Stuck

Ada nggak sih orang yang mau hidupnya mentok di satu titik dan nggak bergerak sama sekali? Pertanyaan ini muncul di kepala gue dalam manuver singkat dari tempat tidur menuju ke kamar mandi di suatu malam. Gerakan yang kemudian dilanjutkan dengan sebuah monolog yang harusnya tetap di kepala gue aja tapi ternyata keterusan sampai ke mulut.

“Nggak ada kali yang mau kayak gitu,” kata gue pas lagi cuci tangan. Belakangan ini gue lagi rajin banget cuci tangan pakai sabun karena takut kena virus corona.

Sebagai orang yang sehari-harinya menulis dan mendapatkan uang dari situ, stuck adalah salah satu hal haram yang rasanya amit-amit banget kejadian. Kayak pengin ngetok-ngetok meja berkali-kali, lanjut ngetok-ngetok jidat berkali-kali supaya dijauhkan dari kutukan bernama stuck. Mereka yang menulis menyebutnya Writer’s Block dan itu terjadi pada semua penulis mau dia baru mulai atau dia sudah senior. Bedanya mungkin mereka yang sudah senior bisa lebih tahu bagaimana cara menyikapi hal ini sementara yang penulis pemula akan sangat panik dan merasa diri mereka gagal karena tidak produktif.

Gue adalah yang kedua.

Ya mungkin nggak sampai ke titik di mana gue menyebut diri gue gagal atau melihat kondisi mentok ini sebagai sebuah kegagalan. Tapi ada rasa nggak enak, menyesal, dan jijik sama diri sendiri ketika sadar bahwa di satu hari Sabtu misalnya gue habiskan dengan tidur aja dan tidak produktif sama sekali. Memang ada kalanya di akhir pekan gue akan sangat semangat menulis di blog. Sekedar menuangkan pikiran soal drama Korea yang sedang gue tonton atau review MV Kpop baru yang menyita perhatian gue. Tapi seperti yang kalian lihat di blog gue belakangan ini: kosong melompong.

I’m stuck.

Biasanya dalam kondisi seperti ini gue akan keluar dan cari satu tempat nyaman untuk duduk, menikmati keramaian dalam kesendirian, menyeruput segarnya Fruit Tea di McDonald’s sambil nge-judge dalam hati orang-orang yang ninggalin bekas makannya di meja padahal duduknya deket tong sampah. Walaupun kegiatan ini nggak serta-merta mengembalikan ide-ide untuk segera menulis dan produktif, tapi keluar dari kekangan dinding kamar bisa sangat refreshing.

Sekarang kondisinya gue belum bisa seleluasa itu untuk keluar-keluar dan nongkrong seperti dulu. Setelah operasi kemaren badan gue belum 100% kembali ke kondisi sebelum sakit dan sekarang duduk kelamaan bisa bikin gue pegel-pegel sampai keluar air mata. Jadilah belakangan ini gue lebih banyak menghabiskan waktu akhir pekan di kasur. Walaupun sekali lagi that doesn’t make me feel so good.

Gue menghitung satu sampai duapuluh sambil menggosok-gosok sela-sela jari, punggung tangan, ujung-ujung kuku, untuk memastikan semua bagian tangan gue bersih. Lalu otak gue mulai mencari pembenaran.

“Nggak tahu, Ron. Sebenarnya lo nggak stuck dan bukannya nggak produktif. Buktinya lo tetep nulis buat kerjaan. Lo juga masih sering nulis lirik-lirik lagu cheesy itu kan? Itu salah satu bentuk produktivitas, tauk!”

Gue menutup keran sambil menghela napas panjang. Mau bilang “bener juga sih” tapi rasanya kok kayak gimana gitu. Tapi kalau nggak setuju dengan konsep bahwa pencapaian kecil sehari-hari kayak gitu juga termasuk produktif, kesannya kok kayak gue terlalu ambisius banget sih.

Gue ketawa pelan. Lucu aja bagaimana gue bisa berantem sama diri sendiri hanya dalam kurang lebih dua menit pergerakan dari kasur ke wastafel. Kadang memang pikiran-pikiran kayak gini bisa banget bikin kepercayaan diri gue jatoh. Gue mengakui kalau gue orangnya suka berpikir berlebihan terhadap sesuatu atau apa yang orang-orang sebut dengan overthinking.

Apakah cuma gue doang atau semua orang bergolongan darah B dan berzodiak Taurus kebanyakan kayak gitu? Soalnya ada temen gue yang sama-sama berzodiak Taurus dan bergolongan darah B juga kayak gitu. Tapi untuk level berlebihannya gue nggak bisa compare sama gue sih cuma kadang-kadang nyebelin juga kalau denger dia menceritakan soal ketakutan-ketakutannya. Mendengarkan cerita orang yang overthinking dalam kondisi yang gue sendiri juga adalah orang yang overthinking kadang-kadang bikin gemes sendiri gitu lho.

“Ngapain sih mikir kejauhan! Kan belom kejadian!”

Selalu bisa deh gue bilang gitu ke orang. Padahal gue juga kadang-kadang kayak gitu! Pada akhirnya sekarang gue pun selalu bilang gitu ke diri gue sendiri.

Beberapa waktu yang lalu gue sempat ketemu sama dr. Jiemi Adrian dan in that short meeting gue belajar satu hal tentang overthinking bahwa “realita itu saat adalah saat ini” dan “pikiran itu bukan realita”. Selain overthinking gue juga orangnya gampang banget terpengaruh sama sesuatu yang ngena banget sama kondisi gue atau sesuai dengan nilai-nilai yang gue anut (HALAH). Sekarang kata-kata dari dr. Jiemi itu adalah mantra gue setiap kali pikiran-pikiran halu atau aneh muncul di kepala gue dan setiap kali pertanyaan yang diawali dengan “what if...?” menguasai otak gue.

It works really well, tho. 
(Intermezzo: Gue sebenarnya seneng ber-what if ria meski kadang nggak sehat, kayak misalnya mikir gimana jadinya kalau gue sama dia pacaran, terus setiap hari kita tuker-tukeran chat, terus gue akan merasa sangat bosan karena ada kalanya gue malas balas chat, terus dia nanti kesel karena gue nggak balas chat, terus dia marah, terus gue bingung kenapa dia marah, terus gue nggak berani minta penjelasan takut dia makin marah, terus dia beneran makin marah karena gue kok nggak nanya kenapa dia kesel dan marah, terus gue makin yakin gue nggak diciptakan untuk jadi pacar siapapun karena bahkan hal kecil kayak gini aja bikin gue takut untuk berkomitmen).
Ketika kita sudah bisa membedakan dengan jelas mana sesuatu yang realita dan mana sesuatu yang hanya terjadi di dalam pikiran kita, ketakutan-ketakutan akan sesuatu yang tidak nyata dan belum tentu terjadi itu berkurang dan somehow bikin kita jadi nggak ragu-ragu buat melakukan sesuatu. Dan mantra ini sangat versatile buat semua sisi hidup.

Contoh sederhana misalnya gue adalah orang yang paling gampang kepikiran dengan bagaimana orang membalas pesan teks yang gue kirim. Kita bisa mengartikan sebuah kata dengan cara berbeda di chat. Satu emoji bisa berarti macam-macam di kepala kita padahal maksud yang ngirim ya cuma senyum (kalau yang dikirim emoji senyum). Satu kata “Huft.” Yang dikirim orang bisa kita artikan sebagai “wah dia marah nih” atau “wah kayaknya nggak boleh nih” padahal mungkin sebenarnya maksud dia nggak gitu. Begitu juga dengan kata-kata manis dari orang yang kita taksir.

GOD DAMN IT!

BISA NGGAK SIH ORANG NGGAK USAH NGASIH HARAPAN DENGAN KIRIM CHAT KAYAK GITU?!

Padahal dia nggak ngasih harapan. Dia cuma menulis dengan budi pekerti yang baik. Lo-nya aja yang mikir kejauhan.

Spekulasi-spekulasi soal makna sebuah kata dalam chat yang sering muncul di kepala gue mulai berkurang setelah gue merapalkan mantra “realita tidak sama dengan pikiran” itu.

Gue keluar dari kamar mandi dengan langkah yang masih goyang. Sekarang cara berjalan gue jauh lebih baik dari dua minggu yang lalu. Walaupun ada beberapa titik di punggung gue yang masih mati rasa, bahu gue masih sakit, perut gue masih terasa seperti mengganjal, dan otot kaki gue masih belum pulih seratus persen; tapi gue merasa lebih baik dari dua minggu yang lalu.

Dalam perjalanan kembali ke tempat tidur kepala gue dipenuhi dengan kata-kata “stuck” dan “writer’s block” dan “sampai kapan mau tidak produktif?”. Dalam pikiran gue, gue sudah melakukan banyak hal mulai dari bikin Podcast, Vlog, atau menulis serangkaian cerita masuk rumah sakit. Tapi itu bukan realita. Lalu gue membuka laptop dan mencoba menulis sedikit kata-kata di halaman kosong Microsoft Word yang sudah lama banget rasanya nggak pernah gue buka.
“Ada nggak sih orang yang mau hidupnya mentok di satu titik dan nggak bergerak sama sekali? Pertanyaan ini muncul di kepala gue dalam manuver singkat dari tempat tidur menuju ke kamar mandi di suatu malam. Gerakan yang kemudian dilanjutkan dengan sebuah monolog yang harusnya tetap di kepala gue aja tapi ternyata keterusan sampai ke mulut.”
Sebelum gue sampai di bagian akhir tulisan yang gue tahu nggak akan terlalu panjang itu, kalimat terakhirnya sudah melayang-layang di sisi kanan kepala gue. Harus segera gue tulis sebelum bertumpuk dengan kalimat-kalimat lainnya:

Gue harap ada mantra untuk menghilangkan stuck dan writer’s block.

Depulso! 
Cover photo credit: @padrinan

Share:

0 komentar