Gadis itu menatap cincin yang sudah satu jam terakhir ada di tangannya hari ini. Bukan terpasang di jarinya, tapi diantara telunjuk dan ibu jarinya. Bingung. Apa yang harus dia lakukan pada cincin itu? Dia juga tidak tahu. Rasanya beberapa hari ini dia tidak enak makan. Tidak enak tidur. Penyebabnya adalah cincin itu. Atau... orang yang memberikan cincin itu lebih tepatnya. Apa rasanya mencintai tetapi tidak pernah bahagia bahkan sedikitpun? Oh tidak. Dia pernah bahagia. Dulu sekali (sebelum sebuah jarak akhirnya menghalangi mereka). Sampai-sampai dia lupa bagaimana rasanya. Banyak sekali keraguan yang menghantui pikirannya belakangan ini dan sepertinya semua itu juga berasal dari benda yang sama: cincin yang ditatapnya itu. Sebuah simbol komitmen yang sebenarnya telah lama pupus. Sudah lama tidak berarti lagi. Dan hari ini gadis itu sudah memutuskan untuk menghentikan semua omong kosong dan kebodohan ini. Sudah saatnya untuk berkata pada laki-laki itu bahwa dia sudah tidak ingin lagi menjalani apapun dengannya. Tapi... apakah dia akan sanggup? Laki-laki itu sudah seperti satu-satunya orang yang mengisi ruang hatinya selama beberapa tahun belakangan ini. Laki-laki itu sudah seperti sumber mata air yang bisa menyegarkan setiap kali dia merasa gerah dan kehausan. Laki-laki itu sudah seperti acara komedi di televisi yang selalu membuatnya tertawa (walaupun tidak bisa dipungkiri juga pada saat yang sama laki-laki itu juga selalu membuatnya menangis diam-diam beberapa waktu terakhir ini). Tapi ya... laki-laki itu adalah satu-satunya laki-laki yang dicintainya. Bagaimana mungkin dia akan meminta putus? Sanggupkah? Hanya saja rasa sakit ini sudah tidak bisa ditahan lagi... Bodoh rasanya jika terus dipertahankan.
Sudah waktunya untuk memutuskan. Pikirnya.
Gadis itu memasang kembali cincin itu ke jari manis sebelah kirinya. Semuanya masih bisa berubah. Dia berpikir begitu. Sebelum dia mengucapkan kata-kata perpisahan itu langsung dari mulutnya di depan laki-laki itu (yang kemungkinan sepuluh atau lima belas menit lagi akan ditemuinya) semuanya bisa saja berubah. Gadis itu bangkit dari duduknya dan berjalan menuju sebuah tempat makan yang sepertinya sudah menjadi tempat yang wajib didatanginya dengan laki-laki itu. Tempat itu terlalu banyak kenangan. Dan sekarang apakah dia harus menuliskan catatan lain yang jujur saja menyakitkan di tempat yang menjadi favoritnya sepanjang masa? Apakah dia bisa melakukan itu?
Dalam otaknya sekarang dia sudah bisa membayangkan bagaimana suasana ketika dia membuka pintu dan melihat laki-laki itu duduk di sebuah meja menunggunya. Sudah berapa lama mereka tidak bertemu sejak laki-laki itu memutuskan pergi dulu? Dua tahun? Tiga tahun? Entahlah... Menghitung semua waktu yang berlalu sama saja mengurai satu per satu rasa sakit itu lagi. Tapi, dalam pikirannya, laki-laki itu menyambutnya, tersenyum rikuh dan menyambutnya dengan segelas kopi hangat favorit mereka berdua.
Gadis dan laki-laki itu kini duduk berhadapan. Hening sepersekian detik sebelum akhirnya laki-laki itu bertanya "Apa kabar?" dan gadis itu menjawab "Aku baik-baik saja, bagaimana denganmu?" kemudian laki-laki itu menjawab lagi "Aku juga baik-baik saja." lalu kemudian hening kembali. Biasanya gadis itu bukanlah tipe orang yang menanti seseorang untuk mengajaknya berbicara atau menunggu seseorang melontarkan sebuah topik pembicaraan yang menarik. Dialah yang biasanya memiliki ide dan sesuatu untuk dibicarakan. Tetapi kali ini rasanya dia tidak mau. Dia memaksa otaknya untuk meminta bibirnya agar tidak bicara satu patah katapun. Dia ingin melihat sebesar apa keinginan laki-laki itu untuk mempertahankan hubungan ini. Dia ingin tahu bagaimana perasaan laki-laki itu terhadapnya kini.
Hening cukup lama. Kalau saja ponsel laki-laki itu tidak berdering saat itu suasana akan tetap rikuh (meskipun suara dering ponsel itu tidak mencairkan suasana sama sekali tetapi semakin membuat gadis itu kesal). Gadis itu tidak membahas apapun soal ponsel ataupun meminta laki-laki itu untuk menjawab teleponnya kalau memang itu telepon ataupun membalas pesan singkatnya kalau memang itu pesan singkat. Dia benar-benar tidak mau bicara sepatah katapun. Dia sudah lelah memulai. Dua atau tiga tahun belakangan ini sepertinya semua yang ingin dimulainya kembali seperti diabaikan. Kini giliran laki-laki itu untuk memulai apapun yang terjadi. Atau paling tidak kalau dia mau mengakhirinya saat ini juga, dia seharusnya mengatakan itu daripada harus menggantung seperti ini karena gadis itu sudah siap apapun yang terjadi pada hubungan akhir mereka ini.
Cangkir kopi itu disentuhnya meskipun tidak ada sedikitpun keinginan untuk menyesap isinya walaupun itu adalah minuman kesukaannya. Dia bersumpah, lebih lama lagi dia duduk di tempat itu dia akan menangis lalu pergi dari tempat itu berurai air mata. Tapi pentingkah? Sama sekali tidak menyelesaikan masalah. Jadi ayolah, hey laki-laki di depanku! Katakan sesuatu... Ataukah aku yang harus mengatakannya terlebih dahulu? Kalau begitu baiklah...
Dia baru saja akan mengatakan sesuatu, gadis itu, ketika semua memori tentang kebersamaan mereka menyerbu pikirannya seperti ribuan semut yang menyerang sebongkah black forest yang ditinggalkan begitu saja di atas meja makan. Tawa itu, bahagia itu, pelukan itu, genggaman tangan itu, semuanya tiba-tiba saja melayang-layang di depan matanya bagaikan ribuan gelembung-gelembung sabun ajaib yang entah bagaimana berubah fungsi menjadi proyektor dan menampilkan semua kenangan masa lalu itu.
Jika dia mengatakannya saat ini, untuk menyudahi hubungan ini, lalu bagaimana dia? Bagaimana dia bisa menghapus semua kenangan yang baru saja kembali di bawa oleh gelembung sabun khayalannya sendiri yang sialan itu? Bagaimana bisa dia melupakan laki-laki ini? Butuh berapa lama dia untuk bisa menghapus semuanya? Satu tahun? Dua tahun? Selamanya? Dia yakin akan sulit. Walaupun... ponsel yang berdering tadi itu sudah bisa jadi bukti jelas bahwa laki-laki itu akan melupakannya sedetik setelah dia mengatakan kata-kata 'ajaib'-nya nanti.
"Sudah cukup. Kita sebaiknya sudahi semua ini."
Kurang lebih begitukah? Atau kalimat itu terlalu sederhana? Sederhana, mungkin, tapi mengucapkannya seperti menelan ratusan pil sakit kepala dalam satu waktu. Sulit.
Entah dia sadar atau tidak tapi baru saja dia mengucapkan kalimat itu (OH TUHAN BAGAIMANA MUNGKIN DIA BISA?) dan... tak ada kalimat lain lagi yang meluncur dari bibirnya ataupun laki-laki itu. Itu artinya dia berhasil? Semua ini sudah berakhir? Hanya begitu sajakah?
Otaknya memerintahkan tubuhnya untuk bangkit dan tangan kanannya terjulur ke arah laki-laki itu. Menawarkan sebuah jabatan tangan. Untuk apa? Tanda persahabatan? Ataukah sebuah persetujuan? Tapi laki-laki itu menjabatnya dalam diam dan gadis itu melangkah pergi sebelum akhirnya semuanya buyar dan dia sadar dia berada di depan sebuah pintu yang butuh dibuka untuk dapat masuk. Dia melihat laki-laki itu menunggu di dalam, duduk di depan sebuah meja dengan dua cangkir kopi panas yang tersedia di atasnya. Ketika gadis itu masuk, laki-laki itu menyambutnya dengan tersenyum. Gadis itu bisa bernapas lega sekarang dan berharap semua isi kepalanya tadi tidak akan pernah menjadi sebuah kenyataan. Dia hanya mencintai laki-laki itu. Hanya dia. Satu-satunya.