ke mana pun gue mau pergi, tapi karena kota ini sendiri punya kekuatan magis yang membuat gue nyaman. 

Bandung sekarang macet banget di akhir pekan. Gue tahu. Gue mungkin adalah salah satu penyebab kemacetan itu karena gue kan seharusnya diem aja di Jakarta nggak usah datang ke Bandung dan membuat jalanan jadi semakin riweuh dengan ojek yang gue tumpangi. Tapi karena gue sudah sering terjebak macet di Jakarta apalagi buat gue yang pernah jadi pengguna aktif metro mini, macetnya Bandung di atas ojek semacam yaudahlahya. Bahkan meski tahun sudah berganti, teman-teman yang sebelumnya bisa diajak ke mana-mana sekarang juga sudah punya kesibukan yang lain, gue pun sudah jarang bisa bertemu dengan Linda karena kesibukannya dia juga, gue pun masih tetap menikmati momen berkunjung ke Bandung. Bedanya sekarang gue lebih suka naik kereta daripada naik travel. Tentu saja. Siapa yang mau menghabiskan waktu berjam-jam di jalan tol kalau bisa naik kereta yang sudah pasti 3 jam lebih sedikit bisa langsung sampai Bandung?

PT Kereta Api Indonesia did a very great job untuk kereta Bandung – Jakarta (pp). Apalah aku tanpa Argo Parahyangan yang kusayangi ini. Sejak pertama kali mencoba naik kereta ke Bandung, gue nggak akan pernah lagi mau naik bus atau travel dari atau menuju ke Bandung. Sebenarnya nggak cuma setelah sampai Bandungnya sih yang sangat gue tunggu-tunggu setiap kali gue melakukan perjalanan ke kota ini. Tapi perjalanan dari Jakarta dengan keretanya juga sangat gue nantikan. Buat orang yang suka melamun dan mengkhayal kayak gue, momen menyandarkan kepala di kaca jendela kereta api adalah hal yang sangat gue tunggu-tunggu untuk dilakukan di setiap perjalanan. Ya setidaknya sebelum gue menyumpal kuping gue dengan headset dan tertidur pulas sampai stasiun terakhir. 

Melihat pemandangan yang bergerak secepat kilat di luar selalu memberikan perasaan-perasaan yang berbeda di setiap perjalanannya. Pikiran-pikiran yang melayang mengingat kenangan-kenangan dengan orang-orang tertentu. Dengan dia yang aku suka tapi nggak suka aku. Merangkai skenario-skenario aneh yang kalau gue beruntung bisa jadi satu cerita pendek yang komplit atau mungkin hanya sekedar kutipan untuk ditulis di Tumblr. Pokoknya perjalanan naik kereta dari Jakarta ke Bandung atau Bandung ke Jakarta itu selalu istimewa. Dan untuk momen istimewa itu butuh perencanaan yang matang juga dari jauh-jauh hari. 

Belakangan teman jalan gue ke Bandung adalah Ais. Kita selalu senang merencanakan perjalanan ini meski idenya kadang-kadang datang secara random. Kayak misalnya ketika suatu sore kita lagi ketemuan di McDonald’s Plaza Festival dan salah satu dari kita nyeletuk “Bandung yuk!” yang lain pasti akan langsung menanggapi dengan “YUK!” tanpa ragu-ragu. Buru-buru buka aplikasi Pegipegi untuk langsung booking tiket kereta api ke Bandung supaya dapat tiket kereta yang kita mau. Biasanya gue sama Ais selalu seneng berangkat Jumat malam sepulang kerja dari Gambir menuju Bandung, dan kembali dari Bandung di hari Minggu malam setelah semua kegiatan ngumpul-ngumpul dengan teman-teman di sana selesai. 

Beli tiket pulang pergi di aplikasi Pegipegi lebih simpel karena cuma perlu beberapa kali tap aja. Buat lo yang misalnya baru instal aplikasi ini, gue sarankan untuk menyimpan data diri lo dulu secara lengkap sesuai KTP di daftar penumpang. Jadi di next booking, lo hanya tinggal nyari tujuan keretanya aja tanpa perlu repot masukin ulang nama dan nomor identitas. Setelah itu, tinggal tap-tap-tap aja sampai proses pembayaran (ya tapi jangan lupa dicek dua kali tujuannya dan jam keberangkatannya supaya nggak salah hehehe). Metode pembayarannya pun ada banyak mulai dari transfer bank, ATM, virtual account BCA (my fave!), internet banking, di minimarket kayak Alfamart dan Indomaret, atau juga kartu kredit (MY FAVE FAVE FAVE!). Setelah proses pembayaran selesai, e-ticket akan dikirim ke email yang kamu gunakan untuk mendaftar akun Pegipegi (fix banget kalian harus bikin akun dulu sebelum transaksi yaaa). Ntar di stasiun tinggal scan barcode deh buat boarding pass-nya. Simpel! Coba deh next trip kalian ke mana aja, entah ke Bandung, Cirebon, Jogja, atau Surabaya, beli tiket keretanya lewat aplikasi Pegipegi. Favorit gue banget sih. 

Gue sama Ais udah beberapa kali pergi ke Bandung bareng. Kita pernah booking penginapan yang lokasinya di Buah Batu dan jauh dari mana-mana karena saking random-nya. Di hari itu juga kita nggak bisa masuk ke kamar di penginapannya karena penunggunya enggak ada. Alhasil kita tidur di teras wisma itu dan digigitin nyamuk semalaman. Untungnya si mas-mas penunggu penginapannya merasa bersalah jadi yang harusnya kita menginap tiga malam jadi dihitung dua malam karena satu malamnya kita tidur di teras. 


Belakangan kalau pergi sama Ais, kita suka nginep di salah satu penginapan budget buat backpacker di kawasan Jalan Buton. Sejak nemu tempat ini, gue sama Ais nggak pernah lagi nyari tempat lain buat nginep kalau kita jalan-jalan ke Bandung. Nama tempatnya Buton Backpacker Lodge. Wah, tempat ini tuh perfect banget buat kalian yang mau berinteraksi dengan banyak orang asing dari berbagai negara karena tempatnya populer di kalangan backpacker luar negeri. Selain itu, kamarnya juga nyaman dan ruang tamunya pun homy dan cozy banget! Staff-nya juga ramah bahkan gue dibolehin manggil tukang pijet ke dalam kamar, di salah satu kunjungan gue ke Bandung setelah nikahan temen di Garut beberapa bulan lalu, karena nggak tahan lagi dengan badan yang pegel-pegel dan kondisi leher yang nggak bisa dipakai buat noleh ke kiri dan kanan. 

Gue sama Ais suka tempat ini juga karena dekat ke Jalan Braga. Kayak cuma sekilo jalan kaki doang dan sampai! 
“Fix banget sih kita harus nginep di sini lagi kalau ke Bandung, kak!” kata Ais di hari pertama kita nginep di Buton. “Ini tuh deket banget dari Braga!”
“Dan aku suka banget Braga sih, parah!” kata gue. 
Sesuka itu gue sama Jalan Braga, mohon maaf kalau ada yang enggak suka sama tempat ini. Hahahaha. Soalnya gue pernah cerita ke temen kantor gue yang orang Bandung, dia laki-laki dan usianya beberapa tahun lebih muda dari gue. Dia langsung bilang ke gue, “Ngapain sih ke Braga. Duh kalau gue sih, kalau temen-temen gue tahu gue main ke Braga, malu gue,” gitu. LIKE WHAT?! WHY SIH?!?!?! Butuh waktu yang agak lama buat gue mencerna kata-kata itu sampai akhirnya gue berkesimpulan “Oh mungkin ini local jokes kali ya. Gue kan turis jadi ya bodo amat,” gitu sih gue mikirnya. 




Buat sebagian warga setempat mungkin lokasi ini adalah tempat yang sangat dihindari. Gue inget salah satu officemate gue bilang, beberapa bulan yang lalu, "Malu kalo ada temen gue yang liat gue di Braga." 😂😂😂 For me that sounds like an insult. Tapi mungkin emang "becandaan" orang lokal kali ya. Since gue b̶u̶k̶a̶n̶ belum jadi orang lokal, gue masih menjadikan Braga sebagai salah satu tempat favorit. Karena gue suka ngeliat orang-orang yang mondar-mandir, ngeliatin orang pacaran, bergunjing dengan diri sendiri ketika melihat seorang bule-bule daddy dengan pacar lokalnya yang terlalu muda (muahahahaha love is love you idiot!), duduk di salah satu kafe dan tenggelam dalam pikiran-pikiran nggak penting yang sekiranya bisa dibuat jadi cerita di proyek novel-yang-tak-pernah-selesai, menyesap secangkir kopi sambil mendengarkan cerita dari geng di meja sebelah yang sedang membicarakan seseorang dari kampus. Braga is full of energy and always alive. This is our version of Hongdae. I love it. As always. #Bandung #Canon_id #canonphotography #eosm3 #Braga #BitterLatte #WalkLikeLocals #KopiTokoDjawa
A post shared by RONZZY (@ronzstagram) on

Dalam beberapa kali perjalanan naik motor sama Linda di antara tahun 2013 dan 2014 itu, gue sering banget melewati Jalan Braga. Pindah dari satu event Kpop ke event Kpop lain di tahun itu entah gimana lewat aja Jalan Braga. Tapi di tahun itu gue nggak pernah bener-bener turun dan jalan kaki untuk masuk ke satu kafe dan kafe lain di tempat ini. Baru setelah kunjungan gue ke sekian (tidak sedang sama Linda waktu itu) gue baru bener-bener mampir ke sini dan masuk ke salah satu kafe namanya Sugar Rush. I enjoyed that place so much, until I found another place: Braga Punya Cerita. Gue inget banget gue menyelesaikan beberapa posting-an blog di tempat ini di satu malam Halloween ditemani oleh pocong jadi-jadian yang mencari sekeping uang limaratusan. Di kunjungan kedua gue bareng Ais ke Bandung (di hari kita nginep di Buton pertama kali) kami langsung ke Braga tengah malam di hari Jumat itu. Wow. I still don’t understand why but I love this street so much, even after midnight. I don’t know, man. I just love it. 

Braga tuh punya vibe yang berbeda yang entah kenapa bikin nyaman. Di satu sisi mungkin memang terlalu crowded dan kadang-kadang suka nabrak-nabrak orang kalau lagi jalan. Tapi di sisi lain, there is something about this place yang bikin gue betah aja berdiri di pinggir jalan atau duduk di salah satu kursi di pinggir jalan, menyeruput es kopi susu dari kedai kopi yang ada di sekitar situ, memperhatikan pasangan-pasangan yang sedang lalu-lalang hilir-mudik, sugarbaby dan sugardaddy-nya yang terlalu tua, atau pasangan sesama jenis yang sedang hangat-hangatnya. I love watching people move. Tapi mungkin yang bikin gue jatuh cinta sampai sebegitunya sama Bandung adalah kenangan-kenangan sama orang-orang yang pernah berinteraksi sama gue di kota ini sih. 

Sama kamu, kalau kamu baca. 

--- 

“Kemana weekend ini?” nyokap menelepon di satu Jumat malam setelah jam kerja selesai.
“Nggak kemana-mana, paling di kosan,” kata gue sambil menyeruput kopi dari mug hitam punya kantor.
“Tumben, biasanya ke Bandung?” kata nyokap lagi.
Senyum mengembang di bibir gue. Dia tahu gue banget.
“Hehe, sekarang enggak dulu,” gue jawab sambil senyum-senyum.
“Kamu tuh lebih sering pulang ke Bandung daripada ke Lombok. Kenapa sih? Ada yang disuka di sana?”
Gue senyum lagi.
Dia tahu gue banget. 
--- 

Dan setiap kali gue akan kembali ke Jakarta dari Bandung, gue selalu merasa ada sesuatu yang berat di dada kiri gue. Sesuatu yang seperti menahan gue untuk tidak pergi dari kota ini. Sesuatu yang seperti memaksa gue untuk tinggal lebih lama. Sesuatu yang entah apa, gue masih belum bisa menjelaskan dan menemukan jawabannya. Tapi nggak apa-apa, sampai jawabannya itu gue temukan nanti, gue akan menikmati perasaan berat meninggalkan Bandung ini. Supaya gue bisa selalu kembali lagi.


Share:

0 komentar