Bangkok Bagian 3: City Tour Si Pemalas yang Kesepian


Walaupun gue anaknya sangat suka menyendiri, tapi gue paling benci dengan perasaan-perasaan kesepian dan seperti nggak punya siapa-siapa di dunia ini.

Ketika menyendiri bukan berarti lo kesepian. Memilih menyendiri biasanya ada alasannya. Mungkin lo ingin berpikir. Dalam kasus gue seringkali karena gue merasa lelah harus berkomunikasi dengan orang-orang atau berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Gue pernah nonton video YouTube soal Introverted Person, hal ini wajar terjadi karena sebenarnya orang introvert itu nggak selalu 100% nggak suka bergaul. Mereka hanya kadang-kadang butuh waktu untuk re-charged tenaga mereka dengan diam dan menyendiri. Karena terlalu banyak berkomunikasi dan berinteraksi bisa melelahkan buat mereka. Itulah yang sering gue rasakan.

Perasaan-perasaan kesepian dan merasa nggak punya siapa-siapa ini totally nggak sehat karena bisa memicu perasaan-perasaan lain seperti merasa tidak berharga atau nggak diinginkan dalam pergaulan misalnya. Perasaan-perasaan seperti ini bisa berujung depresi. Ini adalah tanda-tanda depresi buat yang belum tahu. Begitu yang gue baca di Kompas beberapa minggu yang lalu. Tapi sialnya, gue sering merasa seperti itu. Perjalanan ke Bangkok itu adalah salah satunya.

You see, this should be a fun trip. ONCE AGAIN! Tapi gue terkadang nggak bisa mengatur pikiran gue sendiri. Harusnya sore itu gue menikmati kesendirian di Siam Square dengan memperhatikan orang-orang, melihat interaksi antara anak-anak dengan orangtua mereka, berdiri diam di tengah plaza hanya untuk menjadi saksi pasangan-pasangan yang sedang mabuk asmara. Biasanya gue bisa menikmati kesendirian ini dan menggali banyak sekali inspirasi dari situ. Tapi sore itu gue merasa sangat kesepian. Gue kembali menyalahkan chat itu. Chat terkutuk itu. Chat yang harusnya nggak gue kirim. Obrolan yang seharusnya tidak terjadi.


“Dia nggak suka sama lo, Ron. Jadi yaudahlah, kenapa sih harus dipikirin terus?”

Terdengar suara entah dari mana bergaung di kepala gue.

“Tapi justru karena dia udah bilang dia nggak suka sama gue makanya gue jadi kepikiran. Apakah gue nggak cukup baik? Apakah gue nggak cukup perhatian? Apakah gue nggak cukup....”

“UDAH CUKUP AH!”

Gue nyaris teriak ketika akhirnya gue sadar ada ibu-ibu yang sedang memperhatikan gue sedari tadi. Nggak memperhatikan gue sih tepatnya memperhatikan topi anjing yang gue pakai. Topi ini, sejak gue tiba di Siam Square, sudah menjadi perhatian beberapa orang. Di dalam BTS (bukan grup KPop kenamaan itu) tadi gue juga menangkap mata-mata orang sekitar gue sedang diam-diam memperhatikan topi gue. Ada yang diam-diam tertawa. Ada yang terang-terangan tertawa. Untung gue sedang ada di kota di mana nggak ada orang yang kenal sama gue. Jadinya kepercayaan diri gue nggak akan hancur hanya karena respons orang-orang terhadap apa yang gue pakai. Lagipula hari itu gue pakai batik dan warna topinya bener-bener serasi sama batik yang gue pakai. Gue sedang merasa ganteng banget. WKWKWKKWKWKW.

Tapi hati gue tidak tenang. Ini pasti karena belakangan gue jarang ngaji. Astagfirullah. Ampuni aku Ya Allah.

Siam Square jelang matahari terbenam mulai ramai karena ternyata di salah satu sudut plaza itu nanti malam mau ada acara. Ada panggung yang cukup besar dengan poster artis Thailand yang sepertinya terkenal banget. Karena kalau nggak terkenal, nggak mungkin banyak sekali anak-anak SMA berseragam menunggu di sana dan duduk santai di depan pagar jauh sebelum acaranya di mulai. Sedikit ingat sama kelakuan gue waktu mulai menggemari Kpop. Untungnya gue nggak ikut-ikutan beberapa teman yang sedang menggandrungi artis Thailand juga. Kalau iya, gue pasti sudah duduk di depan pagar juga sore itu. Artis Thailand yang gue tahu paling cuma Baifern. Sama Tata Young, kalau dia masih eksis. LOL. Tua banget anjir gue. Di sisi lain Siam Square sedang ada Light Festival. Tapi karena ini masih sore lampu-lampunya belum dinyalain.

Gue masih nggak tahu harus ke mana habis ini. Gue nggak ada ide. Gue memikirkan tempat-tempat potensial yang bisa gue kunjungi jelang malam ini dan Asiatique Riverfront keluar di urutan pertama. Dari foto-foto yang gue lihat di Google, tempat ini bagus buat hunting foto malam hari. Ada banyak lampu-lampu yang pastinya akan bikin fotonya makin meriah. Bolehlah kaki ini melangkah ke situ beberapa saat lagi. Sementara itu, gue menggenggam Cameron dan sesekali memotret random orang-orang yang ada di sekitar Siam Square. Ada satu keluarga bule sedang main-mainin air mancur yang menarik perhatian gue. Anak kecilnya lucu banget jadi gue tungguin sampai ada momen gue bisa motret mereka. Gak terlalu bagus sih hasilnya tapi cukup membuat gue puas. 


Karena itu hari Jumat mungkin ya, jadi semua orang berasa tumpah ruah ke lokasi itu. Mungkin juga karena ada panggung artis. Orang-orang lokal kelihatan ingin menghabiskan waktu mereka menikmati akhir pekan dengan sedikit hiburan. Gue jadi ingat obrolan gue sama Adrien di meja ruang tamu hostel tadi. Dia bilang, di Myanmar cukup susah untuk mencari hiburan kayak konser musik atau bahkan nonton film. Banyak expat kayak dia dan orang-orang lokal memilih buat pergi ke Bangkok untuk sekedar hiburan. Mungkin beberapa bule yang gue temui di sini juga terbang dari Myanmar untuk sekedar menikmati mall. Yang gue perhatiin sepanjang perjalanan dengan BTS hari ini, ada banyak sekali mall di Bangkok. Nggak jauh beda sama Jakarta. Gue jadi inget waktu dulu Mataram masih belum punya mall dan belum punya bioskop. Orang-orang yang doyan shopping cuma punya sedikit pilihan. Orang-orang yang doyan nonton cuma punya pilihan beli VCD/DVD bajakan. Orang-orang kayak gue, yang suka banget Harry Potter dari zaman SD susah banget buat nemu majalah Cinemags atau Tabloid Fantasi. Tinggal di kawasan agak “terbelakang” soal entertainment memang kadang-kadang nggak menyenangkan. Tapi di masa-masa itu, hiburan lain kayak pantai misalnya, jadi favorit sih. Walaupun ya nggak setiap hari juga ku lari ke pantai kemudian berteriak. Setelah punya SIM dan naik motor, gue kadang-kadang random ke pantai sendirian.

Well, Ron selalu suka kesendirian. Tapi nggak suka merasa kesepian.

Makin lama gue berdiri di tengah-tengah keramaian itu gue merasa makin sepi dan gue merasa nggak sehat buat mental gue. Akhirnya gue memutuskan untuk masuk ke mall aja buat lihat-lihat. Tapi sialnya itu keputusan yang salah. Selain mall itu gede banget dan gue kesasar nggak bisa menemukan jalan keluar yang sama dengan jalan masuk gue tadi, gue juga kedinginan karena ternyata di dalam mall-nya nggak seramai di luar. Batik yang gue pakai hari itu bener-bener tipis dan nggak membantu memberikan kehangatan sama sekali. Gue nggak bawa jaket karena gue nggak bawa ransel. Gue pakai celana pendek juga ya salam komplit sekali deh itu penderitaan. Di tengah perjalanan gue mencari pintu keluar, sialnya lagi gue melewati store Converse dan OH MY GOD SEPATU KUNING YANG GUE INGINKAN ITU ADA DI SANA.

“MATILAH GUE.”

Gue ngomong kenceng banget. Gue yang tadinya mau nyari pintu keluar malah berbelok masuk ke store Converse itu dan tangan gue otomatis meraih sepatu kuning yang selama ini gue impi-impikan. Terima kasih untuk Zhang Yixing karena sudah jadi brand ambassador Converse Asia sekaligus membuat gue ngiler dengan sepatu kuning yang dia pakai di salah satu foto di Instagram Converse itu. Kalau bukan karena Yixing, kalau bukan karena Yixing adalah member EXO, mungkin gue nggak akan tertarik dengan warna kuning. Dan kalau bukan karena patah hati mungkin gue juga nggak akan berniat mengganti warna kesukaan.


Sejak ditolak sama orang itu gue jadi suka banget kuning. Dulu, setiap kali gue masuk ke store kayak H&M atau Pull&Bear gitu, gue akan gemeter kalau melihat warna merah. Gue pasti akan langsung tertarik untuk membeli apapun yang warnanya merah darah gitu. Ada perasaan meletup-letup seperti popcorn dalam hati gue setiap kali melihat apapun yang warnanya merah. Dan lo pasti udah tahu bagaimana perjuangan gue buat mencari Converse merah di Jakarta, Tangerang, sampai Bekasi dalam satu posting-an blog gue beberapa waktu yang lalu (baca di sini). Tapi sekarang merah udah nggak lagi appealing buat gue. Merah hanya mengingatkan gue pada penolakan-penolakan yang gue rasakan. Meski penolakan-penolakan itu hanyalah sebagian kecil dari hal yang gue rasakan dan pengalaman yang gue alami selama menggunakan si sepatu merah.

Tapi sekarang gue sangat mencintai kuning. Sepatu kuning itu sudah di tangan gue dan mata gue sudah berbinar-binar melihatnya. Spontan gue melihat ke sepatu merah gue dan tersenyum mengejek. Gue bawa sepatu itu ke sofa pendek tempat duduk orang-orang yang berniat untuk mencobanya. Kebetulan ukuran yang dipajang itu sama dengan ukuran yang gue pake. Dan pas gue cobain sepatunya, gue merasa seperti Cinderella waktu dipakaikan sepatu kaca oleh hulubalang raja. WAKAKAKAKKAAKKA. BANGSAT LEBAY BANGET RON. Gue merasa bahagia banget walaupun sebenarnya gue sangat ragu karena kalau gue beli sepatu itu berarti gue akan makan tanah kuburan bulan depan. Sepatu ini lumayan mahal dan jauh dari budget sepatu yang sekarang gue tetapkan untuk diri gue sendiri. Tapi sepatu ini sudah gue impi-impikan banget sejak lama. Terlebih lagi karena sepatu ini nggak ada di Jakarta.

Setan-setan mulai berbisik untuk boros dan menggesek kartu kredit. Sementara Ron yang pikirannya masih bercabang antara chat bangsat itu, kemana harus pergi abis ini, di mana pintu keluar mall, kenapa mall ini dingin banget sih anjir, sekarang ditambah lagi dengan pikiran-pikiran tentang sepatu.

“Lo kan masih mau jalan nih hari ini. Gausah beli dulu. Nanti repot bawa-bawanya. Mending belinya besok aja pas udah mau pulang. Siapa tahu lo lupa. Siapa tahu lo berubah pikiran. Jadi nggak boros deh.”

Ada suara-suara lagi yang berbisik di telinga gue. TBH gue ngomong sendiri sih itu kenceng banget sampai ada orang yang lagi nyobain sepatu di sebelah gue mutusin buat pindah kursi akhirnya. Tapi gue mengikuti saran bisikan itu dan melepas sepatu Yixing yang indah banget itu, meletakkannya lagi ke rak, dan keluar dari store Converse tersebut untuk mencari pintu keluar dari mall ini dan melanjutkan perjalanan ke Asiatique.

Gue mungkin memang cuma butuh ketenangan pikirannya aja hari itu. Karena setelah memejamkan mata sejenak dan berpikir positif kalau gue akan menemukan jalan keluar dari mall dingin ini, gue benar-benar menemukannya. Di tengah perjalanan itu gue juga menemukan pameran seni karya Yayoi Kusama yang bisa dimasuki gratis. Di saat seperti ini gue agak sedih aja karena pergi sendirian. Soalnya nggak bisa minta tolong foto-foto estetik gitu di depan karya seninya. Yayoi Kusama kan selalu punya karya-karya yang Instagramable. Kalau gue minta tolong fotoin sama orang yang juga datang ke situ gue nggak enak. Soal foto gue anaknya sangat perfeksionis. Kalau jelek nanti gue suruh mereka ulang terus sampai fotonya bagus. WKWKWKWKKW. Temen-temen gue pasti sudah merasakan sifat menyebalkan gue ini di satu titik. Untungnya mereka masih mau temenan sama gue.


Matahari nyaris tenggelam. Gue sudah menemukan jalan keluar dari mall itu dan sekarang sudah ada di stasiun BTS. Kebodohan yang gue lakukan sore itu adalah salah melihat arahan Google Maps-nya. Seharusnya ada BTS yang mengarah langsung ke stasiun terdekat dari Asiatique, tapi gue malah melihat petunjuk yang menggunakan bus. Alhasil gue nunggu bus ada kali setengah jam di pinggir jalan di kawasan Silom. Gue pernah dengar soal tempat ini dari beberapa teman dan katanya ini adalah kawasan LGBTQ paling populer di Bangkok. Ada banyak gang-gang dengan bar-bar dan tempat makan LGBTQ friendly di sini, kata mereka. Gue jadi ingat waktu ke Seoul buat Asian Cultural Young Leaders’ Camp 2017, beberapa teman yang datang (cewek-cewek) sempat membahas soal club atau gay bar di Seoul.

“Menurut gue dari sudut pandang cewek, gue lebih merasa nyaman datang ke situ karena orang-orangnya ramah,” kata salah satu teman dari Mongolia.

“Ya, bener banget! Dibandingkan dengan ‘straight club’, di situ lebih chill,” timpal teman dari Australia.

Pikiran itu selewat aja di kepala gue sampai akhirnya bus yang gue tunggu datang dan gue naik; beruntung dapat duduk karena sudah ngantuk banget.

Macetnya Bangkok di hari Jumat nggak kalah sama macetnya Jakarta. Gue jadi inget jaman-jaman masih jadi wartawan dan masih rutin naik MetroMini 75 jurusan Pasar Minggu – Blok M waktu naik bus itu. Agak ngeri membayangkan diri gue naik MetroMini 75 lagi karena waktu itu pernah pas zaman-zaman jalan layang jalur busway di Tendean masih dibangun, Blok M ke Warung Buncit bisa 3 jam sendiri saking macetnya.

Gue nggak tahu berapa lama perjalanan dari Silom ke Asiatique karena jujur aja, segera setelah gue naik ke bus itu dan bayar ongkosnya, gue langsung ketiduran dengan posisi kamera di pangkuan. Waktu gue cerita ke salah satu temen gue di DM Instagram dia langsung marah-marah. “LO GILA YA NANTI LO BISA DIJAMBRET!” Tapi Allah memang Maha Baik deh. Gue diselamatkan sampai di Asiatique Riverfront. Gue terbangun persis ketika bus itu berhenti di seberang lokasi yang gue tuju. Bener-bener kalau nggak bangun, gue akan sangat kebingungan deh itu. Karena itu aja udah turun di tempat yang benar, karena baru bangun tidur, jadi bingung harus melangkah ke mana.

“I-jjogeul-lo geol-eo juseyo!”

Gue yang tadi ngantuk banget tiba-tiba melek. Mendadak seger mendengar suara laki-laki yang bicara Bahasa Korea. Suara itu terdengar jelas oleh kuping sebelah kiri gue jadi otomatis gue noleh ke kiri dan melihat bapak-bapak berbadan tegap tinggi pakai topi hitam dan baju kaos hitam juga, sedang berusaha mengarahkan beberapa orang Korea (kebanyakan lansia) untuk menyebrang jalan. Kebetulan gue yang belum sadar 100% tadi juga sedang mencari lewat mana sih menyebrang jalan menuju ke Asiatique Riverfront ini? Orang-orang Korea ini menyelamatkan gue karena gue bisa ngekor mereka. Setelah sampai di bagian depan Asiatique Riverfront, perasaan familiar mendadak muncul. Semacam gue pernah ke sini tapi nggak pernah. Atau semacam gue pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya?

OH SHIT. THAT LONELINESS FEELING AGAIN.


Loneliness is always looking for a friend;
It found me once and it has been around since then...
Loneliness knows everything I keep inside;
My endless thought in the silence of the night...

Mungkin karena gue sudah lapar. Tapi di tempat dengan banyak sekali jenis makanan seperti ini malah bikin gue bingung dan pada akhirnya laparnya hilang. Yaudah, malam itu, dengan kondisi kesadaran yang masih belum 100% bahkan ketika gue sudah sepuluh atau lima belas menit ada di Asiatique Riverfront, gue pun berkeliling tempat yang penuh cahaya itu. Sedikit banyak tempat ini mengingatkan gue pada Myeongdong. Gue nggak ada niatan buat belanja sama sekali karena pasti di sini mahal-mahal semua. Ketika gue memperhatikan menu-menu makanan yang ada di gerai-gerai penjual makanan, semuanya di luar budget gue banget. Bisa-bisa besok gue beneran cuma makan sarapan sereal di hostel doang kalau gini ceritanya. Kunjungan itu berakhir hanya dengan foto-foto saja akhirnya. Foto-foto orang yang ada di sekitar sana. Foto-foto patung karakter One Piece yang kalau fans pasti akan seneng banget sih tapi karena gue sukanya Sailor Moon jadi gue biasa aja. Ya satu dua selfie cukuplah sebelum cabut dari situ. Rasanya perjalanan malam ini nggak terlalu bisa gue nikmati. Sekali lagi gue kadang benci diri gue sendiri kalau udah kayak gini.


Sudah hampir jam sembilan malam jadi memang sepertinya sudah harus pulang ke hostel. Harusnya gue nggak memaksakan diri juga buat jalan hari ini setelah mimpi buruk di pesawat itu. Seharusnya gue istirahat aja di hostel sampai benar-benar fit dan besok baru mulai perjalanan buat city tour-nya. Gue merasa ini adalah city tour paling mager gue sepanjang pengalaman gue jalan sendiri. Waktu di New York gue nggak semager ini. Gue excited banget bahkan sampai bangun subuh-subuh cuma buat menikmati jalan sendirian dari satu blok ke blok lain. Cuek bebek sama penerbangan nyaris 24 jam dari Jakarta – Doha – New York. Sekarang kok rasanya gue cepet banget capek sih? Apakah ini karena faktor usia? WKWKWKWKKWKWKW. Di saat seperti ini biasanya gue selalu mencari sesuatu untuk disalahkan. Dan malam itu yang harus disalahkan atas semuanya adalah orang yang gue chat kemarin.

#TETEP

#HARUS_ADA_YANG_DISALAHKAN

#MANUSIA

Gue naik bus ke arah sebaliknya untuk turun di stasiun Phrom Phong dan dari situ nanti lanjut BTS ke stasiun dekat hostel. Ada momen gue bengong cukup lama setelah turun di pinggir jalan. Memperhatikan keramaian. Melihat mobil lalu-lalang. Melihat bus yang barusan gue tumpangi pergi menjauh.

(YA ALLAH SEMOGA NGGAK ADA JAMBRET AJA SIH)


Kenapa gue bisa sesuka itu sama orang ini sampai-sampai gue kepikiran terus?

Kenapa gue bisa sesuka itu sama orang ini sampai-sampai gue jadi nggak konsen ngapa-ngapain?

Kenapa setelah sekian lama gue nggak bisa juga lupa?

Kenapa harus dia sih?

Kenapa harus sekarang dipikirin kan lagi jalan-jalan? 


Gue menarik napas panjang lalu melanjutkan perjalanan ke stasiun SkyTrain. Pikiran gue kembali melankolis.

Other girls will come along, they always do;
But what’s the point when all I want is you?
---
“Kenapa sih harus gue?”

“Ya memangnya kenapa kalau lo? Kalau gue maunya lo, ya kenapa nggak?”

“Tapi kan banyak orang lain yang lebih baik dari gue.”

“Tapi gue maunya lo dan gue nggak mau orang lain.”

“Tapi gue nggak suka sama lo. Gue sukanya sama orang lain. Daripada lo terus mikirin gue kan lebih baik lo sama orang lain.”

“Gak ada yang bisa gantiin lo.”

“Pasti ada!”

“Nggak ada.”

“Pasti ada. Pasti banyak orang di luar sana yang tertarik sama lo. Gue harap lo bisa dapet....”

“Udah nggak usah dilanjutin. Cukup sampai di situ aja. Seperti gue nggak bisa memaksa lo buat suka sama gue, walaupun gue sudah berusaha sekeras mungkin, lo juga nggak bisa memaksa gue untuk nyari orang lain. Sori...”
---

Cause I want it all or nothing at all;
There’s nowhere left to fall when you reach the bottom it’s now or never
Is it all? Or are we just friends?
Is this how it ends with a simple telephone call you leave me here with nothing at all?
Bangsat memang.

Gue makin benci diri gue sendiri hari itu.

Kebencian gue itu semakin menjadi-jadi setelah gue tahu gue salah naik kereta. Harusnya setelah eskalator tadi gue pindah jalur, bukannya lurus aja dan naik kereta yang baru sampai itu.

“Ah taik.”

-bersambung-

Share:

0 komentar