Pause


Ada yang bilang semakin kita dewasa semakin kita akan mengerti segala sesuatu tentang hidup.

Betul sekali. Kita mungkin nggak pernah benar-benar sadar bahwa setiap hari yang kita lalui membentuk kita jadi sosok diri kita yang sekarang. Diri lo 10 tahun yang lalu mungkin nggak akan pernah menyangka akan jadi lo yang sekarang. Diri lo yang sekarang bahkan mungkin masih nggak percaya dengan bagaimana hidup bisa membawa lo jadi diri lo yang sekarang.

Ada satu sisi dalam diri gue yang takut banget sama dunia luar. Belakangan sisi ini sedang berkecamuk dan menguasai diri gue banget. Kalau sudah begitu, semua hal rasanya salah. Karena sisi ini berisi kekhawatiran-kekhawatiran dan segala skenario yang sebenarnya nggak pernah terjadi dan hanya ada di dalam kepala gue. Nggak jarang sisi ini bikin gue bad mood seharian atau nangis seharian. Atau kalau nggak seharian kadang bisa tiba-tiba nangis pas lagi duduk dengan pikiran yang melayang. Ini semacam Dementor dalam diri lo yang nggak ada faedahnya sama sekali. Tapi susah untuk meng-Expecto Patronum-nya di saat lo sendiri nggak punya cukup energi positif buat melakukannya.

Susah untuk mempertahankan pikiran positif belakangan ini. Gue sedang berada dalam posisi di mana semua hal terjadi di saat yang sama dan gue harus memikirkan semuanya secara bersamaan. Kadang gue merasa kepala gue mau pecah. Pusing sekali sampai-sampai gue nggak ingin berpikir dulu sejenak. Rasanya seperti ada yang memburu dan terus menerus mengejar. Gue seperti terus menerus berlari walau kondisinya gue sudah capek.

Kadang-kadang gue bingung bagaimana harus mengutarakan perasaan ini. Bagaimana gue harus menjelaskannya ke orang lain. Terutama ketika gue berpikir bahwa mungkin sebenarnya gue cuma butuh cerita aja. Atau mungkin sebenarnya gue cuma butuh ngobrol aja. Gue hanya butuh membakar sumbu sisi ekstrovert gue sedikit dan mengesampingkan diri gue yang introvert sejenak. Tapi semuanya berujung pada kebingungan.

To be honest, gue introvert yang suka banget menyuarakan apa yang gue rasakan ke orang-orang yang gue identifikasi sebagai significant other. Sekalinya gue cerita bisa nggak berhenti. Kadang gue merasa nggak enak ke orang-orang itu karena mungkin sebenarnya ketika gue ketemu sama dia, dia juga pengin cerita. Atau dia mungkin nggak pengin mendengarkan keluhan gue. Dia mungkin punya agenda sendiri dan di dalam agenda dia nggak ada tuh tulisannya “mendengarkan ocehan Ron seharian”. I feel bad for them but very thankful. Karena nggak semua orang akan mau meluangkan waktu untuk mendengarkan dan ketika mereka benar-benar melakukannya, orang itu layak untuk diberikan apresiasi sebesar-besarnya.

But still, nothing seems right.

Bahkan setelah gue ngoceh lebih dari setengah jam sambil makan ramyeon di salah satu tempat makan Korea di salah satu Mal di Jakarta Selatan akhir pekan ini, ke salah satu teman gue yang kebetulan punya waktu buat ketemu hari itu, gue masih merasa aneh.

Gimana gue menjelaskan perasaannya ya.

Menggantung. Aneh.

Seperti ketika rasanya gue ingin banget makan Indomie tapi pas Indomie-nya sudah jadi dan gue sudah makan sesendok, semuanya tetap terasa nggak beres. Bahkan ketika Indomie-nya habis gue tetap merasa bahwa sebenarnya bukan itu yang gue butuhkan.

“Nothing seems right and I don’t know why.”

Gue mengirim pesan singkat itu ke salah satu teman gue yang lain yang mungkin terlalu sibuk untuk menanggapi ocehan gue karena lama sekali dia merespons. Separo kesal separo bersyukur. Kesal karena gue masih belum menemukan titik terang dari perasaan begajulan ini. Bersyukur karena kalau dia nggak balas mungkin dia sedang menghabiskan waktu yang lebih berharga dalam kehidupannya alih-alih menanggapi gue yang sedang merasakan ketidakjelasan dalam hidup.

Perasaan-perasaan nggak jelas ini kadang bikin gue takut untuk menghadapi hari esok. Gue jadi ingat pernah ada di satu titik di mana gue sangat takut untuk bangun pagi, keluar dari kosan, berdiri di lift kantor, lalu menghadapi hari itu. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi? Siapa yang tahu gue akan kena marah, menghadapi rapat berjam-jam yang membosankan, rutininas yang nggak produktif, pekerjaan yang nggak pernah bisa gue nikmati? Ketika sekarang gue ingat-ingat lagi rasanya berada di titik itu, gue kadang mau muntah. Rasanya nggak enak banget. Rasanya seperti naik wahana ayunan yang muter-muter sampai terbang tinggi di Dufan itu tanpa berhenti. Mual.

Perasaan itulah yang sepertinya hadir lagi beberapa hari terakhir ini. Tapi kali ini lebih parah. Diperparah karena gue merasa ada banyak hal yang terjadi di saat yang sama dan gue nggak siap sama sekali untuk menjalaninya. Jangankan dijalani, dihadapi aja rasanya gue nggak punya keberanian atau pun tenaga.

Tapi sayangnya hidup nggak bisa kayak lagi nonton Netflix yang kalau tiba-tiba lagi ada gangguan bisa di pause lalu di-play lagi ketika gangguannya sudah beres. Hidup nggak punya tombol pause itu. Walaupun pasti akan sangat menyenangkan kalau tombol itu ada.

As unrealistic as it sounds, but I do want that button right now.

Mungkin satu kata yang bisa menjelaskan perasaan begajulan yang gue rasakan saat ini adalah capek. Gue nggak tahu capek karena apa tapi gue capek aja.

Dan ketika gue menulis kalimat di atas semuanya jadi masuk akal. Tapi pertanyaannya, apakah gue bisa berhenti sebentar lalu lanjut lagi? Apakah dunia akan mengerti? Nggak enak rasanya kalau kita harus jadi orang yang terlalu sering minta dimaklumi. Gue yakin nggak ada yang mau jadi orang yang seperti itu.

Dalam proses berusaha mengutarakan perasaan dan isi hati gue terhadap kondisi yang sedang terjadi, gue kemudian kembali disadarkan bahwa hidup akan terus berjalan. Entah lo siap atau nggak. Nggak peduli lo takut atau nggak. Hidup akan terus memaksa lo untuk melangkah ke depan. Di saat yang sama mungkin lo bisa aja memikirkan kesalahan-kesalahan di masa lalu, kebodohan yang seharusnya nggak lo lakukan, skenario-skenario menakutkan yang belum tentu kejadian, dan hidup akan tetap berjalan. Sedikit banyak lo pasti akan dapat sesuatu dari sana. Entah pelajaran, entah kekuatan. Karena bahkan ketika hidup terkesan hanya memberikan kesedihan, di saat yang sama lo akan belajar untuk menjadi kuat dari sana.

Gampang menulisnya. Nggak segampang mematrinya di kepala lalu mengubah sudut pandang dan semua perasaan yang ada. Tapi ya, selalu ada waktu untuk mencoba.

Dua hari belakangan ini gue berusaha untuk menyemangati diri gue dengan lirik-lirik lagu yang memberi semangat. Atau sekedar memberi pembenaran terhadap segala kesalahan yang gue lakukan dalam hidup supaya gue nggak terlalu memikirkannya.

“Made a wrong turn, once or twice. Dug my way out, blood and fire. Bad decisions, that's alright. Welcome to my silly life.”

“Bukankah hidup ada perhentian, tak harus kencang terus berlari.”

“Just life we’re still good without luck.”

Those songs did make me feel good somehow. Yet, it doesn’t erase the fact that I am still afraid of what’s coming.

Mungkin besok semuanya akan baik-baik saja.

Siapa yang tahu?

Kalau pun tidak, ya... siapa yang tahu?

Jalani saja.


Share:

0 komentar