Aku Hanya Ingin Menari

Inget nggak gimana rasanya ketemu sama orang yang lo taksir? Ketika pertama kali kalian berdua ngobrol dan akhirnya merasa nyambung. Ketika awalnya lo biasa aja, nggak ada perasaan apa-apa karena itu bukan cinta pada pandangan pertama kayak yang biasa ada di serial-serial drama televisi Korea. Lalu kalian ngobrol karena punya satu topik yang suka dibahas. Entah buku, entah film, entah musik, entah Kpop. Dari obrolan yang cuma beberapa menit itu kok rasanya nyaman ya? Kok rasanya enak nih kalau misalnya kita ketemu lagi dan ngobrol lagi. Akhirnya kalian mulai tukar-tukaran nomor ponsel dan mulai ngobrol di chat. Masih nggak ada rasa apa-apa. Murni karena kalian cuma ingin memperluas pertemanan aja. Nggak ada salahnya dong punya teman baru. Tapi pelan-pelan dari obrolan-obrolan soal buku, film, musik, dan Kpop itu berubah jadi obrolan-obrolan yang serius. Tiba-tiba di suatu hari dia chat dan nanya hal penting ke lo. Rupanya ada masalah keluarga. Lo mulai mendengarkan curhatan-curhatan dia. Lo mulai khawatir. Lo mulai menjadikan diri lo selalu available untuk dia kalau memang dia lagi butuh cerita. Lalu rasa biasa-biasa aja dalam diri lo itu berubah jadi perhatian. Lo jadi sering nanya dia lagi ngapain, kapan bisa ketemu, mau nonton ini nggak, gue ada tiket konser nih mau pergi bareng nggak. Dan lo sampai di satu titik kalau lo ternyata suka sama dia. Dia nggak tahu. Lo sendiri sebenarnya juga masih ragu sama perasaan lo. Tapi lo tetap memberikan perhatian itu. Dia tetap menerima perhatian itu. Kemudian lo masuk ke fase cinta diam-diam karena lo nggak mau hubungan kalian jadi renggang setelah lo ngungkapin perasaan lo ke dia. Inget nggak gimana rasa berbunga-bunga setiap kali dia balas chat lo?

Happy, kan? Meski diam-diam lo curi-curi pandang ketika dia nggak memerhatikan, tapi lo happy, kan?

Tapi perasaan happy itu nggak cuma akan terjadi hanya karena dan ketika lo ketemu sama orang yang lo taksir. Ketemu sama orang yang nyambung pada obrolan pertama juga buat gue memberikan efek happy yang sama. Gue punya temen namanya Ais, gue lupa sebenarnya awalnya kita bisa kenal kayak gimana tapi kayaknya sih gara-gara dia admin salah satu fanbase EXO dulu dan pada masa-masa itu gue lagi gila-gilanya nge-tweet soal EXO. Kita kenal di Twitter dan kemudian ketemu beberapa kali karena fanbase yang bersangkutan ada event dan gue dateng. Tapi momen ketemu kita yang paling gue ingat adalah di satu hari di akhir bulan Maret 2013 ketika ada event cover dance di Gandaria City. Setelah itu kita akhirnya jadi sering ketemuan dan jalan bareng. Sampai sekarang, dia jadi temen jalan-jalan gue kalau di Bandung.



Gue punya kebiasaan memperkenalkan orang-orang yang ada di circle gue dengan orang-orang yang ada di circle gue yang lain. Apalagi kalau misalnya dua circle ini punya kesamaan interest atau sesuatu yang bersinggungan. Gue punya temen-temen fans EXO yang selalu kumpul sejak 2012 (sampai sekarang!) jadi di satu hari di sekitar tahun 2013 atau 2014, gue pun akhirnya ngajak Ais buat masuk ke circle ini. Klop! Banget! Dan Ais pun sepertinya juga punya sense yang sama. Di satu hari di tahun 2014, dia memperkenalkan gue sama salah satu temannya yang kalau nggak salah followers gue di Twitter. Gue lupa sih ini harus gue konfirmasi ulang takutnya gue kepedean padahal sebenarnya dia nggak pernah follow gue. Teman Ais ini namanya Vivi, tapi dia lebih sering dipanggil Melon sama teman-temannya. Gue dan Melon ketemu di suatu malam di Grand Indonesia, waktu itu pas lagi heboh-hebohnya event Asian Dream Cup yang ada cast Running Man dan rebutan tiket banget kan. Pas kita ketemu di sana, nggak tahu kenapa gue sama Vivi langsung nyambung. Guess what is our topic back then? Cover dance! LMAO.

Di pertemuan pertama itu, kita ngobrol banyak banget soal grup-grup cover dance mulai dari yang bagus sampai yang jelek. Mulai dari gosip-gosip yang beredar sampai gosip-gosip internal. And at that moment I knew that me and Melon will be friend for a long time. And guess what, we are still friend now. Gue juga mengajak Melon untuk masuk ke circle yang sama degan geng EXO yang sudah ada sejak 2012 itu dan kita semua nyambung. Satu per satu teman-temannya Melon dan Ais pun masuk ke circle itu juga dan pada akhirnya lingkaran setan Kpop ini jadi gede banget. As simple as that (yet sounds complicated), those people always make me happy. Bahkan cuma mikirin mereka untuk menulis beberapa paragraf ini pun sudah membuat gue tersenyum sendiri.

Photo by Pixabay/Pexels.com
Ketemu sama orang yang pas buat jadi teman memang nggak gampang. Terlebih di usia-usia 20-an. Sejak usia 18 gue udah nggak tinggal di rumah dan sudah mulai ngekos di Depok. Gue harus meninggalkan kemungkinan-kemungkinan untuk menjalin pertemanan yang lebih akrab dengan orang-orang yang gue kenal di SMP dan SMA. Memulai beradaptasi dengan bahasa “lo” dan “gue” di Depok dengan teman-teman kuliah. Terasing dalam sebuah dunia yang benar-benar baru. Di antara kemacetan dan gedung-gedung tinggi. Hilang. Homesick. Gila. Gue nggak tahu siapa yang bisa gue jadikan teman dan siapa yang mau jadi teman gue. Ketika lo nggak memikirkan ini memang rasanya semua itu akan go with the flow aja sih. Tapi kalau mau dipikirin kan pasti ada alasan kenapa orang mau jadi teman lo dan kenapa lo memutuskan untuk berteman dengan orang lain. Gue sendiri tidak besar dalam keluarga yang komunikasinya bagus. Gue dibesarkan sebagai millennials oleh orangtua yang nggak membiasakan kami untuk bilang “semangat buat ujiannya!” atau “gimana tadi di sekolah?” atau “I love you, selamat tidur. Mimpi indah ya!” atau “maaf ya tadi Papa terlalu keras” atau apapun lah kata-kata manis yang hanya bisa lo bayangkan. Jadi gue nggak akan punya nyali buat nanya ke orang “Kenapa lo mau temenan sama gue?” (as weird as that sound -- I mean, who really did ask that question? LOL) Semuanya ya go with the flow aja. Mereka yang masih dekat dengan gue sekarang dan sudi jadi teman gue ini terpilih berdasarkan seleksi alam. Terima kasih Tuhan karena menciptakan mereka. Dan lagi, memikirkan orang-orang itu dan menerka-nerka alasan mereka mau temenan sama gue (yang pastinya bakal absurd banget deh) sudah bisa membuat gue tersenyum.

Mencari teman itu dalam beberapa kasus bisa jadi proses panjang yang durasinya nggak bisa ditebak. Di kasus tertentu juga bisa jadi pendek. Intinya sih memang komunikasi. Kalau nggak ada komunikasi di antara kedua belah pihak ya jangan harap hubungannya bisa berlanjut. Meng-quote kata mantan teman sekamar gue “Memangnya gue bisa baca pikiran orang!” Komunikasi ini juga harus dua arah, didorong atas keinginan untuk berteman dan harus mutual. Kalau cuma satu aja yang berusaha sih ya ngapain. Nggak cuma orang pacaran aja yang butuh timbal balik. Temenan juga lah! Kalau sekarang lo lagi merasa kayak mentally exhausted karena kok kayaknya dalam pertemanan cuma lo yang repot, pergi jauh-jauh, tinggalin mereka. Mending hidup sama bantal guling.

Having a conversation with a friend is also one kind of happiness. Nggak selalu harus obrolan yang serius. Yang receh-receh justru lebih terasa.

Ada satu lagi hal yang bisa banget bikin gue happy dan ternyata, ini nggak cuma gue yang merasakannya. Adrien juga.

WKWKKWKWKW. Mungkin lo juga?


Oke, jadi mungkin beberapa dari kalian nggak ngikutin gue di Instagram karena feed gue nggak sebagus orang-orang keren di luaran sana. Jadi gini ceritanya: akhir Desember 2018 kemarin kan gue nonton IU di Thailand. Nah, selama di sana gue nginep di satu hostel di daerah Sukhumvit yang gue temukan di booking.com. Hostel ini murah dan nyaman banget untuk ditinggali selama beberapa hari. Soalnya tempat tidurnya private meski kamarnya dorm gitu. Ada tirai dan bentuknya kayak lemari tempat tidur Doraemon gitu. Gak capsule, tapi kotak. Nyaman deh pokoknya. Ini adalah perjalanan pertama gue ke Thailand dan bisa dikatakan perjalanan malas-malasan sih soalnya agenda gue cuma nonton IU aja. City tour-nya sebenarnya tentatif. Tapi karena gue belakangan suka motret suasana malam, jadi gue kayak menghabiskan waktu di luar lebih banyak setelah matahari terbenam. Di hari pertama gue mendarat di Bangkok, setelah beres-beres dan siap buat jalan, gue turun dari lantai tiga kamar gue ke ruang tamu hostel. Yang gue suka dari tinggal di hostel adalah karena lo akan punya kesempatan untuk ketemu banyak banget orang asing dari berbagai negara. Beberapa dari mereka mungkin ramah, beberapa dari yang lain mungkin enggak. Beruntung kalau misalnya lo dapat yang ramah dan enak diajak ngobrol. Nah yang gue nggak suka dari diri gue adalah nggak bisa memulai obrolan. Jadi harus nunggu diajak ngobrol dulu, baru gue bisa nyerocos.

Sesampainya gue di ruang tamu hostel, cuma ada satu orang di sana. Kebetulan cahaya di ruang tamu itu nggak terlalu terang. Lampunya hangat dan agak temaram. Orang ini kebetulan juga duduk di sisi yang agak gelap jadi gue nggak bisa melihat jelas wajahnya tapi sempat yang saling senyum sebelum gue duduk. Ruang tamu hostel itu nggak ada sofanya. Di lantai dibuat undakan tinggi gitu dari kayu dan di tengah-tengah ada meja kecil yang cukup untuk beberapa meja. Nah si orang ini duduk ala lesehan nyender dinding dan menggenggam mug putih berisi kopi. Wanginya kecium soalnya. Gue sedang membolak-balik halaman brosur yang ada di rak di ruang tamu itu ketika akhirnya orang ini nyapa gue.

“Are you local? Are you from Thailand?”

Karena nggak ada orang lain di situ selain kami berdua, gue nggak ngerasa kepedean untuk menjawab pertanyaan itu. Gue bilang bukan, gue bukan orang Thailand, gue orang Indonesia. Posisi gue masih di pinggir undakan waktu dia nanya itu. Sempat gue kira dia cuma basa-basi doang, tapi ternyata setelah gue menjawab pertanyaan itu dia lanjut lagi dengan obrolan lain. Dia bilang dia pernah ke Indonesia dan tinggal beberapa pekan di Bali. Terus tiba-tiba aja dia nyerocos bagaimana dia sangat menyukai Bali dan orang-orang Indonesia yang menurutnya sangat ramah.

“Waktu gue di Bali, gue ikut nebeng sama perahu orang ini karena dia katanya mau pergi mancing ke tengah laut. Kebetulan gue juga pengen banget merasakan pengalaman mancing di tengah laut. Jadi gue tanya sama dia apakah gue bisa ikut atau nggak. Dia bilang boleh. Terus gue tanya gue harus bayar berapa. Dia bilang nggak usah bayar, nggak apa-apa. Gue kaget dong. Maksudnya gue kan turis ya dan itu kita baru ketemu. Tapi kok dia nggak mau nerima bayaran? Terus gue tanya kenapa dia nggak mau dibayar, dan jawabannya bener-bener bikin gue terharu sih. Katanya karena dia udah nganggep gue kayak temen aja. Masa sama temen minta bayaran.”

Wow. Mohon maaf mz nyerocos juga ya ternyata. Tapi ini beban banget sih mz kalo misalnya abis ini kita jalan bareng di Bangkok terus saya jahat dan perhitungan sama mz. Saya jadi merusak citra orang Indonesia yang seperti itu.

Eh tapi gimana gue harus merespons cerita ini ya?

WAKAKAKAKAKAKKA.

“Really? Whoa! He’s such a nice guy!”

Dan Ron mulai sok bisa Bahasa Inggris dan sok akrab sama orang. Tapi gue bersyukur ternyata gue punya kemampuan sok akrab ini. Karena ternyata abis itu kita jadi ngobrol agak lama. Yang tadinya gue mau keluar sekitar setengah tiga jadi malah keluar setengah empat sorean gitu. Satu jam kali kita ngobrol di ruang tamu yang kosong itu dan tuker-tukeran cerita. Tapi sebelumnya kita akhirnya kenalan dulu. Kali ini gue yang duluan memperkenalkan diri.

“I’m Ron,” gue menyodorkan tangan.

“Adrien,” katanya menjabat tangan gue. Mohon maaf sebelumnya gue bukan bermaksud apa-apa tapi gue agak enggak jelas ketika dia menyebutkan namanya sendiri dan agak enggak bisa membaca gerakan bibirnya. Selain gelap di situ dia juga berewokan. Jadi selama beberapa menit gue kira namanya Edwin. Bego nggak gue? Setelah gue tanya dia dari mana, gue baru mikir.

“Where are you come from?”

“France,”

MASA ADA ORANG PERANCIS NAMANYA EDWIN?!

“Tapi gue tinggal di Myanmar, di Yangon,” lanjut dia. Mohon maaf sekali lagi tapi cara dia ngomong Yangon ini kan beda sama kita ya. Kalau kita nyebutnya ‘YANG – ON’ dia nyebutnya “YENG – GOON”. Jadi pada saat perkenalan itu gue berpikir keras. Orang Perancis namanya Edwin dan tinggal di Myanmar di kota bernama Yenggun. Geografi dan Sosiologi gue pasti jelek banget deh dulu di sekolah. Lalu untuk mengurangi kecanggungan karena gue bodoh, gue tanya aja apakah ini kunjungan pertamanya ke Bangkok. Pertanyaan standar kalau ketemu sama orang asing di hostel.

“This is actually my first time,” kata gue.

“Really? What’s your plan?”

Well... I don’t have any plan actually. Jadi gue tuh dateng buat nonton konser Kpop hari Minggu nanti. Gue memang punya ketertarikan sama musik pop Korea ini. Lo? Pertama kali juga?”

“Sebenarnya nggak,” kata dia. “Ini udah yang beberapa kali lah. Gue udah tinggal di Yangon hampir setahun dan hari ini datang ke sini buat ngurus Visa di Embassy Myanmar di sini,” lanjutnya. Dia kemudian cerita detail masalah Visa ini dan kenapa dia nggak ngurus Visanya di Myanmar aja bukan di Thailand. Tapi gue lupa detailnya. Yang jelas, dulu dia ngurus Visa kerja di Myanmar atas rekomendasi kantor lama. Tapi karena sekarang dia punya perusahaan sendiri jadi harus ngurus Visa kerja lagi setelah yang lama mati. Sayangnya ketika dia ke Embassy, dia nggak dapet Visa yang dia mau. “Gue tuh kan apply buat Visa yang tahunan gitu. Tapi mereka bilang mereka nggak bisa ngeluarin Visa itu buat gue di sini dan gue harus ngurus lagi ke Myanmar. Jadinya mereka cuma bisa ngasih Visa yang tiga bulan aja. Gila nggak sih? Gue tuh tadi mau marah-marah sama orang Embassy-nya tapi ya gak bisa juga kan gue marah-marah sama mereka. Jadi ya untung gue ketemu lo nih sekarang jadi gue bisa cerita,” dia ketawa. Sementara gue masih mikirin ini serius nama lo Edwin?

“Yah, sedih banget. Terus gimana, tapi lo dapet kan Visanya?” tanya gue.

“Ya dapet. Baru bisa diambil Senin. Tadinya sih mereka nawarin jalur ekspres gitu yang bisa diambil besok (Sabtu, gue sampai di Thailand hari Jumat). Tapi mahal banget buset! Gue kayak harus bayar ekstra berapa ratus dolar gitu. Males banget. Mending gue tunggu Senin aja. Lagian gue di sini juga masih sampai Senin. Jadi masih ada waktu,” jawabnya.

Yang FYI, akhirnya dia lupa kalau Senin itu dia harus ambil Visa. Sudah terlanjut ngajak gue pulang bareng ke Bandara di hostel jam sekian. Eh dia malu sendiri karena dia pelupa. Mana malam sebelum kita ke Bandara dia ada kencan sama cewek dari Tinder dan bangun kesiangan di tempat cewek itu. Terus dia balik ke hostel dan check out telat. Kena marah si Ai (resepsionis hostel). WKWKWKWKKWKW.

“Jadi lo balik ke Indonesia hari apa? Kalau lo nggak punya plan, mungkin kita bisa makan siang bareng besok atau lusa?” kata Adrien.

Gue jujur aja terkejut dengan keramahan orang-orang Perancis ini. Dia nggak niat buat nipu gue kan? Apa dia berusaha buat baik-baikin gue terus nanti dia nyolong duit gue gitu. Eh hahahahha. Maaf. Anaknya memang sangat insecure dan curigaan.

“Gue balik Senin malam. Wah boleh sih, since lo udah sering ke sini jadi mungkin lo bisa merekomendasikan tempat makan ke gue,” kata gue. Lalu gue ngasih Jeno—nama handphone gue—ke dia. “Minta nomor lo. Lo ada WhatsApp kan?”

“Ada,” katanya. Dia nulis nomornya di situ dan gue minta dia untuk tulis nama lengkap. Beneran nggak sih ini orang namanya Edwin atau gue yang bego dan budeg di saat yang sama. Dan ya bener gue bego dan budeg. Pas gue liat kontaknya dia save namanya ‘Adrien L.’

EDWIN DARI HONG KONG.

HAHAHAHAHAHAHAHAH.

Gue miskol dia ke WhatsApp, “Itu nomor gue. Mau simpen nama lengkap atau nama pendek aja? Soalnya nama gue panjang banget. Hahahahah,” dia ketawa juga. Akhirnya dia save nama gue ‘Ron’ di hapenya.

Awalnya gue pikir interaksi gue di ruang tamu sama Adrien itu yaudah hanya sebatas interaksi basa-basi antara dua tamu hostel aja. Gue kira ajakan makan siang dia itu juga cuma basa-basi aja. Tapi ternyata enggak. Sabtu malam dia beneran WhatsApp dan ngajakin gue makan siang di hari Minggu. Gue bilang gue bisa tapi paling ya abis makan gue cabut ke venue konser dan dia nggak apa-apa. Jadi kita cari tempat makan di dekat hostel. Dan sepanjang jalan itu dia cerita tentang banyak hal. Tentang pekerjaan dia, keluarga dia, tentang mantan pacar dia, tentang Myanmar, tentang kebodohan-kebodohan dia (“Hape gue ketinggalan di kafe tempat gue makan semalam dan gue harus ambil sekarang. Aduh, lo kalo gue ceritain pasti capek deh dengernya. Gue aja capek dengan hidup gue yang kayak gini. I’ve spent most of my time picking up something that I forgot,” katanya). Tapi obrolan yang paling klop sama gue sekarang adalah ketika kita berangkat ke Bandara bareng. Ini yang gue maksud dengan “Ada satu lagi hal yang bisa banget bikin gue happy dan ternyata, ini nggak cuma gue yang merasakannya. Adrien juga.” di paragraf sebelumnya.

“So I met this girl on Tinder and she lives in this huge building, 5 floors building, full of her paintings!” katanya. Gue baru ketemu nih orang dua hari yang lalu dan sebelumnya gue nggak pernah ngeliat dia kayaknya sebahagia ini. Jadi gue godain aja.

“Aah... so you’re late today and forgot about your Visa because you were staying at this girl’s house?” gue ngakak. Dia ngakak juga terus dia diem. Terus dia ketawa lagi.

She’s cute. I mean, gue tuh lemah kalo udah sama cewek,” katanya lagi.

“Aaah... so what’s happened?”

Yeah so, this girl is an artist. A painter. Lima lantai rumahnya itu semua isinya lukisan-lukisannya dia. Dia suka ngelukis orang telanjang gitu. Dan dia pernah ngelukis dirinya sendiri nggak pakai baju gitu. Jadi dia foto dirinya dulu terus dia lukis dari fotonya,” kata dia. “Tapi ya nggak semua juga yang kayak gitu,” buru-buru dia menambahkan. “Banyak lukisan dia yang lain yang bagus banget! Sini gue kasih liat Instagram-nya.”

Adrien nunjukkin foto-foto lukisan cewek itu di Instagram dan wow ternyata emang bagus banget sih. Ya ini penilaian gue sebagai orang yang nggak bisa ngelukis dan tidak memiliki jiwa seni apapun. Sayangnya gue gak inget akun Instagram-nya dia apa karena waktu itu emang dibuka dari hape Adrien juga.

“Keren banget ya dia. Gue suka deh sama orang yang jago ngelukis atau ngegambar gitu. Maksudnya, gue tuh kan nggak bisa ngegambar ya. Jadi gue suka aja kalau ngeliat mereka ngegambar atau ngeliat karya-karya mereka,” kata gue.

“Ih! Iya sama banget! Gue juga kayak gitu. Di antara keluarga gue, gue adalah satu-satunya yang sama sekali nggak bisa gambar. My father is a painter, my mother also good at drawing. Logikanya kan gue harusnya bisa ya gambar gitu. Tapi gue sama sekali nggak bisa. Sementara kakak laki-laki gue jago banget ngegambar. Padahal dia sama sekali nggak pernah kursus atau apa gitu,” dia mulai cerita lagi. “Tapi, ada temen gue yang juga sama kayak gue yang nggak bisa ngegambar gitu. Terus dia taking lessons dan latihan, lama-lama dia bisa. Gitu tahu Ron sebenarnya. Kalau kita latihan pasti kita lama-lama akan jago. Karena ada orang yang memang lahir dengan bakat, ada orang yang berbakat karena dia belajar. Tapi gue setuju sama lo soal suka banget ngeliat orang yang punya bakat seni. Kayak gimana ya, rasanya tuh lo happy aja gitu ngeliat karya mereka meski lo nggak benar-benar bisa melakukannya,” kata Adrien.

“Sama kayak misalnya lo ngeliat dan mendengar orang nyanyi, ya nggak sih? Gue tuh sebenarnya suka dance tapi belum pernah benar-benar mencoba untuk terjun langsung mendalami dance. Di saat yang sama gue juga suka banget ngeliat orang dance. Karena gue nggak bisa merasakan gimana happy-nya dance sendiri, gue jadi mencari kebahagiaan itu dengan melihat orang lain yang dance.”

Exactly! By only looking at their performance, you can also feel happiness. Ya kan?”

“Iya banget. Di Jakarta tuh pernah ada momen di mana anak-anak muda gitu suka nge-cover dance lagu Kpop dan gue sering banget datang ke acara-acara itu cuma buat ngeliat mereka. Seneng deh gue liatnya. Aneh juga kita bisa dapat kebahagiaan dari hal-hal kayak gini ya?”

Mungkin itu juga kali yang gue rasakan setiap kali mendengarkan Baekhyun, Suho, EXO, Taeyeon, SNSD, atau IU bernyanyi. Saat nonton langsung atau lewat video. Ada kebahagiaan yang agak susah dijelaskan dengan kata-kata. Kebahagiaan yang nggak apa-apa deh kalau pun cuma gue yang mengerti dan orang lain nggak. Lagian, kita nggak punya kewajiban untuk membuat orang lain mengerti dengan hal-hal yang bisa membuat kita bahagia kok. Kita nggak punya kewajiban untuk menjelaskan ke mereka tentang hal-hal yang membuat kita bahagia kok.

Kita nggak berhenti ngobrol sampai akhirnya sampai di Bandara dan berpisah untuk check in dan lapor ke imigasi. Tapi kita janji kalau semisal suatu saat nanti masing-masing dari kita datang ke Jakarta atau Paris, kita akan saling menghubungi.

I will definitely come to Paris. Semoga lo sudah balik ke sana ya ketika gue punya cukup uang untuk main ke Perancis,” kata gue. Mengingat dia ada rencana buat berlayar sama temennya keliling lautan di Asia.

“Mungkin nanti kapal gue akan menepi di Jakarta. Gue pasti akan ngubungin lo.”



Dan saat gue jalan menuju gerbang keberangkatan untuk kembali ke Indonesia, gue kepikiran obrolan kami tadi. Soal menari. Soal kemampuan yang akan semakin mahir kalau diasah. Soal salah satu mimpi yang sejak dua tahun terakhir sudah mulai dipikirkan tapi belum ada kesempatan untuk dilakukan: belajar dance.

Mungkin selain ngomongin Kpop sama temen, ngomongin orang sama sama temen, memandangi karya seni hasil buatan orang, nontonin orang-orang tampil menari di atas panggung; ikut menari juga akan jadi salah satu hal yang bisa gue bikin gue happy tahun ini. Dan 2019 baru berlalu beberapa hari, maksud gue, jadi bukankah ini saat yang tempat untuk memulai lagi mengatur target, menulis daftar mimpi, dan menari?

---

Cover photo by KAITOD

--- 


Share:

0 komentar