Sesusah Itu Ya untuk Senyum?
“Introvert itu nggak sama dengan
pemalu.”
Itu yang gue baca di artikel sebuah
media online beberapa waktu lalu. Semakin gue cermati, semakin gue berpendapat
sama dengan tulisan itu. Semakin juga gue punya pandangan yang jelas tentang
sifat alami gue yang memang introvert, tapi bukan pemalu.
Mana ada pemalu yang mau membungkus
dirinya dengan konfeti dan joget-joget nggak jelas di lokasi konser demi untuk
di-notice sama Lee Jin Ki.
Melanjutkan tulisan di artikel tadi,
introvert adalah orang yang lebih menyukai kesendirian kadang-kadang, meski
mereka ada di tengah keramaian. Dan gue kembali mengamini tulisan itu.
Belakangan ini gue sering merasakan hal ini. Belakangan ini gue sering merasa
ingin sendiri. Entah kenapa apapun yang dilakukan oleh orang-orang di sekitar
gue, walaupun itu lingkaran pertemanan gue sendiri, jadi nggak seru lagi. Gue
merasa semangat gue untuk berinteraksi dan beramah-tamah dengan sekitar
mendadak hilang. Dan ini adalah sebuah masalah besar.
Ke orang-orang yang sudah lama gue
kenal (atau sudah lama kenal gue) pastilah gue akan banyak ngomong dan ngoceh
tentang banyak hal. Di satu momen gue bisa jadi sangat menyebalkan karena
kebanyakan ngomong. Sering banget gue menyinggung roommate gue karena gue
terlalu banyak omong. Walaupun dia mungkin nggak teriak “ANJING LO, GUE TERSINGGUNG!”
tapi gue bisa melihat itu dari mimik wajah dan perubahan sikapnya yang mendadak
dingin kayak Arandelle waktu Elsa masih labil.
Karena keberisikan gue yang to the
max inilah pernah suatu hari salah satu temen kantor, namanya Nabila, nanya ke
gue. “Lo lagi sakit ya?” cuma karena gue hari itu nggak sebanyak omong
biasanya. Nggak seberisik biasanya.
Nggak. Gue nggak sedang sakit. Gue
sedang pengen sendiri dan diem.
Tapi nggak bisa mengeluarkan kalimat
seperti itu. Gue hanya bisa faking smile dan “Nggak Bilaaaa gue lagi pusing
nih. Biasalah anak muda. Labil.” Dan pembicaraan itu akan terputus saat itu juga
dan semuanya akan memaklumi. Karena kadang dalam kondisi seperti ini, kejujuran
itu bisa dinilai berbeda. Kalau gue bilang, “Tolong, gue lagi pengen sendiri.”
Bisa-bisa ditanggepin “Yaudah sana ke toilet. Lebih private.” Kan nggak enak.
Terlalu lama jauh dari rumah bikin
gue berusaha untuk menyelesaikan semua masalah gue sendiri. Nggak cuma masalah
yang berkaitan dengan kehidupan sosial dan orang-orang di sekitar, tapi juga
masalah dengan diri sendiri. Yang pertama itu sulit. Tapi yang kedua jauh lebih
sulit. Karena kadang-kadang otak sama hati lo nggak sinkron. Apa yang lo
inginkan terkadang bukan yang lo butuhkan. Semangat gue sedang turun jauh banget
dari berbulan-bulan yang lalu. Motivasi hidup gue nyaris nol. Dan sedihnya,
free puk puk lewat telepon dari Mama nggak cukup. Walaupun menenangkan.
Jadi apa yang sedang gue cari? Atau mungkin
pertanyaannya apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Gue sendiri tidak yakin. Mama bilang
kalau perasaan kita selalu nggak tenang, kalau hati selalu belingsatan, kalau
pikiran nggak pernah bisa fokus, itu tandanya kurang sedekah. Nasihat ini
selalu gue inget kalau semisal hati sedang memaksakan kehendaknya untuk galau
berlebihan sementara pikiran pengen banget bisa tenang dan damai. Dan memang,
ketika diamalkan, nasihat itu bener juga. Ada sesuatu yang magis yang membuat
hati tiba-tiba jadi plong aja. Membuat pikiran mendadak jadi enak aja. Walaupun
gue seringkali lupa bawa dompet sehingga kegiatan bersedekah itu kadang
terhambat.
Tapi ternyata sedekah kan nggak cuma
dengan materi. Sedekah kan bisa cuma sekedar senyum.
Senyum.
Senyum.
Senyum.
Jangan keterusan. Apalagi kalau lo
lagi ada di pinggir jalan nunggu abang-abang ojek online yang nggak
dateng-dateng tapi lo tetap senyum menyeringai ke semua orang kayak gitu. Nanti
lo bisa dikira orang gila. Walaupun niat lo baik mau sedekah, tapi liat-liat
kondisi juga. Sedekah materi juga kan nggak boleh diumbar-umbar ke sembarang
orang. Misalnya sedekah materi ke Jokowi. Kan sia-sia belaka.
Gue sadar betul belakangan ini gue
jadi agak lebih diem. Intensitas keberisikan gue agak berkurang. Yang kemudian
kebawa ke mood dan senyum.
“Coba setiap berangkat ke kantor
gitu senyum kek. Biar enak dilihat.”
Suatu pagi di depan lift, roommate
gue bilang gitu ke gue. Gue kesel banget kalo ada orang yang negor gue kayak
gitu sebenarnya. Like, apa salahnya sih punya muka yang nggak bisa fake? Kalo
lagi kesel ya kesel aja masa iya gue harus memaksakan diri untuk senyum? Tapi
ternyata emosi gue di kalimat sebelumnya nggak boleh dimanjain. Gue kadang
mengutuk diri gue karena nggak bisa yang sok-sokan terlihat happy di tempat
yang sebenarnya gue nggak happy. Gue bukan tipe yang kayak gitu. Kalau gue
nggak suka atau terpaksa, itu akan keliatan banget di wajah. Nggak bisa
disembunyikan. Dan itulah yang akhirnya bikin beberapa orang jadi kayak males
mendekati gue beberapa bulan terakhir.
Wajah gue yang jarang senyum gue
curigai membuat spekulasi bermunculan di kepala orang. Yang akhirnya membuat
orang-orang ini memilih untuk menjauh.
“Ya daripada gue ganggu.”
Mungkin gitu pikir mereka. Padahal
sebenarnya ketidaksenyuman(?) gue itu nggak ada hubungannya sama mereka juga.
Jadi harusnya mereka nggak perlu mikir kayak gitu. Tapi karena gue udah nggak
senyum dan diem banget jadi ya wajar kalau orang-orang sekitar jadi memilih
untuk tidak mendekat. Siapa coba yang mau mendekati orang yang tampilannya
senggol bacok? Sampai suatu hari gue kepikiran lagi sama teguran di depan lift
itu.
Sebenarnya jauh sebelum obrolan
singkat di depan lift itu terjadi, gue selalu berpikir bahwa setiap hari gue
harus mencari alasan untuk bisa tersenyum. Mau itu cuma sekedar ngeliat
update-an EXO atau IU atau RV di Twitter, atau tersenyum gara-gara baca
komentar di YouTube atau di blog gue. Kadang gue juga selalu mencari hiburan
dengan nge-scroll komentar Instagram Baekhyun. Demi untuk bisa membuat gue
tertawa.
Gue sudah mangamalkan “selalu
tersenyum” itu jauh sebelum teguran dari roommate gue tadi, sebenarnya. Bahkan
gue sengaja pake masker supaya gue bisa tersenyum setiap saat dan tidak ada
yang nge-judge gue gila atau salah minum obat. Demi membiasakan diri untuk
tersenyum meski hidup sedang tidak berada di kondisi terbaiknya. Tapi ya itu… hidup
kan pasti ada naik turunnya. Dan kalau udah turun, naiknya suka lama. Kalau
udah di atas, gampang banget jatohnya.
Dari sedikitnya obrolan yang terjadi
antara gue dan roommate gue selama delapan bulan terakhir, teguran tentang
senyum itu adalah yang paling gue inget sampai sekarang. Karena faktanya memang
benar. Jarangnya gue senyum memberikan energi negatif untuk sekitar. Dan itu
sangat mempengaruhi kehidupan sosial gue di kantor.
Jadi gue mencoba berubah dan
mencari-cari alasan untuk selalu tersenyum. Sampai akhirnya ketika suatu akhir
pekan gue ada di Sanur, Bali, gue bertemu dengan tiga anak-anak kecil dari
Rusia.
Gue sedang berdiri menggendong kamera
di bahu sebelah kiri dan tas selempang kanvas kecil punya Sean yang gue pinjam
karena gue cuma punya ransel doang. Gue lagi dinas luar kota. Kru syuting
sedang break sementara produser film dan director of photography-nya lagi
ngobrol nggak jauh dari tempat gue berdiri.
Anak-anak ini sudah gue perhatikan
dari tadi. Lari ke sana ke mari. Mereka bertiga. Dan wajahnya rada-rada mirip
satu sama lain. Mungkin sodara. Gue membatin. Dan ketika gue sedang bengong
nggak tahu mau ngapain, ketiganya berlari nyamperin gue.
Dalam Bahasa Inggris, dia ngajak gue
bicara.
“Lo bisa Bahasa Inggris?” tanya salah satu dari mereka.“Ya, bisa. Kenapa?”“Gue mau kasih lo sesuatu!” katanya bersemangat. Gue menyipitkan mata dan menaikkan sebelah alis (padahal nggak bisa. Cuma biar keliatan keren aja gitu kayak di novel-novel).“Apa?” kata gue. Dia lalu meminta gue untuk membuka kedua tangan gue di depan. Dan kemudian dia naruh telur ayam yang biasa gue goreng di kosan di atas telapak tangan gue. Gue ketawa. “What is this?”“Ini telur ajaib. Telur dengan kekuatan luar biasa!” katanya. Sedang dalam mode berimajinasi. Sementara yang ada di kepala gue saat itu adalah makan. Dari siang gue belum makan. Dan Bali hari itu panasnya kayak Margonda, Depok.“Ini mentah?” tanya gue. Kalo mateng gue mau makan maksudnya kan lumayan bisa jadi protein tambahan.“Yes. But this is so powerful! This is a special egg!” kata yang lain. Masih dalam mode imajinasi.“With great power, comes a great responsibility.” Kata anak yang paling tengil, pake baju hitam-putih. Gue mau ketawa lagi karena dia jelas-jelas mengutip dialog di Spider-Man. Tapi pas gue mau interogasi lebih lanjut, dia udah lari duluan.“Be careful! IT’S GODZILLA’S EGG!” kata mereka sambil berlalu.
Adegan itu nggak ada lima menit.
Bener-bener kayak cepet banget dan random abis. Tapi efeknya luar biasa buat
gue. Kapan terakhir gue ketemu sama anak kecil yang kepalanya penuh dengan
imajinasi liar seperti itu? PIkiran gue langsung melayang-layang keinget sama
kejadian-kejadian serupa. Pertemuan dengan beberapa anak kecil yang sedang
seneng-senengnya berimajinasi.
Keponakan gue contohnya, suka banget
mengkhayal kalau dia itu chef. Jadi kalau gue pulang, dia sering ngajakin gue
main dapur-dapuran. Dia juga tahu Om-nya suka masak, jadi gue bisa nyambung
sama permainan ini. Beberapa bulan lalu juga gue pernah mampir ke rumah
roommate gue di Cimahi dan ujung-ujungnya gue malah main sama
ponakan-ponakannya. Karena salah satu di antara mereka gue lihat suka gambar,
gue ajakin aja ngegambar. Walaupun gue nggak jago juga sih. Tapi lumayan, gue
bisa ngegambar mobil sama pisang. Walaupun diketawain juga sama salah satu
ponakannya yang lain.
“Jelek banget.” Katanya.
Sementara si ponakan yang ngatain
gambaran gue jelek punya imajinasi yang berbeda. Jauh berbeda dari anak-anak
kebanyakan mungkin. Dan ini agak serem sih. Karena dia nyuruh gue ngegambar
pocong dan kuntilanak.
“Kamu….. kok….. serem………” kata gue
sambil melipir. Dia malah ngetawain gue yang mendadak menutup muka waktu dia
cerita soal peti mati.
Dan seketika gue tersenyum. Telur
ayam itu gue pegang di tangan. Gue main-mainin. Geli sendiri kalau inget
perkataan anak-anak tadi bahwa telur ini punya kekuatan spesial. Takut juga
kalau ternyata telur ini beneran telur Godzilla. Terus gue bawa ke mana-mana
dan pas netes nanti gue akhirnya punya anak Godzilla.
Gue terkikik sendiri. Entah kenapa
dada dan perut gue rasanya kayak dipenuhi dengan kupu-kupu yang terbang ke sana
ke mari sampai-sampai bikin gue ketawa karena kepakan sayap mereka bikin geli. Sebelum
anak-anak itu menghilang, gue berusaha menghampiri mereka.
“Boleh gue foto kalian?” kata gue.
Mereka setuju tanpa ragu. Mereka lalu bergaya sekeren mungkin sampai gue bilang
oke. Baru aja gue melangkah pergi, gue balik lagi ke mereka. “One more photo,
can? But this time with me.” Kata gue.
Gue butuh bukti kalau gue pernah
ketemu sama anak-anak yang memberikan gue telur Godzilla ini.
Beberapa kali jepret okelah mereka
begaya lagi. Dan pas jepretan ketiga, gue bilang, “Oh, gue lupa. Telur ajaibnya.”
Sambil ngangkat telur itu ke depan kamera disambut cekikikan dari ketiganya.
“Thank you!” kata gue.
“You’re welcome. Hey, don’t forget
to subscribe to our YouTube channel!” kata mereka.
“Lo punya YouTube channel? Namanya
apa?” gue langsung kasih handphone gue dan mereka ngetik di situ. “Nanti gue
buka ya. Thank you, see you!” gue pamit.
Sepanjang hari itu sampai malam
ketika syuting sudah selesai gue masih senyum-senyum sendiri mengingat adegan
telur Godzilla. Walaupun badan gue udah lengket dan kepala pusing karena flu,
tetap aja gue nggak bisa nggak senyum pas inget wajah-wajah polos mereka
mengutip dialog Spider-Man. Sesederhana itu lho, mereka bikin orang lain
tersenyum.
Sesimpel itu.
Gue kembali kepikiran soal gue yang
sedang jarang senyum belakangan ini. Kalau hal-hal sederhana seperti itu aja
bisa bikin happy, kenapa sih harus mempersulit diri dan menyebarkan energi
negatif ke sekitar dengan merengut?
Jadi, menjawab pertanyaan kecil yang
selama beberapa bulan ini menghantui gue: Apa sesusah itu ya untuk senyum?
Jawabannya: Nggak. Nggak susah kok.
Sama sekali nggak.
Dan sekarang kalau gue sedang bete
atau sedang tidak dalam mood yang baik, gue hanya tinggal ngebuka kulkas dan
ngeliat di rak paling atas pintu kulkas: sederet telur ayam yang kalem dan adem
di sana. Itu adalah modal gue untuk tersenyum setiap pagi.
Dan tiba-tiba kepikiran satu kalimat
ini: “…bahwa hidup adalah perjuangan untuk menjadi yang lebih baik dan lebih
baik lagi setiap detiknya…”
And I’m trying. Thank you.
Semoga abis ini roommate gue seneng.
Biar gue senyumin dia tiap pagi kayak orang jatuh cinta.
Follow Me/KaosKakiBau in everywhere!
Watch my #vlog on YouTube: KaosKakiBauTV (#vron #vlognyaron)
Twitter: ronzzykevin
Twitter: ronzzykevin
Facebook: fb.com/kaoskakibau
Instagram: ronzstagram
LIVE SETIAP SENIN JAM 8 MALAM 'GLOOMY MONDAY!'
Instagram lain: kaoskakibaudotcom
LIVE SETIAP SENIN JAM 8 MALAM 'GLOOMY MONDAY!'
Instagram lain: kaoskakibaudotcom
Line@: @kaoskakibau (di search pake @ jangan lupa)
First 2 photos on this article provide by Pexels.com
0 comments