Sakit Sendiri


Meski agak enggan untuk mengakuinya karena takut akan terdengar cengeng dan drama, tapi gue harus terus terang kalau beberapa bulan terakhir ini memang hidup rasanya menghantam gue dengan terlalu keras. Tentu saja ini nggak berkaitan dengan kutukan Jaehyun yang waktu itu, walaupun gue masih yakin kalau ya sedikit banyak ada hubungannya sama itu (ya ini mah halu total mohon maaf) (WKWKWKWKWKWKWK), tapi gue harus bilang sekali lagi kalau real life is hard. So damn hard. Apalagi kalau lo sedang sakit. 

Jujur aja gue nggak tahu ada apa dengan tubuh gue selama berbulan-bulan sejak, ya, dikutuk Jaehyun itu. WKWKWKWK. Di satu sisi tahun ini rasanya berjalan sangat cepat sampai tiba-tiba udah pertengahan Desember aja. Di sisi lain juga sangat lambat karena gue menghabiskan sebagian besar paruh kedua 2019 dengan slow-motion. Ya, literally slow-motion. Badan gue sedang tidak sama sekali ada dalam kondisi yang sehat walafiat seperti yang gue harapkan membuat pergerakan gue lamban banget kayak siput jompo. Ini adalah tahun terburuk untuk kesehatan gue. 

Gue sakit. Tapi sayangnya sejak pertama kali gue merasa sakitnya ini sudah terlalu mengganggu, gue nggak tahu dengan persis gue sakit apa. Di blogpost sebelumnya gue bilang kalau gue kena muscle spasm, berdasarkan diagnosa dokter rehab medik yang gue datangi kala itu. Tapi kemudian rasa sakit gue berkembang jadi sakit-sakit yang mulai aneh. Mulai nggak jelas dan mulai random datangnya dari mana. Satu hari gue bisa bangun dengan kondisi punggung yang sangat berat kayak sedang memikul Saturnus. Satu hari gue bisa tidur dengan badan yang supersakit dan nggak bisa menemukan posisi yang nyaman; enggak menghadap ke kiri, enggak menghadap ke kanan, nggak juga terlentang. Semua posisi rasanya salah dan semua posisi rasanya sakit. Pada akhirnya gue nggak pernah bisa tidur. Jangankan nyenyak, tidur pun susah. Satu hari gue bisa merasa demam nggak karuan yang datangnya bener-bener random. Entah karena AC kantor yang terlalu dingin atau karena badan gue yang memang sedang tidak bisa mentoleransi perubahan suhu sekecil apapun. 

Satu hari gue mendadak bangun dengan kondisi badan yang payah. Pundak gue rasanya seperti berat sebelah. Dada gue sakit banget yang bikin gue setiap kali berusaha berdiri tegak seperti sedang menahan beban yang sangat berat. Alhasil selama beberapa hari gue jalan bungkuk. Nggak cuma bungkuk tapi juga miring ke kiri. Gue bisa merasakannya karena memang agak aneh kalau sedang jalan. Orang-orang pun bisa dengan jelas melihatnya. Penegasan juga datang dari beberapa temen kantor yang ngeliat gue dengan postur aneh itu. 

“Kenapa kok badan lo miring?” 

Jawabannya selalu sama. 

“Gue nggak tahu.” 

Ini terjadi setelah beberapa fisioterapi yang gue lakukan di rumah dan juga urut tradisional yang sempat gue lakukan waktu pulang kampung beberapa waktu yang lalu. Sebenarnya persis seminggu setelah itu. Gue kira setelah beberapa kali fisioterapi itu badan gue yang awalnya memang sudah sakit-sakit akan lebih baik. Ternyata sekembalinya ke Jakarta malah jadi makin parah. 

Di satu hari Kamis gue terbangun dengan kondisi mengkhawatirkan. Badan gue miring ke kiri dan bungkuk, punggung gue sakit banget, gerak gue pelan-pelan karena setiap langkah rasanya seperti berjalan di atas batu kerikil yang tajam-tajam. Hari itu gue bertekad untuk datang ke sebuah klinik fisioterapi di kawasan Kebayoran Baru yang gue dapat informasinya dari internet. Gue bangun cukup pagi dan mengambil risiko untuk naik motor ke sana dengan segala sisa tenaga dan kekuatan yang gue punya. Untungnya jalur ke tempat itu melawan arus kemacetan jadi gue bisa sampai di sana nggak terlalu lama dari sejak gue meninggalkan kosan. Tapi sayangnya gue harus kecewa. 

Dalam kondisi badan gue yang bahkan naik motor aja susah (tapi gue memaksakan diri untuk naik motor), gue masuk ke resepsionis dan bertanya apakah gue bisa diterapi saat itu juga. Tapi kata resepsionisnya di klinik ini harus bikin janji dulu. Oke gue memang agak bego sih. Maksudnya ketika gue riset gue nggak baca bagian harus bikin janji itu. Akhirnya gue terima kalau gue akan gagal terapi pagi itu dan berpikir gimana caranya gue bisa sampai kantor dengan selamat. Karena jujur aja pagi itu rasa sakitnya lebih sakit dari ketika gue menyatakan perasaan gue ke orang yang gue suka dan dia nolak langsung di depan gue. Kalikan rasa sakit itu dengan angka 1000. 

Setelah ditolak sama resepsionis klinik, gue berjalan pelan ke sofa dan berniat buat duduk sebentar sebelum cabut dari tempat itu. Bahkan untuk ukuran gerakan sederhana: berjalan dua langkah, pindah posisi dari berdiri ke duduk; hari itu susah banget. Mbak resepsionisnya notice itu karena gue sempat meringis pelan ketika sedang berusaha menyandarkan punggung gue ke sofa. 

Ya Tuhan gue sudah jompo. 

“Sakit banget ya mas? Kayaknya saya lihat jalannya susah dan duduknya juga pelan-pelan,” katanya. 

“Iya mbak,” gue berusaha senyum tapi mungkin kelihatannya lebih ke memohon supaya minta ditindak segera. 

“Saya coba cek jadwalnya dulu ya mas siapa tahu ada yang batal jadi mas bisa masuk ke slot yang batal pagi ini,” dia menawarkan. 

“JUSEYO. GOMAWO.” 

Nggak, gue nggak beneran bilang gitu. Tapi gue beneran senyum dan berterima kasih. 

Meski sayangnya nggak ada pasien yang cancel dan gue tetap nggak bisa diterapi pagi itu. Sambil menguatkan hati, mental, pikiran, serta kaki dan tangan gue kembali ke Daniel—motor gue—dan menarik napas dalam-dalam sambil menahan air mata dan bicara dalam hati: "Oke Ron, lo harus kuat. Lo bisa. Lo kuat." lalu merogoh ke dalam kantong kecil di bagian depan tas gue, mengeluarkan pil anti-sakit yang gue beli di Alfamart, lalu menelannya bersama seteguk air putih yang gue bawa dari kosan. 

Hari itu adalah hari terburuk gue. 

Gue beneran nangis sambil nelen itu obat dan ngegas motor gue lewat jalur yang benar-benar berbeda dari biasanya. Hari itu untuk pertama kalinya gue ke kantor lewat Jalan Sudirman. Sepanjang jalan nyanyi kenceng-kenceng sambil nahan sakit, air mata udah bececer, sambil menunggu obat pereda nyeri itu bekerja.

 
Beberapa minggu setelah itu gue akhirnya menemukan tempat fisioterapi yang lebih dekat kantor. Nggak bisa dibilang murah juga biayanya tapi cukup memuaskan. Gue akhirnya diterapi dan merasa baikan untuk beberapa keluhan. Gue sudah mulai bisa tidur dengan nyaman, bangun dengan nyaman, gue sudah mulai bisa menggerakkan beberapa bagian tubuh dengan nyaman juga. Tapi rasa sakitnya masih ada. Masih terasa dan masih sakit. Gue sudah lupa bagaimana rasanya tidur nyenyak, jujur aja, karena setiap kali gue tidur gue masih merasa seperti diinjak Hagrid persis di bagian dada dan punggung. Gue bersyukur masih bisa bernapas. 

Karena belakangan ketika gue terapi gue kembali merasa demam, muncul kecurigaan kalau gue mungkin sakit yang lain. Kecurigaan yang kemudian membawa gue untuk mulai periksa ke dokter lagi. 

“Mungkin gejala tipes. Kita kan nggak tahu,” kata nyokap. 

As soon as dia bilang gitu, badan gue langsung bereaksi aneh. Takut kalau tipes beneran. Gimana kalau beneran? Malam itu gue makan langsung nggak enak meski gue berusaha cari makanan ternyaman yang bisa gue temukan untuk setidaknya membuat badan gue merasa enakan. Gue beli susu beruang dan larutan penyegar untuk setidaknya mengembalikan kondisi tubuh gue yang lagi nggak enak jadi lebih enak sedikit. Besok paginya gue ke dokter penyakit dalam. 

Ketika gue menjelaskan kronologi penyakit gue, dokternya tidak memberikan penjelasan terlalu panjang soal itu. Atau soal bagaimana diagnosa sebelumnya mempengaruhi kondisi gue yang demam-demam belakangan ini. Dari situ gue diminta untuk cek darah dan ronsen, lalu diberi obat anti-radang, anti-nyeri, dan vitamin B kompleks. Di kunjungan berikutnya, dengan dokter yang berbeda, gue sudah membawa hasil cek darah dan hasil ronsesnnya. Sadly, dokternya nggak membahas apapun dari hasil cek darah gue. Bahkan hasil ronsennya juga dicuekin. For the record, nggak ada abnormality di keduanya. Paru-paru gue aman, jantung gue aman, darah gue juga aman. Tapi di kunjungan kedua gue ke dokter ini muncul kecurigaan baru: kemungkinan tulang gue ada yang geser. 

Kaget dong. 

Akhirnya gue dirujuk ke rehab medik di rumah sakit yang sama. 

Here’s the thing I hate: lo akan menghabiskan waktu berjam-jam antre di rehab medik.

Lo nggak akan bisa dapat tindakan secepat yang lo harapkan kecuali lo datang jam setengah lima subuh untuk ambil nomor antrean. 

Gue tahu gue sakit dan gue tahu gue mau sembuh tapi gue juga nggak akan bisa bangun jam setengah lima subuh buat ke rumah sakit untuk dapat nomor antrean dan menunggu loket buka jam tujuh pagi buat pendaftaran lalu nungguin lagi dokternya dateng di jam delapan belum lagi gue harus nunggu giliran buat dipanggil dan ditindak dan bla bla bla bla bla. 

But I have no choice. 

Suatu hari gue berniat buat sembuh dan gue datang bener-bener pagi. But shit happened. Gue belum dipanggil juga sampai jam 10 dan itupun setelah gue bilang ke perawatnya kalau “Saya nggak jadi deh mbak, saya mau ambil berkas saya soalnya butuh buat reimburse kantor.” 

Terus kata perawatnya, “Oh atas nama Ibu Atmi ya?” 

“SAYA COWOK. SAYA BUKAN IBU-IBU.” 

“Oh iya maaf, Bapak Atmi ya? Ini sebenarnya saya baru mau panggil sih,” 

Gue tarik napas dalam. Gue udah mau marah beneran deh. Mungkin sebenarnya udah marah. Entahlah. 

“Ya kalau gitu saya bisa nggak nunggu di dalem aja?” 

Semuanya kelihatan bingung karena sebenarnya gue tahu itu gue belom mau dipanggil. Cuma karena gue bilang gue mau cabut aja makanya dibilang namanya mau dipanggil. Karena, coba tebak, jam berapa gue akhirnya ditindak? JAM 11:30. Jadi dari gue berusaha buat ambil berkas terus gak jadi karena katanya nama gue mau dipanggil sampai akhirnya gue ketemu dokternya itu gue masih nunggu satu setengah jam lagi. 

Ok. Baik. Gue tahu ini rumah sakit umum. Bukan cuma lo yang sakit, Ron. Gausah bacot. 

Iya oke. 

Lalu ketika gue ketemu dokternya: 

“Lho, laki-laki ya? Saya kira perempuan. Soalnya ada temen saya namanya At---“ 

“UDAH GAUSAH BANYAK BASA BASI DOK. BADAN SAYA SAKIT.” 

Dari awal gue udah nggak suka sama dokter ini karena sok asik. Asli. Entah gue yang terlalu sensi hari itu atau gimana tapi gue nggak suka sama dokter ini. 

Kembali lagi gue harus menjelaskan kondisi badan gue ke dia dari awal sampai akhirnya gue harus berhadapan dengan dia. Lalu dia mulai ceramah soal bagaimana seharusnya posisi duduk supaya nggak sakit dan sebagainya. Dan ketika dia sudah masuk ke tindakan fisioterapinya, dia nawarin tindakan yang sudah pernah gue lakukan beberapa kali di tempat terapi yang sebelumnya. 

“Ada tindakan yang lain nggak ya? Soalnya saya sudah berminggu-minggu diterapi itu tapi nggak ada perubahan.” kata gue masih agak sensi. 

Di situ gue merasa memang gue agak belagu sih. Ya kan yang namanya fisioterapi hasilnya nggak instan. Tapi jujur gue merasa badan gue sakit banget dan kalau ada tindakan fisioterapi lain yang mungkin bisa membantu, mendingan gue ambil opsi itu. Toh kalau gue harus di fisioterapi dengan cara yang sama seperti sebelumnya gue nggak perlu ke rumah sakit ini dan buang-buang waktu dari subuh cuma buat nunggu nomor antrean. 

“Oh gitu. Yaudah, kamu takut jarum nggak?” 

“Nggak tahu. Udah lama nggak berurusan sama jarum jadi saya nggak tahu,” kata gue. 

“Kita ada dry needle kalau kamu mau. Jadi ditusuk di titik otot kakunya,” kata dia. 

“Kayak akupuntur?” 

“Ya, tapi beda,” kata dia lagi. 

“Ya intinya saya mau sembuh. Kalau ini bisa bikin saya sembuh yaudah. Gak terlalu masalah kalau sakit. Paling saya akan teriak-teriak,” kata gue. 

Dan ya, hari itu 12 jarum masuk ke otot gue di area punggung. 

Dan ya, efeknya memang bikin agak baikan selama beberapa minggu. Sampai akhirnya konser EXO yang laknat itu. 

Gue nggak tahu kenapa tapi setelah konser selesai, rusuk gue sakit banget di bagian kiri. Sakitnya kayak abis kena tonjok gitu. Beneran sakit banget dan tiba-tiba banget. Karena sebelum itu, gue minum anti-nyeri dan ampuh. Tapi setelah itu gue minum obat yang sama, nggak membantu sama sekali. Nyerah. Abis konser gue langsung tidur karena gue rasa itu adalah satu-satunya waktu gue buat tidur since gue harus balik ke Jakarta dini hari (gue nginep di BSD anyway) untuk ngejar kereta ke Bandung karena ada temen deket yang nikahan. 

Gue capek banget. Badan gue sakit banget. 

Sampai di sini mungkin ya gue memang nggak memperhatikan badan gue. Gue mungkin memang memforsir badan gue untuk bekerja dan beraktivitas. Padahal harusnya gue istirahat dan tidur. Tapi gue bandel dan bertahan dengan obat anti-nyeri selama beberapa hari setelah itu, terutama ketika perjalanan ke Malaysia-Singapura seminggu setelah konser. Di sinilah semuanya memburuk. Benar-benar memburuk. 

Di titik ini gue bahkan baru sadar kalau gue belum dapat diagnosa apapun dari sakit gue ini. Kunjungan terakhir gue ke dokter rehab medik yang nyebelin itu nggak memberikan diagnosa baru tapi stick to the previous one I got from my doctor in Lombok. And things got worsen. 

Satu pagi gue bangun dengan keseimbangan yang kacau. Badan gue mendadak oleng. Gue bisa berdiri tapi gue nggak bisa merasakan kaki gue sendiri. Di situ gue baru sadar kalau beberapa bagian tubuh gue mati rasa. Ketika gue cubit bagian kaki, perut, dada, nggak kerasa apa-apa. Kebas semua. 

Sebentar lagi gue mati deh kayaknya ini. 

Hal pertama yang gue lakukan adalah googling, tentu saja, seperti masyarakat zaman now. Dan ketika lo googling, lo akan menemukan banyak sekali hal mengerikan soal “beberapa bagian tubuh mati rasa” mulai dari diabetes, pengaruh obat, sampai kekurangan vitamin B12. Karena gue percaya gue nggak punya riwayat diabetes, maka dengan penuh harap dan kebodohan yang teramat sangat gue meyakini diri gue kalau ini hanyalah pengaruh obat anti-nyeri yang gue minum belakangan ini dan memang karena gue kekurangan vitamin B12. 

Jadi gue berhenti minum obat. Dan itu berarti sakit berkepanjangan. Gue minum vitamin B kompleks buat membantu menghilangkan sensasi kebas yang gue rasain itu. Tapi itu nggak membantu menghilangkan rasa sakitnya sama sekali. Dada gue sakit banget terutama di bagian rusuk kiri itu dan gue balik lagi jalannya bungkuk dan miring ke kiri. Gue harus ke dokter lagi. Tapi kali ini harus beda. 

Sabtu pagi gue bangun pagi dan pesan ojek buat dianterin ke salah satu rumah sakit di kawasan Semanggi untuk di-akupuntur. Berharap kalau ini akan memberikan efek sembuh. Meski gue sama sekali nggak tahu apakah beneran ada efeknya atau enggak. 

Ternyata enggak. 

Ya baik. Jadi gue harus kembali ke rumah sakit yang kemarin, ketemu dokter menyebalkan itu, dan melanjutkan proses melelahkan menunggu antrean dengan sisa tenaga yang gue punya. Terakhir gue ke sana, gue lupa bilang di atas, gue diminta untuk ronsen leher. Nah ini sih yang nyebelin. Jadi kan sebelumnya pas ke spesialis penyakit dalam gue disuruh ronsen badan, pas gue bawa ke dokter rehab medik yang nyebelin itu, tahu nggak komentarnya apa? 

“Kok ronsennya yang kayak gini sih? Harusnya nggak yang kayak gini. Harusnya ronsen leher!” dengan nada yang bener-bener nggak enak. Nyalahin. 

Wah gue rasanya pengen teriak deh. Ya gue bilang aja “YA MANA SAYA TAHU ITU KAN RUJUKAN DARI DOKTER SEBELUMNYA.” 

NYET KENAPA JUGA NADA NGASIH TAHU LU KAYAK GITU YA GUE KAN CUMA NGIKUTIN KATA DOKTER SPESIALIS YANG PERIKSA GUE SEBELUM LU. 

Ya akhirnya dia nyuruh gue ronsen leher dan hasil ronsen leher itulah yang harus gue ambil sebelum gue periksa lagi ke dia. Di situ juga gue jelasin kondisi terakhir gue yang soal mati rasa itu. Di situ juga dia bilang: 

“Ronsen lagi ya, kali ini thorax. Saya curiga kamu kena TB tulang.” 

Harapan sembuh gue dari 100% langsung jeblok ke 0%. TB FCKING TULANG. KENA TB AJA UDAH WOW MASYA ALLAH. APALAGI TB TULANG. 

Selama ditusuk 12 jarum lagi hari itu, gue googling soal TB tulang dan ya gue sudah siap mati abis ini. Gue udah capek. Gue udah nggak tahan lagi dan gue udah nggak ada semangat buat ngapa-ngapain lagi. Tapi, seriously? TB Tulang? 

Yang gue baca soal TB in general, soal penularannya, adalah kalau berinteraksi dengan mereka yang juga sakit TB dan bakterinya berpindah kalau misalnya kena batuk atau bersin dari orang yang bersangkutan. 

SHIT. 

Pikiran gue udah melayang ke mana-mana. Artikel yang gue baca bikin gue makin parno. Hari itu, beneran, gue nggak mau lagi rasanya mikir atau bahkan sekedar berkomunikasi dengan siapapun. Badan gue masih sakit. Bahkan rasanya makin sakit dari sebelumnya. Sedikit aja getaran bikin nyeri. Melangkah pun rasanya gue nggak sanggup. Sumpah ini mungkin terdengar sangat berlebihan ya tapi gue pernah ada di satu hari di mana setiap kali gue melangkah, sekujur tubuh gue langsung ngilu. Setiap kali gue batuk, sekujur tubuh gue kesemutan. 

Gue bingung banget hari itu rasanya mau nangis. Dan gue beneran nangis di atas ojek. Tapi gue nangis bukan karena sakit yang gue rasain, bukan karena there seems to be no hope, bukan karena keparnoan akan penyakit parah lain yang mungkin gue idap since gue belum dikasih diagnosa baru, tapi gue nangis setelah gue bilang ke diri gue sendiri:

“Makasih, Ron, lo udah kuat sampai hari ini. Makasih, Ron, meski lo menjalani semuanya sendirian, lo masih bisa bertahan sampai hari ini.” 

Gue izin nggak masuk kantor dan gue balik ke kosan langsung tidur sampai sore, bangun, tidur lagi sampai malem, bangun, tidur lagi sampai besok paginya. 


Blogspost ini gue tulis setelah gue minum segelas kopi dari FamilyMart yang bikin gue nggak bisa tidur, di apartemen temen gue setelah kami nonton film horor Thailand jadul, 4Bia, yang gue suka banget. Ketika gue menulis ini gue sudah baikan. Gue nggak pernah merasa sesehat ini selama sebulan terakhir. Alhamdulillah. 

Beberapa jam sebelumnya gue pergi ke dokter yang berbeda lagi. Kali ini dokter spesialis syaraf dan disitulah gue seperti mendapatkan secercah cahaya soal penyakit gue ini. Ini bukan lagi tentang muscle spasm, ini bukan lagi soal that fucking TB tulang (WTF I STILL HATE THAT MOMENT WHEN I THINK ABOUT I MIGHT HAVING THIS), tapi ini fix banget syaraf kejepit. 

Gue nggak tahu kenapa dari awal gue nggak kepikiran buat langsung aja ke dokter syaraf padahal kata-kata “syaraf kejepit” ini sudah muncul sejak gue di Lombok. Gue yang bego sih sebenarnya tapi... yah... sudah kejadian kan ya. Yang pasti ketika gue ke dokter spesialis syaraf kemaren gue merasa kayak “Ya, ini dia yang gue cari, diagnosa ini yang gue tunggu!” gitu. Semacem ada kelegaan. Gue berani bilang begitu karena dokternya ngasih bukti lewat tes pakai mesin setrum gitu. It’s not a pleasant experience tho. Dan ketika gue menjelaskan soal kebas-kebas yang gue rasakan dia langsung nyambung. 

“Rasanya kayak oleng?” kata dia. 

And I was like, “YEAH! EXACTLY!” 

HUHUHUHU AKHIRNYA ADA DOKTER YANG NGGAK SOK ASIK DAN MENGERTI GUE. 

Dia lalu megang pundak gue kiri kanan dan menemukan adanya satu titik abnormal di bagian kiri. Memang agak sakit kalau ditekan karena “ini dia penjahatnya” katanya. Lalu gue diminta buat berdiri merapatkan kaki dan menutup mata dan tiba-tiba aja gue oleng ke kiri. Sebagai konfirmasi bahwa memang ada yang salah dengan bagian itu. Abis itu baru dites dengan alat setrum itu. Di situ kelihatan kalau respons syaraf gue di beberapa titik memang tidak normal. Tapi good news-nya, kalau kata dia, sejauh ini nggak parah. Jadi dia hanya memberikan resep obat minum saja dan menyarankan gue untuk memperbaiki beberapa hal terutama posisi leher ketika bekerja karena syaraf kejepit gue ini posisinya dekat banget leher.

I feel better. Setidaknya lebih baik dari dua bulan terakhir.

Bukan cuma karena obatnya. Mungkin karena akhirnya gue tahu gue kenapa dan gue tahu gue sakit apa. Dari situ gue akhirnya bisa tahu gue harus melakukan apa. Nggak digantung dengan hasil ronsen yang nggak ada guna dan kemungkinan-kemungkinan yang lebih menyeramkan. 

“Mau dironsen berapa kali juga nggak akan keliatan mas kalau ini. Kenapa selama ini nggak baikan karena mas datangnya ke dokter yang salah,” kata dia. Maksudnya bukan dokternya yang salah, tapi guenya yang salah pilih poli. Ya harusnya gue ke poli syaraf, bukan ke poli yang dokternya sok asik itu. Sebel gue. 

Semoga abis ini gue lebih baik. Semoga abis ini gue sembuh. Semoga abis ini gue nggak sakit lagi. Beberapa bulan ini gue lupa bagaimana rasanya tidur enak. Udah nggak tahu lagi bagaimana rasanya bergerak dengan nyaman. Gue kangen joget di karaoke. Gue kangen jadi orang yang ekspresif. Gue kangen diri gue yang dulu. 

Gue kangen sehat atau at least baik-baik saja. 

Karena sakit itu nggak enak. Apalagi kalau sakit sendiri.


Share:

0 komentar