New Year, New Mantra


Oh hai, selamat tahun baru! Gimana kabar lo? Masih sibuk memikirkan resolusi meski udah mau seminggu sejak pergantian tahun, atau sekarang udah yakin untuk menjalani hidup dengan ‘yaudah ikuti ke mana angin berembus saja’? Kalau lo masih stuck di mencari resolusi, gue berharap lo bisa menemukan apapun yang ingin lo capai tahun ini dan benar-benar mencapainya. Tapi kalaupun tidak, kalaupun lo memutuskan untuk mengikuti ke mana angin berembus, gue berharap angin akan membawa lo ke tempat-tempat yang indah dan membuat hati lo damai. Kalau kata drama Korea (Reply 1988 kalau nggak salah), lo juga perlu beli sepatu baru supaya sepatu itu bisa membawa lo ke tempat-tempat yang menakjubkan sepanjang tahun ini.

Ngomong-ngomong soal sepatu, sepanjang 2020-2021 kemaren gue beli beberapa sepatu. Satu Converse putih, satu Aero (bener nggak sih ini namanya) putih, sama satu lagi Ventela. Dua yang pertama gue beli karena warnanya putih dan karena yang satu harganya lumayan pricey jadi gue beli yang versi lebih murah untuk dipake buat sehari-hari meski hujan pun gue hantam. Yang Converse kayaknya sayang ya dipakai hujan-hujanan (dasar jiwa miskin). Emang gue nggak cocok banget sih punya sepatu yang agak mahal dikit. Yang Ventela agak istimewa karena warnanya pink. Ini pertama kalinya gue punya sepatu warna pink dan ternyata bagus-bagus aja deh warna ini dipakai sama semua orang. Haechan adalah role model gue dalam hal ini. Waktu itu dia pernah pakai Converse pink dan gue sempat cari Converse itu tapi nggak nemu, dapetnya malah yang putih. Jadi gue beli versi yang lebih murahnya aja dan merek lokal. Gue pakai sepatu ini seharian di Phuket di bulan Desember 2022. Agak nggak nyaman kalau dipakai lama karena ternyata ujung sepatunya terlalu membulat buat kaki gue yang melebar. Jadi mungkin emang harusnya gue nggak beli “size cewek”, tapi dunia ini kan nyebelin, warna pink nggak pernah tersedia buat cowok. Padahal kenapa sih kalau cowok mau pakai warna pink? Masa sampai sekarang orang-orang masih mengidentifikasi gender dengan warna? 

Moral of the story, pakai warna apapun yang lo mau dan lo suka dan jangan dengerin kata-kata orang. Toh lo juga beli perintilan bukan pakai uang mereka. BEBAS! MERDEKA!

Gue nggak pernah bikin resolusi tahun baru sudah sejak lama. Gue tipe yang sangat terbebani oleh semua keinginan yang ada di kepala gue atau yang tertulis di buku harian atau blog. Terbebani karena ada rasa terburu-buru gue harus mencapainya. Kalau tidak tercapai dan kemudian digeser ke tahun berikutnya, ketika gue baca lagi itu resolusi, ada perasaan kayak ‘yah gue gagal’ gitu. Gue nggak suka perasaan-perasaan seperti itu. Jadi untuk melindungu diri gue, gue memilih untuk tidak membuat resolusi sama sekali. Instead, gue memilih untuk membuat mantra. Satu atau dua kata yang akan jadi pegangan gue sepanjang tahun ini.

Tahun 2022 kemaren misalnya, mantra gue adalah ‘getting better’. Dua kata ini bener-bener butuh usaha keras untuk melakukannya, tapi dibandingkan dengan resolusi yang kayak ‘2022 harus punya rumah sendiri’, ‘getting better’ jauh lebih gampang. Oh, ya, dan gue nggak pernah punya resolusi untuk punya rumah sendiri di 2022 tapi gue udah punya rumah sendiri eventually. Gimana bisa? Gue nggak tahu. Semua kejadian aja dan everything feels right. So, yeah. It happened. Gue nggak mau meromantisasi hal itu tapi karena meski gue bersyukur dan itu terasa istimewa, tapi yaudah, gitu aja. Toh gue masih ngekos juga di Jakarta karena rumahnya kan di Lombok.

Usaha gue buat ‘getting better’ di tahun 2022 dimulai dari memutuskan untuk kontrol rutin ke psikiater. Yes, ini sudah hampir 365 hari sejak gue memulai terapi gue dengan psikiater. Dan yes, sepanjang hampir 365 hari itu gue merasa hidup gue jauh lebih baik dari sebelumnya. Kalau mau lebay, 2022 ini adalah tahun terbaik gue selama satu dekade terakhir. Bukan berarti satu dekade terakhir sepanjang tahun nggak ada hal-hal istimewa, tapi di luar hal-hal duniawi itu, 2022 ini merupakan momen di mana gue menemukan diri gue sendiri dan gue merasa cukup dengan segala hal yang gue punya sekarang. Gue lebih mengapresiasi diri gue sendiri dan gue lebih bisa melepaskan apa yang harusnya dilepaskan. Tidak lagi memegang terlalu erat apa yang sudah harusnya dibiarkan pergi. Berusaha untuk berkata sejujurnya meski akan menyakiti. Jadi lebih terbuka dan tidak membiarkan orang lain menginvasi dan mengintervensi kehidupan gue dengan berlebihan.

I can stand up for myself. Gue bisa menolak. Gue bisa melawan orang-orang yang sebelumnya selalu menganggap gue bisa dibungkam. Dan yang paling penting sebenarnya sih gue bisa melawan ego gue sendiri. Gue bisa berdamai dengan kesalahan-kesalahan di masa lalu dan memperbaiki kalau memang ada yang bisa diperbaikin.

2022 ini adalah tahun yang gue sebut dengan ‘liberating’ karena gue benar-benar merasa dibebaskan dari segala permasalahan yang selama ini gue pendam. Gue menghadapinya dengan tangan terbuka, hati terbuka, kepala dingin, dan tentunya mental yang jauh lebih baik. Gue nggak mau berseloroh bahwa “oh kondisi mental gue tahun 2022 ini sudah jauh lebih baik karena gue terapi”. Tentu saja pernyataan itu benar, tapi gue nggak mau yang sok-sok bicara seolah-olah satu-satunya jalan yang bisa lo ambil adalah terapi. Buat gue, iya, jalan yang gue ambil adalah terapi. Tapi buat lo mungkin nggak. Tapi, ada hal yang harus lo pertimbangkan dari pengalaman gue ini, yang mungkin (hopefully) juga bisa membantu lo dalam memutuskan.

Gue pernah ngobrol sama salah satu teman dekat gue di tahun ini soal terapi. Gue sangat meng-encourage dia untuk terapi karena, in my opinion, dia butuh. Butuh dalam artian kenapa nggak dicoba dulu aja mendengarkan saran profesional dan orang yang tidak ada kaitannya langsung dengan permasalahan lo. Dokter bisa memberikan saran yang tidak bias dan bisa membantu lo untuk mencari jalan keluar. Sisanya ya ada di tangan lo.

Salahnya gue saat itu adalah gue terlalu tendensius. Gue terlalu merasa bahwa “TERAPI IS THE ONLY WAY!” sampai pada akhirnya mungkin dia jengah dan itu membawa gue ke sebuah penyesalan. Kita ujung-ujungnya berkonflik (tapi bukan karena gue ngotot minta dia ke terapi) dan sampai sekarang gue belum menyelesaikan konflik ini sama sekali. Gue masih belum menemukan cara untuk memulai pembicaraannya. Tapi sebelum konflik ini terjadi, gue udah minta maaf ke dia. Gue salah, karena dalam kalimat gue mungkin gue terkesan memaksa dia untuk terapi. Gue nggak seharusnya melakukan itu. Gue nggak seharusnya memaksa siapapun untuk ke terapi. Itu harusnya keputusan yang datang dari diri sendiri, bukan dari orang lain.

Tapi saat itu gue bilang ke dia bahwa untuk bisa menghadapi permasalahan diri sendiri, kita butuh kekuatan. Kekuatan itu kadang nggak datang begitu saja dan nggak selalu bisa muncul dengan sendirinya. Ada peran semesta di situ termasuk di dalamnya teman, orang asing yang kebetulan lo ketemu di bar lalu ngobrol soal hidup, atau (dalam kasus gue) juga mungkin dokter.

Teman-teman gue adalah orang-orang yang sangat baik dan gue nggak punya keraguan buat terbuka ke mereka. Tapi teman-teman gue pun punya limitasi. When it comes to a serious mental problem, they will not understand it and I think I need to see a therapist for that.

Setelah beberapa bulan ke terapi gue ketemu lagi sama teman gue itu dan gue cerita bagaimana terapi dan obat dari dokter ini membantu gue dalam banyak hal: lebih tenang dan nggak overthinking (beneran gue pun sama sekali nggak paham bagaimana bisa kayak gitu!) dan lebih bisa tidur (karena emang diresepin obat tidur).

Let me elaborate…

Teman gue itu tahu kalau gue tipe yang overthinking. Gue tahu dia pun begitu. Kita sama-sama Taurus dan sepengalaman gue ketemu dengan sesama Taurus, mereka adalah orang-orang paling baper di alam semesta ini. Hal-hal kecil yang lo katakan ke mereka bisa jadi besar. Apa yang nggak lo maksudkan untuk mereka bisa jadi mereka anggap itu untuk mereka. Gue pun kayak gitu dan itu yang selama ini merusak gue dari dalam. Tapi setelah gue ke terapi dan dikasih obat, hal-hal itu sama sekali nggak pernah terjadi lagi. Kalaupun terjadi, kalaupun misalnya ada orang yang menyinggung gue atau mengatakan sesuatu yang seharusnya menyinggung gue, gue sama sekali nggak baper dan nggak bereaksi berlebihan. Gue sama sekali nggak overthinking.

Rasanya sangat luar biasa.

“Rasanya kayak, pas minum obat ini, semua pintu overthinking kamu ketutup sama sekali dan kamu jadi bisa memilih dan memilah mana yang akan kamu masukin hati dan mana yang nggak perlu,” kata gue ke temen gue itu.

In normal days in my life, itu nggak pernah terjadi. Ron adalah orang yang baper. Cepet tersinggung. Kepikiran terus. Perasa.

“Pemikir!” kalau kata temen SMA gue.

Nggak salah. Itu memang gue dan gue terima semua itu sebagai sebuah identitas. Tapi kalau hal itu sudah mengganggu dan membuat gue menjalani hari dalam tekanan dan ketidaknyamanan, maka sudah seharusnya gue menanganinya, kan?

Tapi salah gue adalah gue terlalu tendensius. Gue merasa temen gue itu kesel karena tendensi gue itu. Tapi gue udah minta maaf ke dia.

“Seharusnya aku nggak memaksa kamu. Seharusnya itu datang dari keinginan kamu sendiri,” kata gue saat itu.

Tapi saat ini kita masih berkonflik. Gue nggak tahu kenapa karena gue pun nggak pernah nanya. Dan gue belum siap untuk menghadapi ini. Gue ada alasan tapi terlalu melelahkan untuk gue ketik detailnya. Sebut saja bahwa ini adalah sebuah kejadian yang terus berulang selama beberapa tahun terakhir dan gue pada akhirnya capek. Karena setiap ada masalah sepertinya gue yang selalu memulai untuk mencari penyelesaian. Setiap kali masalah itu tidak selesai, kami akan mengasingkan diri selama beberapa bulan lalu ketemu lagi dan seolah masalah itu tidak pernah ada. Gue nggak suka itu.

Kejadian di 2022 ini bisa gue lihat dalam dua sudut pandang berbeda. Yang pertama, seperti yang tadi gue bilang di awal, gue bisa stand for myself dan fight for my own believe. Gue nggak mau terus-terusan berada di pola hubungan yang sama jadi mending gue menjauh dulu sampai gue siap untuk membicarakannya. Yang kedua, gue merasa gue sudah gagal dalam menjalankan hubungan pertemanan ini dan gue punya keinginan untuk melepaskannya saja. Tapi pilihan kedua ini sangat sulit karena kita punya sejarah yang panjang. Gue sayang dia sebagai teman gue dan dia salah satu orang yang bisa gue percaya untuk mendengar semua cerita-cerita pribadi gue. Tapi sikap dia yang kayak gini membuat gue jadi capek sendiri. Tapi gue masih punya utang buat menyelesaikan masalah itu jadi semoga saja angin dan sepatu pink gue bisa membawa gue ke hadapan dia dan membicarakan semuanya.

Konflik dengan teman gue ini pun pada akhirnya membuat gue ‘getting better’. Ada banyak hal yang kemudian gue pertimbangkan ulang dan pikirkan ulang dalam hal pertemanan. Mana yang pas, mana yang nggak pas. Mana yang memang selama ini selalu berusaha memberikan dukungan, mana yang kasual aja. Pada akhirnya konflik dengan teman gue ini pun membuat gue mendefinisikan ulang makna pertemanan dalam kehidupan gue.

You know when they said “semakin tambah umur, semakin kecil pertemanan karena lo lebih mementingkan kualitas daripada kuantitas”? Itulah yang persis gue rasakan sepanjang 2022 ini. Proses seleksi inner circle gue jadi jauh lebih ketat dari sebelumnya. Gue juga jadi lebih menerima fakta bahwa orang-orang yang gue harapkan buat jadi teman gue, nggak selalu pada akhirnya jadi teman gue. Dan itu nggak apa-apa. Kalau frekuensinya nggak cocok kenapa harus dipaksakan? Gue sudah tidak ada di usia itu lagi. Gue sekarang sudah ada di titik yang kalau nggak cocok yaudah let's moving on and find each other’s company and happiness.

Gue menyebut tahun 2022 sebagai tahun paling waras sepanjang satu dekade terakhir. Gue bisa berpikir jernih dan mempertimbangkan banyak hal dengan sehat. Gue bisa menjalin komunikasi yang lebih sehat dengan beberapa orang yang selalu gue hindari selama ini. Komunikasi yang sehat bukan berarti harus selalu berakhir baik. Bahkan ketika akhirnya jelek pun, asal dikomunikasikan itu pun pada akhirnya jauh lebih baik daripada memendam emosi dan amarah yang nggak dikeluarkan.

Memasuki tahun 2023 ini gue punya mantra baru: “berhenti ingin”.

Di dalam tanda kutip itu termasuk juga: berhenti mengejar, berhenti berharap pada masyarakat, berhenti meminta pada manusia, berhenti selalu ingin membuat orang lain senang, berhenti untuk menjadi apa yang orang lain inginkan.

Jelang akhir 2022 dan menuju awal 2023 ini ada beberapa orang yang masuk dalam kehidupan gue dengan cara yang sangat manis. Gue ketemu beberapa orang dan ada beberapa di antaranya yang gue taksir. Tapi secara natural satu per satu dari mereka pun akhirnya harus gue coret dari daftar gue karena selama kita berkomunikasi kesannya hanya gue doang yang nyolot dan ngejar.

Gue capek ngejar.

Ada satu orang di kantor yang sedang gue taksir. Sudah berjalan beberapa bulan sampai akhirnya gue tahu nama dia siapa, Instagram dia apa. Setiap kali liat dia, gue deg-degan dan senyum-senyum sendiri. Semua hal yang dia lakukan selalu bisa bikin gue ketawa-keawa sendiri. Gue yakin semua orang yang ada di sekitar gue udah tahu hal ini tapi mereka memendam dan diam-diam saja. Sampai akhirnya gue tahu orang yang gue taksir itu udah nikah, dunia gue kayak kebolak-balik. Pas awal-awal tahu, gue kayak biasa aja. Berusaha untuk menikmati dia sebagai sosok yang menghibur aja. Ibarat nonton K-Pop idol di YouTube aja, bedanya ini manusia di dunia nyata. Tapi ketika masuk tahun 2023 dan gue merapalkan mantra ‘berhenti ingin’ itu, gue bisa melindungi diri gue dari pesona orang ini.

Tadi kita satu lift dan kupu-kupu yang biasanya terbang-terbang liar di perut gue itu sudah nggak ada lagi.

Good to know.

Alhamdulillah.

Gue nggak mau mengejar apapun atau siapapun tahun ini. Biarlah yang seharusnya datang untuk gue, datang untuk gue, tanpa harus gue kejar, tanpa harus mereka pun mengejar. Apa yang sudah ditakdirkan buat gue akan jadi milik gue. Gue bener-bener ingin hidup santai dan damai aja tanpa harus ada yang dikejar. Apa lagi sih yang harus dikejar, maksud gue, kayak, capek nggak sih? Kalau harus lari-lari terus?

Kadang gue mikir bagaimana ya rasanya dikejar sama orang yang suka banget sama gue?

Tapi gue nggak mau meneruskan pikiran itu karena selama ini gue mungkin tidak sadar bahwa ada orang-orang yang pernah melakukan itu dan gue nggak tahu lalu mereka capek sendiri karena sikap gue.

Jadi literally gue kena karma dari mereka WKKWKWKWWKWKW.

Alhamdulillah 2023 sudah sadar.

Semoga lo semua bisa menemukan kebahagiaan lo tahun ini!



Share:

0 komentar