Cuma Pengen Sendiri


Nggak kerasa tahun ini gue udah resmi jadi anak kosan selama delapan tahun berturut-turut. Sejak 2009 gue pertama kali pindah dari Mataram ke Depok untuk kuliah di UI sampai 2017 ini gue jadi salah satu pegawai rumah produksi di Jakarta. Yang mana, sepertinya akan gue tinggalkan dalam waktu dekat, mohon doanya. Wah, selama delapan tahun ini gue udah hapal banget deh naik dan turunnya hidup sendiri tanpa keluarga. Jauh dari masakan Mama. Nggak pernah bisa ketemu tiap hari sama temen-temen SMP dan SMA (meanwhile mereka di grup LINE tengah merencanakan untuk kumpul-kumpul) (dan membicarakan pernikahan).

Selama delapan tahun ini gue belajar banyak hal banget tentang kesendirian. Masak sendiri, makan masakan sendiri. Tidur sendiri, beresin tempat tidur sendiri. Perbaiki keran kamar mandi yang rusak juga harus sendiri sampai masang kawat di ventilasi kamar mandi supaya nggak masuk tokek kayak kejadian di Depok tahun 2010 dulu. Karena nggak mau manja (ceileh) gue juga belajar nyuci seprai dan selimut sendiri. Dua hal ini kayaknya sih jangan dilakukan setiap minggu. Karena mijetnya sampai jari-jari gue mau patah. Selama delapan tahun terakhir gue banyak melakukan hal-hal yang nggak pengen gue lakukan sendiri, tapi gue nggak punya pilihan.

Sebagai anak rantau sebenarnya ada sih, opsi untuk tinggal bareng temen. Setidaknya jadi nggak merasa sendiri terus. Tapi gue tuh orangnya ribet sendiri dan terlalu labil. Apalagi pas baru lulus SMA dulu. Kalau diinget-inget rasanya pengen pecut diri sendiri pake rotan. Kelabilan gue itulah yang bikin gue belum siap untuk bisa berbagi apapun dengan Dia-Yang-Disebut-Teman-Sekamar. Lagipula, gue juga selalu menganggap diri gue sebagai alien. Orang aneh. Yang kesukaannya bisa jadi nggak sama dengan kebanyakan orang saat itu (bahkan saat ini). Ya rasanya belum siap aja berada di satu kamar dengan orang yang belum lama gue kenal. Berbagi bau keringat sampai kentut.

Waktu itu gue mikir gini, gue baru lulus SMA, pindah ke Depok sendiri dan menjalani hari-hari sebagai mahasiswa baru yang selama dua minggu pertama sudah muak dan stres dengar teriakan senior yang nggak ada faedahnya itu: “THINK FAST DONG DEK! KREATIF DONG DEK! BISA LEBIH CEPET GAK DEK LARINYA?!” najis. Gue kira UI nggak ada gini-ginian ternyata ada juga. Hal-hal kayak gitu, termasuk kehidupan mahasiswa baru yang terombang-ambing nggak jelas di kampus bikin gue males mikir macem-macem yang ujung-ujungnya bikin kepala gue sakit. Ya, gue emang gampang banget stres. Manajemen emosi gue waktu itu masih kacau banget. Makanya gue pikir wajar kalau waktu itu gue nggak mau dibebani dengan keharusan untuk berbagi bau kentut dengan manusia lain.

Seiring waktu berganti, gue jadi lebih dewasa dalam hal ini. Jadi lebih wise—ahelah—gitu. Malah gue jadi penasaran. Semacem bisul yang gatel tapi nggak boleh digaruk. Nggak tahu hubungannya apa. Lulus kuliah dan nggak lagi dibebani dengan hal-hal kampus, sudah punya penghasilan sendiri dan mulai bisa menabung membuat gue jadi less-stress than before. Gue pun penasaran gimana rasanya punya roommate ya? Apalagi sehabis nonton variety show flop Korea yang judulnya ‘Roommate’ itu, gue jadi makin pengen tahu rasanya.

“Seru kali ya? Bisa punya temen makan. Temen ngobrol sebelum tidur gitu?”

Katanya udah dewasa tapi pikirannya kayak anak SMP. 



Gue jadi inget dulu waktu SD, Mama pernah maksa mau masukin gue ke pesantren dan tinggal di asrama. Dulu gue sempat juga tuh membayangkan punya teman sekamar. Yang dipikirin yang seru-serunya aja. Tapi dulu gue nggak pernah kebayang rasanya jauh dari orang tua. Waktu itu gue juga belom terpapar ‘To The Beautiful You’/’Hana Kimi’ jadi nggak pernah kebayang gimana tinggal di asrama. Tapi setelah nonton, jadi makin penasaran ya? Seru kali ya? Ya… apalagi kalau ternyata teman sekamar lo adalah cewek cantik berambut pendek yang selama ini ngefans sama lo.

Setelah lama berandai-andai soal ini, entah memang sudah jalannya atau gimana, tapi rasa penasaran gue itupun terjawab. Di akhir 2016 kemaren, kesempatan untuk punya teman sekamar itu datang.

Lantas apakah pertanyaan gue di empat paragraf sebelumnya terjawab? Hihihihi…. Ternyata nggak gampang ya?

Golongan darah gue B dan gue baperan akut. AKUT. PARAH. Cepat tersinggung tapi juga cepat baiknya. Cepat marah tapi nggak lama-lama marahnya (terlebih sama orang-orang tertentu). Keras kepala luar biasa juga di saat yang sama. Dan sifat-sifat menyebalkan dalam diri gue ini akhirnya memicu banyaknya momen bisu antara gue dan teman sekamar gue, yang mana orangnya juga sama-sama B, sama sama baperan, sama sama keras kepala.

Mungkin banyak kejadian bahwa adanya kesamaan di antara dua orang justru akan mempermudah komunikasi di antara mereka. Tapi di kasus gue, kesamaan ini justru malah bikin komunikasi di antara kami jadi sulit. Sering banget muncul perasaan nggak enakan yang akhirnya bikin satu sama lain lebih milih “Yaudahlah diemin aja.” Gitu terus sampai kiamat kubra.

Mungkin kalian akan bertanya “Masa sih?” atau mengeluarkan statement “Nggak percaya ah!”. Tapi ini benar terjadi.

Tapi dari situ gue belajar. Bahwa ternyata butuh waktu berbulan-bulan bahkan lebih untuk bisa mengenal seseorang lebih dalam. Lo butuh waktu lebih banyak lagi untuk bisa merasa enak untuk membahas masalah-masalah yang lebih kompleks di bagian lain dari kehidupan orang tersebut. Ironisnya di kasus ini adalah, gue selalu gembar-gembor soal bagaimana gue kenal banyak orang dari media sosial dan bisa dekat dengan mereka dalam waktu dekat. Sementara yang satu ini, gue udah kenal nyaris empat tahun dan presentase ngobrol dan bisunya bisa 80%:20%.

Beberapa hari yang lalu, nggak lama berselang setelah kami melakukan gencatan senjata dan mengibarkan bendera putih, kami ada momen ngobrol sebentar sebelum sama-sama ngantuk. Malam itu kita berdua pulang dari kantor (kita sekantor dan seruangan) di waktu yang berbeda. Gue pulang lebih cepat karena dia lagi ada jadwal ngintilin artis keluar kantor. Sementara gue tetap dengan pekerjaan membosankan nungguin bapak CEO di kantor. Momen ngobrol jelang tidur ini jarang banget kejadian sebenarnya. Karena biasanya gue pulang malem dan dia pulang duluan. Dan ketika gue sampai kosan dia pasti udah tidur (dia tidurnya cepet banget! Awal banget! Kayak anak SMA yang besok mau ujian!).

Ada treatment yang berbeda kalau mau ngobrol banyak sama temen sekamar gue ini. Nggak bisa yang biasa-biasa aja, gelar kasur masing-masing, berbaring, terus “Eh gimana tadi bla bla bla…” nggak bisa kayak gitu. Kehidupan rumah tangga di kosan ini ternyata nggak sesimpel kehidupan sekamar Minho sama Sulli di ‘TTBY’.

Malam itu gue iseng nyobain iPhone-nya dia. Sok-sokan ngerekam vlog sambil tiduran. Gue gak pernah pake iPhone jadi it was quite an experience-lah (????). Dan di sesi ngobrol kepo itu gue tanya-tanya deh tentang banyak hal yang sebenarnya bisa aja gue tanya dengan biasa-biasa aja, tapi takut hasilnya nggak akan sesuai harapan. Salah satu yang sejak lama gue ingin tahu jawabannya adalah “Gimana rasanya tinggal sekamar sama makhluk batu macem gue?”

Dijawab? Ya. Dan jawabannya nggak terang-terangan kayak “Wah gila sih gue mau meninggal tinggal sama orang kayak lo.” Tapi tersirat makna yang mendalam yang bikin gue jadi berpikir juga. Berpikir untuk memperbaiki diri. HAHAHAHAHAHAHAHAHAH.

“Ya kan pasti lebih enak tinggal sendiri.”

Tangan gue gemeteran megang iPhone itu. Ceritanya gue lagi interview dia yang sedang ada di kasur sebelah sementara gue ada di kasur lainnya. Gue nggak pake kacamata malam itu jadi gue nggak terlalu perhatiin gimana mimik mukanya pas ngomong apakah serius atau becanda. Tapi dari nada bicaranya sih serius.

“Kalau tinggal sendiri kan lebih punya banyak momen untuk menyendiri. Ruang gerak lebih leluasa. Dan nggak ada diem-dieman.

Fix abis ini dia kayaknya bakalan pindah kosan.

Mojok sama handphone.

Berlinang air mata.

Gue merasa sangat berdosa banget. Anjir. Gue merasa gagal menjadi teman sekamar yang baik. “YA ALLAH… APAKAH HAMBA SEMENYEBALKAN ITU?! APAKAH HAMBA SETIDAKASYIK ITU?! YA ALLAH… APAKAH SALAH DAN DOSA HAMBA?! APAKAH HAMBA KEBANYAKAN NONTON FILM PORNO?!”

Ahem.

Pikiran gue langsung deh tuh terbang jauh, tenggelam bersama spekulasi-spekulasi yang mau gue konfirmasi lagi tapi nggak berani. WKWKWKWKW. Ya memang kalau dilihat secara kesukaan, kami tuh beda banget sekarang. Dulu dia suka KPop, sekarang dia udah nggak terlalu ngikutin. Sementara lo tahulah gue anaknya KPop banget dan dia sekarang lagi Billboard 100 dan Indonesia 100 banget. Dulu gue juga kayak gitu. Tapi dulu banget, pas jaman gue masih jadi penyiar radio. Kalau sekarang ya sedengernya aja. Tapi biasanya lagu yang dia suka pasti gue nggak suka sih. Nggak semua, tapi kebanyakan.

“Kalo gitu dia ngerti dong soal KPop? Masih bisa dong diajak ngobrol KPop!”

Itu juga kalimat yang muncul dari beberapa teman dekat di inner circle gue. Tapi sayangnya, dia bukan orang yang bisa gue ajak spazzing dengan bilang “EH EH, DENGERIN DEH LAGUNYA IU YANG BARU INI! OMG BAGUS BANGET! TAHU NGGAK KIM SOO HYUN BAKALAN JADI BINTANG MV-NYA?! OMG INI TUH REUNIAN BANGET MEREKA DI DRAMA PRODUCERS DULU ITULOH!”

Dia tahu Kim Soo Hyun aja gue nggak yakin. Dia nonton drama Korea aja nggak.

Yang gue lihat, dia sudah melewati fase-fase itu. Kecuali mungkin kalau gue ajak dia ngobrol tentang Chelsea Islan atau siapa deh penyanyi Indonesia yang sedang hits saat ini, mungkin dia akan nyambung. Walaupun jadinya gue hanya akan mengarang bebas karena gue cuma tahu Chelsea Islan dari satu film dan gue cuma nonton filmnya dia yang itu doang. Nggak bisa elaborasi secara leluasa seperti gue mengelaborasi ocehan tentang IU. Atau Irene. Atau KPop.

Kemudian ada momen hening sejenak setelah obrolan itu. Setelah gue yakin dia memasang earphone-nya dan tertidur. Momen hening yang membawa gue ke pikiran tentang kesendirian, seperti statement-nya tadi.

Gue sudah jelaskan kalau gue terlalu lama tinggal sendiri di kosan dan gue butuh suasana baru yaitu punya teman sekamar. Di sini gue merasa nggak suka atau nggak pernah mau tinggal sendiri. Pernah kan, lo merasakan situasi yang lo nggak pengen sendirian? Karena menjadi alien itu nggak enak banget.

Lo pasti pernah deh ngerasa sesek di dada ketika lo tahu temen main lo pergi ke seuatu tempat tapi nggak ngajak-ngajak lo, padahal hari itu lo sebenarnya bisa diajak-ajak. Gue kadang merasakan itu. Tapi belakangan sih udah yang ikhlasin aja. Nah tapi disaat yang sama, sebagai introvert, lo juga pasti pernah merasa nggak pengen kemana-mana, sama siapa-siapa, dan lebih memilih untuk sendiri aja. Menikmati kopi sendiri. Duduk di depan laptop sambil ngeblog sendiri. Nonton drama Korea sendiri. Ke bioskop untuk nonton film yang udah lama lo tunggu-tunggu karena suka sama salah satu pemainnya sementara temen-temen lo nggak ada yang tahu dia karena dia bukan pemeran utama. Atau hanya sekedar jalan ke lokasi favorit lo sendirian.

Setidaksuka itu lo ditinggal sendiri dan dibiarkan sendiri, setidaksuka itu lo dengan perasaan-perasaan sendirian dan kesepian, tapi kadang-kadang lo butuh sendiri.

Nggak apa-apa. Sah-sah aja.

Sialnya buat gue, keinginan untuk menikmati kesendirian itu kadang suka datang di waktu yang nggak pas. Sama sekali.

Gue adalah alien di kantor. Tapi jangan salah sangka dulu, gue anaknya suka bergaul. Gue anaknya rame. Silakan lihat Insta-Story gue kalo lagi di ruang karaoke dan lo akan tahu serame apa gue. Tapi kadang-kadang entah kenapa suasana di kantor bikin gue jadi suka nyari kenyamanan dengan berada di “ruang sendiri”. Di depan meja, di depan laptop, mendengarkan satu album ‘My Voice’-nya Taeyeon berulang-ulang sampai gue hapal abis lagu ini akan muter lagu apa. Zona nyaman gue ada di kubikel (padahal gak ada dindingnya juga sik) kantor itu. Dan itu yang bikin gue jadi alien.

Di tingkat yang sudah parah, gue jarang menerima ajakan makan siang. Biasanya gue memang sudah beli makanan sebelum masuk ke ruangan dan makan dulu sebelum mulai bekerja. Gue belakangan selalu brunch jadi bisa kerja dengan nyaman sampai sore. Walaupun itu berarti gue melewatkan waktu makan siang bareng sama anak-anak seruangan. Disamping itu gue juga sebenarnya agak males meninggalkan ruangan pas jam makan siang karena pak CEO tiba-tiba suka butuh sesuatu.

Walaupun positifnya gue bisa menikmati kesendirian to the fullest in that very short moment, tapi negatifnya banyak banget. Gue jadi nggak nyambung sama obrolan anak-anak, jarang nimbrung karena nggak tahu topik yang sedang dibahas apa. Apa yang sedang mereka tertawakan. Apa yang sedang mereka gosipkan. Dan gue pun tidak punya keberanian untuk nanya dan mencari tahu. Mode alien ini semakin parah.

I know. I know. Ini bukan sesuatu yang patut untuk dibanggakan. Because, hey, this is bad! So bad! Dan sindiran temen sekamar gue lewat WhatsApp ketika gue share sebuah berita yang judulnya “5 Alasan Terlalu Giat Bekerja Tidak Baik Untuk Kesehatan” ngena banget sih ke gue. Kata dia, “Ya aku sih masih ada waktu makan siang bareng anak-anak, nggak di depan laptop terus.” Shit. Dia selalu aja bisa bikin gue ngerasa sebagai orang yang gagal.

Gak deng. Lebay. Tapi dia memang bilang gitu ke gue dan gue merasa tersindir.

Karena ternyata gue tidak sedewasa itu untuk menyikapi hal-hal seperti ini: timing yang buruk untuk keinginan menyendiri.

Mereka nggak pernah komplain. Itu salah satu hal yang harus disyukuri. Tapi pergaulan kan jadi nggak sehat. Gap akan jadi semakin lebar dan lebar ketika gue semakin tidak pernah membaur kayak gitu. Dan gue nggak akan bisa menyalahkan siapa-siapa selain diri gue sendiri kalau mereka akhirnya give up dan berhenti ngajak makan siang. No need to complain. Itu kan sudah hukum sebab-akibat.

Lebih parah dari itu, keinginan untuk menyendiri pernah datang lagi di timing yang benar-benar sangat tidak tepat. Dan waktu itu gue bener-bener messed up banget. Pernah nggak sih lo merasa sangat jenuh dengan semua hal yang ada di sekitar lo? Semua hal terasa salah? Begini salah, begitu salah? Bahkan mungkin merasa bahwa keberadaan lo di suatu tempat juga sebenarnya adalah sebuah kesalahan, sementara lo sedang berusaha untuk meyakinkan diri lo kalau “no this is not the end of the world, just another bad day” tapi parahnya itu nggak berhasil?

Semacem kondisi di mana lo pengen banget mukul meja keras-keras tapi tangan lo nggak terlalu kuat untuk melakukan itu. Pengen teriak kenceng-kenceng di ruangan tertutup supaya nggak kedengeran sama orang-orang tapi lo nggak menemukan ruangan itu. Pengen ngejambak rambut sendiri tapi inget baru abis creambath di salon kemaren dan sayang kalo rambutnya kusut cuma gegara bad mood.

Dan semua itu bikin lo memutuskan untuk menjauh dari society selama beberapa saat supaya lo bisa merasa lebih tenang.

Gue pernah. Dan itu adalah salah satu keputusan yang sempat gue sesali waktu itu (karena akhirnya merepotkan orang lain dan gue sangat nggak suka merepotkan orang lain). Gue literally kabur karena banyak banget masalah yang sedang datang bertubi-tubi waktu itu. Gue pergi menikmati ruang sendiri. Menjadi egois untuk beberapa hari. Dan selama beberapa hari kabur itu gue banyak berpikir dan menemukan jawaban dari beberapa pertanyaan gue selama ini. Syukur alhamdulillah. Setidaknya kaburnya punya faedah. Waktu itu gue mampir ke ITB untuk meliput sebuah event fashion Indonesia-Korea untuk para desainer muda Indonesia. Bertemu dengan banyak sekali orang yang melakukan sesuatu dengan passion dan semangat yang bener-bener membara.

Para desainer-desainer muda ini punya mimpi yang besar. Kreativitas yang nggak kalah dari mereka yang sudah profesional. Punya keinginan untuk menjadi besar dan sukses. Melihat mereka menjelaskan produk mereka dengan menggebu-gebu dan menggambarkan apa yang ingin mereka capai di bidang itu membuat pikiran gue jadi teringat pada satu kalimat yang selalu gue katakan ke orang-orang setiap kali mereka mengajukan pertanyaan soal kuliah atau pekerjaan: “Lakukan apa yang lo suka, apa yang menjadi passion lo, apa yang membuat lo bahagia. Kalau apa yang sekarang lo lakukan sekarang cuma bisa bikin lo mengeluh, sudah waktunya untuk pindah.”

Ternyata apa yang teman sekamar gue bilang punya makna mendalam.

“Kalau tinggal sendiri kan lebih punya banyak momen untuk menyendiri.”

Tiga kata terakhir di kalimat ini ternyata punya banyak arti.

Menyendiri bisa bikin kita kita mengintrospeksi diri. Menyendiri bikin kita banyak berpikir dan tahu apa yang salah dan mana yang seharusnya kita nggak lakukan lagi. Serta apa yang benar dan mana yang sebaiknya dipertahankan. Dalam kasus gue, menyendiri bisa bikin gue sadar bahwa ternyata gue jauh lebih baik dari segala drama yang terjadi belakangan ini. Menyendiri bisa mendatangkan banyak ide. Termasuk menyelesaikan tulisan ini. Menyendiri bikin gue sadar bahwa menulis adalah passion gue, dan gue nggak akan lagi mengorbankan passion itu untuk hal lain yang nggak ada kaitannya dengan kesukaan gue ini.

Nggak ada salahnya sesekali menghabiskan waktu sendiri. Menyendiri. Dan menolak ajakan-ajakan orang karena alasan cuma pengen sendiri.

You deserve the best. People will judge, but who cares? You deserve to be happy.

Dan kalau kebahagiaan itu bisa datang dengan menyendiri, kenapa tidak dilakukan? Tapi ya jangan setiap hari juga sih. Cari waktu yang tepat aja. Jangan kayak gue. Hihihi…


Follow Me/KaosKakiBau in everywhere!
Watch my #vlog on YouTube: KaosKakiBauTV (#vron #vlognyaron)
Twitter: ronzzykevin
Facebook: fb.com/kaoskakibau
Instagram: ronzstagram
LIVE SETIAP SENIN JAM 8 MALAM 'GLOOMY MONDAY!'
Instagram lain: kaoskakibaudotcom
Line@: @kaoskakibau (di search pake @ jangan lupa)

Photos on this article all from my Instagram. Do not use without permission. WK.

Share:

0 komentar