Bangkok Bagian 1: Mimpi Buruk di Pesawat


Cuti gue 0. Kok bisa?

“Seinget gue tahun ini gue udah spare beberapa hari supaya Februari 2019 gue bisa ambil cuti buat ke Korea lagi. Kok ini sekarang 0?” Gue membatin sambil memandang layar laptop kantor yang sengaja gue nggak kasih nama supaya nggak nyaman dan nggak baper kalau nanti pisah. Semua barang-barang pribadi gue kasih nama. Laptop gue namanya Junmin dan sekarang udah nggak ada gunanya kalau dibawa ke kantor karena nggak akan bisa dipakai kerja. Kantor gue membatasi akses internet buat laptop kantor aja, laptop pribadi nggak akan bisa terhubung ke jaringan. Pernah gue punya laptop di kantor gue yang sebelumnya dan gue kasih nama Leonardo disingkat Leo. Pas kita pisah gue baper. Untung nggak sampai nangis sih.

Layar laptop kantor masih gue pandangin sambil mikir. Apa memang cuti gue sudah habis dan gue salah perhitungan? Sialnya memang gue nggak nge-track sisa cuti gue sendiri sih. Biasanya orang-orang akan mengkopi surat cuti mereka supaya mereka bisa menghitung sendiri berapa sisa yang mereka punya. Sementara gue hanya mengandalkan ingatan gue yang kadang-kadang untuk hal seperti ini nggak ada gunanya.

“Mungkin lo pernah unpaid tapi keitung cuti kali pas dulu lo pulang Lebaran atau apa gitu? Mungkin peraturannya kalau cuti masih sisa, nggak boleh unpaid,” kata salah satu teman gue yang duduknya beberapa kursi di sebelah gue.

Harusnya peraturan itu dijelasin dari awal dong. Gue membatin lagi. Atau sebenarnya mungkin sudah dijelasin tapi gue yang nggak denger? Gue nggak tahu juga.

Gue coba mengingat-ingat kapan saja gue ngambil cuti sepanjang 2018. Yang bisa gue ingat hanya beberapa hari cuti di bulan Mei waktu gue harus pulang untuk memperpanjang SIM dan ngurus pelat motor. Juni pas Lebaran dan Agustus waktu Lombok kena gempa. Tapi di antara beberapa hari cuti itu juga ada yang unpaid. Jadi harusnya masih ada sisa beberapa hari dan nggak mungkin sampai nol gini. Mungkin apa yang dibilang sama temen gue itu bener. Mungkin waktu itu unpaid leave gue keitung cuti juga. Jadinya nggak ada sisa sama sekali sekarag. Hmmm... Kalau Desember ini aja udah nol, itu berarti gue nggak akan punya spare cuti untuk dibawa ke Februari tahun depan. Itu berarti rencana ke Seoul....

Tiba-tiba gue merasa pening. Kepala bagian kanan gue agak nyut-nyutan.

Please, not again!

Kadang kalau pikiran lagi banyak gue suka mendadak migrain. Gue benci banget migrain. Kalau sakit kepala biasa nggak apa-apa deh, diminumin parasetamol bisa langsung sembuh sejam dua jam. Tapi migrain gue kadang suka parah. Suka nggak bisa sembuh cuma sekedar parasetamol. Suka parah sampai gue harus muntah dulu biar bisa sembuh. Gue ingat beberapa jam sebelum keberangkatan gue ke Seoul bulan Juni 2017 dulu, gue mendadak merasa masuk angin dan kepala gue sakit banget yang sebelah kanan. Ketika gue bilang mendadak tuh berarti beneran MENDADAK BANGET ASTAGFIRULLAH. Kayak jam 5 sore gue masih nggak apa-apa banget tapi jam 5:15 sore tiba-tiba kepala kanan gue sakitnya minta ampun. Pernah nggak lo nonton film gore atau slasher gitu, terus ada adegan misalnya orang dipenggal kepalanya atau dipotong bagian tubuhnya dengan benda seperti pedang atau belati gitu? Kebayang nggak sakitnya kayak apa? Gue selalu membayangkan rasa sakit itu dan pada saat sedang migrain ini gue rasanya mungkin kayak gitu. Kayak ada besi panas tipis setipis kertas gitu yang digosok-gosokin ke tengkorak kepala gue sebelah kanan. Mau muntah rasanya. Dan ya gue akhirnya muntah. Tapi akhirnya gue baikan dan bisa terbang ke Seoul malamnya. Gak lucu kan kalau gue nggak jadi terbang cuma gara-gara gue migrain.

Tapi kali ini gue nggak sedang dalam kondisi yang siap untuk merasakan rasa sakit kepala hebat cuma karena gue mikirin cuti. Gue mau hidup tenang dan menyelesaikan masalah gue dengan kepala dingin. Bukan kepala migrain.

Drrrrrrrttttttt.

Jeno bergetar di sebelah kanan tangan gue yang sedang pegang mouse. Jeno nama handphone gue. Ada notifikasi dari LINE dan preview-nya terbaca sekilas: “Mau nggak?”

Karena masalah cuti belum kelar gue jadi agak kesulitan untuk memproses keadaan ini. Gue butuh tenang. Gue butuh berpikir jernih. Gue nggak boleh grasa-grusu. Terakhir gue grasa-grusu mengambil keputusan berujung 10 bulan seperti neraka. Gue harus kalem dulu sebentar. Memang suasana hati gue beberapa hari terakhir sedang nggak enak, tapi sekarang beneran deh gue butuh yang namanya ketenangan supaya gue bisa berpikir jernih. Oke Ron, apa dulu yang harus dipikirkan dan diselesaikan sekarang? Cuti kan? Oke, kelarin ini dulu.

Gue mulai ngomong sendiri.

“Kalau memang cuti gue udah nol, ya berarti Desember kan gue tinggal ambil aja unpaid leave dua hari. Kelar dong urusan untuk Bangkok ini seharusnya? Nggak ada masalah dong, Ron. Iya kan?”

“Iya.”


Gue nanya sendiri jawab sendiri. Gue sudah bisa melihat beberapa teman gue mendelik ke arah gue dan sebelum mereka bertanya gue sedang ngomong sama siapa gue langsung bilang ke mereka kalau gue ngomong sendiri. Begin cara gue untuk menyelesaikan masalah dengan cepat.

“Terus Februari gimana?” gue nanya lagi ke diri sendiri.

“Yaudah nanti aja dipikirin. Toh masih Februari. Ya ini baru Oktober akhir gitu. November aja belum sampai. Masih jauh ke Februari. Lagian kan tiketnya juga udah dibeli, jadi mau nggak mau nantinya lo juga pasti harus mengusahakan untuk tetap berangkat apapun risikonya, kan? Pikiran aja dulu yang Desember,” kata sisi wise diri gue.

Oke baik. Jadinya gue unpaid leave aja buat Desember.

Case closed.

Gue menarik napas panjang, pelan-pelan diembuskan lewat mulut sambil menarik keluar laci bagian bawah yang ada di bawah meja kerja gue. Di sebelah kiri terselip satu folder map transparan yang isinya surat cuti. Gue keluarin dan fotokopi lalu memasukkan lagi file aslinya ke dalam laci dan mengisi form fotokopiannya. Menulis angka 2 di kolom jumlah hari dan mencentang kotak di sebelah kiri tulisan unpaid leave. Gue nggak tahu akan sebanyak apa potongan gaji untuk unpaid leave ini. Tapi yang jelas sekarang cuti done. Tinggal menanggapi LINE itu tanpa mengisyarakatkan gue punya masalah sedikitpun.

“Mau banget! Gila sih! Aaaaaaakkkkk!!!!!!!!!!” gais, gue memang seheboh itu kalau di chat. Seringkali gue pakai huruf besar. “Aku akan beli tiket pesawatnya di awal Desember. Sekarang lagi nggak ada duitnya. Hehe. Aku mau ya tiketnya! Nanti aku tanya-tanya lagi kalau udah sampai Bangkok. Oke?”

“Oke, Ron!”


Walaupun pasti akan ada halangan-halangan lain di depan, akan ada kejutan-kejutan lain yang diberikan hidup, tapi untuk sekarang gue bisa mengembuskan napas lega. Pikiran gue masih bercabang, tapi paling enggak udah ada masalah yang selesai. Memang gue tuh gampang banget bercabang pikirannya apalagi kalau sudah berkaitan dengan uang. Gue nggak tahu unpaid leave ini berarti dipotong berapa buat gaji, sebenarnya nggak mau jadi beban pikiran juga. Sebenarnya kan kalau diitung-itung ya... risiko lah. Udah dapet tiket konser gratis, potong gaji ikhlasin lah. Hahaha. Jujur aja gue sebenarnya agak perhitungan soal uang. Teman-teman dekat gue pasti tahu hal ini. Bisa dibilang gue termasuk pelit ke diri sendiri. Tapi kalau ke orang yang gue suka gue bisa abis-abisan banget sih. Hehe. Nggak adil banget kesannya. Tapi gue suka kalau dia kenyang. Hahahahaha. Tapi ada juga kalanya gue cuek soal penggunaan uang selain karena orang yang gue sedang taksir itu misalnya. Walaupun nggak selalu. Biasanya cuek kalo ngerasa perhitungan di kepala gue udah pas karena pemasukan-pemasukan lain yang tidak terduga seperti misalnya ada job posting di Instagram gitu. Ya bolehlah agak boros dikit di bulan ini karena bulan depan akan dapat uang segini. Gitu. Harusnya buat perjalanan ke Bangkok ini juga gue harusnya bisa cuek sih. Karena gue nggak terlalu mengeluarkan uang dengan jumlah yang “banyak” juga kan. I mean, gue udah dapat tiket konser tanpa bayar. Gue cuma tinggal beli tiket pesawat dan bayar penginapan doang. Yang gue dengar penginapa di Bangkok cukup murah dan tempatnya juga sudah bagus banget dengan fasilitas yang oke. Jadi transportasi dan akomodasi harusnya nggak akan melebihi budget tiket kan. Belum lagi pengalaman yang akan gue dapat di sana yang pasti nggak akan bisa dihargai dengan uang berapapun.

Tapi ya tipikal Ron, selalu overthinking. Makanya gak gemuk-gemuk. Gitu kata nyokap.

Gue menyesap kopi yang sudah dingin dari mug oranye punya kantor, menoleh ke jendela lalu tersenyum kecil.

“Bodoh. Kebanyakan mikir!”


--


Bingung? Sebenarnya gue lagi meracau apa sih? Hahahahaha. Oke gue jelasin pelan-pelan. Jadi gini ceritanya...

Selama lebih dari setahun terakhir gue kerja di KASKUS. Buat yang follow gue di Instagram pasti tahu deh, soalnya gue kan sering banget update Instagram Stories pas lagi di kantor. Kerjaan gue nggak banyak tapi masih di area tulis menulis yang gue suka. Sekitar bulan Oktober 2018, gue baca di Soompi kalau IU sudah mengumumkan Asia Tur-nya dan akan datang ke beberapa negara di Asia Tenggara. Biasanya kalau IU tuh pasti deh selalu Hong Kong dan nggak pernah ke belahan negara Asia Tenggara yang lain. Tapi 2018 ini beda karena ternyata dia masukin Singapura dan Bangkok ke daftar negara tujuannya juga. Wah excited! Walaupun gue sebenarnya ingin IU datang juga ke Indonesia, tapi gue tahu itu nggak akan terwujud dalam waktu dekat soalnya yah di sini paling juga fans dia yang mau nonton nggak sebanyak yang mau nonton BLACKPINK. Daripada nanti dia kecewa karena konsernya sepi, jadi mending ke kawasan yang sudah pasti ramai aja. Gue sedang menulis artikel konser IU itu buat di-post di KASKUS waktu gue kepikiran buat menghubungi mas Welly dan mencoba propose liputan ke promotor konser yang di Singapura dan Bangkok.

Setelah resign dari detik.com di tahun 2016, gue memang nggak lagi menjabat sebagai jurnalis Kpop. Tapi bukan berarti gue keluar 100% dari dunia tulis-menulis berita KPop ini. Di tahun yang sama gue mencoba untuk mencari tempat bernaung di mana gue bisa menulis dan pergi buat liputan konser juga. Hehe, inilah cara hemat sejati buat fans kere: bekerja di tempat yang bisa memfasilitasi lo nonton konser gratis. Dan beruntung gue kenal kak Retha. Pertama kali kita ketemu waktu lagi liputan di Langkawi, Malaysia, di sekitar tahun 2014. Kak Retha kemudian ngenalin gue ke mas Welly, kreatornya Creative Disc, blog musik yang sudah eksis sejak lama. KaosKakiBau sih belum sampai di level Creative Disc lah untuk urusan kekerenan. Mereka juga sering nulis soal konser Kpop karena di era gue masih jadi jurnalis, sering ketemu sama beberapa jurnalis dari Creative Disc juga di lapangan. Ketika gue apply di situ tahun 2016, mas Welly menerima gue dengan tangan terbuka. Seneng banget! Jadi sampai sekarang gue pun masih jadi bagian dari pasukan Creative Disc. But fyi, supaya nggak salah paham kok gue kerja di KASKUS tapi di saat yang sama juga bergabung sama Creative Disc sih? Di Creative Disc konsep kerjanya adalah voluntary. Jadi nggak dibayar. Ya gue dibayarnya pake tiket konser yang kemudian dibarter dengan artikel. As simple as that. But you know what, it’s not always about money (dalam konteks ini). Karena Creative Disc gue bisa nonton beberapa konser Kpop di Jakarta. Bahkan gue bisa wawancara NCT 127 di tahun 2017. I don’t get any money but I get a looooooooooooooooooooooooooot of fun and experience!

“Mas, coba apply buat konser IU di Singapura sama Bangkok yuk!” gue mengirim pesan ke mas Welly di WhatsApp. Kalau dilihat history chat gue ke mas Welly kebanyakan isinya pesan serupa. Hihihi. Sering banget gue suggest ke mas Welly buat propose liputan konser KPop di dalam dan luar negeri. Walaupun nggak banyak yang tembus sih. Sekarang-sekarang ini agak susah buat dapat kerjasama dengan promotor apalagi untuk konser Kpop. Beda sama beberapa tahun yang lalu. Nggak tahu kenapa, promotor Indonesia (terutama) kesannya agak tertutup sama media untuk urusan konser ini. Tahu sih, beberapa dari promotor punya rules sendiri buat kualifikasi media yang boleh meliput konser mereka. Tapi Creative Disc kan bukan media nugu. Track record-nya bagus banget di genre lain lho! Mereka selalu diundang ke event F1 di Singapura, selalu jadi salah satu media yang meliput event It’s The Ship (event EDM party di kapal pesiar) setiap tahunnya, bahkan juga pernah hadir ke berbagai gigs di Amerika.

“Nggak ada salahnya dicoba deh mas, aku cariin emailnya ya?” mas Welly menanggapi setuju dan akhirnya gue pun browsing promotor konser IU di Singapura dan di Bangkok. Nggak terlalu lama gue langsung nemu dan kami langsung mengirim proposal peliputan.

Mas Welly, bos gue di Creative Disc ini, orangnya ramah banget. Dia tinggal di Surabaya jadinya kita jarang ketemu. Sejak bergabung dengan Creative Disc gue juga cuma pernah ketemu sama dia sekali. Tapi kita sering ngobrol lewat WhatsApp buat ngebahas Kpop-Kpop gini juga. Soalnya mas Welly punya anak remaja gitu dan kalau anaknya lagi suka apa dia suka cerita juga ke gue. Kayak kemaren anaknya minta nonton konser BLACKPINK dan dia mengeluhkan harga tiket yang sangat mahal. Hihihihi.... Yang gue suka dari mas Welly adalah dia percaya banget sama gue untuk urusan liputan Kpop. Walaupun terkadang dari sisi gue kepercayaan orang bisa jadi beban, tapi seringkali malah jadi motivasi banget. Makanya dia selalu mau kalau gue tawarin buat email ke promotor A atau promotor B buat propose liputan. Walaupun jarang juga sih kita dapet. Wkwkwkwk. Tembusnya proposal buat liputan konser ini bukan cuma sekedar supaya kita bisa dapet tiket nonton gratis sebenarnya. Tapi lebih ke relasi antara promotor dan media. Sedihnya, nggak semua promotor Kpop sekarang media friendly. Hihihi... Gue pernah dengar tubir dari salah satu temen gue yang pernah kerja di promotor. Katanya gue sudah masuk ke dalam blacklist mereka.

Ini mungkin kesannya kayak gue penting banget ya hahahah tapi itulah yang gue dengar dari temen gue ini. Dia bilang gue udah di-blacklist. Menjelaskan kenapa sekarang Creative Disc jarang banget dapat kesempatan liputan artis-artis yang dibawa sama promotor ini. Waktu gue tanya alasannya ke temen gue, dia simply bilang karena gue suka bikin keributan kalau di preskon. Gue sih ketawa aja aja walaupun memang itu memberikan kesan gue tidak profesional. Tapi tenang aja kok, sekarang udah chill gue anaknya. Zaman-zaman itu kan memang masih alay dan masih butuh perhatian banget Wahahahha. Yang perlu diketahui di sini, keributan yang dimaksud bukan teriak-teriak atau apa. Cuma angkat banner shipper pas press conference fanmeeting salah satu aktor. Tapi memang abis itu Creative Disc nggak pernah lagi diundang sama dia. Entah apa karena memang mereka tahu gue sekarang di Creative Disc dan mereka nggak mau ada orang dari daftar hitam yang datang ke acara mereka, atau memang karena teman gue itu udah nggak kerja lagi di sana jadi daftar medianya udah berubah. Sebenarnya gue sendiri enggak enak ke mas Welly soalnya kayak yang tadi gue bilang dia orangnya kan baik banget. Semoga kalau dia baca ini, dia nggak berubah pikiran ya tentang gue. Ahahaha.

Untuk yang IU ini gue berdoa banget supaya salah satunya bisa tembus. Gue juga sudah menjanjikan kalau gue akan jabanin deh itu konser di Singapura dan Bangkok yang digelar berurutan. Mau deh berangkat dari Jakarta ke Singapura terus loncat ke Bangkok buat ngejer IU. Bodo amat bokek yang penting nonton IU.

Kata orang yang tadi di awal bahas soal peritungan soal uang.

Terus soal LINE yang gue terima tadi...

Itu LINE dari seseorang baik hati yang selalu muncul ketika gue desperately ingin nonton konser artis yang gue suka, tapi nggak punya cukup uang untuk afford tiket konser di luar negeri sekaligus tiket pesawat dll dll dll-nya. Gue belum minta izin sama dia buat nyebutin nama dia di sini jadi gue nggak bisa tulis namanya. Tapi sejak IU mengumumkan kalau dia akan konser di Singapura dan Bangkok (yang juga diumumkan oleh Si Baik Hati ini di Instagram-nya), gue udah tahu kalau dia pasti punya peran besar di salah satu konser IU di dua negara berbeda itu. Gue nggak bisa bilang kami deket banget tapi dia selalu muncul kayak knight in shining armor gitu deh buat urusan pertiketan konser Kpop baik di dalam atau di luar negeri. Walaupun gue agak malu untuk bertanya apakah dia punya kelebihan tiket atau nggak (tapi gue sangat desperate ingin nonton IU hahahaahahaha jadi gue buang malu gue hahahahaha Ya Allah gatau malu hahahahahahahahaha) (dan yang pasti dia sih pasti ada lebih tapi apakah itu tiket boleh buat gue atau enggak itu yang belum pasti kan) dia bilang ada.

“Aku mau....”

Dan dia membalas chat itu singkat.

“Oke, satu buat kamu ya Ron.”

Ada kembang api meledak di dalam perut gue. Ledakan kedua terjadi di dada gue. Ledakan ketiga di kepala gue.

HIT YOU WITH THAT DDU-DU DDU-DU DDHHHUUAAAAARRRRRRRR.

Gue nggak tahu kebaikan apa yang sudah gue buat untuk dunia sepanjang hidup gue. Gue sendiri aja bahkan ragu apakah selama ini gue sudah jadi orang yang baik atau belum. Rasanya hari itu gue ingin banget teriak kenceng-kenceng. Ingin banget lari keliling kantor sambil teriak kenceng-kenceng.

“TERIMA KASIH YA ALLAH! AKHIRNYA AKU BISA NONTON IU SETELAH SEKIAN LAMA!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”


--


Gue seharusnya bisa dapat tiket promo buat terbang ke Bangkok dan balik ke Jakarta. Tapi gue terlalu lama mikir. Nyesel juga waktu itu kenapa nggak langsung beli aja sih tiketnya? Padahal beda harganya jauh banget! Besok-besok kalau promo sih mending beli aja langsung daripada nyesel. Gue mengumpat pelan sambil berusaha untuk tetap tenang karena kebodohan sendiri kan nggak bisa menyalahkan siapapun. Gue melewatkan tiket PP Rp 1,7 juta itu dan merelakan duit untuk beli tiket PP Rp 2,5 juta dari salah satu situs tiket. Dua harga itu memang dari maskapai yang berbeda sih. Tapi toh gue nggak pernah tahu apa bedanya. Gue pernah naik maskapai yang menawarkan tiket murah itu sekali tapi itu udah lama banget. Sementara maskapai yang harganya lebih mahal ini gue udah sering naik pas ke Lombok (walaupun kayaknya diurus oleh perusahaan yang beda untuk penerbangan ke Thailand). Tapi belum lama ini salah satu maskapai itu mengalami kecelakaan dan gue jadi agak parno. Kalau udah urusan mati gue beneran takut banget deh.

“Orang beriman tuh nggak boleh takut mati,” begitu kata nyokap. Masalahnya apakah iman gue sudah setinggi itu sampai gue nggak takut mati? Salat subuh aja gue masih suka bolong. But anyway, tiketnya udah gue beli dan gue merasa fifty:fifty. Separo menyesal tidak membeli tiket promo yang lebih murah itu dan separo ikhlas karena yaudah daripada nggak jadi berangkat sama sekali.

Gue memutuskan untuk beli tiket ke Bangkok ini setelah satu bulan berselang sejak proposal peliputan ke konser di Singapura yang nggak ada kabar sama sekali. Biasanya sih enggak selama ini. Kalaupun misalnya mereka belum bisa memberikan kepastian soal liputannya, paling enggak kan mereka bisa balas email-nya gitu lho maksud gue. Tapi ini sama sekali nggak ada jawaban. Sampai gue bilang ke mas Welly apakah perlu kita email lagi? Walaupun gue bilangnya pake tanda tanya tapi mas Welly email lagi akhirnya ke mereka. November berlalu tanpa ada kabar sama sekali soal liputan itu dan gue sama mas Welly akhirnya menyerah.

“Yaudah lah mas, anyway aku kan juga ke Bangkok. Jadi nanti bisa nulis yang Bangkok aja kalau misalnya Singapura nggak dapet,” kata gue. Ya kan namanya juga manusia hanya bisa berencana, ujungnya Tuhan juga yang akan menentukan. Walaupun nonton tek-tok dari Singapura ke Bangkok terdengar akan sangat menyenangkan, tapi kan gue nggak boleh greedy juga. Syukuri aja yang udah didapat. Nggak perlu berlebihan. Mungkin itu cara Tuhan mengajarkan gue untuk tidak boros juga muahahahahahhaahhahaa. November pun akhirnya berakhir tanpa ada email balasan apapun dari promotor baik dari Singapura atau Bangkok. Desember datang dan gue mulai deg-degan.

Ini pertama kalinya gue akan nonton IU secara langsung. Gue nggak pernah terbayang sebenarnya bahwa pada akhirnya setelah sekian lama gue cuma jadi fans biasa-biasa aja terus dalam beberapa hari gue akan bisa menyaksikan IU di panggung konser. Mendengarkan suaranya langsung dari dalam ruangan yang sama dengan tempat dia berdiri. Ini tuh semacam mimpi jadi nyata banget buat gue. Istimewanya lagi, ini adalah pengalaman pertama gue nonton IU! Sekaligus ini juga akan jadi pengalaman pertama gue ke Bangkok, Thailand. OMG GUE LUPA DENGAN FAKTA KEDUA. GUE BELUM PUNYA ITINERARY.

Gue punya teman—dulu—yang suka banget sama Bangkok. Dulu pas kita masih main bareng dia sering banget meracau soal Thailand. Beberapa teman yang ada di circle yang sama juga sudah pernah pergi ke Thailand bahkan ada yang ke Bangkok tuh kayak ke Bandung. Sebulan mungkin bisa dua sampai tiga kali. Tapi karena gue nggak pernah sebegitu tertariknya sama kota ini, gue nggak terlalu mendengarkan dengan baik setiap cerita mereka. Setiap detail lokasi yang mereka kunjungi. Kayak belanja ini bagusnya di mana, kalau mau lihat ini enaknya ke mana. Yang gue tahu soal Bangkok cuma Siam dan Chatuchak doang. Dan itu sudah pasti akan gue kunjungi sih karena yang pertama kali muncul di kepala gue ya dua tempat itu. Sejak pertama kali ke Seoul di 2015, gue jadi sering bikin itinerary kalau mau pergi-pergi. Tapi yang Bangkok ini bener-bener kelewat banget deh. Dan ketika gue heboh soal belum punya itinerary itu, gue sama sekali nggak berusaha untuk melakukan apapun selain book hostel. Gue cuma lihat-lihat di Google berbagai artikel yang judulnya “Place you have to visit while in Bangkok” dan yang setipe itu. Tanpa benar-benar merencanakan dan menyusun hari pertama ke mana dan hari kedua akan ngapain. Ngomong-ngomong gue akan menghabiskan 4 hari 3 malam di Bangkok. Karena ini terbilang cukup lama juga, jadi gue rasa gue butuh itinerary.

“Gue minta punya lo deh, lo kan udah pernah ke sana kan? Masih ada nggak?” gue tanya temen kantor yang duduknya persis di depan gue. Setelah dia cari-cari di email untungnya masih ada. Oke, gue merasa aman dan tidak lagi perlu itinerary. Karena gue bisa lihat daftar tujuan yang dia buat untuk jadi pedoman. Dan itu tinggal gue buka nanti pas udah sampai sana. Sekarang yaudah tinggal berangkat aja dan memastikan diri untuk tidak sakit jelang hari keberangkatan. Nggak mau kejadian pas mau ke Seoul waktu itu terulang lagi.

Meski pengetahuan gue soal Bangkok sangat minim, tapi gue tahu kalau di sini adalah surganya belanja. Banyak yang bilang kalau harga baju-baju di Bangkok tuh murah banget. Jadi gue merasa nggak perlu banyak bawa pakaian ke sini. Karena gue akan tinggal selama empat hari, idealnya gue harus bawa empat baju. Tapi hari itu gue mutusin untuk bawa tiga aja. Muahahahahha rasanya kayak nggak ada beda ya. Wahahahha. Soalnya gue kan baru bikin baju Quintruple Million Seller itu jadi gue ingin bawa itu dengan harapan kalau nanti gue bisa foto di suatu tempat, gue sekalian bisa pamer baju itu. Yang kedua gue kan harus bawa baju Overdose merah yang sudah jadi trademark gue kalau nonton konser, itu sudah pasti masuk ke list baju pas hari H nanti. Nah hari terakhir nanti beli aja deh di sana bajunya. Sekalian beliin oleh-oleh buat keluarga di Lombok. Untuk hari pertama, ini random banget sih, gue pake baju batik lengan panjang yang gue pakai beberapa jam saja ke kondangan teman gue satu minggu sebelumnya. Gue nggak rela kalau baju itu cuma dipake beberapa jam aja terus langsung dicuci. Jadi gue pakai aja buat berangkat ke Bangkok di hari pertama. Karena gue nggak ada niatan buat bawa celana panjang, jadi gue padukan batik ini dengan celana pendek aja. Nggak jelek kok! Asal pede mah semua bagus aja. Kata gue gitu. Gue berhasil packing dengan berat koper yang kayaknya cuma dua kilo setengah. Yang bikin berat ini cuma perintilan obat muka sebenarnya. Berhubung gue masih jerawatan, ini nggak boleh ditinggalin.

Seperti perjalanan-perjalanan dengan pesawat yang sudah-sudah, gue selalu nggak akan bisa tidur tenang jelang keberangkatan. Ada ketakutan-ketakutan yang rutin datang sebelum terbang tuh. Takut ketinggalan pesawat iya. Takut mati juga iya.

Takut ketinggalan pesawat karena gue terbangnya pagi jam 6:30 WIB. Jadi gue sudah harus sampai bandara paling enggak 90 menit sebelum itu. Jadi gue harus berangkat dari kosan paling enggak 90 menit dari sebelum gue sampai di bandara. Jadi kalau estimasi sampai di Bandara jam setengah lima pagi, gue udah harus berangkat dari kosan sekitar jam tiga atau jam setengah empat pagi paling telat. Jam segitu biasanya sudah ada sih GrabCar atau GoCar gitu, jadi gue bisa nyambung Damri dari Terminal Damri di Blok M. Hehe. Cari yang murah aja. Nggak sanggup kalau harus naik GrabCar/GoCar dari kosan ke Bandara. Lumayan menghemat hingga Rp 50 ribu kan. Bisa buat ongkos pulang nanti yang pastinya akan lebih mahal karena jam pulangnya akan lewat tengah malam banget sampai di Jakartanya.

Takut mati biasanya sih karena ya kita nggak pernah tahu kan apa yang akan terjadi selama penerbangan. Ditambah lagi karena beberapa minggu sebelumnya maskapai yang gue akan naiki ini kecelakaan juga. Gue nggak suka nih sama pikiran-pikiran yang kayak gini, tapi nggak gampang buat gue untuk menghalaunya. Setiap kali akan terbang pasti pikiran-pikiran macam ini akan datang dan mengganggu. Sampai-sampai gue nggak pernah bisa tidur. Ingat cerita soal Seoul di awal tulisan ini? Perasaan gue sebelum berangkat itu juga persis sama. Ditambah dengan migrain makin miserable aja deh hidup gue. Bagaimana kalau gue beneran mati? Bagaimana kalau gue mati terus mayat gue nggak diketemukan? Bagaimana kalau gue mati dengan kondisi mayat tidak ditemukan kayak gitu dan gue masih punya banyak dosa? Gue belum siap mati. Apalagi matinya menuju bersenang-senang tanpa faedah pula kan. Bukan dalam perjalanan relijius atau semacamnya.

YA ALLAH AMPUNI HAMBA.

Selain nelepon nyokap, ada satu orang lagi yang gue pikir harus gue hubungi sebelum gue berangkat. It’s not necessary sebenarnya, tapi entah kenapa gue merasa gue harus menghubungi orang ini. Kalau-kalau gue beneran mati ya kan, paling nggak gue udah kasih kabar ke dia gue ke mana. Walaupun dia nggak peduli sih kayaknya hahahahahah. Niatnya cuma mau berkomunikasi ringan saja sama ini orang malah berujung membicarakan hal yang sangat serius. Sangat serius sampai gue gemeter waktu nge-chat dia. Diselingi dengan senyuman kecil sih yang sampai mencuri perhatian teman gue dan nanya, “Lo ngapa senyum-senyum sendiri sih?” gitu. Tapi inti dari obrolan itu sebenarnya malah bikin gue semakin tertekan dan terpojok sih. Ya gimana dong wkwkwkkw lo chat sama orang yang lo suka setelah dia bilang dia nggak suka sama lo dan mau temenan aja walaupun dia sama sekali tidak menunjukkan niat untuk kembali berteman gitu kan ya. But anyway, awalnya gue chat dia karena gue nggak mau punya banyak beban sebelum berangkat, eh malah menambah beban banget. Ada satu poin di obrolan itu (yang gue nggak bisa share di sini karena sangat private wkwkwkkwkw) yang bikin gue sangat kepikiran. Sampai-sampai gue nggak bisa tidur di H-1 keberangkatan. Gue terbangun jam setengah tiga pagi, memaksa diri untuk mandi, dengan mata masih kriyep-kriyep naik GrabCar ke Terminal Damri Blok M. Kepala gue memang nggak sakit, tapi dada gue rasanya sesak. Masih sesak karena obrolan via WhatsApp itu.

Taik, tau gitu gue nggak usah chat dia kan. Gue mati juga kayaknya dia nggak peduli.

Yagitu.

Kondisi badan gue antara fit dan tidak. Lebih ke ngantuk mungkin. Ditambah lagi gue harus mikirin basian chat itu jadilah gue agak tidak bersemangat. Sekitaran kepala gue kayaknya ada awan mendung yang bikin gue jadi terlihat murung. Sekuat apapun gue mencoba untuk menghibur diri gue dalam perjalanan ke Bandara hari itu selalu gagal. Gue tidur hampir sepanjang jalan dan terbangun ketika busnya sudah masuk ke kompleks Bandara. Karena gue cuma bawa koper kabin dan ransel, gue nggak butuh waktu lama untuk check in. Biasanya gue akan minta kursi dekat jendela ke petugas check in tapi hari ini gue biarin aja segala kemungkinannya berjalan sesuai kemauan Tuhan. Ngomong-ngomong ini adalah pertama kalinya gue keluar negeri lagi setelah punya paspor baru. Jadi ada banyak hal pertama dalam perjalanan ini.

Setelah salat subuh di musala ruang tunggu keberangkatan internasional, setelah dipaksa menghabiskan satu jus blueberry yang rencananya mau gue minum sebelum x-ray check bagasi terakhir tapi gue lupa, setelah gue pikir pesawatnya kan tetap waktu tapi yang mana ini maskapai terkenal ngaret jadi yaudah gue masuk ke ruang tunggu dan lumayan nunggu lama juga, akhirnya gue masuk ke pesawat yang warna kursinya udah sangat familiar itu. Ketika check in gue nggak terlalu memperhatikan nomor kursi gue sampai akhir gue sampai di kursi itu dan surprise. Jendela darurat.

“Apakah ini sebuah petunjuk kalau gue benar-benar akan mati.”

Itu bukan pertanyaan.

Duduk di kursi dekat jendela darurat sebenarnya enak karena lo bisa selonjoran dengan leluasa mengingat jarak antara kursi lo dengan kursi yang ada di depannya cukup jauh. Soalnya kan harus ada jalan yang cukup luas buat evakuasi keluar pesawat lewat sayap. Sebelum duduk lo juga diperbolehkan untuk pindah tempat duduk kalau memang lo nggak bersedia membantu proses evakuasi ketika pesawat berada dalam kondisi darurat. Tapi gue nggak bisa mikir sama sekali saat itu. Boro-boro minta buat pindah kursi. Gue blank beneran deh. Mungkin karena gue sibuk berusaha untuk tidak memikirkan apapun. APAPUN. Gue yang lagi parno ini sudah nggak bisa fokus. Walaupun gue masih ingat kursi gue di paling pinggir. Di sebelah gue ada pasangan Chinese usia 40an kalau dilihat dari wajahnya. Abis ini udah nggak mau apa-apa lagi. Gue mau duduk dan tidur sepanjang jalan. Jadi kalau misalnya nanti gue mati karena pesawat ini terjun bebas karena nabrak burung atau karena nyangkut di benang layangan, gue nggak akan sadar kalau gue sudah mati. GUE TAKUT BANGET TAPI GUE NGGAK MAU MERASA TAKUT. Gue duduk, pasang sabuk pengaman, dan mendadak alim gue buka aplikasi Quran di handphone gue. Ngaji sebentar sebelum akhirnya gue terlelap.

Entah berapa menit persisnya tapi gue mendengar suara ding! dari speaker, mengisyaratkan akan ada pengumuman dari pilot. Sebelum itu terdengar, gue sudah merasakannya. Gue sudah merasakan getaran yang lebih dari sekedar goyangan yang biasa terjadi waktu pesawat masuk ke area yang berawan misalnya. Pesawat itu mengalami turbulence yang kenceng banget. Kursinya bergetar kenceng banget. Badan gue terlempar tapi tertahan sabuk pengaman ke kiri dan ke kanan. Rasanya kayak lagi naik roller coaster banget. Gue akhirnya mendengar pengumuman dari pilot ini. Jelas banget gue denger itu dan gue makin deg-degan. Apakah ini benar-benar saatnya gue akan mati?

“Karena ada turbulence, semua penumpang diharap kembali ke tempat duduk dan mengenakan sabuk pengaman.”

Kaki gue udah nggak bisa rileks lagi walaupun bisa selonjoran. Posisinya sekarang menapak kuat dan terlipat seperti orang duduk di kursi pada umumnya. Entah kenapa gue sesekali nahan napas. Mata gue tertutup rapat. Tiba-tiba badan gue ketarik ke kiri. Sekeliling tempat duduk gue sudah berubah merah. Pesawat itu terbakar! Tapi gue nggak merasa panas sama sekali. Gue nggak mencoba untuk melepas sabuk pengaman atau apa. Gue nggak bisa bergerak bahkan. Badan gue ketarik ke kanan. Mata gue masih tertutup. Berusaha untuk gue buka tapi nggak bisa. Gue berusaha untuk membuka mata lagi tapi tetap saja enggak bisa. Tapi anehnya gue bisa melihat pesawat itu terbakar. Api ada di mana-mana. Bagasi di atas kepala orang-orang ada beberapa yang terbuka dan isinya berserakan. Tapi nggak ada orang-orang yang panik lari-larian. Semuanya masih dalam posisi duduk dan api membakar semuanya.

Tiba-tiba ada yang teriak kenceng banget. Mungkin berusaha membangunkan gue. Dia nggak manggil nama gue tapi gue tahu panggilan itu ditujukan ke gue. Dia manggil gue berkali-kali dan berusaha untuk membuat gue membuka mata. Mungkin dia pikir dengan begitu gue bisa bangun dari kursi dan kabur lewat jendela darurat yang jaraknya cuma dua kursi di samping gue. Sayangnya gue nggak bisa membuka mata semudah itu. Gue masih berusaha tapi nggak bisa. Suara itu makin terdengar kenceng banget di kuping gue. Memaksa gue untuk membuka mata. Dada gue mendadak sesak. Badan gue terlempar lagi ke kanan dan ke kiri lebih cepat dari sebelumnya. Gue merasa capek banget dan ketika gue akhirnya bisa membuka mata, gue terbangun dari mimpi yang benar-benar buruk. Mimpi yang nggak pernah gue harapkan akan gue alami ketika gue sedang ada di dalam pesawat.

Di momen itu gue merasa persis seperti Alex ketika dia mengalami mimpi buruk di film Final Destination. Gue bisa melihat jelas api di sekeliling pesawat itu. Gue bisa mendengar jelas teriakan orang yang membangunkan gue itu. Gue bahkan masih ingat detailnya ketika gue menulis posting-an ini. GUE MAU NANGIS RASANYA. Kenapa semua kekhawatiran gue soal kematian dan kondisi mental gue sebelum berangkat malah berujung ke mimpi buruk ini sih? Kan gue jadi makin parno! Ini baru penerbangan berangkat, masih ada penerbangan pulang. Gimana kalau mimpi itu ternyata pertanda buat penerbangan pulang?! GIMANA KALAU MIMPI ITU PERTANDA BUAT PESAWAT INI KETIKA AKAN MENDARAT?! MAU NANGIS RASANYA.

Gue mendongak sedikit melihat lampu tanda kenakan sabuk pengaman yang kebetulan sudah mati. Turbulence sudah lewat. Mimpi buruk sudah lewat. Gue membuka sabuk pengaman dan jalan gontai ke kamar mandi. Cuci muka dengan air hangat dan mengosongkan semua isi kandung kemih sebelum akhirnya duduk lagi dengan mencoba menenangkan perasaan sendiri. Ini seharusnya jadi perjalanan yang menyenangkan. Ini harusnya jadi pengalaman pertama gue ke Bangkok yang menyenangkan. Bukan justru gue diselimuti oleh mimpi buruk soal pesawat terbakar dan kematian. Dan sialnya ini baru setengah perjalanan dari tiga jam penerbangan. Gue nggak berani tidur lagi meski kondisi gue sangat mengantuk karena semalam nggak tidur dengan benar. Gue juga nggak bisa mendengarkan musik untuk menenangkan diri karena headphone gue sekarang Bluetooth dan gue nggak yakin bisa menggunakannya di dalam pesawat kayak gini. AAAAAAAAAARRRRGGGHHHHHH.... Gue berusaha menenangkan diri gue dengan membuka galeri foto dan melihat foto-foto lama lalu di-edit di Lightroom. Sampai akhirnya kantuk menyerang lagi dan gue tertidur lagi sampai akhirnya pesawat itu mendarat di Don Mueang International Airport.

Alhamdulillah. Gue nggak mati.

Alhamdulillah. Gue belum mati.


- bersambung -

Share:

0 komentar